babehsexydotcom
IndoForum Newbie E
- No. Urut
- 77818
- Sejak
- 14 Agt 2009
- Pesan
- 47
- Nilai reaksi
- 1
- Poin
- 8
Jangan ada unsur rasism dan agama yah balesan nya.. saya cuma mengulas saja..
-------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Tan Joe Hok
Bahagia, Jadi Kebanggaan Bangsa
Dia punya nama besar sebagai atlet kebanggan negeri ini pada masanya. Dia bahagia dapat mengharumkan nama bangsa. Tan Joe Hok, kelahiran Bandung, 11 Agustus 1937 putra pertama Indonesia yang menjuarai All England (1959) dan meraih medali emas Asian Games (1962). Selain itu, bersama enam pebulu tangkis Indonesia lainnya, merebut Piala Thomas pertama kalinya (1958) dan mempertahankan tahun berikutnya.
Dia seorang pahlawan bulutangkis Indonesia. Bayangkan dia berkorban meninggalkan bangku sekolah demi mengharumkan nama bangsa melalui bulu tangkis. Tan memulai main bulutangkis di jalanan. Ayahnya seorang pedagang yang pemain sepakbola, kemudian melihat bakatnya dan memberi dukungan. Darah pebulu tangkis mengalir dari ibunya, yang juga pebulu tangkis.
Setelah mendapat dukungan dari kedua orangtuanya, prestasi Joe menaik cepat. Pada usia 12, dia berlatih di lapangan yang dibangun ayahnya, di depan rumah mereka. Kemudian, pelatih klub Blue White, Lie Tjuk Kong, mengajaknya bergabung. Dia pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu dengan berlatih saban hari. Ia selalu bangun pukul 5 pagi, untuk berlari dua jam.
Suatu ketika, anak kedua dari enam bersaudara ini menyaksikan pertandingan tinju di Bandung. Dia sangat terkesan dengan gerak kaki petinju itu. Lalu, dia pun meniru, dengan latihan skipping.
Dalam usia 17, tahun 1954, mulai menunjukkan kehebatannya pada kejuaraan nasional di Surabaya. Dia menundukkan Njo Kiem Bie, pebulu tangkis yang sedang tenar dan terkenal dengan smash-nya yang mematikan saat itu. Dua tahun berikutnya (1956), ia mengalahkan pemain terkenal Eddy Jusuf.
Setelah itu, dia menunjukkan kehebatannya kepada dunia. Dengan mengandalkan stamina dan kecepatan, ia mengalahkan jagoan Denmark Finn Kobbero dan Erland Kops. Lalu bersama enam pebulu tangkis Indonesia lainnya, di antaranya Ferry Sonneville, mereka merebut Piala Thomas.
Pada usia 22 tahun, nama Indonesia dan namanya diulas lumayan panjang di majalah Sports Illustrated, sebuah majalah olahraga bergengsi di Amerika, ketika itu. di All England, Kanada dan AS Terbuka diulas panjang lebar.
Dia pun menjadi kebanggan banyak orang di Indonesia, mulai dari rakyat kecil, tukang becak, sopir, pedagang, mahasiswa, pejabat hingga Saat itu ia merasa menjadi orang yang paling bahagia atas keberhasilannya. Bagaimana Presiden Soekarno ketika itu.
Dia pun berkesempatan ketemu dengan Bung Karno. Saat itu, Bung Karno bilang: "Indonesia punya banyak dokter dan insinyur, tapi hanya sedikit yang seperti kamu. Saya akan dukung kamu."
Pada saat itu, Tan Joe Hok sambil kuliah dan menjadi asisten dosen bidang kimia di Universitas Baylor, Texas, Amerika Serikat. Tapi, dia secara khusus dipanggil pulang ke Indonesia untuk bertarung di arena bulu tangkis di Asian Games 1962 yang berlangsung di Jakarta.
Dia pun meraih medali emas. Saat dia mau kembali melanjutkan kuliahnya ke AS, Bung Karno memberinya selembar cek bernilai US$1.000. Tapi dia bukan mata duitan dan karena merasa punya bekal cukup, ia dengan rendah hati mengembalikan cek itu. Baginya, menjadi putra Indonesia yang dibanggakan lebih berharga dari sejumlah uang.
Sepulang belajar di AS, dia bergabung dengan regu Piala Thomas Indonesia di Tokyo. Dia menjadi bintang dengan mengalahkan Erland Kops dan K.A. Nielsen. Indonesia menang 5x4, Indonesia dan berhasil mempertahankan Piala Thomas, 1964.
Tahun berikutnya, dia menikah dengan Goei Kiok Nio (1965), dan dikaruniai dua anak. setelah itu, pemegang sabuk kuning yudo, ini sempat melatih bulu tangkis di Mexico (1969-1970) dan di Hong Kong (1971).
Lalu tahun 1972, kembali ke Indonesia. Dia pun mendirikan usaha di bidang pest control. Tapi aliran darahnya tidak bisa lepas dari bulu tangkis. Dia tak kuasa menolak manakala ditawari menjadi pelatih Pelatnas Piala Thomas 1984.
Sebagai pelatih, di bawah bimbingannya regu bulu tangkis Indonesia berhasil menundukkan Cina dalam final perebutan Piala Thomas di Kuala Lumpur, 18 Mei 1984. Lalu, SIWO/PWI Jaya menganugerahkan penghargaan sebagai Pelatih Olah Raga Terbaik (1984).
