• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Islam dan Orientalis

arcala

IndoForum Beginner A
No. Urut
89881
Sejak
20 Jan 2010
Pesan
1.120
Nilai reaksi
71
Poin
48
ORIENTALIS DAN KEJUJURAN AKADEMIK DALAM KAJIAN KEISLAMAN​

Pendahuluan

Kajian Islam yang dilakukan para orientalis seringkali dipandang oleh kalangan Muslim tidak untuk memahami Islam secara benar, tetapi untuk mendeskreditkannya. William G. Millward, misalnya, menemukan kecurigaan kalangan Muslim terhadap kejujuran akademik kaum orientalis tadi dalam banyak literatur yang mereka tulis.

Millward membandingkan, berbeda dengan penulis Muslim Arab yang biasanya lebih rasional dalam mengkritisi hasil kajian para orientalis tentang Islam, penulis Muslim Iran umumnya sangat apologetik, hingga kritik mereka terkesan emosional dan tidak argumentatif.

Penulis Muslim yang mempertanyakan kejujuran akademik para orientalis tersebut terutama meragukan objektifitas kajian mereka tentang al-Qur’an serta Nabi Muhammad saw. Para penulis Muslim ini menganggap bahwa sanggahan terhadap hasil penelitian mereka yang sangat merugikan Islam tersebut harus dilakukan, agar ajaran Islam bisa dikembalikan kepada pemahaman yang autentik, sebagaimana yang diyakini oleh pemeluknya.

Secara sederhana, kata Orientalis bisa diartikan “seseorang yang melakukan kajian tentang masalah-masalah ketimuran, mulai dari sastra, bahasa, sejarah, antropologi, sosiologi, psikologi sampai agama dengan menggunakan paradigma Eurocentrisme, hingga menghasilkan konklusi yang distortif tentang objek kajian dimaksud”.

Perkembangan orientalisme moderen berawal dari kajian terhadap Islam sebagai fenomena budaya yang tercermin dalam perilaku dan karakter spesifik pemeluknya.

Dengan orientasi kajian seperti itu, maka tidak mengherankan bila perkumpulan orientalisme pertama kali dibentuk untuk melakukan kajian keislaman di Batavia (nama Belanda untuk kota Jakarta) tahun 1781.

Perkumpulan ini menyelenggarakan bermacam kajian tentang Islam dan hasilnya dipergunakan untuk melandasi berbagai kebijakan pemerintah Belanda, yang terkait dengan kolonialisasinya di East Indies [Indonesia] saat itu. Inggris juga mendirikan Asiatic Society of Bengal tahun 1784 atas prakarsa Sir William Jones. Perkumpulan serupa dengan tujuan yang tidak jauh berbeda juga dibentuk di beberapa negara Eropa. Perancis mendirikan Societe Asiatique yang berkedudukan di Paris tahun 1822. Sementara Inggris mendirikan Royal Asiatic Society di London tahun 1834 dan Amerika Serikat mendirikan American Oriental Society di tahun 1842.



Relasi Sosial Barat-Islam

Sebelum disampaikan paparan tentang kajian Islam yang dilakukan oleh para orientalis, perlu dibahas dengan ringkas relasi Barat-Islam yang terbentuk dari hasil interaksi sosial antara kaum imigran Muslim dengan penduduk lokal di negara-negara Barat.

Paparan seperti itu dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa hubungan sosial Barat-Islam dalam suasana saling menghargai di negara non-Muslim adalah sebuah keniscayaan. Seperti diketahui bahwa Islam sudah menjadi sebuah fenomena sosial di negara-negara Barat.

Di Amerika Serikat saja, tidak kurang dari empat sampai lima juta kaum Muslim hidup di negeri ini. Dengan jumlah populasi yang signifikan seperti itu, kaum Muslim mampu membentuk sebuah sub-kultur Amerika. Mereka membangun bermacam perkumpulan sosial-keagamaan untuk melandasi berseminya identitas khas kultur Islam-Amerika.

Sebagai komunitas beragama yang dinamis, masyarakat Muslim Amerika tidak hanya menjadikan institusi masjid sebagai pusat kegiatan ritual, tetapi juga memfungsikannya menjadi tempat bagi kegiatan sosial, budaya dan pendidikan. Mereka memiliki ratusan masjid yang tersebar hampir di setiap negara bagian.

Komunitas Muslim Amerika, yang nasionalitas-nya berasal dari enam puluh negara, membentuk banyak perkumpulan. Mereka memiliki perhimpunan mahasiswa Muslim (Muslim Students Association), perkumpulan masyarakat Muslim Amerika Utara (Islamic Society of North America), perkumpulan sarjana ilmu sosial (Association of Muslim Social Scientists), perkumpulan sarjana dan insinyur Muslim (Association of Muslim Scientists and Engineers) dan perhimpunan dokter Islam (Islamic Medical Association). Jumlah mahasiswa Muslim di universitas-universitas Amerika menunjukan angka yang sangat signifikan, tidak kurang dari seratus ribu mahasiswa.Terlepas dari perbedaan spesialisasi keilmuan yang menjadi keahlian mereka masing-masing, kaum intelijensia Muslim Amerika ini selalu terlibat aktif dalam bermacam kegiatan kajian keislaman.

Dengan begitu maka tidak berlebihan ketika Amerika dipandang menjadi salah satu pusat kegiatan intelektual Islam di dunia dewasa ini (the United States becomes a center of Islamic intellectual fermentation). Komunitas Muslim Amerika juga terlibat dalam membangun dialektika politik yang berlangsung antar sesama komunitas beregama di negeri itu. Mereka, misalnya, meminta pemerintah Amerika Serikat untuk menyetarakan kedudukan Islam dengan kedudukan legal-formal dua agama besar lainnya, Kristen dan Yahudi. Pemerintah Amerika tampaknya memahami peran penting yang bisa dimainkan oleh komunitas beragama dalam membangun keharmonisan hubungan sosial antar sesama warga negara. Dengan pertimbangan seperti itu, Presiden George Bush menetapkan tanggal 16 Januari 1993 dan 14 Januari 1994 sebagai Hari Kebebasan Agama (Religious Freedom Day).

Komunitas Muslim juga di jumpai di negara-negara Eropa Barat. Di Inggris, jumlah mereka berkisar antara satu sampai satu setengah juta jiwa. Kehidupan sekuler di Inggris tampaknya tidak mampu menghilangkan properti kultur spiritualitas yang terbentuk melalui proses sosialisasi ajaran Islam, baik melalui institusi sosial maupun keluarga.

Mereka menganggap Islam bukan sekadar agama yang mengajarkan pedoman bagi kehidupan spiritual, tetapi juga membentuk kebersamaan emosional untuk membangun solidaritas serta identitas kelompok. Dengan kata lain bahwa Islam telah menyatukan kesadaran kolektif masyarakat Muslim di Inggris melintasi latar belakang etnis, hingga Islam menjadi komponen yang melapisi keseluruhan struktur personalitas mereka (Islam is at the nucleus of their personal identity).

Realitas seperti itu tidak membuat komunitas Muslim hidup dalam sebuah eksklusifitas sosial, tetapi tetap mampu berintegrasi ke dalam kehidupan plural yang ada di sekitarnya. Kemampuan berintegrasi diperoleh dari penyerapan terhadap prinsip kebhinekaan, baik yang diajarkan secara normatif melalui doktrin sosial dalam Islam, maupun secara empirik dari realitas historis kehidupan plural masyarakat Muslim di masa silam. Kehadiran mereka di Inggris berlangsung secara bertahap, mulai dari pembukaan Terusan Suez tahun 1868 sampai pasca-Perang Dunia II.

Inggris yang memerlukan tenaga kerja dalam jumlah besar pada pasca Perang Dunia II mendatangkan pekerja asing, termasuk pekerja Muslim dari Pakistan, Bangladesh dan India. Imigran Muslim terus berdatangan ke Inggris sampai seielah tahun 1960-an. Kelompok imigran terakhir ini sudah tidak lagi berkonotasi sebagai guest workers [pekerja tamu] tetapi sudah berstatus menjadi imigran tetap. Kehadiran para imigran pada gelombang terakhir tadi menjadi lebih mudah proses legalisasinya, setelah pemerintah Inggris mengesahkan Undang-Undang Imigrasi tahun 1962. Masyarakat Muslim terus berupaya menyempurnakan legalitasnya menjadi warga negara Inggris, seperti tampak dari pembentukan Muslim Council of Britain. Di negeri Queen Elizabeth II ini, komunitas Muslim memiliki tidak kurang dari 42 sekolah. Mereka juga mempunyai media massa dalam bentuk surat kabar dan media elektronika melalui channel tv sendiri.

Kehadiran komunitas Muslim di Eropa Barat tentu saja tidak hanya terbatas di negeri Inggris. Para imigran Muslim mendatangi hampir semua negara di kawasan tersebut. Berbeda dengan imigran Muslim Inggris yang umumnya berasal dari Asia Selatan, imigran Muslim di Jerman dan Denmark kebanyakan datang dari Turki. Sedangkan imigran Muslim di Belgia dan Spanyol lazimnya datang dari Maroko. Perancis, yang memiliki imigran Muslim dalam jumlah yang sangat besar, menjadi tempat imigrasi kaum Muslim dari bekas jajahannya di Afrika. Tidak berbeda dengan Inggris, Perancis juga sudah mengesahkan Undang-Undang Imigrasi pada tahun 1974.

Undang-Undang serupa juga diberlakukan di Belanda pada tahun 1974. Dengan kata lain bahwa Islam sudah menjadi bagian dari realitas sosial di Eropa Barat. Kehadiran Islam tidak hanya diwakili oleh pemeluk agama ini, tetapi juga melalui media lain. Liga Muslim se-Dunia (Muslim World League) sudah membuka kantornya di beberapa kota besar Eropa Barat, mulai London, Paris, Brussel sampai Madrid. Negara-negara Islam juga aktif memberikan bermacam bantuan untuk mengembangkan Islam di Eropa, baik dalam bentuk dana pembangunan masjid dan sekolah, maupun pengiriman tenaga ahli tentang Islam.



Relasi Akademik Barat-Islam

Secara kelembagaan, kajian Islam di Barat biasanya menjadi bagian dari kajian kawasan yang meliputi studi budaya, politik, sejarah dan bahasa pada Departemen Pengkajian Kawasan Timur Tengah (Department of Middle East Studies) atau Timur Dekat (Near East Studies). Hanya tiga institusi kajian Islam di Barat yang berdiri sendiri dan tidak menjadi bagian dari studi kawasan tersebut, yaitu The Institute of Islamic Studies, McGill University, Departmen of [Middle East and] Islamic Studies, University of Toronto dan Islamic Studies, Von Grunebaum Center for Near East Stdies, University of California, Los Angeles.

Menjadikan kajian Islam (Islamic Studies) bagian dari studi kawasan tidak berarti bahwa kajian Islam memperoleh posisi pinggiran. Studi kawasan hakekatnya juga bertolak dari penelitian tentang Islam sebagai sumber nilai yang telah membentuk budaya, sejarah, politik dan bahasa di kawasan yang mayoritas populasinya beragama Islam.

Pusat kajian kawasan tidak hanya dibuka di berbagai universitas Barat, tetapi juga didirikan di beberapa negara Islam. Amerika Serikat, misalnya, membangun American Research Center di Kairo, American Research Institute di Turkey dan American Institute of Iranian Studies di Iran. Apapun nama yang dipergunakan, hubungan antara kajian Islam dengan studi kawasan adalah hubungan organik, di mana Islam selalu bertindak menjadi pemicu dari munculnya bermacam fenomena yang menjadi objek kajian kawasan tersebut.

Lembaga yang menawarkan kajian kawasan biasanya adalah universitas universitas papan atas. Hal itu karena pengelolaannya yang membutuhkan budget besar dan tidak memberikan keuntungan komersial memang hanya bisa dilakukan oleh universitas terkemuka saja. Dengan kata lain, kajian kawasan tidak memberikan keuntungan komersial yang sepadan dengan besarnya anggaran untuk mendanai fasilitas perpustakaan, penerbitan dan penelitian serta gaji staf pengajarnya. Namun secara tidak langsung, universitas-universitas tersebut memperoleh keuntungan dalam bentuk terciptanya iklim saling pengertian melintasi sekat agama, budaya, politik dan lainnya yang dibutuhkan publik dunia dewasa ini. Kajian kawasan memang didirikan untuk menumbuhkan kesadaran saling menghargai tradisi, budaya dan agama masyarakat dunia pasca Perang Dunia II.

Perlu diketahui bahwa kajian semacam itu sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Namun pada waktu itu, kajian dimaksud hanya berfungsi menjadi media Kristenisasi dan promosi kepentingan negara-negara kolonial di Dunia Islam.

Barangkali ada baiknya dibahas secara ringkas model pengelolaan kajian kawasan tersebut. Seperti telah disinggung di depan bahwa kajian kawasan tidak menghasilkan keuntungan komersial. Karena itu, komponen utama dalam budget pengelolaannya diperoleh dari dana publik untuk proyek kemanusiaan. Di samping itu, kegiatan penelitiannya juga mengandalkan bantuan dana dari banyak lembaga penelitian.

Di Amerika Serikat, kajian kawasan memperoleh dana dari pemerintah melalui The Departmen of Health, Education and Welfare dan dari lembaga swasta, misalnya, The Ford Foundation. Untuk dana penelitiannya, penyandang dana berikut ini memiliki peran signifikan, seperti The National Science Foundation, The Rockefeler Foundation, The Guggenheim Foundation dan The Fulbright Faculty Research.

Dukungan dana seperti itu juga berlaku di negara Barat lainnya. Pemerintah Inggris, misalnya, mendirikan pusat studi kawasan atas dasar rekomendasi dari Scarbrough Commission. Dalam penelitiannya, Scarbrough Comission, dibentuk tahun 1950-an, meminta pemerintah untuk mendirikan pusat studi kawasan di universitas-universitas Inggris setelah Perang Dunia II.

Kehadiran pusat studi kawasan tersebut sangat dibutuhkan untuk mempromosikan budaya saling menghargai antar warga dunia. Dengan kata lain bahwa pemerintah Inggris juga ikut menanggung biaya operasional dari lembaga studi kawasan tersebut. Pusat kajian kawasan di berbagai universitas Barat tidak hanya terbuka bagi peserta dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri, termasuk dari negara-negara Muslim. Hal ini sesuai dengan landasan kelembagaannya yang menghendaki keragaman peserta perogramnya, baik dari segi budaya, tradisi maupun agama. Bahkan di beberapa pusat kajian Islam dan kawasan, peserta programnya sengaja diambilkan dari kalangan Islam dan Kristen.

The Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, misalnya, yang membuka programnya pada musim gugur tahun 1954, selalu merekrut civitas akademikanya (dosen dan mahasiswa) dari kelompok Kristen dan Muslim. Staf pengajar yang pertama kali memberikan kuliah di Institute tersebut, selain Wilfred Cantwell Smith sebagai pendiri dan direktur dan Howard A. Reed sebagai dosen, keduanya Kristen, adalah para dosen Muslim, Fazlur Rahman (Pakistan), Ishaq Musa al- Husayni (Arab) dan Niyazi Berkes (Turki), ketiganya sarjana Muslim kenamaan dalam bidangnya masing-masing.

Pola silang agama dalam merekrut mahasiswa dan dosen tersebut masih dipertahankan McGill sampai sekarang. Contoh serupa lainnya adalah Duncan Black Macdonald Center for the Study of Islam and Christian-Muslim Relations di Hartford Seminary yang dibentuk tahun 1973 untuk memprakarsai kajian yang bisa membentuk sikap saling menghargai antara komunitas Muslim dan Kristen.

Di samping dua lembaga tersebut, masih terdapat beberapa institusi lain yang misinya juga membangun kesefahaman antara Muslim dan Kristen. Di antaranya adalah Center for Muslim-Christian Understanding: History and International Affairs di Edmund A. Walsh School of Foreign Service. Termasuk dalam katagori institusi tersebut adalah Center for the Study of Islam and Christian Muslim Relations di Selly Oak College, Birmingham.

Namun ironisnya adalah bahwa keterlibatan peserta program studi Islam dari kalangan mahasiswa Muslim tidak sepenuhnya diterima oleh sebagian komunitas Muslim. Mereka menganggap bahwa studi Islam yang dilakukan mahasiswa Muslim di Barat merupakan aktifitas bermasalah. Sikap tersebut adalah cerminan dari pandangan negatif mereka terhadap kajian Islam yang dilakukan para orientalis. Sikap semacam itu juga datang dari orang seperti Hamid Alghar, yang bisa dianggap orang dalam, mengingat Alghar, yang guru besar kajian Islam di Amerika Serikat, adalah seorang Muslim taat. Alghar mengkhawatirkan terjadinya pemaksaan pendapat yang dilakukan seorang profesor terhadap mahasiswa Muslimnya. Pemaksaan pendapat semacam itu bisa membahayakan akidah mahasiswa yang bersangkutan, karena menyangkut persoalan doktrin agama. Kekhawatiran Alghar tentu sangat berlebihan, mengingat kebebasan berfikir serta mengutarakan pendapat merupakan etika yang berakar kuat dalam kehidupan akademik di Barat. Seperti diketahui bahwa tidak sedikit mahasiswa Muslim di Barat justru mampu melakukan koreksi terhadap bermacam pemikiran bias tentang Islam yang dilakukan oleh profesornya dari kalangan orientalis.

Realitas juga membuktikan bahwa mahasiswa Muslim di berbagai universitas Barat tidak hanya berasal dari negara Muslim moderat, seperti Indonesia dan Malaysia, tetapi juga dari negara-negara Muslim militan, semisal Iran, Arab Saudi dan Sudan. Pada tahun 1990-an, pemerintah Republik Islam Iran mengirimkan para alumni dari pusat pendidikan Shi’ah Khum untuk mengambil program magister dan doktor kajian Islam (Islamic studies) dan agama (religious studies) di McGill University. Perlu diketahui bahwa banyak guru besar ilmu normatif Islam, seperti al-Qur’an, hadith dan fiqh, di banyak universitas Timur Tengah yang mendapatkan pendidikan doktoralnya dari universitas-universitas Barat. Keterlibatan para peserta program dari negara-negara Muslim tadi tidak bisa dianggap kegiatan bermasalah, berangkat dari fakta bahwa kebebasan akademik merupakan sebuah norma yang sangat dijunjung tinggi dan karenanya mereka tidak pernah mengkhawatirkan terjadinya erosi keyakinan. Namun kekhawatiran seperti yang diungkapkan Alghar tadi tetap memiliki nilai positif, karena merujuk pada persoalan prinsip agama, yang tidak boleh dipertaruhkan demi objektifitas akademik.

Terlepas dari kontroversi studi Islam di Barat tersebut, kehadiran mahasiswa Muslim di banyak universitas Barat sudah menjadi kenyataan. Kehadiran mereka memang sudah berlangsung sejak hampir dua ratus tahun lalu. Barangkali kalau belajar ke Barat merupakan sebuah aksioma yang menentukan berhasil atau tidaknya pemberdayaan human resources, maka Mesir telah membuktikan kebenaran aksioma tersebut. Mesir menyadari perlunya menguasai sains dan teknologi, agar bisa segera melakukan modernisasi. Seperti diketahui bahwa penguasa Mesir Muhammad Ali Pasha [1805-1848] memang berhasil melakukan modernisasi di negerinya, melalui pemberdayaan pendidikan warganya, hingga Mesir menjadi sebuah negeri terkuat di luar Eropa dan Amerika Utara saat itu.

