arcala
IndoForum Beginner A
- No. Urut
- 89881
- Sejak
- 20 Jan 2010
- Pesan
- 1.120
- Nilai reaksi
- 71
- Poin
- 48
ORIENTALIS DAN KEJUJURAN AKADEMIK DALAM KAJIAN KEISLAMAN
Pendahuluan
Kajian Islam yang dilakukan para orientalis seringkali dipandang oleh kalangan Muslim tidak untuk memahami Islam secara benar, tetapi untuk mendeskreditkannya. William G. Millward, misalnya, menemukan kecurigaan kalangan Muslim terhadap kejujuran akademik kaum orientalis tadi dalam banyak literatur yang mereka tulis.
Millward membandingkan, berbeda dengan penulis Muslim Arab yang biasanya lebih rasional dalam mengkritisi hasil kajian para orientalis tentang Islam, penulis Muslim Iran umumnya sangat apologetik, hingga kritik mereka terkesan emosional dan tidak argumentatif.
Penulis Muslim yang mempertanyakan kejujuran akademik para orientalis tersebut terutama meragukan objektifitas kajian mereka tentang al-Qur’an serta Nabi Muhammad saw. Para penulis Muslim ini menganggap bahwa sanggahan terhadap hasil penelitian mereka yang sangat merugikan Islam tersebut harus dilakukan, agar ajaran Islam bisa dikembalikan kepada pemahaman yang autentik, sebagaimana yang diyakini oleh pemeluknya.
Secara sederhana, kata Orientalis bisa diartikan “seseorang yang melakukan kajian tentang masalah-masalah ketimuran, mulai dari sastra, bahasa, sejarah, antropologi, sosiologi, psikologi sampai agama dengan menggunakan paradigma Eurocentrisme, hingga menghasilkan konklusi yang distortif tentang objek kajian dimaksud”.
Perkembangan orientalisme moderen berawal dari kajian terhadap Islam sebagai fenomena budaya yang tercermin dalam perilaku dan karakter spesifik pemeluknya.
Dengan orientasi kajian seperti itu, maka tidak mengherankan bila perkumpulan orientalisme pertama kali dibentuk untuk melakukan kajian keislaman di Batavia (nama Belanda untuk kota Jakarta) tahun 1781.
Perkumpulan ini menyelenggarakan bermacam kajian tentang Islam dan hasilnya dipergunakan untuk melandasi berbagai kebijakan pemerintah Belanda, yang terkait dengan kolonialisasinya di East Indies [Indonesia] saat itu. Inggris juga mendirikan Asiatic Society of Bengal tahun 1784 atas prakarsa Sir William Jones. Perkumpulan serupa dengan tujuan yang tidak jauh berbeda juga dibentuk di beberapa negara Eropa. Perancis mendirikan Societe Asiatique yang berkedudukan di Paris tahun 1822. Sementara Inggris mendirikan Royal Asiatic Society di London tahun 1834 dan Amerika Serikat mendirikan American Oriental Society di tahun 1842.
Relasi Sosial Barat-Islam
Sebelum disampaikan paparan tentang kajian Islam yang dilakukan oleh para orientalis, perlu dibahas dengan ringkas relasi Barat-Islam yang terbentuk dari hasil interaksi sosial antara kaum imigran Muslim dengan penduduk lokal di negara-negara Barat.
Paparan seperti itu dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa hubungan sosial Barat-Islam dalam suasana saling menghargai di negara non-Muslim adalah sebuah keniscayaan. Seperti diketahui bahwa Islam sudah menjadi sebuah fenomena sosial di negara-negara Barat.
Di Amerika Serikat saja, tidak kurang dari empat sampai lima juta kaum Muslim hidup di negeri ini. Dengan jumlah populasi yang signifikan seperti itu, kaum Muslim mampu membentuk sebuah sub-kultur Amerika. Mereka membangun bermacam perkumpulan sosial-keagamaan untuk melandasi berseminya identitas khas kultur Islam-Amerika.
Sebagai komunitas beragama yang dinamis, masyarakat Muslim Amerika tidak hanya menjadikan institusi masjid sebagai pusat kegiatan ritual, tetapi juga memfungsikannya menjadi tempat bagi kegiatan sosial, budaya dan pendidikan. Mereka memiliki ratusan masjid yang tersebar hampir di setiap negara bagian.