Pemberdayaan pendidikan dilakukan melalui pengiriman mahasiswa Mesir ke Eropa atau dengan mendatangkan para instruktur Eropa untuk mengajar di berbagai lembaga pendidikan Mesir. Keberhasilan Muhammad Ali Pasha sampai bisa menjadikan Mesir mengungguli Turki, mulai dari keunggulan militer, teknologi sampai ekonomi. Dengan keunggulan tersebut, Mesir tidak hanya mampu melakukan aneksasi terhadap provinsi Turki di Semenanjung Arabia dan Siria, tetapi juga berhasil memadamkan pemberontakan di Yunani, satu-satunya sisa wilayah jajahan Turki di Eropa waktu itu. Mesir juga pernah diajak Perancis untuk melakukan penaklukan terhadap provinsi Turki di Afrika Utara.
 
Dialektika Kajian Islam di Barat: antara Kritik dan Tanggapan

Perhatian terhadap Islam sebagai objek kajian sebenarnya sudah muncul di Eropa sejak abad ke 12 Masehi. Masyarakat Muslim sudah berkomunikasi dengan bangsa Eropa, sejak mereka menguasai bagian-bagian terpenting dari wilayah Kerajaan Romawi Timur (Byzantium).

Kekuasaan Muslim Arab di negeri Spanyol, yang berlangsung hampir tujuh setengah abad [756-1492], membuat bangsa Eropa membutuhkan informasi tentang Islam. Pada tahun 1142, misalnya, Peter the Venerable mengunjungi Spanyol untuk memperoleh bahan pengkajian tentang Islam. Kebutuhan informasi tentang Islam menjadi semakin menguat, setelah Sultan Turki ‘Uthmani, Muhammad al-Fatih, menaklukan ibu kota kerajaan Romawi Timur, Konstantinopel, pada tahun 1453. Militer Muslim tidak hanya berhasil menduduki Konstantinopel, tetapi juga mengepung kota Wina. Dengan kata lain, kekuasaan Islam telah menembus ke jantung daratan Eropa, mulai dari Spanyol, Italia Selatan, Perancis Selatan sampai Eropa Timur dan Tengah.

Kehadiran Islam yang menyebabkan susutnya wilayah Dunia Kristen sangat menyakitkan hati bangsa Eropa. Bangsa Eropa menganggap Islam sebagai musuh primordial nomor satu dan diserupakan dengan “musuh dalam selimut” [the serpent in the bossom).

Jatuhnya Konstantinopel merupakan musibah besar bagi komunitas Kristen Eropa, terutama bagi para penganut sekte Kristen Greek-Ortodoks di Eropa Timur dan Rusia. Seperti diketahui bahwa Konstantinopel merupakan kota suci bagi pengikut sekte Greek-Ortodoks. Karena itu, Tsar Rusia dari Dinasti Rumanov menuntut balas atas jatuhnya kota ini, melalui penaklukan ke wilayah Dunia Islam. Jatuhnya berbagai wilayah Turki ‘Uthmani di Eropa Timur ke tangan Rusia, mulai dari Moldavia, Besarabia sampai Bosnia-Herzegovina merupakan manifestasi dari penaklukan tersebut.

Kekuasaan Rusia atas wilayah Turki ‘Uthmani semakin memperoleh legitimasi dengan perjanjian Kucuk Kainarja tahun 1776 yang mengesahkan jatuhnya semua wilayah dinasti Islam di daratan Eropa ke tangan Rusia.

Penaklukan Dinasti Romanov kemudian merambah ke kawasan pusat Islam di Asia Tengah. Untuk menandai keberhasilannya dalam menaklukan para sultan di Asia Tengah, Tsar Ivan the Terrible dari Dinasti Romanov Rusia membangun gedung berkubah delapan untuk menandai delapan kepala sultan yang dipenggal lehernya dalam penaklukan tersebut.

Perang yang dilakukan Rusia terhadap bangsa Muslim didasarkan pada semangat crusade (perang salib). Bangsa Rusia menganggap bahwa sama halnya dengan kaum Katolik Spanyol yang berhasil merebut kembali negeri mereka (reconquesta) dari tangan kaum Muslim, kaum Greek Ortodoks Rusia juga harus mampu membebaskan wilayah Rusia [Eropa Timur] yang masih berada di bawah kekuasaan Islam.

Keberhasilan Eropa dalam menjelajahi Dunia Baru di Timur pada awal abad 15 menghidupkan kembali minat Eropa untuk mengetahui Islam yang menjadi salah satu agama penduduk di Dunia Baru tersebut. Sejak awal abad 17, beberapa perguruan tinggi Eropa membuka bidang kajian bahasa Arab (Chair of Arabic Studies). Di Inggris,Cambridge University menawarkan studi bahasa Arab mulai tahun 1632 dan Oxford University tahun 1636. William Bidwell, meninggal tahun 1632, dikenal sebagai bapak studi bahasa Arab di Inggris. Kajian Islam dan bahasa Arab diperlukan untuk kepentingan para misionaris yang melakukan kegiatan misinya di negara-negara Muslim saat itu.

Kelompok orientalis dari kalangan misionaris sudah hadir sejak abad tengah dan tetap berlangsung sampai masa moderen. Di antara kaum oriantalis moderen yang mendapatkan pendidikan misionaris [teologi] adalah Zwemmer, Lammens, Macdonald, Palacious, de Focoult, Watt dan Cragg.15 Pandangan kalangan orientalis katagori ini tentu kadang sangat distortif tentang Islam.

Macdonald, misalnya, berpendapat bahwa Islam akan mengahadapi ancaman kepunahan, karena Islam tidak akan mampu menghalangi proses benturan dengan keperkasaan peradaban Barat. Meskipun sikap negatif seperti tersebut merupakan tipikal pandangan kaum orientalis-pendeta tentang Islam, sikap tadi tentu tidak merepresentasikan pandangan kaum orientalis secara keseluruhan.

Bahkan sejak abad tengah, sudah terdapat beberapa orientalis yang pemikirannya tentang Islam bernada simpatik dan karenanya sangat dikecam oleh kalangan gereja sendiri.

Kajian Adrianus Roland tentang Islam, De Religione Mohammedanica, tahun 1705, pernah dimasukan ke dalam indeks buku-buku yang oleh gereja dicekal peredarannya. Sikap gereja seperti itu dilakukan, karena pembahasan tentang Islam dalam buku tadi tidak mengikuti standar yang dibakukan oleh gereja. Meskipun terjadi pencekalan terhadap buku tadi, masih terdapat beberapa orientalis yang secara objektif mengakui validitas hasil penelitian Roland. Sebagian orientalis yang juga melakukan kajian mendalam tentang al-Qur’an, George Sale, misalnya, menerima pandangan positif Roland terhadap ajaran Islam.

Sikap simpatik kepada Islam mulai menjadi sebuah fenomena saat itu, seperti yang ditunjukan Leesing dalam karyanya Nathan the Wise yang ditulis pada tahun 1783. Dalam karyanya tersebut, Leesing menggunakan parable, di mana tiga agama besar, Yahudi, Kristen dan Islam, diserupakan dengan tiga cincin yang tidak diketahui mana diantara ketiganya yang asli. Selain ketiga nama tersebut, Carlyle dalam bukunya The Hero as Prophet juga bersikap relatif jujur dalam tulisannya tentang Nabi Muhammad yang dia pandang sebagai tokoh terkemuka dalam sejarah.

Kelompok orientalis lain malahan mengakui Nabi Muhammad sebagai salah seorang dari rangkaian Nabi sebelumnya, berangkat dari kesamaan ajarannya dengan ajaran para Nabi terdahulu. Dalam analisisnya, Hans Kung, menyimpulkan lima pokok ajaran Islam yang berkaitan dengan kesatuan ajaran para Nabi tersebut.

Kung menyebutkan beberapa di antaranya, yaitu konsep monoteisme yang berkaitan erat dengan prinsip humanisme, peran absolut Tuhan dalam ajaran para Nabi dimaksud dan suasana krisis yang melatari hadirnya para Nabi tersebut. Meskipun karya para orientalis tentang Islam tidak semuanya memperlakukan Islam secara subjektif, tulisan mereka secara umum memang harus dibaca dengan kritis, agar bisa diketahui sampai sejauh mana objektifitas atau subjektifitas pandangan mereka tentang Islam.

Pembahasan tambahan tentang sikap negatif para orientalis, terutama kepada al-Qur’an dan Nabi Muhammad, akan diberikan pada bagian berikut ini. Seperti telah disinggung di depan bahwa banyak penulis Muslim yang menggugat pandangan negatif kaum orientalis terhadap al-Qur’an.

Kalangan orientalis umumnya memang mempertanyakan keautentikan al-Qur’an dengan melemparkan bermacam tuduhan, mulai dari doktrin ajaran dasarnya (genesis) yang dipandang bersandar pada tradisi Kristen-Yahudi (Judeo-Christian traditions), masa kodifikasinya yang bukan pada abad 7 tetapi pada abad 9, sampai tuduhan Muhammad sebagai pembikin al-Qur’an itu sendiri.

Montgomery Watt, misalnya, menganggap kesamaan antara doktrin dasar Islam dengan Yahudi sedemikian dekatnya, sehingga Islam pantas menjadi salah satu sekte agama Yahudi. John Wansbrough, yang juga mempersoalkan keautentikan al-Qur’an, berpandangan bahwa al-Qur’an adalah kompilasi dari sejumlah hadith dan karenanya al- Qur’an “dibuat” pada masa pasca wafatnya Nabi (post-prophetic).

Pendapat Wansbrough yang sangat ekstrim tersebut berangkat dari penolakannya terhadap semua sumber tentang al-Qur’an yang berasal dari penulis Muslim. Dalam penelitiaannya, Wansbrough hanya mengandalkan literatur kontemporer karya peneliti non-Muslim, ditambah dengan data dari temuan arkeologi, epigrafi dan numismatik. Wansbrough mengklaim model penelitian seperti itu didasarkan pada metoda kritik terhadap sumber (sources-critical method).

Helmut Gatje juga mengajukan beberapa tesa negatif tentang al-Qur’an. Dalam bukunya The Qur’an and Its Exegesis, Gatje menganggap ayat-ayat non-wahyu telah masuk ke dalam mushaf al-Qur’an, sedangkan ayat-ayat wahyu justru tidak dimasukan ke dalamnya. Pendapat semacam itu tidak bisa disamakan dengan konsep naskh wa mansukh, baik naskh al-hukm duna al-tilawah maupun naskh al-tilawah duna al-hukm. Selanjutnya Gatje menganggap al-Qur’an banyak meminjam berita dari kitab suci Yahudi dan Kristen, mulai dari konsep penciptaan alam (al-mabda’) dan Adam sampai perseteruan antara Qabil dan Habil. Gatje tidak hanya melemparkan tuduhan plagiarisme al-Qur’an terhadap dua kitab suci sebelumnya, tetapi juga menganggap redaksi bahasa al- Qur’an mengikuti gaya bahasa bersanjak para kahin, terutama ayat-ayat Makkiyah. Sedangkan struktur eksternal bahasa al-Qur’an, menurut Gatje, merupakan serapan terhadap ragam bahasa prosa pra-Islam.

Tuduhan negatif terhadap al-Qur’an seperti yang dilakukan Gatje juga bisa ditemukan dalam karya para orientalis lainnya, seperti Arthur Jeffry, Richard Bell, Noldeke, Gustave Flugel dan Rudi Peret.

Pandangan negatif terhadap al-Qur’an seperti itu terus berlanjut sampai sekarang. Andrew Rippin barangkali adalah orientalis terkini yang mewarisi pemikiran para pendahulunya, terutama pandangan John Wansbrough. Menurut Rippin, al-Qur’an versi ‘Uthmani adalah hasil dari proses pengeditan mushaf yang tergesa-gesa (rush editing). al-Qur’an versi ‘Uthmani, masih menurut Rippin, merupakan pembakuan mushaf yang dilakukan dengan motif politik, agar ketegangan yang dipastikan timbul akibat dari keragaman versi al-Qur’an bisa dihindari. Pendapat semacam itu sudah menjadi sikap klise kaum orientalis yang memandang eksistensi versi mushaf lainnya seharusnya dipertahankan untuk mempertajam orisinalitas al-Qur’an.

Mereka menghitung empat versi al-Qur’an selain versi ‘Uthmani, yaitu versi Abu Musa al-Ash’ari, Ubay bin Ka’b, ‘Abd Allah bin Mas’ud dan Miqdad bin Amr. Seperti halnya orientalis sebelumnya, Rippin juga memandang terjadinya perkembangan secara gradual yang dialami Islam, baik dalam proses pembakuan kredo maupun ritusnya. Perkembangan secara gradual tadi, menurut Rippin, adalah sebuah proses mencari kemandirian bentuk dalam ajarannya, agar sistim kredo serta ritus yang diadopsi bisa menjadi partikular untuk Islam sendiri.

Selanjutnya Rippin menilai konsep i’jaz al- Qur’an sengaja dibuat untuk memastikan keunggulan al-Qur’an versi ‘Uthmani dan karenanya konsep dimaksud tidak diformulasikan pada abad ke tujuh, tetapi pada abad ke sepuluh Masehi.

Para orientalis juga melakukan kajian tentang kehidupan Nabi Muhammad saw. Banyak karya orientalis tentang Nabi Muhammad yang ditulis pada pertengahan abad. Di antara mereka adalah William Muir yang menulis The Life of Mahomed tahun 1857. Demikian juga Wilhausen yang karyanya tentang Muhammad di tahun 1882 berjudul Muhamad in Medina. Para orientalis lain yang karyanya tentang Muhammad ditulis dalam bahasa Inggris adalah Margoliouth dengan judul Muhammad and the Rise of Islam dan Tor Adre yang bukunya berjudul Muhammad: The Man and His Faith. Gustav Weil, Aloys Sprengler, Leone Cetani dan Regis Blachere termasuk orientalis yang memberikan perhatian terhadap kajian tentang Nabi Muhammad.

Perlu diketahui bahwa kajian tentang Muhammad tidak hanya membahas peri kehidupannya saja, tetapi juga membicarakan al- Qur’an dan Islam. Dengan kata lain bahwa studi tentang Nabi cenderung bercorak kajian agama, seperti karya Alexander Ross tahun 1650 tentang sejarah agama dengan judul Pansebera. Secara umum bisa dikatakan bahwa kajian tentang Muhammad semula memang sangat didominasi oleh sikap kebencian (hatred), hingga Nabi selalu digambarkan sebagai pembohong (impostor), anti Yesus (anti-Christ) dan kesurupan (possessed by evil).

Pada awal tulisan ini telah disebutkan bahwa kalangan Muslim meragukan validitas hasil penelitian kaum orientalis. Edward Said melalui karya referensialnya, Orientalism, bisa memahami keraguan tersebut, karena penelitian para orientalis biasanya didahului dengan persepsi negatif, hingga pengamatan mereka terhadap objek penelitian dimaksud menghasilkan konklusi yang bias. Menurut Said, kaum orientalis mempersepsikan Islam sebagai penyebab terbentuknya mentalitas timur yang inferior, statis, anomali, terfragmentasi dan lainnya. Pemahaman terhadap Islam yang didahului dengan persepsi buruk seperti itu, dalam pandangan Said, membuat tertutupnya semua potensi riilnya Islam serta fakta empirik yang telah membuktikan keberhasilan Islam dalam membangun peradaban dunia di masa lalu. Selanjutnya Said menegaskan bahwa kajian tentang Islam tidak hanya menuntut kejernihan berfikir, tetapi juga kenetralan idiologis.

Said kemudian menilai bahwa keragaman variabel dalam Islam yang membuat ajarannya menjadi terkendala untuk direalisasikan ke dalam fakta historis dewasa ini, ini hanya bisa diuraikan melalui rangkaian analisis yang cermat serta kedap dari berbagai prasangka dan kepentingan.

Said hanyalah satu dari beberapa sarjana Barat yang meragukan kejujuran akademik para orientalis, karena dalam penelitiannya mereka tidak mampu melepaskan diri dari prasangka buruk terhadap Islam.

Dua ahli keislaman dari Barat lainnya, A.L. Tibawi dan Anoar Abdel-Malek, yang berpandangan serupa dengan Said menuduh kelompok orientalis telah bertindak sebagai partisipan dalam praktik kolonialisme di Dunia Islam. Mereka menganggap penelitian kaum orientalis seringkali berawal dari kegiatan pesanan kaum kolonialis, baik pada masa imperialisme pra-moderen maupun moderen. Hubungan antara imperialisme dengan orientalisme memang bisa diketahui secara tidak langsung dari pernyataan beberapa orientalis sendiri. Mereka menegaskan bahwa pengetahuan mereka tentang seluk beluk Islam dan masyarakatnya telah melandasi terbentuknya konstruksi kolonialisme Barat atas bangsa-bangsa Muslim.

Di antara para orientalis dimaksud adalah Raphael Patai dan Andre Servier. Kedua orientalis tersebut, menurut Hisham Sharabi, memandang bahwa penaklukan Barat ke Dunia Islam bisa berhasil dengan baik, berkat dukungan akademik kaum orientalis. Kaum kolonialis Barat dapat memiliki pengetahuan yang sangat mendalam tentang seluk beluk komunitas Muslim, mulai dari sejarah, agama sampai psikologi, dari hasil penelitian para orientalis. Dalam hal ini Sharabi mengutarakan pernyataan dua orientalis tersebut dengan mengatakan: “The Other [Muslims] conquered and subdued by force, must simultaneously be conquered by knowledge. For only by grasping the history, religion, psychology, etc., of the native, can the conqueror truly overcome and control”.

Menghubungkan orientalisme dengan imperialisme juga timbul karena jajaran orientalis bukan saja berasal dari kalangan akademisi murni, tetapi juga dari kalangan akademisi-birokrat (government experts).

Kelompok yang disebutkan terakhir tadi adalah para ahli pemerintahan yang menyertai ekspedisi militer Napoleon di Mesir tahun 1798 untuk melakukan kajian ketimuran. Kegiatan penelitian tersebut hasilnya dipergunakan oleh para kolonialis Perancis untuk melestarikan kepentingan mereka di Mesir.

Namun misi politik kaum orientalis seperti itu mengalami pasang surut, seiring dengan munculnya dinamika politik baru di negara-negara Barat. Karena itu, tidak mengherankan jika beberapa orientalis justru terlibat dalam proses penutupan tirai kolonialisme Barat di beberapa negeri Muslim. Seperti diketahui bahwa beberapa pelopor gerakan nasionalisme di negara-negara Islam memperoleh inspirasi untuk membentuk faham kebangsaan dari konsep nasionalisme yang ditawarkan oleh para orientalis.

Dari sikap anti-kolonialisme itulah kemudian muncul kelompok orientalis yang berpandangan revisionist, karena mereka berusaha menempatkan kajian keislaman berada di luar jangkauan institusi politik. Kelompok revisionist ini dikembangkan, di antaranya, oleh Louis Massignon, yang semula bertugas menjadi penasehat pemerintah kolonial Perancis di Afrika Utara, namun kemudian berubah menjadi tokoh dekolonialisasi Perancis di daerah itu.

Dari kalangan revisionist ini dikenal nama-nama seperti Maxim Rodinson, Jacques Berque, Yves Lacoste dan Roger Analdez.

Pandangan kelompok revisionist seringkali bisa bersinergi dengan pemikiran kaum intelijensia Arab sendiri. Dalam persoalan ini, Berque barangkali adalah contoh terbaik untuk mewakili kelompok revisionist. Salah satu faktor yang membuatnya mampu membangun kebersamaan dialektika dengan para intelijensia Arab adalah metodanya yang mengandalkan pengamatan langsung terhadap totalitas kehidupan masyarakat Arab, hingga dia mampu memasuki bagian nuansa budaya yang biasanya kedap terhadap penetrasi pengamatan peneliti asing.

Di luar Perancis, muncul kelompok orientalis yang bisa dikatagorikan berpandangan revisionist, seperti Marshal G. Hodgson dan Wilfred Cantwell Smith. Muhammad al-Bahi, seorang ‘ulama’ Al-Azhar, mengakui adanya pendekatan baru yang dikembangkan oleh Smith dalam pengkajian Islam dan karenanya Smith bisa diklasifikasikan menjadi seorang revisionist. Smith yang memprakarsai berdirinya The Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal Kanada, menawarkan sebuah metoda pengkajian agama bahwa “pernyataan orang lain [non-Muslim] tentang suatu agama [Islam] baru bisa dinyatakan benar, bila pernyataan tersebut bisa diterima oleh penganut agama [Islam] tersebut” (a statement about religion by an outsider would be correct, if the followers say yes).

Metoda pengkajian agama seperti itu juga dijalankan oleh Waardenburgh yang menganggap bahwa “…orang luar tidak akan mampu memahami ajaran agama lain secara memadahi, apalagi sampai pada pemahaman yang sempurna” (an outsider cannot adequetly, let alone fully, understand the meaning of other religion).
Pendekatan inilah yang kemudian dikenal dengan pengkajian agama dari dalam (from within).

Munculnya kelompok revisionist pasca era imperialisme tentu tidak berarti hilangnya pola konvensional dalam pengkajian Islam. Seperti diketahui bahwa secara de jure era imperialisme memang sudah berakhir. Namun secara de facto, telah muncul imperialisme baru yang bersembunyi di balik baju hegemoni politik, ekonomi, budaya dan pemikiran, di mana peran kaum orientalis sebagai perumus landasan teori dan strategi penyebarannya masih tetap berlanjut.

Selanjutnya Said dan Tibawi mengkaitkan orientalisme dengan zionisme. Namun terlepas dari keterkaitan keduanya yang memang sangat niscaya untuk terjadi, perlu diketahui bahwa Said dan Tibawi adalah warga negara Amerika keturunan Palestina.

Mengkaitkan orientalisme dengan zionisme tentu tidak bisa dilepaskan dari sentimen nasionalismenya Said dan Tibawi. Sentimen nasionalisme tersebut secara formal mengalami penguatan pada diri Said, yang menjadi anggota Dewan Nasional Palestina. walaupun akhirnya Said mengundurkan diri.

Dengan demikian maka apa yang disampaikan Said tentang keterkaitan tersebut merupakan opini seorang Palestina yang negerinya direnggut oleh kaum zionis dan eksistensinya praktis menjadi nihil akibat dari kehidupan diaspora yang dialaminya.Hubungan antara orientalisme dengan zionisme memang tidak bisa dipungkiri keberadaannya, meskipun hubungan seperti itu perlu dilokalisir dalam konteks tertentu. Keterkaitan tersebut berlaku, misalnya, bagi kalangan orientalis yang bertindak menjadi penasehat politik negara zionis Israel.

Perlu diketahui bahwa di antara mereka ada yang masuk dalam institusi spionase Israel dengan memanfaatkan keahliannya dalam kajian Arab-Islam sebagai instrumen operasi intelijen mereka.

Sikap kritis Said terhadap orientalisme seperti dalam uraian ringkas di atas merupakan perilaku yang sudah timbul sebelumnya. Sarjana Barat lainnya, Maxim Rodinson, termasuk di antara mereka yang sebelumnya telah mengidentifikasi sikap Eurocentrisme yang mendominasi mental akademik kaum orientalis. Sebagai satu contoh dari pandangan Eurocentrisme adalah bahwa modernisasi, yang, menurut pandangan ini, tidak lain adalah westernisasi, mengharuskan Dunia Islam untuk membuat dirinya menjadi Barat. Menjadikan Barat sebagai referensi absolut dalam proses modernisasi merupakan sikap inward looking yang berlebihan, hingga penggalian potensi di luar Eropa untuk menumbuhkan komponen peradaban alternatif menjadi tidak relefan. Dengan kata lain bahwa Eurocentrisme sangat bertentangan dengan konsep cyclic theory of human civilization [teori siklus peradaban manusia], di mana peradaban manusia tidak pernah berporos secara terus menerus pada kelompok bangsa tertentu.

Keterkaitan pemikiran para pendahulunya juga tampak, ketika terdapat persamaan antara pendapat Said dengan Marshal G. Hudgson yang pernah mengkritik metoda filologi yang secara luas dipergunakan oleh kalangan orientalis dalam aktifitas penelitian mereka tentang Islam.

Metoda filologi, yang dipandang menjadi salah satu sebab terjadinya bias dalam mendiskripsikan profil historis kaum Muslim, memang tidak mampu memberikan gambaran yang akurat terhadap realitas, karena memiliki kekurangan bawaan (built-in defects). Di samping teks yang menjadi sumber kajian filologi terlalu sempit untuk mengakomodir keluasan realitas, berbagai kendala lain juga mendampingi penulis teks tersebut. Kendala dimaksud, di antaranya, adalah problem kebebasan untuk mengutarakan secara tertulis kesaksian penulis atas realitas yang terjadi, keterbatasan metodologi yang tersedia waktu itu serta kemampuan menggunakannya, kejujurannya dalam menyeleksi materi yang relefan dan kompetensi serta kepakarannya dalam bidang kajian yang dibahasnya.
Said juga tidak berbeda dengan Albert Hourani yang berpendapat bahwa para orientalis telah menggunakan teropong miopik dalam melihat Islam, hingga image yang ditangkapnya menjadi sangat kabur. Sebagaimana Said, Hourani menganggap, image jelek tentang Islam yang menguasai kesadaran kolektif masyarakat Barat dewasa ini terbentuk, di antaranya, dari publikasi karya bias kaum orientalis tentang Islam. Kesamaan pandangan antara Said dengan para sarjana Barat lainnya tadi diakui sendiri oleh Said, meskipun dia tidak menyebutkan nama Hodgson.

Di samping nama-nama tersebut, Hamid Alghar, yang dalam polemik orientalisme berada di kubunya Said, megajukan pemikiran yang agak berbeda dengan Said. Menurutnya, perlu dilakukan pengujian ilmiah yang serius terhadap kemampuan akademik para orientalis, terutama mereka yang memiliki berbagai bidang keahlian. Berbagai bidang keahlian seorang orientalis seringkali tidak saling bersinggungan satu dengan lainnya, hingga mustahil baginya untuk bisa menguasai secara mendalam bermacam keahlian tersebut. Selanjutnya Alghar menambahkan bahwa setiap spesialisasi dalam kajian Islam menuntut kapasitas pengetahuan yang sangat mendalam dan karenanya seorang orientalis, betapapun jeniusnya, tidak akan pernah mampu menguasai secara mendalam spesialisasi-spesialisasi tadi. Namun dalam kritikannya, Alghar tidak memberikan bukti yang konkrit tentang rendahnya kredebilitas akademik kelompok orientalis katagori ini, kecuali sebatas menyebutkan beberapa nama orientalis yang diragukan kredebilitasnya, hanya karena mereka membidangi beberapa spesialisasi yang antara satu dengan lainnya tidak saling bersinggungan. Alghar, misalnya, menyebut nama AJ Arberry sebagai contoh, karena, menurutnya, sorang Arberry yang membentang dari sastra Parsi, sufisme sampai tafsir al-Qur’an tidak mungkin menguasai dengan mendalam semua bidang keahlian tadi. Perlu diketahui bahwa sebagai seorang penulis-peneliti prolifik, Arberry telah mampu membuktikan bermacam keahliannya, melalui empat puluh tiga bukunya. Sejauh ini tidak terdapat bukti tentang kedangkalan penguasaan Arberry pada beberapa spesialisasi ilmu keislaman yang ditekuninya. Dalam realitanya, karya Arberry justru banyak dijadikan rujukan, baik dalam kegiatan pengkajian maupun penelitian keislaman. Di samping itu, budaya menulis resensi terhadap hasil penelitian yang sudah menjadi etika akademik di Barat merupakan instrumen untuk menguji layak atau tidaknya hasil penelitian seseorang seperti Arberry. Resensi yang dilakukan oleh para ahli di bidangnya masing-masing dan diipublikasikan melalui jurnal-jurnal terkemuka merupakan sarana untuk memberikan pertanggung jawaban publik-akademik. Di samping resensi, hasil penelitian seperti yang dilakukan Arberry juga sangat mungkin sudah diseminarkan dengan melibatkan para pakar. Perlu dicatat bahwa di Amerika Utara sudah dibentuk Middle East Studies Association [MESA] untuk menyeminarkan bermacam hasil penelitian para pakar di bidang kajian Timur Tengah. Dalam setiap pertemuan tahunannya, MESA selalu melibatkan ratusan pakar yang diundang baik sebagai penyaji hasil penelitiannya sendiri maupun menjadi penyanggah atau pembahas hasil penelitan orang lain. Pengujian ilmiah terhadap hasil penelitian seorang pakar tidak hanya melalui mekanisme resensi dan seminar, tetapi juga melalui penilaian beberapa pakar yang ditunjuk menjadi juri [penilai]. Dalam memberikan penilaiannya, para juri ini melakukannya dengan cara membaca naskah penelitian tersebut, sebelum sebuah penelitian dipublikasikan baik dalam bentuk artikel maupun buku, penelitian dimaksud harus terlebih dulu dinilai melalui mekanisme juri.

Meragukan keahlian seorang akademisi bisa berubah menjadi sebuah tuduhan, jika tidak didukung oleh bukti-bukti yang autentik. Namun perlu dipahami bahwa tuduhan terhadap Arberry oleh Alghar tadi memang tidak mudah secara argumentatif dibuktikan, mengingat pembahasannya disampaikan melalui sebuah artikel pendek. Sebagai seorang guru besar kajian Islam di Amerika Serikat, Alghar memang memiliki kompetensi untuk mendudukan persoalan orientalisme, meskipun masih dalam bentuk upaya awal. Di samping mempertanyakan keahlian para orientalis, Alghar juga menilai bahwa kalangan orientalis telah melakukan kekeliruan, ketika mereka meminjam istilah istilah yang pembentukannya berangkat dari lingkup tradisi Kristen untuk mendiskripsikan bermacam aliran pemikiran dan institusi Islam. Alghar menganggap mereka tidak mempertimbangkan kenyataan bahwa kedua agama ini memiliki properti yang berbeda, baik dari sudut intrinsik ajarannya maupun budaya dan tradisinya yang terbentuk secara berbeda, akibat dari pengamalan pemeluknya atas ajaran kedua agama yang pada prinsipnya sudah berbeda tadi.



Penutup

Kritik terhadap orientalisme yang justru dilakukan sendiri oleh sarjana Barat menunjukan berjalannya prinsip kebebasan berfikir (freedom of thounght) yang melandasi aktifitas penelitian para akademisi di Barat. Dengan kebebasan akademik seperti itu, maka para sarjana tadi dapat mendekonstruksi pemikiran negatif para orientalis tentang Islam, meski pemikiran dimaksud sudah mengkristal menjadi sebuah arus pemikiran (main stream) yang baku.

Namun perlu diketahui bahwa kritik semacam itu tetap sangat niscaya untuk menyelipkan komponen subjektifitas, mengingat bidang kajian keagamaan (Islam) selalu sarat dengan muatan interpretasi serta preferensi. Bahwa para pengritik orientalisme, di antaranya, adalah Said, Tibawi, Abdel-Malik dan Hourani bukanlah sebuah kebetulan.

Dalam memberikan interpretasinya tentang Islam, keempat pakar keislaman yang berlatar etnis dan budaya Arab tersebut pantas memiliki preferensi yang berseberangan dengan trend pemikiran tentang Islam yang berkembang di kalangan orientalis. Mereka memang sudah menyerap paradigma yang melandasi epistimologi keilmuan para akademisi di Barat. Namun kultur Arab yang membentuk kesadaran intelektual mereka tetap berimplikasi pada tumbuhnya sebuah pemikiran partikular tentang Islam dan masyarakatnya.

Satu hal yang patut disimak adalah bahwa kritik mereka belum sepenuhnya menyentuh produk pemikiran kaum orientalis secara rinci, hingga pembahasan tentang orientalisme masih berada dalam format generalisasi. Generalisasi seperti itu, di antaranya, menyebabkan pereduksian terhadap peran riil para orientalis dalam pengeditan manuskrip Islam klasik, hingga tanpa peran mereka tersebut, niscaya penemuan warisan intelektual Arab-Islam (ihya’ al-turath al-‘Arabi al-Islami) tidak akan membentuk sebuah kekayaan literatur, seperti yang dikenal sekarang ini.

Pengembangan institusi kajian Islam di Barat pada beberapa dekade terakhir ini sudah mengalami perubahan orientasi, untuk menyesuaikan diri dengan kedudukannya sebagai media untuk menjalin kesefahaman antar peserta programnya melintasi sekat budaya, tradisi dan agama.

Meskipun demikian, kecurigaan terhadap kegiatan kajian Islam di Barat yang dilakukan oleh para mahasiswa Muslim masih tetap ada sebagai ungkapan kehati-hatian terhadap kemungkinan terjadinya erosi keyakinan. Namun hal seperti itu tidak menghalangi hadirnya peserta program dari negara-negara Muslim. Hal yang tampaknya kontradiktif tersebut ternyata bisa berjalan beriringan sebagai bukti bahwa hidup memang penuh dengan kontradiksi antara idealisme dengan pragmatisme.spesialisasinya.
 
Orientalis dan Islam II

Orientalisme adalah suatu gerakan yang timbul di zaman modern, pada bentuk lahirnya bersifat ilmiyah, yang meneliti dan memperdalam masalah ketimuran. Tetapi di balik penelitian masalah ketimuran itu mereka berusaha memalingkan masyarakat Timur dari Kebudayaan Timurnya, berpindah mengikuti keinginan aliran Kebudayaan Barat yang sesat dan menyesatkan.

Orientalis, adalah kumpulan Sarjana-sarjana Barat, Yahudi, Kristen, Atheis dan lain-lain, yang mendalami bahasa-bahasa Timur (bahasa Arab, Persi, Ibrani, Suryani dan lain-lain), temtama mempelajari bahasa Arab secara mendalam. Studi ini mereka gunakan untuk memasukkan ide-ide dan faham-faham yang bathil ke dalam ajaran Islam, agar aqidah, ajaran dan da’wah Islam merosot, berkurang pengaruhnya terhadap masyarakat, tak berbekas dalam kehidupan, tidak mampu mengangkat derajat kemanusiaan, tidak berperan lagi untuk melepaskan manusia dari perhambaan pada makhluk, dan tujuan Islam tak kunjung tercapai dalam mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan (Zhulumaat: kufur, syirik, fasik, lemah, bodoh, tertindas, miskin, dijajah, dianiaya, dan dalam keadaan terbelakang dalam segala bidang) menuju An Nur (kebalikan dari Zhulumaat, yaitu bertauhid, iman, kuat, pintar, cerdas, adil, aman, makmur, maju dan lain sebagainya).
Seperti kita ketahui, bahwa segala tipu daya dan kebatilan yang mereka resapkan sedikit demi sedikit telah masuk ke dalam kebudayaan Islam dan berakibat mengurangi peranan Islam dalam penyiaran ilmu pengetahuan yang telah membawa Eropa dari zaman pertengahan (masa kebodohan dan kegelapan) ke masa kejayaan masa modern (yang sekarang telah menjadi kebanggaan para Sarjana Barat).
Pihak Orientalisme berusaha keras menyerang Islam, dan menggerogoti da’wahnya, sebab mereka tidak mampu melepaskan diri dari pengaruh nafsu hendak memusuhi Islam yang mereka warisi. Usaha mereka itu tidak saja secara sembunyi-sembunyi dan menaburkan benih-benih keragu-raguan terhadap sumber Islam, memasukkan kebatilan-kebatilan ke dalam ajaran syari’at, menggiring ummat Islam ke dalam aliran fikiran yang sesat, dan menyerang bahasa Arab (bahasa al Qur’an), tapi juga terang-terangan membantu propaganda gerakan yang berselubung di bawah nama Islam yang menyesatkan.
Juga para Orientalis memonopoli semua mass media, yang digunakan untuk membinasakan dan menjauhkan ummat Islam dari agamanya, bahkan merusakkan putera-puteri Muslim yang belajar di sekolah-sekolah dan di negeri mereka.
Di bawah ini akan kita uraikan bahaya Orientalisme ini, tujuannya dalam memerangi Islam dan menggerogoti da’wah, alat yang dipergunakannya dalam usaha mereka baik yang nyata maupun yang tersembunyi, usaha dan langkah yang perlu kita lakukan untuk melegaskan bahaya, serta tangkisan kita terhadap tipu daya musuh-musuh Islam dan lain-lainnya.


Timbulnya Orientalisme.

Salahlah orang yang berpendapat bahwa Orientalisme gerakan ilmiyah yang tujuannya hanya memperdalam masalah ketimuran saja (kepercayaan, adat dan peradabannya). Sebenamya Orientalisme hakekat dan kenyataannya adalah alat Penjajah; tujuan Orientalisme ini ialah: “memakai dan mempergunakan penelitian masalah ketimuran sebagai langkah untuk menyerang/memerangi Islam, menimbulkan rasa keragu-raguan terhadap sumber-sumber Islam agar ummat Islam berpaling dari agamanya, agar ummat Islam jangan sampai pada kemuliaan dan kekuatannya, tetapi hanya selalu mengekor kepada Barat, dan selalu taqlid masa bodoh dan apatis, melihat segala macam jenis kejahatan dan kemerosotan di negeri mereka.

Orientalisme ini hakekatnya adalah lanjutan dari perang Salib, melawan Islam, sebab sebenarnya perang Salib ini belum berhenti, tetapi hanya mengambil bentuk dan warna yang berbeda, di antaranya Orientalis.
Orientalis muncul dengan kedok sebagai para ahli untuk mengadakan riset dan survey tentang sesuatu bidang ilmu pengetahuan dengan maksud tertentu untuk memasukkan berbaga macam fitnah, menebarkan isue-isue; melampiaskan segala isi hatinya dan kedengkiannya terhadap Islam, dan menulisi Islam dengan pena yang beracun.

Para Orientalis terang-terangan menolak sistim ilmu Islam yang asli. Ini berakibat menyimpangnya ummat dari hakekat kebenaran, dan meninggalkan hukum Islam. Orientalis tidak mungkin membiarkan Islam terlaksana di tengah-tengah masyarakat. Para Orientalis adalah antek-antek penjajah Barat terhadap Negeri-negeri Timur dan Negeri Islam, karena gerakan Orientalis ini adalah lanjutan dari Perang Salib dalam bentuk yang lain. Gerakan Orientalis berkembang pesat dan sudah sampai berlanjut selama dua abad, perubahan yang bergerak sebagai salah satu bentuk penjajahan.

Asal kata “Orientalisme” bahasa Arabnya al istisyraaq, mashdar fiil: Istasyraqa. Artinya, “mengarah ke Timur dan memakai pakaian masyarakatnya”. Para Orientalis (al Mustasyriqun) mendalami bahasa-bahasa Timur sebagai langkah untuk mengarah ke sana. Masing-masingnya mempelajari satu bahasa atau bermacam-macam bahasa Timur, seperti bahasa Arab, bahasa Parsi, bahasa Ibrani, bahasa Urdu, Suryani, Indonesia, Melayu, Cina dan lain-lain. Sesudah itu mereka mempelajari bermacam-macam ilmu pengetahuan, kesenian, adab/sastra, kepercayaan masyarakat yang mempunyai bahasa tersebut di atas dan lain-lainnya. Bahasa Arablah yang menjadi sasaran utama dari tujuan para Orientalis ini.