Komunitas Muslim Amerika, yang nasionalitas-nya berasal dari enam puluh negara, membentuk banyak perkumpulan. Mereka memiliki perhimpunan mahasiswa Muslim (Muslim Students Association), perkumpulan masyarakat Muslim Amerika Utara (Islamic Society of North America), perkumpulan sarjana ilmu sosial (Association of Muslim Social Scientists), perkumpulan sarjana dan insinyur Muslim (Association of Muslim Scientists and Engineers) dan perhimpunan dokter Islam (Islamic Medical Association). Jumlah mahasiswa Muslim di universitas-universitas Amerika menunjukan angka yang sangat signifikan, tidak kurang dari seratus ribu mahasiswa.Terlepas dari perbedaan spesialisasi keilmuan yang menjadi keahlian mereka masing-masing, kaum intelijensia Muslim Amerika ini selalu terlibat aktif dalam bermacam kegiatan kajian keislaman.
Dengan begitu maka tidak berlebihan ketika Amerika dipandang menjadi salah satu pusat kegiatan intelektual Islam di dunia dewasa ini (the United States becomes a center of Islamic intellectual fermentation). Komunitas Muslim Amerika juga terlibat dalam membangun dialektika politik yang berlangsung antar sesama komunitas beregama di negeri itu. Mereka, misalnya, meminta pemerintah Amerika Serikat untuk menyetarakan kedudukan Islam dengan kedudukan legal-formal dua agama besar lainnya, Kristen dan Yahudi. Pemerintah Amerika tampaknya memahami peran penting yang bisa dimainkan oleh komunitas beragama dalam membangun keharmonisan hubungan sosial antar sesama warga negara. Dengan pertimbangan seperti itu, Presiden George Bush menetapkan tanggal 16 Januari 1993 dan 14 Januari 1994 sebagai Hari Kebebasan Agama (Religious Freedom Day).
Komunitas Muslim juga di jumpai di negara-negara Eropa Barat. Di Inggris, jumlah mereka berkisar antara satu sampai satu setengah juta jiwa. Kehidupan sekuler di Inggris tampaknya tidak mampu menghilangkan properti kultur spiritualitas yang terbentuk melalui proses sosialisasi ajaran Islam, baik melalui institusi sosial maupun keluarga.
Mereka menganggap Islam bukan sekadar agama yang mengajarkan pedoman bagi kehidupan spiritual, tetapi juga membentuk kebersamaan emosional untuk membangun solidaritas serta identitas kelompok. Dengan kata lain bahwa Islam telah menyatukan kesadaran kolektif masyarakat Muslim di Inggris melintasi latar belakang etnis, hingga Islam menjadi komponen yang melapisi keseluruhan struktur personalitas mereka (Islam is at the nucleus of their personal identity).
Realitas seperti itu tidak membuat komunitas Muslim hidup dalam sebuah eksklusifitas sosial, tetapi tetap mampu berintegrasi ke dalam kehidupan plural yang ada di sekitarnya. Kemampuan berintegrasi diperoleh dari penyerapan terhadap prinsip kebhinekaan, baik yang diajarkan secara normatif melalui doktrin sosial dalam Islam, maupun secara empirik dari realitas historis kehidupan plural masyarakat Muslim di masa silam. Kehadiran mereka di Inggris berlangsung secara bertahap, mulai dari pembukaan Terusan Suez tahun 1868 sampai pasca-Perang Dunia II.
Inggris yang memerlukan tenaga kerja dalam jumlah besar pada pasca Perang Dunia II mendatangkan pekerja asing, termasuk pekerja Muslim dari Pakistan, Bangladesh dan India. Imigran Muslim terus berdatangan ke Inggris sampai seielah tahun 1960-an. Kelompok imigran terakhir ini sudah tidak lagi berkonotasi sebagai guest workers [pekerja tamu] tetapi sudah berstatus menjadi imigran tetap. Kehadiran para imigran pada gelombang terakhir tadi menjadi lebih mudah proses legalisasinya, setelah pemerintah Inggris mengesahkan Undang-Undang Imigrasi tahun 1962. Masyarakat Muslim terus berupaya menyempurnakan legalitasnya menjadi warga negara Inggris, seperti tampak dari pembentukan Muslim Council of Britain. Di negeri Queen Elizabeth II ini, komunitas Muslim memiliki tidak kurang dari 42 sekolah. Mereka juga mempunyai media massa dalam bentuk surat kabar dan media elektronika melalui channel tv sendiri.