Memang para Orientalis sudah banyak yang mempelajari bahasa Arab, dan menjadi spesialis dalam ilmu bahasa, seperti ahli Nahwu, ahli Sharaf, ahli Sastra (Adab) dan ahli Balaghah. Kemudian mereka mulai menjurus pada ilmu-ilmu Islamiyah, seperti: Aqidah, Syari’ah dan lain-lain, dan seterusnya menambah Aqidah dan Syari’ah yang murni itu dengan kebatilan-kebatilan untuk mengaburkan hakekat Islam dan memalingkan ummat dari agamanya yang menunjukinya ke jalan kemajuan dan kemuliaan. Tujuan tersebut telah terlaksana dan mempengaruhi kebudayaan negeri-negeri Islam.

Bukti yang paling jelas mengenai hubungan Orientalisme dengan penjajahan yaitu bahwa pasaran Orientalisme sangat pesat di Eropa, Amerika dan negara-negara yang ada kepentingannya dengan negara Timur umumnya dan negara-negara Islam pada khususnya. Kesempatan yang lebih luas lagi bagi Orientalisme di negara-negara jajahan digunakan untuk mengendalikan peperangan di negara-negara Timur dalam segala bentuknya, yang dikenal di zaman modern, baik perang bersenjata (militer) maupun perang ekonomi, politik atau kebudayaan atau perang fikiran. Bahkan hampir tidak terdapat Kedutaan-kedutaan Negara-negara Penjajah di negeri-negeri Timur dan negara-negara Islam yang tidak ada di dalamnya. “Orientalis” yang menduduki posisi/jabatan-jabatan strategis pada kedutaan itu, baik diplomat atau pegawai biasa.
Sesungguhnya ikatan Orientalisme dengan penjajah dan antek-anteknya menjadikan Orientalisme selalu meningkatkan usahanya dalam menyesatkan Islam dan menggerogoti da’wah Islamiyah. Mereka menggunakan semua alat, dalam penyesatan tersebut, sebab agama yang maha suci inilah satu-satunya penghalang yang tangguh dalam menghadapi penjajahan dan perhambaan kepada selain Allah.

Para Orientalis mengetahui betul dalam penelitiannya terhadap Islam bahwa aqidah Islam menanamkan dasar-dasar yang kokoh sesuai dengan fitrah kemanusiaan, umum dan logis, sesuai dengan akal yang lempang, serta textnya (nash-nash) yang tegas, di mana tidak memungkinkan bagi akal (otak) para ahli fikir dan failasuf untuk membatalkan pokok yang satu ini dari sumbernya, apabila mereka sudah terbiasa dengan manhaj ilmu yang benar. Justru karena itu sejak dahulu, sejak timbulnya, Orientalisme selalu menanamkan bibit-bibit penyelewengan terhadap Da’wah Islam dengan memasukkan kebatilan-kebatilan, dengan kedok penelitian dan pembahasan ilmiyah yang berselubung.

Dengan demikian nyatalah bahwa Orientalisme merupakah pelindung musuh-musuh Islam, Penjajah, Atheis, Zionis dan lain-lain. Di balik nama Orientalisme ini bernaung apa yang dikatakan penganut faham Komunis yang berbahaya dan merusak itu, dan para penyokong aliran-aliran atheisme di zaman modern. Mereka menghimpun segala kemarahan dan kebencian terhadap Islam; lantaran Islam itu berasaskan Tauhid dan merupakan Risalah Ilahiyah yang bertitik tolak dan memusatkan segala-galanya kepada Allah. Semua Rasul Allah selalu memulai da’wahnya terhadap kaum/ummatnya dengan perkataan: “Sembahlah olehmu Tuhan-mu; tak ada Tuhan selain Dia”.

Agama adalah fitrah yang diberikan Allah kepada manusia, yang hakekat fitrah manusia pun sesuai dengan agama itu, dan Tauhid yang sangat sesuai dengan jiwa manusia; hanya Iblis dan Syaithanlah yang memalingkan dan mempengaruhi manusia kepada penyembahan thaghut, patung, batu, syaithan, api, kuasa manusia, dan lain-lain.

Aqidah Islam adalah aqidah yang jelas dan tegas, jauh dari keraguan dan sangkaan serta khayalan (imaginasi). Dengan aqidah yang betul, manusia mampu mengendalikan hawa nafsunya; dan aqidah inilah yang diperkokoh oleh akal supaya tetap baik dan sampai pada hakekat yang sebenamya.
Dengan begitu jelaslah bahwa Orientalisme adalah alat yang dipakai oleh musuh-musuh Islam yang ingin merusak dan menggerogoti da’wah dan ajaran Islam yang sangat sesuai dengan fitrah manusia tersebut.
Para Orientalis berusaha keras memerangi Islam dengan segala cara, gaya dan dayanya dan dengan berbagai bentuk; karena tujuan mereka terang-terangan anti dan ingin menghancurkan Islam itu sendiri. Syukur, Allah selalu melindungi ummat Islam dan menenangkan ummat Islam, betapapun benci dan lihainya orang kafir.


Usaha Orientalisme Dalam Memerangi Islam Dengan Bersenjatakan Ilmu.

Para Da’i dan Ummat Islam yang antusias terhadap Da’wah Islamiyah patut sekali mengetahui dan mendalami usaha-usaha yang dilakukan oleh para Orientalis dalam memerangi Islam sebab mereka itu hakekatnya adalah musuh Islam yang paling keras.
Mereka (Orientalis) menjadikan ilmu sebagai alat untuk menggerogoti da’wah Islam dan bersembunyi di balik topeng-topeng pembahasan dan penelitian ilmiyah. Sebenarnya mereka itu memasukkan bibit-bibit (benih-benih) kebatilan terutama sekali ke dalam Syari’ah Islamiyah, masalah-masalah Fiqih, muamallah dan lain-lain, di mana dengan sengaja mereka membikin hal-hal yang menyesatkan terhadap Angkatan Muda Islam, yang belajar kepada mereka, memantapkan serta memberikan hal-hal yang membuat orang bungkem dan merasa cukup terhadap fikiran-fikiran yang merusak dan berbahaya, dan menarik secara halus agar para mahasiswa yang Belajar dengan Orientalis dan yang belajar di negara-negara tersebut (Barat) bergabung dengan mereka (Orientalis) dalam merusak dan mencari-cari kejelekan Islam, tanpa mereka sadari. Bahkan ada Universitas Orientalis yang mensyaratkan adanya kemampuan mahasiswanya untuk menjelaskan kejelekan Islam bila mereka hendak mendapat degree kesarjanaan.

Adapun tulisan-tulisan para Orientalis yang berkenaan dengan Risalah Islamiyah, Rasul-rasul lain-lain, tegas-tegas membongkar rahasia kebenciannya yang terpendam terhadap Islam.
Salah satu contoh dapat kita kemukakan di sini, yaitu “apa” yang ditulis oleh salah seorang Orientalis yang bernama Gold Tziher (Buku-buku karangan Gold Tziher ini di zaman Belanda dijadikan standard pengetahuan agama di Fakultas-fakultas Hukum). Untuk mengetahui maksud jahat mereka dan peranannya dalam menindas Islam dan menggerogoti da’wah Islamiyah dengan menggunakan ILMU sebagai alat dalam mencapai tujuannya.

Orientalis tersebut mengatakan dalam buku yang dikarang oleh Gold Tziher, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Dr. M. Yusuf Musa dkk, berjudul AL AQIDAH WAS SYARI’AH FIL ISLAM, halaman 15, berbunyi:
… Maka pemberitaan-pemberitaan kegembiraan oleh Nabi Arab itu bukanlah suatu yang baru, melainkan hanya merupakan kutipan-kutipan yang diambilnya dari pengetahuan-pengetahuan dan pokok-pokok fikiran agama-agama yang diketahuinya atau diperolehnya akibat hubungannya dengan tokoh-tokoh Yahudi atau Kristen dan lain-lain. Hal itulah yang berbekas dan berpengaruh pada Muhammad secara mendalam, yang menurut dia (Muhammad) pantas sekali untuk membangunkan jiwa dan perasaan keagamaan yang sejati di kalangan anggota-anggota kaumnya”.

Ini adalah perkataan yang berbisa, yang diulang-ulang oleh para Orientalist yang terang-terang benci/sentimen, seperti: da’wah yang pernah dilancarkan oleh kaum Musyrikin sejak 14 abad yang lalu, yang langsung dibalas oleh Allah SWT, sehingga Allah membongkar rahasia, akal dan perbuatan jahat mereka, dalam surat Al Fufqan ayat 4-6:

Orang-orang Kafir itu berkata, "Ini tidak lain dari kata-kata dongeng yang diadakan oleh Muhammad dan ditolong oleh kaum lain; dengan perkataannya itu mereka sudah mengerjakan keaniayaan dan dosa besar". Orang Kafir itu berkata lagi, “Adalah dongeng orang-orang dahulu kala yang dikutipnya; dan itulah yang didiktekan kepadanya pagi dan sore (terus-menerus). Katakanlah (hai Muhammad), Ajaran ini diturunkan oleh Yang Maha Tahu rahasia langit dan bumi, dan Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al Furqan 4-6).​


Kemudian Allah membantah dan mematahkan alasan-alasan musyrik tersebut dengan firman-Nya:

Jika kamu ragu pada apa yang Kami turunkan pada hamba-Ku, maka datangkanlah satu surat yang serupa Qur’an itu, panggil saksi-saksimu yang selain Allah, jika kamu benar, andaikata kamu tidak sanggup membuatnya, dan pasti kamu tak akan sanggup berbuat itu, maka takutlah kamu pada api neraka yang sebagai kayu bakarnya ialah manusia dan batu yang disediakan untuk orang-orang kafir”. (al Baqarah 23).​


Gold Tziher dan konco-konconya di kalangan Orientalis adalah musuh Islam, melakukan pemurtadan seperti yang dilakukan oleh orang-orang musyrik Quraisy dahulu kala yang bersikap menentang dan angkuh. Sedangkan orang musryik Quraisy masih adil (sopan) dalam pembangkangannya, dan akhirnya mereka itu masuk ke dalam agama Islam dan ikut berjihad pada jalan Allah, dan pahlawan-pahlawan perang menghadapi musuh-musuh Islam.

Adapun Orientalis selalu saja menyerang Islam, menggerogoti da’wah dengan membikin keragu-raguan di dalam pemaham-an Al Qur’an. Menimbulkan waham (pendangkalan faham) dengan memutarbalikkan fakta, dengan membuat hadis-hadis palsu atau mengatakan sendiri bahwa Rasul sendiri pernah melampaui ketentuan wahyu karena menasakhkan (membatalkan) wahyu yang pernah turun dengan perintah Allah. Bbegitulah dakwaan Orientalis tersebut, sebagaimana bisa dilihat pada buku berjudul Aqidah was Syari’ah fil Islam karangan Gold Thiher halaman 41.

Jelaslah kebencian Orientalis ini, bahkan kebencian itu sudah mempengaruhi otaknya, karena akalnya yang sehat sudah dipengaruhi oleh hatinya yang benci, di mana dia mengakui bahwa Muhammad itu Rasulullah, yang merubah Risalah Tuhan-nya atas perintah Tuhan karena situasi yang memaksa. Apakah ini masuk di akal?
Siapakah Rasul yang membawa Risalah yang berani mendustakan Allah, dan tetap sebagai Rasul? Tidakkah perkataan Orientalis tersebut suatu kebencian yang merusak akalnya sendiri dan memutar-balikkan fakta?
Tidakkah pernah orang yang benci itu membaca ayat Allah yang menangkis tuduhan bohong orang musyrik, yang mengatakan bahwa Muhammad mengada-adakan kebohong-hohongan? Yaitu surat Al-Haqqah ayat 44-47:

Kalau dia (Muhammad) berkata kepada Kami perkataan-perkataan yang lain, niscaya akan Kami tarik dia dengan kekuatan dan kemudian akan Kami putuskan hubungan yang kuat itu dengannya, maka tidak akan ada seorang pun yang mampu menghalanginya (membelanya)”.​


Permusuhan Orientalis terhadap Islam sudah nyata sekali, baik melalui perkataan (lisan), tulisan-tulisan yang beracun, maupun yang tersembunyi di dalam hatinya. Ummat Islam harus bersikap hati-hati dan berusaha membongkar kepalsuan, tipudaya kaum Orientalis yang berselubung di balik semboyan “kebijaksanaan atau logika” dan ummat Islam wajib kerja keras melaksanakan Risalah Islamiyah sampai meresap ke dalam akal fikiran dan perasaan dan dapat diwujudkan dalam kenyataan hidup.

Kita membaca tulisan-tulisan Orientalis mengenai Islam, kalau topiknya betul, dia masukkan kata-kata tuduhan di sana-sini, maka berbuatlah dia ibarat pembunuh yang menyerang orang yang lengah.
Betapa banyak para ilmuwan Islam yang tertipu oleh Orientalis ini, dan mentah-mentah mengambil keterangan, sebagai hukum positif tanpa kritik, bahkan ikut serta bergabung dengan Orientalis tersebut dalam memerangi Islam, penggerogotan Da’wah, penyesatan, dan menganggap itulah teori atau program yang terbaik. Na’uzubillah min zalik.

Para Orientalis pada umumnya mempelajari Islam, dengan niat untuk menghimpun tuduhan terhadap Islam dengan kedok, selubung ilmiyah, penelitian dan survey tentang hakekat Islam, akan tetapi kefanatikannya mengalahkannya dari mengatakan kalimat haq. Maka untuk menghindari dirinya dari Taa’sub (fanatik), kita harus berusaha menjadikan mereka Sarjana yang murni, yang bersih dan tak palsu dan tidak zalim.

Kaum Orientalis dan pengikut-pengikutnya memang berusaha menghimpun sifat-sifat positif dan negatif, tapi dalam penghimpunan itu mereka tak mungkin lupa menyisipkan komentar-komentar yang menyesatkan. Dari itu kita harus membaca karangan-karangan Orientalis dan lantas kita koreksi dengan berhati-hati sebab mereka tak mungkin bersih dari pengaruh sentimen nafsu pertentangan yang telah mereka warisi sejak zaman Perang Salib, dan tak mungkin lepas dari usaha keras mereka memerangi Islam, menggerogoti Da’wah kebenaran (membuktikan yang haq dan melenyapkan kebatilan).

Islam selalu menghadapi musuh-musuh yang senantiasa menunggu kesempatan di segala pihak, dan kaum Muslimin pun selalu menghadapi musuh-musuhnya yaitu Orientalis, pewaris kaum salib yang memaksa ummat Islam agar selalu sadar dan siaga. Para Da’i (juru Da’wah) wajib dilengkapi dengan segala perlengkapan ilmu yang luas, mendalami serta mengetahui apa yang ada pada musuh, supaya mereka dapat membela agama dari tipu daya musuh dan membatalkan perbuatan jahat musuhnya. Allah selalu melindunginya.
Berikut ini dikemukakan pembahasan sekitar usaha dan cara kaum Orientalis dalam memerangi Islam, memerangi ummat Islam dan memalingkan mereka dari agamanya. Tapi Allah tetap menangkis tipu daya mereka dan menjaga agama yang diridhoi-Nya.
 
Kristenisasi

Tak diragukan lagi oleh ummat Islam, bahwa Perang Salib belum berakhir, sejak Eropa keluar dari keterbelakangannya di zaman pertengahan mereka menuju ke timur dan menjadikannya daerah-daerah jajahan. Penjajah bermaksud menguasai negeri dan rakyatnya, kemudian menghancurkan Aqidah yang sudah bersemi di hati ummat Islam.

Melalui Orientalisme, penjajah menanamkan perasaan bahwa Islam berbahaya bagi programnya. Program yang digariskannya dengan tujuan hendak mematikan nilai kemanusiaan di negeri jajahan, supaya lenyap perasaan kemanusiaan di sana, sehingga tidak akan timbul bibit-bibit perlawanan menghadapi penjajah yang sudah memonopoli negeri itu, dan program yang bertujuan mematahkan hal-hal yang peka pada jiwa ummat Islam yaitu faham Wahdaniyah yang tidak mau tunduk pada selain Allah.

Justru karena itulah penjajah menebarkan hal-hal yang menyerang Islam secara rahasia melalui Orientalis, terbukti dengan mobilisasi tentara di bawah pimpinan Orientalis, mendrop para propagandis ke negeri-negeri Islam dan melindunginya dengan tentara-tentara penjajah, mengatur posisinya dan propagandanya di kota-kota dan kampung-kampung, membantu mereka dengan uang, atau mendirikan rumah sakit, rumah jompo dan sekolah-sekolah; sebagai alat jaringan penyesatan. Mereka bersembunyi di balik kedok demi melepaskan masyarakat dari kemiskinan dan kebodohan, dengan kedok yang bernama Al Masih.

Di samping sasarannya yang lain, ialah membasmi bahasa Arab dan mencabutnya dari ummat Islam, bahasa Al Qur’an konstitusi Agama. Dalam mencapai tujuannya, penjajah membujuk orang-orang yang ahli bahasa Barat, lantas diberi jabatan dan posisi penting, untuk mendorong semangat ummat Islam berlomba-lomba mempelajari bahasa penjajah, yang sekaligus orang-orang yang sudah asyik dengan bahasa asing (penjajah) itu terlengah, atau segan-segan mempelajari bahasa Arab, dengan pengertian bahwa mempelajari bahasa Barat (Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Rusia dan lain-lain) tidak mempengaruhi aqidah agamanya. Karena itulah hampir semua negeri-negeri Islam yang berbahasa Arab pun menggunakan bahasa asing, mereka hanya tahu bahasa Arab di waktu Shalat. Seperti umumnya di negeri-negeri Afrika Utara. Syukurlah sepeninggal penjajah, negeri-negeri ini bekerja keras mengembalikan bahasa Arab, sesudah berpengaruhnya Westernisasi di sana.

Para propagandis Kristen di negara-negara Islam sukses sekali, apalagi setelah merosotnya bahasa Arab, sebagai bahasa yang menjadi pendorong keinginan beragama di kalangan ummat. Pemerintahnya melepaskan pegangan ummat dari agama, adab dan akhlaq Islam. Sebenarnya Orientalis dan penjajah lupa pada rahasia kegagalannya untuk membawa orang Islam melepaskan agamanya, yaitu bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan naluri dan fitrah manusia sendiri, betapapun besar biaya dan usaha mereka namun hal demikian tidaklah bisa menjadikan mereka berjaya karena Islam itu agama Fitrah yang sangat seuai dengan kejadian manusia.

Ini pulalah rahasia masuknya Islam ke negara-negara lain dan langsung bersemi di hati dan akal penduduknya. Islam tersebar tanpa penyerbuan tentara dan pengiriman propagandis-propagandis yang banyak, tapi sebenarnya Islam tersebar di seluruh dunia hanya dengan inti ajarannya yang tersebar melalui pedagang yang bukan tujuannya berda’wah, tetapi meluas melalui gerakan menyeluruh. Penyiaran Islam di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika dimasuki Islam tak pernah dilakukan dengan kekuatan senjata ataupun propaganda besar-besaran, tetapi hanya dengan cara menyadarkan dan menghayati fitrah.