Kehadiran komunitas Muslim di Eropa Barat tentu saja tidak hanya terbatas di negeri Inggris. Para imigran Muslim mendatangi hampir semua negara di kawasan tersebut. Berbeda dengan imigran Muslim Inggris yang umumnya berasal dari Asia Selatan, imigran Muslim di Jerman dan Denmark kebanyakan datang dari Turki. Sedangkan imigran Muslim di Belgia dan Spanyol lazimnya datang dari Maroko. Perancis, yang memiliki imigran Muslim dalam jumlah yang sangat besar, menjadi tempat imigrasi kaum Muslim dari bekas jajahannya di Afrika. Tidak berbeda dengan Inggris, Perancis juga sudah mengesahkan Undang-Undang Imigrasi pada tahun 1974.
Undang-Undang serupa juga diberlakukan di Belanda pada tahun 1974. Dengan kata lain bahwa Islam sudah menjadi bagian dari realitas sosial di Eropa Barat. Kehadiran Islam tidak hanya diwakili oleh pemeluk agama ini, tetapi juga melalui media lain. Liga Muslim se-Dunia (Muslim World League) sudah membuka kantornya di beberapa kota besar Eropa Barat, mulai London, Paris, Brussel sampai Madrid. Negara-negara Islam juga aktif memberikan bermacam bantuan untuk mengembangkan Islam di Eropa, baik dalam bentuk dana pembangunan masjid dan sekolah, maupun pengiriman tenaga ahli tentang Islam.
Relasi Akademik Barat-Islam
Secara kelembagaan, kajian Islam di Barat biasanya menjadi bagian dari kajian kawasan yang meliputi studi budaya, politik, sejarah dan bahasa pada Departemen Pengkajian Kawasan Timur Tengah (Department of Middle East Studies) atau Timur Dekat (Near East Studies). Hanya tiga institusi kajian Islam di Barat yang berdiri sendiri dan tidak menjadi bagian dari studi kawasan tersebut, yaitu The Institute of Islamic Studies, McGill University, Departmen of [Middle East and] Islamic Studies, University of Toronto dan Islamic Studies, Von Grunebaum Center for Near East Stdies, University of California, Los Angeles.
Menjadikan kajian Islam (Islamic Studies) bagian dari studi kawasan tidak berarti bahwa kajian Islam memperoleh posisi pinggiran. Studi kawasan hakekatnya juga bertolak dari penelitian tentang Islam sebagai sumber nilai yang telah membentuk budaya, sejarah, politik dan bahasa di kawasan yang mayoritas populasinya beragama Islam.
Pusat kajian kawasan tidak hanya dibuka di berbagai universitas Barat, tetapi juga didirikan di beberapa negara Islam. Amerika Serikat, misalnya, membangun American Research Center di Kairo, American Research Institute di Turkey dan American Institute of Iranian Studies di Iran. Apapun nama yang dipergunakan, hubungan antara kajian Islam dengan studi kawasan adalah hubungan organik, di mana Islam selalu bertindak menjadi pemicu dari munculnya bermacam fenomena yang menjadi objek kajian kawasan tersebut.
Lembaga yang menawarkan kajian kawasan biasanya adalah universitas universitas papan atas. Hal itu karena pengelolaannya yang membutuhkan budget besar dan tidak memberikan keuntungan komersial memang hanya bisa dilakukan oleh universitas terkemuka saja. Dengan kata lain, kajian kawasan tidak memberikan keuntungan komersial yang sepadan dengan besarnya anggaran untuk mendanai fasilitas perpustakaan, penerbitan dan penelitian serta gaji staf pengajarnya. Namun secara tidak langsung, universitas-universitas tersebut memperoleh keuntungan dalam bentuk terciptanya iklim saling pengertian melintasi sekat agama, budaya, politik dan lainnya yang dibutuhkan publik dunia dewasa ini. Kajian kawasan memang didirikan untuk menumbuhkan kesadaran saling menghargai tradisi, budaya dan agama masyarakat dunia pasca Perang Dunia II.