Taktik musuh Islam

Cara-cara propagandis (sesudah perang Salib) menguasai negara Islam, dan setelah gagal mencapai maksudnya, maka mereka merubah taktiknya dengan menggerogoti da’wah dengan memasukkan khurafat, bid’ah, tahayul, cerita-cerita dongeng Israiliyah/Kebatilan ke dalam ajajan Islam khususnya, menebarkan faham atheisme di Eropa, Amerika. Dengan terbongkarnya rahasia Kristen bahwa agama ini tak dapat diterima akal dan tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan, yaitu Trinitasnya, Kristen khawatir kalau Islam menjalar ke Eropa dan Amerika, justru karena itulah mereka melakukan offensif, merongrong da’wah dan melemahkan kekuatan agama Islam dari jiwa ummat Islam, dan melemahkan semangat yang mendorong kaum Muslimin dalam menghadapi penjajah, yang akhirnya terbuktilah peranan Orientalisme sebagai alat dari salibiyah dan penjajah. Tapi Allah selalu melindungi Agama-Nya.


Membenamkan ummat Islam ke dalam aliran-atiran fikiran yang menyesatkan

Di antara cara menggerogoti da’wah Islam ialah membenamkan ummat Islam ke dalam aliran-aliran yang menyesatkan; terutama Generasi Mudanya dengan memalingkan mereka dari agama.

a. Materialisme

Zaman modern telah diracuni dengan meniupkan faham kebendaan ke dalam otak dan pribadi masyarakat, dengan faham yang mengingkari nilai kemanusiaan, rasa kasih sayang penyantun terhadap keluarga, kerabat dan masyarakat semuanya. Yang paling berbahaya di dalam aliran materialisme ialah besarnya nafsu manusia, nafsu masuk selalu di bagian-bagian yang lemah, sehingga manusia itu selalu cenderung pada hal-hal yang cepat untuk mendapatkan kecintaan dan kesuksesannya, seperti yang dijelaskan oleh Allah dalam surat al Qiyamah ayat 20-21 dan surat Al Insan ayat 27, yang artinya:

Ingat! bahkan kamu suka yang segera dan kamu tinggalkan akhirat”. (al Qiyamah ayat 20-21).
Sesungguhnya mereka itu mencintai yang segera, dan meninggalkan di belakangnya hari yang berat pertanggungan jawabnya (siksanya)”. (al Insan ayat 27).​

Kecenderungan nafsu ini dimanfaatkan oleh musuh Islam, untuk memojokkan pemuda dan pemudi melakukan penggerogotan da’wah Islam dengan mengutip sebagian kata-kata akhli tasauf yang mengatakan dirinya Islam, di mana kaum tasauf yang ingin memencilkan dirinya dari kesenangan dunia, yang menurut anggapan mereka adalah bukti dari mengikut agama yang sebenarnya. Semua ini adalah propaganda batil. Tapi Orientalis mengambil manfaat dari hal tersebut, untuk merusak Generasi Muda Islam dengan faham materialis, agar mereka bingung dan ragu.

Materialisme, mengingkari agama yang menyeru kepada iman, iman pada metafisika (ghaib) yaitu iman pada Allah, malaikat, akhirat, hisab, surga, neraka dan semua yang terjadi di dalam rasa menjadi pegangan ratio bagi aliran kebendaan di dalam mehghukum sesuatu, untuk menerima atau menolak, artinya aliran kebendaan menyarankan ummat manusia ke dalam hawa nafsu dan mencintai dunia serta meninggalkan agama yang benar.

Karena itu para juru da’wah/ummat Islam harus menangkis propaganda yang menyesatkan ini dan menjelaskan kepada Angkatan Muda khususnya bahwa Islam bukan saja menyeru kepada kebahagiaan di akhirat, dan tidak pernah mengharamkan segala yang baik waktu hidup di dunia, bahkan Islam menghendaki supaya mereka harus kuat dan sehat agar beramal di semua lapangan kehidupan, dan memanfaatkan segala sesuatu yang baik dari hasil usaha mereka itu. (Lihat surat Al-Baqarah ayat 172, Al-Maidah ayat 87, Al-A’raf ayat 32, dan An-Nahl ayat 97).

Artinya: “Wahai orang-orang beriman! Makanlah olehmu rezki-rezki yang baik yang telah kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya mengabdi kepada-Nya semata!” (Al-Baqarah ayat 172).

Artinya: “Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu haramkan segala yang baik yang telah dihalalkan oleh Allah untuk kamu, dan janganlah kamu melewati batas, sesungguhnya Allah tidak suka pada orang-orang yang melewati batas”. (Al-Maidah ayat 87).

Artinya: “Katakanlah! Siapa yang berani haramkan perhiasan yang telah didatangkan Allah untuk hamba-hamba-Nya, dan jangan mengharamkan yang baik-baik dari rezki; katakanlah semua itu adalah untuk orang-orang beriman guna kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat yang murni, begitulah Allah (Kami) menjelaskan ayat-ayat kepada orang-orang yang mengerti”. (Al-A’raf ayat 32).

Artinya: “Siapa-siapa yang beramal saleh, baik laki-laki maupun wanita dan dia beriman, maka akan Kami berikan padanya kehidupan yang layak, dan akan kami cukupkan pahalanya dengan yang lebih baik dan yang sudah ia kerjakan”. (An-Nahl ayat 97).

Yang menegaskan: Agar orang-orang yang beriman menikmati yang halal dan yang baik, dan jangan mencoba-coba mengharamkan yang dihalalkan Allah, dan jangan melanggar batas ketentuan (Syari’at).
Semuanya itu untuk menjamin keselamatan manusia sendiri serta untuk melindunginya dari bahaya kehancuran atau menurun ke derajat alam binatang (yaitu apabila ia sudah melanggar batas-batas tersebut). Kehancuran dan turun ke derajat hewan inilah yang diinginkan dan dituju oleh aliran materialisme.

b. Wujudiyah = Existentialism
Yaitu aliran kebebasan yang melepaskan dirinya dari semua ikatan kemasyarakatan, hukum, peraturan serta adat-istiadat, dan mengakui semua agama, tak punya tempat, tidak mempunyai isteri dan atau tanah air. Sebenarnya aliran ini adalah lanjutan dari aliran fikiran yang ditimbulkan oleh materialisme modern, yaitu memisahkan manusia dari aliran rohaninya dan menjadikannya menurun ke alam hewan semata, yang tak berperikemanusiaan dan tidak berperasaan.

PAUL SARTRE, tokoh aliran Wujudiyah (Existentialism) ini menyatakan: “Yang pantas dilaksanakan dalam kehidupan kebebasan ialah menjadikan orang-orang pengecut menjadi berani, menerima ajakan kebinatangan, melakukan keinginan nafsu, membuang semua tradisi ajaran-ajaran kemasyarakatan dan menghancurkan segala ikatan yang dibuat oleh agama-agama”. (Dari buku karya William James yang diterjemahkan oleh Dr Mahmud Hasbullah dengan judul Iradah al I’tiqad halaman 21).

Aliran Wujudiyah merusak tabiat manusia, akal, hati dan jiwa serta menjerumuskan kepada hewan yang tidak berotak, tidak berhati dan tidak berjiwa (tak berperasaan). Aliran ini sudah tersebar luas di berbagai tempat di Eropa dan Amerika sebagai akibat dari kemerosotan Kristen di negeri-negeri tersebut. Kemudian Yahudi menggunakan kesempatan ini untuk memperluas kegagalan dan kemerosotan masyarakat Eropa dan Amerika, yang kemudian diekspor (diluaskan) ke negeri-negeri Islam, melalui Pemuda-pemuda Islam yang belajar di Barat.

Faham ini ditanamkan pada pemuda-pemuda Islam, itu sebagai pengertian yang bermaksud untuk pendangkalan, yang dianggap sebagai gerakan kebebasan. Demikianlah peranan besar yang dilakukan oleh Orientalisme, untuk menyesatkan Pemuda-pemuda Islam dengan semboyan “Gerakan pembebasan yaitu bebas dari Agama, akal dan perikemanusiaan supaya mereka menjadi hewan yang lebih sesat, tidak khawatir lagi pada bahaya-bahaya kolonialis, dan Orientalis untuk memerangi Islam dan penggerogotan da’wahnya.”
Karena itu kita ummat Islam harus waspada terhadap propaganda yang berbahaya ini, supaya tidak terpengaruh oleh musuh-musuh tersebut.

c. Sekularisme

Di antara cara Orientalis untuk merusak da’wah Islam, ialah dengan penyebaran faham-fahamnya, kepada para ilmuwan Islam, agar mereka memisahkan antara ilmu dengan agama (yang disebut Sekularisme), yaitu propaganda palsu dan sesat yang bertopengkan intelektualisme.

Sebenarnya, Sekularisme adalah apa yang dipropagandakan oleh Orientalisme untuk merusak Da’wah Islam. Mereka membiayai dan memperlengkapi dengan segala fasilitas agar ilmu dapat terpisah dari agama. Gerakan ini mulai bangkit di Eropa setelah terjadinya persaingan antara Ilmuwan dengan pemuka-pemuka Gereja yang berkuasa di zaman Pertengahan dan menguasai otak orang-orang Eropa, yang tidak menerima fikiran atau pendapat di luar yang bersumber pada Gereja / Kristen. Di waktu itu kekuasaan Gereja mempunyai hak pengampunan terhadap orang-orang yang bersalah dan berdosa besar, begitu juga punya hak mengutuk dan mengusir sebagai mewakili Tuhan dan lain sebagainya.

Persengketaan ini berakhir dengan berpisahnya antara ilmu pengetahuan dengan Gereja dan masing-masing punya tokoh utama. Para ahli pengetahuan boleh berkata sesukanya tanpa protes dari pihak Gereja dan sebaliknya pihak Gereja punya hak mengatakan apa yang mereka sukai dalam urusan agamanya.
Ketika terjadi persaingan antara ilmu dan agama Kristen akibat dari perbuatan pihak Gereja yang menjalankan apa-apa yang diprotes oleh aliran ilmu maka Agama (Kristen) harus memisahkan diri dari urusan dunia, dan urusannya diganti/diambilalih oleh aliran ilmu tanpa agama. Berbeda dengan Islam, Islam selamanya tidak memisahkan dan tidak mempertentangkan ilmu dengan agama sebab ilmu adalah alat untuk memperkuat agama, dan agama itu sendiri pun adalah ilmu, dan ilmu adalah pembimbing kepada Agama. Di dalam Al-Qur’an, kata-kata “ilmu” dan yang berhubungan dengan ilmu punya hubungan/peranan penting sekali, yang lebih dari 820 kali disebutkan.

Pengembangan ilmu adalah sebagian dari risalah Islam, dengan ilmu manusia bisa mengenal Tuhannya, mengamalkan Syari’at Islam, dan Islam mewajibkan menuntut ilmu, lihat surat Az-Zumar ayat 9, Al-Mujadalah ayat 11, dan Thaha ayat 114.

Katakanlah (ya Muhammad)! Apakah sama orang berilmu dengan yang tidak berilmu? Hanya yang bisa menganalisa ialah ahli-ahli fikir”. (Az-Zumar ayat 9).

Allah meninggikan derajat orang-orang berilmu dan yang diberi ilmu”. (Al-Mujaadalah ayat 11).

Katakanlah, ya Muhammad: O, Tuhan! Tambahlah aku dengan ilmu”. (Thaha ayat 114).​


Adapun sekularisme yang dilahirkan oleh Orientalis, membawa pada pemisahan ilmu dengan agama, hal ini tidak ada dalam Islam dan tidak pantas ada dalam masyarakat Islam, karena Islam menghimpun ilmu dan pengetahuan. Siapa yang menerima sekularisme berarti tidak akan tahu hakekat Islam dan tidaklah sempurna Islam seseorang tanpa ilmu!

Kita harus membendung pemuda-pemuda terpelajar dari taktik buta sekularisme yang menyesatkan, siapa yang tenggelam dalam aliran pemikiran yang dibawa Orientalis, berarti akan mengkaramkan ummat Islam sendiri, sebab hal demikian akan merusak aqidah dan menjauhkan mereka dari agama yang membawa kesentausaan mereka (Islam). Allah-lah yang punya kemuliaan, kekuasaan yang menentukan, begitu Rasul-Nya dan orang beriman.


Menghancurkan/Membasmi Bahasa Arab

Di antara cara Orientalisme menghancurkan Islam ialah dengan membasmi bahasa Arab, bahasa Al Qur’an. Ini dilakukan oleh Orientalis setelah mereka gagal merusak Al Qur’an secara langsung.
Orientalis menanamkan faham kepada pelajar-pelajar, mahasiswa-mahasiswa Islam di Barat dengan menyatakan bahwa “Bahasa Arab tidak perlu untuk perkembangan dan pembahasan”. Maksudnya ialah untuk melemahkan bahasa Arab itu sendiri agar Ummat meniriggalkan bahasa Arab dan terputuslah hubungan sesama ummat Islam dan antara Muslim dengan Allah dan Sunnah Nabi.

Orientalis menuduh bahwa “bahasa Arab mempunyai kekurangan-kekurangan, kelemahan-kelemahan, tidak mampu menanggulangi ilmu-ilmu modern. Keterbelakangan ummat Islam tersebab kekurangan-kekurangan yang ada dalam bahasa Arab. Bahasa Arab tak mampu menampung buah fikiran atau teori-teori Barat. Karena itu para pemakai bahasa Arab harus memakai atau mengalihkan perhatian kepada bahasa asing, dan mendalami bahasa asing yang digunakan di zaman modern ini”.

Tuduhan ini adalah palsu, dan bathil, sebab bahasa Arab adalah bahasa yang sangat luas dan bisa melahirkan bahasa/kata-kata baru. Buktinya, sesudah Islam meluas ke tetangga Arab, bahasa Arab bisa menerima bahasa Rumawi dan bahasa Parsi, yang dijadikan bahasa Arab, baik untuk mufradaat maupun Tarkib (susunan kata) sesudah itu meluas ke peradaban Yunani, dan Rumawi kuno. Dengan bahasa Arab bisa diterjemahkan fikiran-fikiran dan falsafat failasufnya, dari hasil usaha (ilmu) dan bahasa Arab inilah Eropa mulai dikeluarkan dari kegelapannya di zaman Pertengahan dan masuk ke abad modern yang mereka banggakan. Tidak logis, kalau bahasa Arab lemah seperti dituduhkan oleh para Orientalis di atas.

Orientalis menanamkan perasaan pada pelajar-pelajar/mahasiswa-mahasiswa Islam, agar mereka menulis atau mengarang harus dengan huruf/bahasa Latin/asing dari Arab, sebab bahasa Arab sulit menulis dengan mesin, sulit mencetaknya dan lambat dan bermagam-macam bentuknya. Sedangkan menulis huruf dengan Latin lebih praktis dan tidak sulit.

Inilah propaganda keji, yang memutuskan antara Generasi sekarang dengan generasi sebelumnya, dan kalau dibiarkan begitu, maka bahasa Arab akan ditulis dengan bahasa Latin, padahal dalam bahasa Latin tak ada huruf: yang tidak mudah mengucapkannya dengan huruf Latin. Berarti bahwa propaganda untuk menulis bahasa Arab dengan huruf Latin adalah untuk melemahkan bahasa Arab, bahasa Al Qur’an dan untuk menghancurkan Islam.

Di samping itu, Orientalisme membesar-besarkan propaganda untuk menggunakan bahasa Arab ‘Ammi (bahasa pasar/harian) sebagai ganti dari bahasa fushhah (bahasa resmi) yang tidak dipakai dalam masyarakat awam, ini akan memisahkan (gap) antara orang awam (biasa) dengan orang terpelajar.
Padahal bahasa fushhah, adalah bahasa Qur’an dan Hadist, untuk memberikan pemahaman pada semua kalangan, tetapi kalau dipojokkan untuk kalangan pelajar dan cendekiawan Arab saja akan tertinggallah orang-orang awam dari memahami Islam, mereka tak akan mampu melaksanakan, mengamalkan perintah atau meninggalkan larangan, dan tidak tahu alasan-alasannya, tidak mengerti kisah-kisah dari Al Qur’an atau pelajaran-pelajaran Islam secara umum.

Sebaliknya bahasa ‘Ammi hanya difahami oleh kalangan terbatas, dan tiap-tiap negara Islam (Arab) berbeda-beda pula bahasa ‘Ammi-nya. Taklah asing, kalau bahasa ‘Ammi di satu tempat (antara Mesir dengan Libya, atau Saudi dengan Marokko dan lain sebagainya), berbeda dan bertentangan satu sama lain, yang tidak dapat difahami satu sama lain, sebagaimana perbedaan bahasa Inggris awam di Amerika dan Inggris dan lain sebagainya. Ini tidak lain adalah cara Orientalis memecah belah orang Islam dan menghancurkan Islam.

Begitu pula, Orientalis mendorong/menyuruh para pelajar Arab/Islam yang belajar kepada mereka agar meninggalkan bahasa Arab, dan hanya dibolehkan menggunakan bahasa Eropa (Barat) saja dengan alasannya yaitu mudah mempelajarinya, aman serta terhindar dari kesalahan. Ini sudah diperingatkan Allah dalam Al Qur’an surat Yusuf ayat 21:

Allah menurunkan Malaikat membawa Al-Qur’an dalam bahasa Arab yang tegas, agar kamu memahaminya” (Yusuf ayat 21).​


Untuk mencapai maksudnya yaitu memalingkan kaum Muslimin dari agamanya, dan melemahkannya hingga mereka tak mampu melawan serangan musuh dan penggerogotan da’wah, kaum Orientalis menggunakan berbagai cara lain dengan memperalat segala kemungkinan yang dipakai oleh ummat Islam sendiri.

Propaganda penyesatan dengan memakai nama Islam

Orientalis menggunakan aliran-aliran Tasauf dan aliran Kepercayaan/Kebatinan Bahaiy dan Qodyaniyah.


a. Aliran Tasauf


Kepercayaan ini mendawahkan bahwa mereka ingin menempuh jalan untuk sampai pada Allah, tapi tidak dengan menempuh jalan yang diatur oleh Allah dalam Al-Qur’an dan oleh Nabi dalam Sunnah; mereka membuat cara sendiri, yang tidak diizinkan Allah, dan membuat ketentuan/undang-undang Suluk, yang melakukan zuhud (memencilkan diri dari keduniaan), latihan jiwa mengharamkan yang halal, dan membunuh nafsu. Mereka mengambil ajaran-ajaran agama, atau aliran-aliran lain, yang mereka rasakan dan kira-kira belum terdapat dalam agama Islam dan tentu Syaitan menggiringnya pada khayalan-khayalan yang tak ada hakekatnya, sehingga mereka membenamkan diri ke dalam ikatan-ikatan Wihdatul Wujud, serta tidak mengakui Syari’at, menyama-ratakan antara Iman dan Kafir serta menyamakan antara ta’at dan durhaka dan da’waan penyaksiannya pada Tuhan bagi segala yang ada.

Lihat kitab karangan Ibnu Arraby, salah seorang aktivis yang aktif mengupas tentang kaum tasauf (Wihdatul Wujud) yang sesat.


b. Bahaiy

Bahaiy lahir di Iran pada abad ke-19, yang mengambil inspirasi dari ajaran Syiah, disebarkan dan dikembangkan oleh Syirazy (keturunan Yahudi yang mengaku beragama Islam) yang bergelar BABA, tak berapa lama sesudah Imam ke-12 Muhammad bin Hasan al Ashary yang kelahirannya dinanti-nantikan oleh sekte “Syiah Imam 12”.

Kemudian kebohongan ini terbukti dengan kehobongan Al Baba (Syirazy) di kalangan Syi’ah, yang menyatakan bahwa imam yang sudah hilang, akan muncul di Tebriz (Iran) (Adzarbijan.)
Kaum Syi’ah meyakini, bahwa imam ini akan timbul/bangkit di Timur Iran, di suatu gunung yang bemama “Kouh Khada”, artinya “Gunung Allah”. Kemudian Al Baba ditangkap dan dihukum mati, dan sebelum dihukum mati diumumkan, bahwa Imam yang dimaksudnya ialah muridnya “Hasan Sabah Azal” yang bergelar “Baha’ullah” dan dinamakanlah alirannya Al-Baha’iy karena dihubungkan dengan Baha’ullah ini, yang lari dari Iran. Baha’ullah menda’wakan dirinya Nabi, yang diutus membawa agama baru, pembaharu Islam, dan kepadanya diturunkan kitab. Selama hidupnya ia giat menyiarkan ajaran Bahaiy ini. Dia dikuburkan di Palestina yang diduduki Israel.

Propaganda Aliran Bahaiy serupa dengan Komunisme, yaitu melepaskan diri dari ikatan dan ajaran agama, dengan kedok “kedamaian dan anti perang”, memberikan kebebasan pada wanita sesuka hatinya, menjadikan tahunan jadi 19 bulan. Jadi hakekat ajaran ini benar-benar menyeleweng dari Islam dan merusak agama Islam.
Propaganda Bahaiy ini disokong oleh Kolonialis dan Orientalis, demi untuk merusak dan memalsukan Islam. (Lihat Al-Qodyani dan Al-Qodyaniyah, karangan Abu Hasan An Nadawy, halaman 19 dan seterusnya).


c. Al-Qadyaaniyah
Yaitu propaganda penyesatan yang timbul di India, pada akhir abad ke-19, yang berkedok (memakai) nama Islam, didirikan oleh MIRZA GHULAM AHMAD dan pusat kegiatannya di India, penganutnya ialah rakyat India juga, kemudian meluas ke luar negeri dan bermunculan di negara-negara Asia, Afrika. Inipun disokong oleh Kolonialis dan Orientails.

Gerakan Qodyaniyah ini timbul di masa udara pemikiran dan politik India sesudah revolusi menentang penjajahan Inggris pada tahun 1875, yaitu Revolusi yang menghancurkan ummat Islam. Maka Qodyani mengikuti langkah politik kolonial. Dengan langkah kebudayaan ini, mereka mendapat bantuan dari Inggris. Tujuannya adalah menggoncangkan aqidah Islam, karena Islam-lah sumber yang membangkitkan roh jihad membela agama, tanah air, harta benda dan jiwa. (Lihat Al-Qodyani karangan Abu Hasan An Nadawy).
Di samping itu Kolonialis memperalat aliran-aliran Tasauf dan kebatinan yang telah menyeleweng untuk menyebar luaskan perbuatan-perbuatan bid’ah, khurafat. Dalam keadaan orang Islam India putus asa dan grogi, dan menyerah pada tekanan situasi yang berbahaya, banyak di antara mereka yang digiring masuk ke dalam aliran Qodyani yang bathil, yang dipelopori oleh Mirza Ghulam Ahmad di Punjab.

Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang yang diagungkan oleh Inggris, yang di masa mudanya terkenal dengan penganut aliran Tasauf, dan menyendiri. Kemudian dia jadi tokoh di kalangan ummat Islam dan mengutip ayat-ayat Al Qur’an dan sebagiannya yang diselewengkan, yang bagi orang awamdan tidak hafal Qur’an, sama saja antara Qur’an dengan bahasaArab. Ini adalah usahanya merusak Qur’an.

Bukan sekedar itu saja, bahkan dia menda’wakan dirinya sebagai Nabi yang menerima wahyu, dan dia aktif menyiarkan ajarannya ini untuk maksud politik yang digariskan oleh Kolonial. Dia menghapuskan Jihad, sebagai kewajiban umat Islam dia mengancam revolusi Islam menentang penjajah Inggris di India.
Dalam bukunya TERYAQ QULUB, Mirza Ghulara Ahmad mengatakan: “Saya menggunakan sebagian besar umurku untuk menyokong pemerintah Inggris, dan mencegah jihad, wajib taat pada Ulil Amri (Inggris)”.Ini ditulis dalam buku-buku selebaran-selebaran, brosur-brosur yang kalau mungkin dikumpulkan semuanya telah memenuhi 50 gudang. Buku-buku ini tersebar di negeri-negeri Arab, Mesir, Syiria, Turki serta Indonesia dan lain-lain, yang tujuannya agar ummat Islam toleransi dan mengakui kekuasaan penjajah; dia memuaskan hatinya dengan kisah Al Mahdi dan Al Masih yang ditunggu datangnya kembali ke bumi, dan menghapuskan perasaan Jihad dan lain-Iain.

Ini membuktikan, bahwa Mirza Ghulam Ahmad menggunakan Qodyaniyah sebagai alat untuk mematahkan cita-cita ummat Islam India, supaya mereka tidak melakukan perlawanan terhadap Inggris dan menerima kehinaan serta perbudakan. Artinya, Qodyaniyah adalah produk Kolonial. Inilah rahasia yang menjadikan Qodyan masih berkembang sesudah matinya Mirza Ghulam Ahmad tahun 1908, dan pengikut-pengikut Mirza ini aktif menyiarkan aliran-aliran ini di kalangan ummat Islam dengan giat atas bantuan biaya dan moril dari musuh-musuh Islam. Qodyan membuka cabang-cabangnya di Eropa, Asia dan Afrika yang menggunakan nama sebagai da’wah Islam. Penganut Qodyaniyah bekerjasama menyebarkan faham kolonialisme bersama Orientalis dan Zionis.

Bahkan mereka sengaja menyerang Islam dengan menggunakan musuh-musuh Islam sebagai anggota da’wahnya, yang tentu mereka mengarah saja ke penggerogotan Islam, namun begitu Allah tetap melindungi Islam.


Menggunakan Mass Media

Orientalis selalu bersama Kolonialis dalam menyerang (memerangi Islam). Di negeri-negeri Islam sendiri, seluruh mass media modem selalu bekerjasama dengan Orientalis dalam memerangi Islam dan menggerogoti da’wahnya. Maka ummat Islam menghadapi perang pena, mass media yang membawa kebinasaan yang disampaikan mereka dalam surat-surat kabar, majalah-majalah, radio, televisi, film atau theater dan lain-lain.
Bahaya perang Mass Media (perang pena) ini besar sekali, sebab ia langsung meresap ke dalam otak dan hati tanpa koreksi, dan tanpa disaring oleh kebanyakan manusia dan ummat Islam. Fikiran-fikiran berbisa yang dilontarkan dan meresap ke dalam otak ummat Islam, fikiran-fikiran yang merusak dan berbisa ini sengaja ditiupkan dan dihembuskan oleh para orientalis antek kolonialis sebagai taktiknya menyerang Islam.
Mass media dipergunakan oleh musuh-musuh Islam itu untuk menghancurkan umat Islam, melalui tulisan-tulisan, gambar-gambar, film-film, fikiran, buku-buku, sandiwara, pidato-pidato, dan uraian yang berkedok ilmiah. Ini lebih berbahaya dari serangan fisik langsung oleh militer lengkap dengan persenjataannya sebab tentara itu mudah dilihat dan diketahui gerakan dan penyerangannya.

Yang sangat disayangkan sekali ialah bahwa ummat Islam di semua tempat tidak menyadari bahaya mass media yang disalah-gunakan ini, dan banyak pula para Juru Da’wah, Muballigh, menerima saja apa yang disiarkan oleh Mass Media.

Di zaman kita sekarang ini, umumnya Mass Media sering menyiarkan bermacam kefasadan, kemungkaran, kebebasan, atheis. Semuanya disajikan sesuai dengan apa yang berlaku di Eropah dan Amerika, di mana kebanyakan masyarakatnya sudah merosot sekali moralnya karena sudah dangkalnya paham dan pengertian agama mereka dan akibat terbongkarnya rahasia Kristen yang di dalam ajarannya sekarang banyak sekali kontradiksi (pertentangan-pertentangan) begitu pula ajaran Yahudi sendiri, semuanya tak sesuai lagi dengan akal yang sehat dan ilmu pengetahuan.

Sebaliknya, Islam dan ajarannya selamat dari kontradiksi itu. Islam menyeru kepada Tauhid, persatuan dan persaudaraan, keadilan, kemajuan dan sesuai dengan akal dan pengetahuan. Islam menyeru ummat manusia agar berjuang untuk mempertahankan agama Islam, mempertahankan tanah air, hak, diri, keluarga, dan lain-lain. Justru karena itulah Kolonialis dan antek-anteknya MENGUASAI MASS MEDIA untuk MENGELABUI dan MEMUTAR-BALIKKAN FAKTA.


Membesar-besarkan Tradisi Kuno

Membesar-besarkan adat dan tradisi serta perbuatan-perbuatan masyarakat di masa Jahiliyah, perbuatan-perbuatan bangsa primitif, yang dida’wakan dan dihembuskan bahwa hal yang seperti itu seolah-olah adalah ajaran Islam; ini dilakukan pula oleh para Ilmuwan Islam (munafiq) yang bekerjasama dengan Orientalis. Akhirnya mereka menuduhkan bahwa orang-orang Islam itu sama dengan Badui, Kubu, Ortodok, seperti suku terasing dan primitif, liar, fanatik, dan lain-lain. Syari’at Islam itu (menurut Orientalis ) hanya sesuai dengan orang-orang primitif dan orang ortodok, tak sesuai dan tak cocok dengan zaman modern, dan lain sebagainya.

Di samping itu, Orientalis dan anteknya selalu meniupkan hal-hal dan bibit perpecahan antara bangsa, pemisahan antara bangsa, pemisahan antara adat Arab, dan adat suatu bangsa dengan Islam.


Sumber :
Tulisan Dr. Abdul Mu’nim Muhammad Hasanain, dari Majalah ISLAMIC UNIVERSITY MADINA, Nomor 2 Tahun ke-X, Ramadhan 1397/Agustus 1977, halaman 79-105.
Diterjemahkan dan diringkaskan oleh Anhar Burhanuddin, M.A.; Jakarta, 10 Mei 1978 – (LPPA)
 
Orientalis dan Hadits

Pendahuluan

Gugatan orientalis ketika menggugat otentisitas hadits adalah pernyataan tentang ketiadaan data historis dan bukti tercatat (documentary evidence) yang dapat memastikan otentisitas hadits. Hal ini (menurut mereka) disebabkan tidak adanya kitab-kitab atau catatan-catatan hadits dari para sahabat RA. Dan menurut mereka hadits-hadits yang ada baru dicatat pada abad kedua dan ketiga hijriah. Secara implisit mereka hendak mengatakan bahwa hadits yang ada sekarang tidak asli dari Muhammad Saw, dan tidak lebih hanyalah karangan para ulama dan generasi setelah Rasul Saw dan para Sahabat RA. Benarkah demikian?
Orientalisme adalah tradisi kajian keislaman yang berkembang di Barat. Dr.Syamsuddin Arif mengatakan2, “gugatan orientalis terhadap hadits bermula pada pertengahan abad ke-19 M, tatkala hampir seluruh bagian Dunia Islam telah masuk dalam cengkraman kolonialisme bangsa-bangsa Eropa. Adalah Alois Sprenger, yang pertama kali mempersoalkan status hadits dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad SAW, misionaris asal Jerman yang pernah tinggal lama di India ini mengklaim bahwa hadits merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik)”.

Secara umum kajian yang dilakukan oleh kalangan orientalis memang memiliki kecenderungan dan motif yang berbeda. Ada yang berniat “mencari” kebenaran dan tidak sedikit juga yang mencari kelemahan Islam. Jika sebagian orientalis yang sungguh-sungguh mencari kebenaran dari Islam melakukan kajian dengan ilmiah dan obyektif, maka sebagian lagi yang mencari kelemahan Islam justru kajian mereka sama sekali tidak obyektif (subyektif) dan penuh rasa curiga. Maka hasil kajian tersebut pun digunakan untuk menyerang Islam, salah satunya dengan menggugat otentisitas hadits dengan mengatakan bahwa hadits adalah rekayasa para ulama abad kedua hijriah.

Orientalisme yang pada awalnya adalah salah satu kajian keilmuan yangtergabung di dalam ilmu Antropologi, memiliki tujuan yang sama dengan ilmu induknya tersebut yaitu untuk mempelajari kebudayaan lain agar bisa menemukan kebudayaanterbaik yang bisa dijadikan kebudayaan pilot project bagi seluruh dunia. Namun pada perkembangan lebih lanjut, antropologi kemudian berubah menjadi sebuah kajian keilmuan dari sebuah bangsa Eshtablished terhadap kebudayaan yang outsiders. Karena masyarakat merasa mereka lebih berbudaya daripada masyarakat oriental (timur), baik itu timur jauh, timur tengah, timur selatan. Meliputi semua hal budaya, adat, norma dan juga agama-agama masyarakat timur.

Terdapat banyak faktor yang mendorong terjadinya gerakan orientalisme, di antaranya:
  1. Faktor Agama. Motif orientalisme dalam hal ini sama dengan motif salibis yang berawal dari kebencian terhadap Islam.
  2. Faktor Kolonialisme. Orientalisme dan kolonialisme memiliki hubungan yang erat guna mewujudkan cita-cita bangsa Eropa (Barat). Setelah kekalahan dalam perang Salib, Eropa berfikir bahwa peperangan fisik bukan cara yang tepat mengalahkan Islam. Akhirnya mereka meluncurkan peperangan gaya baru yang dikenal dengan sebutan Ghazwul Fikri. Ghazwul fikri adalah cara Barat untuk memuluskan kolonialisasi di Timur.
  3. Faktor Ekonomi.
  4. Faktor Politik. Barat tetap berkeinginan terus menguasai Negara-negara Islam. Sekalipun negera-negara tersebut telah lepas dari penjajahan langsung mereka, Barat menempatkan orang-orang pilihan di kedutaan-kedutaan mereka di dunia Islam. Sehingga Barat tetap dapat menyetir dunia Islam secara politis ke arah kepentingan mereka.
  5. Faktor keilmuan. Secara jujur sekalipun minim sekali, terdapat beberapa orientalis yang menelaah literatur-literatur Islam sebagai sebuah kebudayaan dan peradaban. Namun tidak menutup kemungkinan justru faktor inilah yang telah membuka lebar-lebar kekeliruan serta kesalahan dalam memahami Islam.


Tujuan Orientalisme

Menurut penulis buku Orientalisme dan Misionarisme adalah memurtadkan umat Islam dari agamanya dengan cara mendistrosi serta menutup-nutupi kebenaran dan kebaikan ajaran-ajarannya. Salah satu instrument penunjang dalam mewujudkan tujuan orientalisme tersebut yaitu meragukan keabsahan hadits-hadits Nabi Saw., sebagai sumber hukum Islam kedua sesudah al-Qur’an. Para orientalis tersebut berpandangan bahwa dalam hadits Nabi terdapat unsur intervensi para ulama untuk memurnikan hadits-hadits shahih yang bersandar kepada kaidah-kaidah yang sangat keras dan selektif, dimana hal itu tidak dikenal dalam agama mereka dalam membuktikan kebenaran-kebenaran Kitab Sucinya.

Di dalam salah satu bukunya, Orientalism, Edward Said mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh para orientalis dalam meneliti agama Islam, khususnya hadis, bukanlah pekerjaan yang non profit oriented, artinya mereka memiliki tujuan tertentu dengan meneliti agama Islam sedemikian rupa. Tujuan itu antara lain adalah mencari kelemahan Islam dan kemudian mencoba menghancurkannya pelan-pelan dari dalam. Walaupun tidak semua orientalis memiliki tujuan seperti itu paling tidak itu adalah sebuah anomali dari sekelompok orang yang boleh dikata memiliki persentase sangat kecil. Hal inilah yang menjadi alasan bagi Hasan Hanafi cs untuk membalas perlakuan mereka dengan giliran balik menyerang kebudayaan Barat dengan cara
mempelajarinya dan kemudian juga dengan cara yang sistematis mencoba menggerogotinya dari dalam. Mereka memilih hadis dalam upayanya untuk menyerang umat Islam karena kedudukan hadis yang sangat penting dalam kehidupan kaum muslim. Hadis adalah sumber hukum kedua setelah al Quran sekaligus juga sebagai penjelas dari al Quran itu sendiri. Mereka lebih memilih menyerang hadis ketimbang al Quran, karena hadis hanyalah perkataan manusia yang bisa saja mengandung kesalahan dan unsur-unsur negatif lainnya. Mereka sulit untuk mencoba mendistorsikan al-Quran karena al-Quran adalah sumber transendental dari tuhan yang telah terjamin dari semua unsur negatif. Ada tiga hal yang sering dikemukakan orientalis dalam penelitian mereka terhadap al-Hadis, yaitu tentang para perawi hadis, kepribadian Nabi Muhammad SAW,


Metode pengklasifikasian hadis :
  1. Aspek Perawi Hadis
    Para orientalis sering mempertanyakan tentang para perawi yang banyak meriwayatkan hadis dari rasulullah. seperti yang kita ketahui bersama para sahabat yang terkenal sebagai perawi bukanlah para sahabat yang yang banyak menghabiskan waktunya bersama rasullah seperti Abu bakar, Umar, Usman dan Ali. Namun yang banyak meriwayatkan hadis adalah sahabat-sahabat junior dalam artian karena mereka adalah orang “baru” dalam kehidupan rasulullah. Dalam daftar sahabat yang banyak meriwayatkan hadis tempat teratas diduduki oleh sahabat yang hanya paling lama 10 tahun berkumpul dengan Nabi, seperti Abu hurairah, Sayyidah Aisyah, Anas bin malik, Abdullah ibn Umar dll. Abu hurairah selama masa 3 tahun dia berkumpul dengan Nabi telah berhasil meriwayatkan lebih dari 5800 hadis, Sayyidah Aisyah mengumpulkan lebih dari 3000 hadis dan demikian juga dengan Abdullah ibn Umar, Anas.
  2. Aspek Kepribadian Nabi Muhammad SAW
    Tidak cukup dengan menyerang para perawi hadis, kepribadian Nabi Muhammad juga perlu dipertanyakan. Mereka membagi status nabi menjadi tiga sebagai rasul, kepala negara, dan pribadi biasa sebagaimana orang kebanyakan. Bahwa selama ini hadis dikenal sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad baik perbuatan, perkataan dan ketetapan beliau juga perlu direkontruksi ulang. Sesuatu yang berdasarkan dari Nabi baru disebut hadis jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, karena jika tidak hal itu tidak layak untuk disebut dengan hadis, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad.
  3. Aspek Pengklasifikasian hadis
    Sejarah penulisan hadis juga tidak lepas dari kritikan mereka. Penulisan hadis yang baru dilakukan beberapa dekade setelah Nabi Muhammad wafat juga perlu mendapat perhatian khusus. Hal itu, lanjut mereka, membuka peluang terhadap kesalahan dalam penyampaian hadis secara verbal, sebagaimana yang dikatakan oleh Montgomery watt,salah seorang orientalis ternama saat ini:
    "Semua perkataan dan perbuatan Muhammad tidak pernah terdokumentasikan dalam bentuk tulisan semasa Ia hidup atau sepeninggalnya. Pastinya hal tersebut disampaikan secara lisan ke lisan, setidak-tidaknya pada awal mulanya. Hal itu diakui ataupun tidak sedikit banyak akan mengakibatkan distorsi makna, seperti halnya dalam permainan telpon-telponan anak kecil".

    Hal diatas adalah sebagian dari pemikiran Orientalis tentang Islam , lebih spesifik lagi tentang hadis. Hal itu sedikit banyak bisa memberikan pemahaman dan wacana baru bagi kita agar kita bisa melihat hadis, sesuatu hal berharga yang kita punyai tidak hanya dengan pandangan dan penilaian kita tapi juga dengan sisi pandang orang lain, yang boleh jadi akan lebih objektif dari kita. kita harus berterima kasih kepada mereka karena telah meneliti kehidupan kita, sehingga kita bisa mengambil hasil penelitian mereka sebagai bahan koreksi dan pembelajaran bersama, terlepas dari niat-niat buruk dari sebagian mereka.