Perlu diketahui bahwa kajian semacam itu sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Namun pada waktu itu, kajian dimaksud hanya berfungsi menjadi media Kristenisasi dan promosi kepentingan negara-negara kolonial di Dunia Islam.
Barangkali ada baiknya dibahas secara ringkas model pengelolaan kajian kawasan tersebut. Seperti telah disinggung di depan bahwa kajian kawasan tidak menghasilkan keuntungan komersial. Karena itu, komponen utama dalam budget pengelolaannya diperoleh dari dana publik untuk proyek kemanusiaan. Di samping itu, kegiatan penelitiannya juga mengandalkan bantuan dana dari banyak lembaga penelitian.
Di Amerika Serikat, kajian kawasan memperoleh dana dari pemerintah melalui The Departmen of Health, Education and Welfare dan dari lembaga swasta, misalnya, The Ford Foundation. Untuk dana penelitiannya, penyandang dana berikut ini memiliki peran signifikan, seperti The National Science Foundation, The Rockefeler Foundation, The Guggenheim Foundation dan The Fulbright Faculty Research.
Dukungan dana seperti itu juga berlaku di negara Barat lainnya. Pemerintah Inggris, misalnya, mendirikan pusat studi kawasan atas dasar rekomendasi dari Scarbrough Commission. Dalam penelitiannya, Scarbrough Comission, dibentuk tahun 1950-an, meminta pemerintah untuk mendirikan pusat studi kawasan di universitas-universitas Inggris setelah Perang Dunia II.
Kehadiran pusat studi kawasan tersebut sangat dibutuhkan untuk mempromosikan budaya saling menghargai antar warga dunia. Dengan kata lain bahwa pemerintah Inggris juga ikut menanggung biaya operasional dari lembaga studi kawasan tersebut. Pusat kajian kawasan di berbagai universitas Barat tidak hanya terbuka bagi peserta dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri, termasuk dari negara-negara Muslim. Hal ini sesuai dengan landasan kelembagaannya yang menghendaki keragaman peserta perogramnya, baik dari segi budaya, tradisi maupun agama. Bahkan di beberapa pusat kajian Islam dan kawasan, peserta programnya sengaja diambilkan dari kalangan Islam dan Kristen.
The Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, misalnya, yang membuka programnya pada musim gugur tahun 1954, selalu merekrut civitas akademikanya (dosen dan mahasiswa) dari kelompok Kristen dan Muslim. Staf pengajar yang pertama kali memberikan kuliah di Institute tersebut, selain Wilfred Cantwell Smith sebagai pendiri dan direktur dan Howard A. Reed sebagai dosen, keduanya Kristen, adalah para dosen Muslim, Fazlur Rahman (Pakistan), Ishaq Musa al- Husayni (Arab) dan Niyazi Berkes (Turki), ketiganya sarjana Muslim kenamaan dalam bidangnya masing-masing.
Pola silang agama dalam merekrut mahasiswa dan dosen tersebut masih dipertahankan McGill sampai sekarang. Contoh serupa lainnya adalah Duncan Black Macdonald Center for the Study of Islam and Christian-Muslim Relations di Hartford Seminary yang dibentuk tahun 1973 untuk memprakarsai kajian yang bisa membentuk sikap saling menghargai antara komunitas Muslim dan Kristen.
Di samping dua lembaga tersebut, masih terdapat beberapa institusi lain yang misinya juga membangun kesefahaman antara Muslim dan Kristen. Di antaranya adalah Center for Muslim-Christian Understanding: History and International Affairs di Edmund A. Walsh School of Foreign Service. Termasuk dalam katagori institusi tersebut adalah Center for the Study of Islam and Christian Muslim Relations di Selly Oak College, Birmingham.