Hadis dan Orientalis

Sarjana barat yang pertama kali melakukan kajian Hadis adalah Ignaz Goldziher, seorang orientalis Yahudi kelahiran Hongaria yang hidup antara tahun1850 - 1921 M. Pada tahun 1890, ia mempublikasikan hasil penelitiannya tentang Hadis dalam sebuah buku yang berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Dan sejak saat itu hingga sekarang, buku tersebut menjadi "kitab suci" di kalangan orientalis. Dibanding dengan Goldziher, hasil penelitian Schacht memiliki "keunggulan", karena ia bisa smpai pada kesimpulan yang meyakinkan bahwa tidak ada satupun Hadis yang otentik dari Nabi Muhammad, khususnya Hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam. Sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan yang meragukan adanya otentisitas Hadis. tidak aneh jika kemudian buku Schacht memperoleh reputasi dan sambutan yang luar biasa. Baik Ignaz maupun Schacht, keduanya tidak berbicara tentang otoritas Hadis sebagai sumber hukum dalam Islam. Karena keduanya telah sepakat bahwa Hadis tidak memiliki otentitas sebagai sebuah ajaran yang bersumber dari Nabi Muhammad, padahal Hadis dapat menjadi sumber ajaran Islam, ketika ia otentik dari Nabi, sehingga tidak mungkin Hadis dapat digunakan sebagai sumber ajaran Islam. Keduanya justru membuat kiat-kiat yang dapat dipergunakan sebagai pendukung hasil penelitian mereka; Bahwa apa yang disebut sebagai Hadis, bukanlah sesuatu yang otentik dari Anbi Muhammad.


Setidaknya ada tiga kiat-kiat digunakan, guna menyokong pendapat mereka:

  • Mendistorsi teks-teks sejarah. Semisal tuduhan Goldziher terhadap Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.). menurutnya Imam al-Zuhri telah melakukan pemalsuan Hadis, dan ia juga mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Ibn Syihab al-Zuhri, sehingga menimbulkan kesan bahwa Imam al-Zuhri memang mengakui dirinya sebagai pemalsu Hadis.
    Menurut Goldziher, al-Zuhri pernah berkata, inna haula'I al-umara akrahuna 'ala kitabah ahadist (para penguasa itu memaksa kami untuk menulis Hadis). Kata 'ahadist' dalam kutipan Goldizer tidak menggunakan artikel "al" (al-ahadist) yang dalam bahasa Arab memiliki makna definitif (ma'rifah), sementara dalam teks yang asli, yang merupakan ucapan Imam Ibn Syihab yang sebenarnya, seperti yang terdapat dalam kitab Ibn Sa'ad dan Ibn 'Asakir, adalah 'al-ahadist' yang berarti Hadishadis yang telah dimaklumi secara definitif, yaitu Hadis-hadis yang berasal dari Nabi Muhammad.
  • Membuat teori-teori rekayasa. Bahwa untuk memperkuat tuduhannya yang menyatakan bahwa apa yang disebut Hadis adalah bukan sesuatu yang otentik dari nabi Muhammad, melainkan hanya merupakan bikinan para ulama abad pertama dan kedua, Schacht membuat teori tentang 'rekonstruksi' terjadinya sanad Hadis. teori ini dikemudian hari dikenal sebagai teori Projecting Back (proyeki ke belakang) Menurut Schacht, jurisprudensi Islam belum eksis dan permanen pada masa al-Sya'by (w. 110 H.). Hal ini artinya bahwa apabila terdapat Hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka sejatinya Hadis-hadis tersebut merupakan buatan orang-orang yang lahir dan hidup sesudah al-Sya'bi. Schacht berpendapat
    bahwa jurisprudensi Islam baru dikenal sejak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama), yang baru diadakan pada dinasti bani Umayah.
  • Ketiga melecehkan Ulama Hadis, di mana kiat para orientalis selanjutnya adalah melecehkan kredibilitas ulama Hadis, sembari menuduh mereka sebagai pemalsu. Banyak ulama yang mereka sorot dan menjadi sasaran pelecehan ini, antara lain Shahabat Abu Hurairah (w. 57 H.), Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.), dan Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 256 H.).
    Tiga tokoh tersebut menjadi sasarn pokok serangan para orientalis karena ketiganya menempati posisi-posisi yang strategis dalam kajian ilmu Hadis; Abu Hurairah adalah Shahabat yang tercatat sebagai shahabat yang paling banyak meriwayatkan Hadis dari Nabi Muhammad. Dan al-Zuhri disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali membukukan Hadis. sementara al-Bukhari adalah tokoh yang menulis kitab paling otentik sesudah al-Quran, yaitu kitab Shahih al-Bukhari.


Kritik Hadits versi Orientalis
Kalau ada diantara orientalis yang pernah berusaha menciptakan metode kritik hadits, maka sudah bisa dipastikan arahnya, yaitu untuk menjegal metodologi yang selama ini ada. Dengan demikian akan terjadi perubahan besar dalam hukum-hukum Islam akibat dari berubahnya hadits shahih menjadi maudhu` atau yang maudhu` malah menjadi shahih Dan akibat yang akan ditimbulkan sudah bisa anda bayangkan juga. Nantinya syariah Islam akan berubah 180% derajat. Sesuatu yang haram bisa jadi halal dan yang halal bisa jadi haram. Bahkan zina, khamar, judi, mut`ah, mencuri dan segala kemungkaran menjadi halal. Dan sebaliknya, jilbab, qishash, hudud dan menegakkan hukum Islam menjadi terlarang. Karena haditsnya telah berubah status. Dan perubahannya itu ditentukan oleh para orientalis.

Metode Kritik Hadits Orientalis
Kajian Islam yang dilakukan oleh Barat pada mulanya hanya ditujukan kepada materi-materi keislaman secara umum. Baru pada masa-masa belakangan, mereka mengarahkan kajiannya secara khusus kepada bidang hadits Nabawi.

Menurut perkiraan Prof. Dr. M.M. Azami, Sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian terntang hadits adalah Ignaz Goldziher (1850-1921 M), orientalis Yahudi kelahiran Hoingaria yang memiliki karya berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam) sebagai “kitab suci”nya para orientalis hingga kini.
Penelitian hadits juga selanjutnya diteruskan oleh Joseph Schacht, yang juga orientalis Yahudi, menerbitkan buku dengan judul The Origins of Muhammadan Jurisprudence yang kemudian dianggap sebagai “kitab Suci” kedua di kalangan orientalis.

Dibanding Goldziher, Schacht memiliki “keunggulan”, karena ia sampai pada kesimpulan yang meyakinkan bahwa tidak ada satu pun hadits yang otentik dari Nabi Saw., khususnya hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum Islam. Sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan yang meragukan adanya otentisitas hadits. Karenanya, di kalangan orientalis, buku Schacht memperoleh reputasi yang luar biasa.
Selain dua buku di atas, dalam masa tiga perempat abad sejak terbitnya buku Goldziher, kalangan orientalis tidak menerbitkan hasil kajian mereka tentang hadits, kecuali beberapa makalah yang isinya jauh dari sebuah penelitian hadits yang tidak memiliki nilai-nilai ilmiah.

Sangat disesalkan, dalam berbagai penelitian, khususnya penelitian dalam bidang hadits, para orientalis tersebut bersandar kepda metodologi yang aneh dan mengherankan, yang tidak sesuai dengan jiwa seorang peneliti, yaitu mengikuti hawa nafsu dan tidak konsen terhadap penelitian itu sendiri, serta bersikap semaunya dalam melakukan interpretasi dan konklusi terhada teks. Bisa kita identifikasi, sebelum melakukan penelitian, mereka telah menetapkan sesuatu di pikiran mereka sindiri, untuk kemudian dicari penguat berupa dalil-dalil yang belum tentu kebenarannya. Hal itu dirasa tidak penting bagi mereka asal bisa diambil sedikit kesimpulan dari dalil tersebut sebagai pembenaran atas pemikiran mereka.

Sikap seperti ini tentunya bertentangan dengan kaisah dan dasar-dasar penelitian ilmiah, dimana seorang peneliti pada awalnya harus bebas dari hawa nafsu dan ego pribadi. Sejatinya, penelitian itu dilakukan setelah teks dan sumber-sumber yang bisa dipercaya yang ditetapkan melalui proses perbandingan dan uji coba. Hasil dari keduanya yang bisa diambil dan dijadikan sandaran bagi seorang peneliti sejati.

Baik Goldziher maupun Schacht berpendapat bahwa hadits tidaklah berasal dari Nabi Saw., melainkan sesuatu yang lahir pada abad pertama dan kedua hijrah. Atau dengan kata lain, hadits adalah buatan para ulama abad pertama dan kedua.

Secara umum di antara tuduhan-tuduhan orientalis yang meragukan otentisistas hadits adalah:
  1. Hadits tidak ditulis pada masa Nabi Saw
  2. Sahabat Umar bin Khattab menarik pendapatnya soal kodifikasi hadits
  3. Para Shahabat tidak menghafal hadits
  4. Sulit membedakan hadits shahih dengan yang palsu, Karena terjadi begitu banyak pemalsuan hadits
  5. Hanya hadits mutawatir yang boleh dijadikan sumber hokum
  6. Meragukan kredibilitas para perawi dan ulama hadits
  7. Banyak hadits yang bertentangan dengan HAM

Ditambah dengan upaya mereka meyakinkan umat Islam bahwa beragama cukup dengan berpedoman kepada al-Qur’an saja.


Kritik atas Kritik Hadits Orientalis
Ignaz Goldziher menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal itu dikarenakan para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad, dan kurang menggunakan metode kritik matan. Karenanya, Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu kritik matan saja.

Sebenarnya para ulama klasik sudah menggunakan metode kritik matan. Hanya saja apa yang dimaksud metode kritik matan oleh Goldziher itu berbeda dengan metod kritik matan yang dipakai oleh para ulama. Menurutnya, kritik matan hadits itu mencakup berbagai aspek, seperti politik, sains, sosio kultural dan lain-lain. Ia mencontohkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab shahih Bukhari, dimana menurutnya, Bukhari hanya melakukan kritik sanad dan tidak melakukan kritik matan. Sehingga tidak menutup kemungkinan dalam kitab shahih Bukhari tersebut terdapat hadits-hadits palsu.

Dari berbagai penelusuran dan penelitian para ulama terhadap tuduhan Goldziher tersebut. Ternyata tuduhan Goldziher seringkali ahistoris, irasional dan miskin data serta minimnya pengetahuan. Begitu pula hal yang sama dilakukan oleh para orientalis lainnya termasuk Joseph Schacht.

Beberapa contoh di antaranya :
  1. Hadits “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju ketiga Masjid, Masjid al-Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha”.
    Menurut Goldziher hadits ini palsu karena buatan Ibnu Shihab al-Zuhri bukan ucapan Nabi Saw sekalipun terdapat dalam kitab shahih Bukhari. Ibnu Shihab al-Zuhri menurut Goldziher dipaksa oleh Abdul Malik Bin Marwan penguasa dinasti Umayyah waktu itu untuk membuat hadits tersebut karena khawatir Abdullah bin Zubair (yang memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di Makkah) menyuruh warga Syam yang sedang beribadah haji untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar warga Syam tidak lagi pergi ke Makkah, tetapi cukup hanya pergi Masjid al-Aqsha yang pada saat itu menjadi wilayah Syam.

    Para ulama menyatakan, tidak ada bukti historis yang mendukung teori Goldziher, bahkan sebaliknya. Para ahli tarikh berbeda pendapat tentang kelahiran al-Zuhri, antara 50 sampai 58 H. Al-Zuhri juga belum pernah bertemu dengan Abdul Malik bin Marwan sebelum tahun 81 H. Pada tahun 68 H orang-orang dari Dinasti Umayyah berada di Makkah pada musim haji. Apabila demikian adanya, al-Zuhri pada saat itu masih berumur 10 sampai 18 tahun. Karenanya sangat tidak logis seorang anak yang baru berumur belasan tahun sudah populer sebagai intelektual dan memiliki reputasi ilmiah di luar daerahnya sendiri, dimana ia mampu mengubah pelaksanaan ibadah haji dari Makkah ke Jerusalem. Lagi pula di Syam pada saat itu masih banyak para sahabat dan tabi’in yang tidak mungkin diam saja melihat kejadian itu.

    Sementara teks haditsnya sendiri tidak menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di Jerusalem. Yang ada hanyalah isyarat pengistimewaan kepada Masjidil Aqsha yang pernah dijadikan kiblat umat Islam. Di sisi lain, hadits tersebut diriwayatkan oleh delapan belas orang selain al-Zuhri. Lalu kenapa hanya al-Zuhri yang dituduh memalsukan hadits tersebut?

    Dari sini nampaknya tidak terlalu sulit bahwa tujuan utama Goldziher adalah untuk meruntuhkan kredibilitas Imam Bukhari. Apabila umat Islam sudah tidak percaya lagi kepada shahih Bukhari, maka hadits-hadits Rasulullah Saw di dalamnya tidak akan dipakai lagi. Pada gilirannya kemudian Imam-Imam ahli hadits lainnya juga dikorbankan. Dengan demikian tamatlah sudah apa yang disebut hadits, dan robohlah satu pilar Islam.
  2. Goldziher berpendapat bahwa hadits secara keseluruhan merupakan produk orang-orang yang hidup pada abad kedua atau awal abad ketiga hijriah dan bukan merupakan ucapan Nabi Saw., sebab hukum-hukum syariah tidak dikenal umat Islam pada kurun pertama hijriah. Sehingga para ulama Islam di abad ketiga banyak yang tidak mengetahui sejarah Rasul. Ia menukil tulisan al-Darimy, seorang Arab muslim dalam bukunya hayat al-hayawan (dunia hewan), dimana dinyatakan dalam tulisannya, bahwa Abu Hanifah tidak mengetahui secara pasti terjadinya perang Badar, apakah sebelum atau sesudah perang Uhud?

    Tidak diragukan lagi, bagi orang yang sedikit penelaahannya terhadap sejarah akan menyatakan demikian. Abu Hanifah adalah ulama yang paling terkenal yang banyak berbicara tentang hukum peperangan dalam Islam, bisa dibuktikan melalui Fikihnya yang sangat fenomenal dan buku-buku karangan murid-muridnya seperti Abu Yusuf dan Muhammad.

    Dari buku karangan Abu Yusuf Sirah Imam al-Auza’i dan buku karangan Muhammad Sirah Kabir, jelas menunjukkan penguasaan para murid Imam Abu Hanifah terhadap sejarah peperangan Islam yang menyiratkan keluasan pengetahuan gurunya, Imam Abu Hanifah.

    Goldziher sebenarnya mengetahui kedua kitab itu yang menetapkan apakah Imam Abu Hanifah itu bodoh atau berpengetahuan tentang sejarah peperangan Islam, kecuali memang untuk merusak kredibilitas ulama besar tersebut. Goldziher bersandar kepada buku al-Darimy yang membahas dunia hewan, terlebih lagi bahwa buku itu bukan buku sejarah atau fikih. Dengan demikian membuktikan bahwa Goldziher keliru tanpa terlebih dahulu membuktikan kebenaran sumbernya.
  3. Joseph Schacht dalam bukunya The Origin of Muhammadan Juresprudence dan An Introduction to Islamic Law berkesimpulan bahwa hadits-terutama yang berkaitan dengan hukum Islam-adalah rekaan para ulama abad kedua dan ketiga hijriah. Ia mengatakan, “Kita tidak akan menemukan satu buah pun hadits yang berasal dari Nabi yang dapat dipertimbangkan shahih”.

    Untuk mendukung kesimpulannya itu, Schacht mengajukan konsep Projecting Back (proyeksi ke belakang), yaitu mengaitkan pendapat para Ahli Fikih abad kedua dan ketiga hijriah kepada tokoh-tokoh terdahulu agar pendapat itu memiliki legitimasi dari orang-orang yang mempunyai otoritas lebih tinggi. Menurutnya, para Ahli Fikih telah mengaitkan pendapat-pendapatnya dengan para sahabat sampai Rasulullah Saw., sehingga membentuk sanad hadits. Inilah rekonstruksi terbentuknya sanad hadits menurut Schacht yang berarti hadits-hadits itu tidak otentik berasal dari Nabi Saw.

    Seorang Ahli Hadits abad ini Prof. Dr. M.M Azami melakukan penelitian khusus terhadap hadits-hadits nabawi dalam naskah-naskah klasik. Kesimpulannya, sangat mustahil untuk ukuran waktu itu para sahabat dan tabi’in yang tempat tinggalnya berbeda wilayah yang sangat berjauhan bisa berkumpul untuk memalsukan hadits. Yang kemudian oleh generasi-generasi berikutnya diketahui bahwa hadits-hadits tersebut sama padahal para perawinya tidak pernah bertemu.

    Dan lebih banyak lagi bantahan para ulama terhadap syubuhat kalangan orientalis yang ingin meruntuhkan posisi hadits sebagai salah satu sumber hukum utama dalam Islam.

Kesimpulan

Usaha kalangan orientalis yang menyerang agama ini akan terus menemui kebuntuan. Hal ini karena para ulama dan fuqoha serta orang-orang yang ikhlas tidak akan pernah berhenti menyingkap kebohongan-kebohongan mereka dengan menampakkan kebenaran Islam. Serta mengembalikan dan meluruskan kembali pemahaman kaum muslimin, menyingkirkan racun pemikiran (sekulerisme, liberalisme, pluralisme, serta seluruh derivasinya) hingga umat ini bisa membedakan antara yang bathil dan yang haq.
Walhasil, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan agama ini selain mengembalikan pemikiran kaum muslimin berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dan memahami keduanya sebagaimana pemahaman para Sahabat RA dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
 
mas Arcala.. Orientalis sama Chinese beda kan? -_-a
 
Sam, read this

Orientalisme adl gelombang pemikiran yg mencerminkan berbagai studi ketimuran yg islami. Yang dijadikan objek studi ini mencakup peradaban agama seni sastra bahasa dan kebudayaan. Gelombang pemikiran ini telah memberikan andil besar dalam membentuk persepsi Barat terhadap Islam dan dunia Islam. Caranya ialah dgn mengungkapkan kemunduran pola pikir dunia Islam dalam rangka pertarungan peradaban antara Timur dgn Barat . Sejarah Berdiri dan Tokoh-tokohnya Awal Kemunculannya Sunguh sulit menentukan secara pasti awal tumbuhnya Orientalisme. Sebagian sejarawan cenderung bahwa Orientalisme bermula dari zaman daulah islamiah di Andalusia . Sebagian lain mengatakan bahwa organisasi ini bermula ketika terjadi Perang Salib. Khusus tentang Orientalisme Ketuhanan keberadaannya sudah tampak secara resmi sejak dikeluarkannya keputusan Konsili Gereja Viena tahun 1312 M dgn memasukkan materi bahasa Arab ke berbagai Universitas di Eropa. Orientalisme muncul di Eropa pada penghujung abad 18 M. Pertama kali muncul di Inggris tahun 1779 M; di Prancis tahun 1799 dan dimasukkan ke dalam Kamus Akademi Prancis pada tahun 1838. Gerbert de Oraliac seorang pendeta Venezia pergi ke Andalusia. Di sana ia belajar kepada seorang profesor. Setelah kembali ia terpilih sebagai pendeta agung dgn gelar Silvester II . Dengan demikian ia adl paus pertama dari Prancis. Tahun 1130 M kepala uskup Toledo menerjemahkan beberapa buku ilmiah Arab. Kemudian jejak ini diikuti oleh Gerard de Cremona dari Italia. Ia pergi ke Toledo dan menerjemahkan buku tidak kurang dari 87 judul di bidang filsafat kedokteran astronomi dan geologi. Di Prancis muncul Pierre le Venerable seorang pendeta Venezia dan kepala biarawan Cluny membentuk kelompok penerjemah utk mendapatkan pengetahuan objektif tentang Islam. Ia sendiri adl orang pertama yg menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Latin . Adapun penerjemahan kedalam bahasa Inggris dilakukan pertama kali oleh Robert of Ketton. Juan de Sevilla Yahudi yg masuk Kristen ini muncul pada pertengahan abad ke-12 dan menaruh perhatian pada bidang astronomi. Ia telah menyadur empat buah buku berbahasa Arab karya Abu Ma’syur al-Balkhi yg tugas penerjemahannya dibantu oleh Adelard. Roger Bacon dari Inggris menuntut ilmu di Oxford dan Paris dan meraih gelar doktor di bidang teologi. Ia menerjemahkan buku berbahasa Arab Mir’at al-Kimia tahun 1251 M. Orientalis-Orientalis yg Objektif Hardrian Roland adl profesor bahasa-bahasa Timur pada universitas Utrecht Belanda. Ia menulis buku Muhammadanism dua jilid dalam bahasa Latin . Tetapi gereja-gereja Eropa memasukkan buku tersebut sebagai buku terlarang padahal tuisan-tulisannya objektif. Johann J. Reiske seorang orientalis Jerman pertama yg patut diingat dituduh zindik krn sikapnya yg positif terhadap Islam. Ia sangat berjasa dalam mengembangkan dan menampilkan Arabic Studies di Jerman. Silvestre de Sacy seorang orientalis yg menekuni sastra dan nahwu menghindar utk terlibat dalam pengkajian Islam. Ia juga sangat berjasa dalam menjadikan Paris sebagai pusat pengkajian Islam. Salah seorang yg pernah berhubungan dgn beliau adl Syekh Rifa’ah Thanthawi. Thomas Arnold dari Inggris menulis buku yg berjudul Preaching in Islam telah diterjemahkan ke dalam bahasa Turki Urdu dan Arab. Gustac le Bon dikenal sebagai orientalis dan filosof materialis. Ia tidak pernah percaya kepada agama. Pada umumnya kajian dan buku-bukunya menyoroti peradaban Islam. Kajian-kajiannyalah yg menyebabkan orang-orang Barat tidak mempedulikan dan tidak menghargainya. Z. Honke adl penulis yg karyanya dinila objektif krn menampilkan pengaruh peradaban Arab terhadap Barat. Matahari Arab Bersinar di Barat adl di antara bukunya yg termasyhur. Jakck Burke Anne Marie Simmel Thomas Carlyle Renier Ginaut Dr. Granier dan Goethe adl orientalis-orientalis yg tergolong moderat. Orientalis Fanatik Goldziher orientalis berdarah Yahudi penulis buku Sejarah Aliran-Aliran Tafsir dalam Islam adl tokoh Islamic Studies di Eropa. Ketokohan dan sekaligus kefanatikannya tidak dapat diingkari. J. Maynard orientalis Amerika yg sangat fanatik ini termasuk salah seorang anggota dewan redaksi majalah Islamic Studies. S.M. Zwemer orientalis dan zending Kristen adl pendiri majalah Islamic Memasung Akidah terbit tahun 1908 M dan Al-Islam yg merupakan kumpulan makalah yg disampaikan pada muktamar Kristenisasi II tahun 1911 M di Lucknow India. G. Von Grunebaum Yahudi berkebangsaan Jerman yg belajar di universitas-universitas Amerika. Ia menulis Upacara-Upacara Agama Muhammad yg terbit tahun 1951 M dan beberapa studi tentang sejarah kebudayaan Islam diterbitkan tahun 1854 M. A.J. Wensinck adl orientalis yg sangat memusuhi Islam. Bukunya yg berjudul Akidah Islam yg terbit tahun 1932 mengandung banyak kecaman terhadap Islam. K. Cragg orientalis Amerika yg sangat fanatik ini menulis buku Dakwah dan Menara Azan yg terbit tahun 1956 M. L. Massignon adl salah seorang zending Kristen berkebangsaan Prancis yg pernah menjadi penasihat pada Departemen Koloni Prancis Urusan Afrika Selatan. Bukunya yg terkenal ialah Hallaj Shufi yg Shahid dalam Islam terbit tahun 1922 M. D.B. Mac Donald berkebangsaan Amerika adl seorang orientalis dan zending Kristen yg terkenal fanatik. Ia menulis buku Perkembangan Ilmu Kalam Fikih dan Teori Undang-Undang Negara terbit pada tahun 1930 M dan Sikap Agama Terhadap Kehidupan Menurut Islam terbit tahun 1908 M. M. Green sekretaris dewan redaksi majalah Timur Tengah. D.S. Margoliouth orientalis Inggris yg sangat fanatik ini pernah menelorkan Thaha Husain dan Ahmad Amin dari sekolahnya. Buku-bukunya antara lain -Perkembangan Baru dalam Islam terbit tahun 1943 M. -Muhammad Menjelang Kelahiran Islam terbit tahun1905 M. -Universitas Islam terbit tahun 1912 M. A.J. Arberry juga orientalis Inggris yg sangat fanatik memusuhi Islam. Bukunya yg terkenal antara lain -Islam Dewasa ini terbit 1943 M. -Tashawwuf terbit 1950 M. Baron Carra de Vaux orientalis Prancis yg sangat fanatik memusuhi Islam dan termasuk tokoh penting dewan redaksi Ensiklopedia Islam. H.A.R. Gibb orientalis Inggris menulis buku Mohammedanizm terbit tahun 1947 M dan Aliran-Aliran Modern dalam Islam terbit 1947 M. R.A. Nicholson orientalis Inggris yg menolak kespiritualan Islam menganggap Islam sebagai agama materialistik dan tidak mengakui keluhuran manusia. Bukunya yg terkenal ialah Shufi-Shufi Islam tahun 1910 dan Sejarah Kesusastraan Arab tahun 1930 M. Henry Lammens orientalis fanatik menulis buku Al-Islam dan Tha’if. Ia juga termasuk dewan redaksi Ensiklopedia Islam. J. Schacht penulis buku Ushul Fikih Islam terkenal sebagai orientalis Jerman yg sangat fanatik memusuhi Islam. Blachere pernah bekerja pada Departemen Luar Negeri Prancis sebagai staf ahli utk urusan Arab dan umat Islam. Alfred Guillaume orientalis Inggris yg sangat fanatik memusuhi Islam penulis buku Al-Islam.

Pemikiran dan Doktrin-doktrinnya Pertama Motivasi Orientalisme 1. Motivasi Agama Motivasi agamalah yg melatarbelakangi pertumbuhan orientalisme yg berlangsung begitu lama. Sasaran-sasaran gerakan orientalisme antara lain

menumbuhkan keragu-raguan terhadap keyakinan umat atas kerasulan Muhammad saw. dan menganggap hadis Nabi sebagai perbuatan umat Islam selama tiga abad pertama;

menumbuhkan keraguan terhadap kebenaran Alquran dan memutarbalikannya;

memperkecil nilai fikih Islam dan menganggapnya sebagai adopsi dari hukum Romawi;

memojokkan bahasa Arab dan menjauhkannya dari ilmu pengetahuan yg semakin berkembang;

menampilkan Islam kepada sumber Yahudi dan Nasrani; dan

mengkristenkan umat Islam.

2. Motifasi Ekonomi dan Penjajahan Lembaga-lembaga keuangan perusahaan-perusahaan raksasa dan pihak pemerintah sendiri telah mengeluarkan biaya sangat besar utk para penelitei dalam rangka mengenal lbh jauh kondisi negara-negara Islam melalui laporan lengkap mereka. Penelitian tersebut sangat digalakkan terutama pada masa sebelum penjajahan Barat dalam abad ke-19 dan ke-20 M. 3. Motivasi Politik -Melemahkan semangat ukhuwah islamiah dan memecah-belah umat agar mudah dikuasai.-Menghidupkan bahasa Arab ‘amiyyah dan mengkaji adat istiadat yg berlaku. -Para pegawai di negara-negara diarahkan utk mempelajari bahasa asing agar memahami seni dan agama penjajah tujuannya agar mereka mudah dipengaruhi dan dikuasai. 4. Motivasi Keilmuan Sebagian orientalis ada yg mengarahkan peneliteian dan analisisnya semata-mata utk pengetahuan. Sebagian yg lain ada yg sampai kepada esensi Islam dan bahkan masuk Islam seperti Thomas Arnold yg telah mempunyai andil dalam menyadarkan kaum muslimin dgn bukunya The Preaching in Islam dan Dinet yg telah masuk Islam dan tinggal di Aljazair. Ia menulis buku Sinar Khusus Cahaya Islam. Ia meninggal di Prancis dan di kubur di Aljazair. Kedua Karya Tulis Orientalis yg Penting -Sejarah Kesusastraan Arab Carl Brockelmann . -Ensiklopedia Islam cetakan pertama terbit dalam bahasa Inggris Prancis dan Jerman antara tahun 1913 - 1938 M. Cetakan berikatnya diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Prancis saja 1945 - 1977 M. -Mu’jam Mufahras li Alfazhi Al-Hadis sebuah kamus utk mencari lafaz-lafaz hadis. Mu’jam ini mencakup Kutub al-Sitta kumpulan hadis yg terhimpun dalam kitab yg enam ditambah dgn Musnad Darimi Muwaththa’ Imam Malik Musnad Imam Ahmad bin Hambal. Mu’jam ini terdiri atas tujuh jilid dan beredar sejak tahun 1936 M sampai sekarang. Ketiga Muktamar dan Organisasi Pada tahun 1873 di Paris telah diselengggarakan Muktamar orientalis pertama. Setelah itu muktamar sejenis diselenggarakan berkali-kali. Hingga sekarang tidak kurang dari 30 kali muktamar tingkat internasional telah diselenggarakan belum lagi berupa diskusi seminar dan pertemuan-pertemuan yg bersifat regional seperti muktamar orientalis Jerman yg diselenggarakan di kota Dresden Jerman Barat tahun 1849 M. Sampai sekarang muktamar seperti itu masih tetap berlangsung. Dalam kegiatan itu hadir ratusan ilmuwan orientalis. Dalam muktamar Oxford misalnya telah hadir tidak kurang dari 900 ilmuwan dari 25 negara 80 universitas dan 69 lembaga ilmiah. Kegiatan itu ditunjuang oleh lembaga-lembaga orientalisme seperti lembaga Asiatik di Prancis yg didirikan tahun 1822 M. lembaga Hak Milik Asia di Inggris didirikan tahun 1823 M; lembaga Orientalisme Amerika didirikan tahun 1842 M dan lembaga Orientalisme Jerman didirikan tahun 1845 M. Keempat Majalah-Majalah Orientalis Mereka memiliki majalah dan penerbitan dalam jumlah besar lbh dari 300 majalah dan bentuknya yg beraneka ragam dan dalam berbagai bahasa antara lain -The Muslim World didirikan oleh Samuel Zwemer di Inggris. Ia menjadi ketua gerakan kristenisasi di Timur Tengah tahun 1911 M. -Mir Islama terbit di Petersburg tahun 1912 M tetapi majalah ini tidak berumur panjang. -Sumber Air Timur diterbitkan di Wina 1809 - 1818 M. -Islam terbit di Paris 1895 M. Pada tahun 1906 M majalah ini diubah menjadi majalah Islamic World yg diterbitkan oleh misi ilmiah Prancis di Maroko terakhir kemudian berubah lagi menjadi majalah Islamic Studies. - Tahun 1910 M di Jerman terbit sebuah majalah berbahasa Jerman Des Islam. Kelima Orientalis Mengabdi Penjajah Carl Heinrich Becker adl pendiri majalah Islam di Jerman. Ia melakukan kajian tentang Timur utk kepentingan penjajahan di Afrika. Barthold pendiri majalah The Muslim World Rusia melakukan peneliteian utk kepentingan Rusia di Asia Tengah. Snouck Horgronje dari Belanda pernah datang ke Mekah tahun 1884 dgn nama Abdul Ghaffar. Ia tinggal di Mekah selama kurang lbh setengah tahun. Kemudian kembali dgn membawa sejumlah laporan utk kepentingan penjajahan di dunia Islam bagian Timur. Sebelumnya ia pernah tinggal di Indonesia selama 17 tahun. Lembaga bahasa-bahasa Timur di Prancis didirikan tahun 1885 M bertugas sebagai pengumpul data dan informasi tentang negara-negara Timur utk memudahkan penjajah menancapkan kukunya di kawasan-kawasan tersebut. Keenam Ide-Ide Orientalisme yg Sangat Berbahaya George Sale dalam kata pengantar terjemahan Alqurannya menyatakan bahwa Alquran adl produk dan karangan Muhammad ini kata dia tidak dapat dibentah. Richard Bell menganggap Muhammad dalam menyusun Alquran telah mengambil sumber Yahudi khususnya Perjanjian Lama dan sumber Nasrani. Reinhart Dozy menganggap bahwa Alquran mengandung selera sangat buruk di dalamnya tidak ada yg baru kecuali sedikit. Selain gaya bahasanya yg tidak menarik kalimat-kalimatnya terlalu panjang dan membosankan. Menteri urusan koloni di Inggris di dalam salah satu isi laporannya yg disampaikan kepada kepala pemerintahan pada 9 Januari 1938 menyatakan “Kami telah mengambil pelajaran dari perang ternyata persatuan Islam adl sangat berbahaya. Ini harus diperangi oleh Kerajaan. Bukan hanya kerajaan yg merasakan demikian tetapi juga Prancis. Kami sangat bahagia krn khilafah islamiyyah telah hilang dari peredaran. Saya berharap semoga tidak akan muncul kembali.” Saledon Amous berkata “Ajaran Muhammad hanyalah merupakan perundang-undangan Romawi bagi sebuah kerajaan Timur terutama dalam soal politik dan peraturan hak milik.” Ia berkata lbh lanjut “Perundang-undangan Muhammad tidak lain hanyalah perundang-undangan justinianus yg berbaju Arab.” Filosof Prancis Ernest Renan berkata “Filsafat Arab adl filsafat Yunani yg ditulis dgn huruf Arab.” Sedangkan Louis Massignon tokoh perusak ini menganjurkan agar bahasa Arab ditulis dngan huruf latin dan menggunakan bahasa ‘Amiyyah. Catatan Meski demikian orang-orang orientalis cukup berjasa dalam menggali buku-buku warisan Islam dan disebarkannya setelah ditahqiq dan disistematikkan. Banyak di antara mereka yg memiliki metodologi ilmiah dan keteliteian dalam mentahqiq menyaring dan menelusuri persoalan. Orang yg jernih pemikirannya dan objektif di dalam menilai Islam kebanyakan mereka justru memeluk Islam. Kini perkembangan orang-orang Barat dalam memeluk Islam semakin kuat. Dengan demikian meskipun di satu sisi pemikiran para orientalis itu mengacaukan bagi umat Islam tetapi di sisi lain karya-karyanya mengembangbiakkan penganut Islam di sarangnya sendiri. Orang yg berpikiran rasional akan menelitei lbh jauh tentang tulisan yg bersifat tidak rasional. Dari sinilah para intelektual Barat banyak yg mengkaji tentang Islam. Akhirnya melihat betapa tingginya nilai yg terkandung di dalam Alquran mereka banyak yg masuk Islam. Seorang muslim hendaknya kritis dalam menelaah karya-kerja mereka seraya berhati-hati terhadap hal-hal yg merusak dan menyimpang. Bagi para pelajar yg masih pemula dalam memahami Islam diharapkan utk tidak membaca buku-buku karya mereka krn akan membahayakannya. Orang yg dalam taraf belajar biasanya fanatik kepada apa yg telah dibacanya apalagi melihat buku yg dibacanya tebal dan ditulis oleh seorang pakar. Oleh krn belum memiliki daya pikir utk menilai suatu bacaan seorang pelajar akan mempercayai hasil bacaannya tanpa mengkaji lbh jauh. Seorang muslim harus membuang yg salah atau membongkar kesalahannya kemudian dilakukan penolakan. “Hikmah adl barang hilang milik kaum muslimin. Di mana saja ia ditemukan kaum muslimin berhak memilikinya.” Akar Pemikiran dan Sifat Idiologinya Sebenarnya orientalisme adl akibat gesekan yg terjadi antara Timur dan Barat pada masa Perang Salib melalui delegasi-delegasi resmi ataupun melalui perjalanan-perjalanan. Pendorong utamanya adl teologi Nasrani yg berambisi menghancurkan Islam dari dalam dgn cara tipu daya dan kecurangan. Pada masa-masa terakhir ini orientalisme bagaimanapun juga mulai tampak melepaskan diri dari belenggu tersebut dan beralih mendekati semangat ilmiah. Penyebaran dan Kawasan Pengaruhnya Barat merupakan arena gerakan kaum orientalis. Mereka terdiri atas orang-orang Jerman Inggris Prancis Belanda dan Hongaria. Mereka sebagian muncul di Italia dan Spanyol. Sekarang Amerika merupakan pusat orientalisme dan pengkajian Islam. Pemerintah lembaga-lembaga ekonomi yayasan dan bahkan gereja tidak segan-segan menguras dana keuangan dan dukungan. Mereka juga menyediakan fasilitas utk pengkajian keislaman di universitas-universitas sampai jumlah orientalis menjadi ribuan orang. Gerakan orientalisme diciptakan utk mengabdi kepada gerakan Kristenisasi dan penjajahan. Terkahir gerakan ini dimanfaatkan kaum Yahudi dan Zionisme utk kepentingannya dalam rangka melumpuhkan Timur dan menancapkan dominasinya baik langung maupun tidak lansung. Sumber Diadaptasi dari Gerakan Keagamaan dan Pemikiran; Akar Idiologis dan Penyebarannya WAMY Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
 
orang aneh... sudah jelas oriantalis ko dipercaya. walaupun mereka bilang jujur, suer, sumprit atau lainnya tetap saja mereka tidak paham Al Quran. Bagaimana mungkin paham? sedangkan Al Quran ini bacaan untuk orang yang beriman. ya Khusus untuk orang yang berimaan. Mungkin ada satu dua orientalis yang dapat hidayah setelah membaca Al Quran. Tapi tetap saja dia tidak akan paham isi Al Quran secara keseluruhan. Kecuali dia telah beiman dan berislam. Syaeh Taqiuddin Annabhani dalam beberapa kitabnya menjelaskan bahwa orientalisme adalah program politik barat untuk meruntuhkan Khilafah ... dan mereka telah berhasil merubah satu generasi muslim untuk mengadopsi pemahaman merekah dan Khilafah runtuh secara formal pada tahun 1924 akibat dari pemikiran orientalis ini. Dan (lagi) sampai saat ini ummat Islam sebagian besarnya masih mengadopsi ide-ide orientalisme. Bahkan banyak pula yang menjadi pejuangnya, baik karena dapat bayar maupun baru mencoba berhrap dengan berkoar-koar. Yang kedua ini amat kasihan nasibnya, belum dibayar sudah murtad. Shok akademis, rasional sayang banyak pejuang di sini man. Bukankah teori evolusi yang rasional lgi akademis itu bohong semata... atau masih menganggap rasional?
 
wah2 orientalis, pengen ngerusak Islam? lalu setelah Islam hancur, bumi mudah dikuasai tuan2nya orientalis yakni kaum elit zion-masonik-illuminati? ckckckc.... jangan berharap bisa melakukan demikian [-X
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.