Namun ironisnya adalah bahwa keterlibatan peserta program studi Islam dari kalangan mahasiswa Muslim tidak sepenuhnya diterima oleh sebagian komunitas Muslim. Mereka menganggap bahwa studi Islam yang dilakukan mahasiswa Muslim di Barat merupakan aktifitas bermasalah. Sikap tersebut adalah cerminan dari pandangan negatif mereka terhadap kajian Islam yang dilakukan para orientalis. Sikap semacam itu juga datang dari orang seperti Hamid Alghar, yang bisa dianggap orang dalam, mengingat Alghar, yang guru besar kajian Islam di Amerika Serikat, adalah seorang Muslim taat. Alghar mengkhawatirkan terjadinya pemaksaan pendapat yang dilakukan seorang profesor terhadap mahasiswa Muslimnya. Pemaksaan pendapat semacam itu bisa membahayakan akidah mahasiswa yang bersangkutan, karena menyangkut persoalan doktrin agama. Kekhawatiran Alghar tentu sangat berlebihan, mengingat kebebasan berfikir serta mengutarakan pendapat merupakan etika yang berakar kuat dalam kehidupan akademik di Barat. Seperti diketahui bahwa tidak sedikit mahasiswa Muslim di Barat justru mampu melakukan koreksi terhadap bermacam pemikiran bias tentang Islam yang dilakukan oleh profesornya dari kalangan orientalis.
Realitas juga membuktikan bahwa mahasiswa Muslim di berbagai universitas Barat tidak hanya berasal dari negara Muslim moderat, seperti Indonesia dan Malaysia, tetapi juga dari negara-negara Muslim militan, semisal Iran, Arab Saudi dan Sudan. Pada tahun 1990-an, pemerintah Republik Islam Iran mengirimkan para alumni dari pusat pendidikan Shi’ah Khum untuk mengambil program magister dan doktor kajian Islam (Islamic studies) dan agama (religious studies) di McGill University. Perlu diketahui bahwa banyak guru besar ilmu normatif Islam, seperti al-Qur’an, hadith dan fiqh, di banyak universitas Timur Tengah yang mendapatkan pendidikan doktoralnya dari universitas-universitas Barat. Keterlibatan para peserta program dari negara-negara Muslim tadi tidak bisa dianggap kegiatan bermasalah, berangkat dari fakta bahwa kebebasan akademik merupakan sebuah norma yang sangat dijunjung tinggi dan karenanya mereka tidak pernah mengkhawatirkan terjadinya erosi keyakinan. Namun kekhawatiran seperti yang diungkapkan Alghar tadi tetap memiliki nilai positif, karena merujuk pada persoalan prinsip agama, yang tidak boleh dipertaruhkan demi objektifitas akademik.
Terlepas dari kontroversi studi Islam di Barat tersebut, kehadiran mahasiswa Muslim di banyak universitas Barat sudah menjadi kenyataan. Kehadiran mereka memang sudah berlangsung sejak hampir dua ratus tahun lalu. Barangkali kalau belajar ke Barat merupakan sebuah aksioma yang menentukan berhasil atau tidaknya pemberdayaan human resources, maka Mesir telah membuktikan kebenaran aksioma tersebut. Mesir menyadari perlunya menguasai sains dan teknologi, agar bisa segera melakukan modernisasi. Seperti diketahui bahwa penguasa Mesir Muhammad Ali Pasha [1805-1848] memang berhasil melakukan modernisasi di negerinya, melalui pemberdayaan pendidikan warganya, hingga Mesir menjadi sebuah negeri terkuat di luar Eropa dan Amerika Utara saat itu.
Pemberdayaan pendidikan dilakukan melalui pengiriman mahasiswa Mesir ke Eropa atau dengan mendatangkan para instruktur Eropa untuk mengajar di berbagai lembaga pendidikan Mesir. Keberhasilan Muhammad Ali Pasha sampai bisa menjadikan Mesir mengungguli Turki, mulai dari keunggulan militer, teknologi sampai ekonomi. Dengan keunggulan tersebut, Mesir tidak hanya mampu melakukan aneksasi terhadap provinsi Turki di Semenanjung Arabia dan Siria, tetapi juga berhasil memadamkan pemberontakan di Yunani, satu-satunya sisa wilayah jajahan Turki di Eropa waktu itu. Mesir juga pernah diajak Perancis untuk melakukan penaklukan terhadap provinsi Turki di Afrika Utara.