Sebagai pelatih, dia bergabung dengan PB Djarum sejak 1982. Kemudian merangkap sebagai project manager cabang PB Djarum di Jakarta. Dia melahirkan beberapa pemain nasional
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Siauw Giok Tjhan
Siauw Giok Tjhan (lahir di Kapasan, Simokerto, Surabaya, Jawa Timur, 23 Maret 1914 – meninggal di Leiden, Belanda, 20 November 1981 pada umur 67 tahun) adalah seorang politikus pejuang dan tokoh gerakan kemerdekaan Indonesia dari golongan Tionghoa-Indonesia.
Ayahnya bernama Siauw Gwan Swie, seorang peranakan dan ibunya Kwan Tjian Nio, seorang totok. Memiliki adik bernama Siauw Giok Bie. Siauw pernah menjadi ketua umum Baperki, Menteri Negara, anggota BP KNIP, anggota parlemen RIS, parlemen RI sementara, anggota DPR hasil pemilu 1955/anggota Majelis Konstituante, anggota DPRGR/MPR-S, dan anggota DPA. Salah satu warisan buah karya Siauw ialah Universitas Trisakti yang dulu didirikan oleh Baperki dengan nama Universitas Res Publika, yang kemudian diubah namanya menjadi Universitas Trisakti. Siauw Giok Tjhan wafat di Belanda pada tanggal 20 November l98l, beberapa menit sebelum memberikan ceramah di Universitas Leiden.
Siauw sejak kecil sudah mempunyai watak perlawanan atas penghinaan dan ketidakadilan yang menimpa diri dan kelompok etnisnya. Saat itu, ejekan "cina loleng" sering sekali dilayangkan oleh kelompok anti-Tionghoa untuk merendahkan orang-orang Tionghoa. Begitulah, dengan kemahiran kung-fu yang dipelajari dari kakeknya, memungkinkan Siauw Giok Tjhan untuk berkelahi melawan anak-anak Belanda, Indo, dan Ambon yang mengejek dirinya. Istilah "cina-loleng" adalah salah satu penghinaan yang biasa dilontarkan untuk etnis Tionghoa. Keteguhan dan kekerasan jiwa dalam memperjuangkan keadilan tumbuh dalam lingkungan hidup yang harus dihadapi. Terutama setelah kedua orang tuanya meninggal dalam usia muda, ia terpaksa melepaskan sekolah begitu selesai HBS, untuk mencari nafkah meneruskan hidupnya bersama adik tunggalnya, Siauw Giok Bie yang masih harus meneruskan sekolah itu.
Ada beberapa peristiwa yang memperlihatkan Siauw Giok Tjhan adalah seorang yang sangat sederhana, keras pada diri-sendiri, tapi sabar pada orang lain.
Begitu keras dan disiplinnya tidak menggunakan milik umum untuk kepentingan diri sendiri dan keluarganya. Tan Gien Hwa, istrinya ketika di Malang, September 1947 akan melahirkan anak ke-4. Adik satu-satunya, Siauw Giok Bie hendak menggunakan mobil Palang Biru. Ia melarang Siauw Giok Bie untuk mengantar kakak iparnya (Ny. Siauw Giok Tjhan) ke rumah sakit dengan menggunakan fasilitas umum. Palang Biru adalah organisasi Angkatan Muda Tionghoa untuk memberikan pertolongan pertama kepada prajurit-prajurit yang terluka di garis depan melawan agresi militer Belanda. Beruntung, sekalipun harus diantar dengan naik becak, Ibu Siauw Giok Tjhan bisa melahirkan Siauw Tiong Hian dalam keadaan selamat.
Pada saat ia dilantik menjadi menteri negara Urusan Minoritas oleh Kabinet Amir Syarifudin, Siauw yang belum mendapatkan mobil menteri, hanya bisa naik andong (kereta kuda) untuk ke ke Istana. Tapi malang, ternyata andong dilarang memasuki halaman Istana, terpaksa ia turun dari andong dan dengan jalan kaki masuk Keraton Yogyakarta. Pada saat itu ia juga terbentur dengan masalah rumah tinggal. Ternyata tidak ada perumahan pemerintah yang bisa diberikan kepadanya sebagai menteri negara. Pada saat itu, menteri yang datang dari luar Yogyakarta, boleh tinggal di Hotel Merdeka. Tapi untuk menghemat pengeluaran uang negara, Siauw memilih tinggal di gedung kementerian negara, di Jalan Jetis, Yogya, dan harus tidur di atas meja tulis.
Kesederhanaan hidup sehari-hari, sebagaimana biasa kemana-mana hanya mengenakan baju kemeja-tangan pendek, yang lebih sering terlihat hanya berwarna putih, celana-drill pantalon dan bersepatu sandalet saja itu, beliau harus berkali-kali dianggap sebagai orang kere yang tidak perlu dilayani oleh noni-noni pejabat administrasi kenegaraan Indonesian pada saat beliau harus menemui Menteri-Menteri atau Presiden-Direktur Bank. Tapi, itulah pembawaan Siauw yang sangat bersahaja, yang dikagumi oleh kawan-kawan maupun lawan-lawan politiknya.
"Lahir di Indonesia, Besar di Indonesia menjadi Putra-Putri Indonesia" adalah semboyan yang untuk pertama-kalinya dikumandangkan Kwee Hing Tjiat melalui Harian MATAHARI di Semarang sejak tahun 1933-1934. Dan semboyan ini benar-benar menjadi keyakinan-hidup Siauw Giok Tjhan sejak masa muda, berjuang menjadi putra ter-baik Indonesia yang tidak ada bedanya dengan putra-putra Indonesia bersuku lainnya dalam usaha dan memperjuangkan kemerdekaan dan kebahagiaan hidup bersama.
Dalam menghadapi persoalan Tionghoa di Indonesia, Siauw Giok Tjhan menganut konsep Integrasi yaitu konsep menjadi Warga Negara dan menjadi bagian dari masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan budaya tanpa menghilangkan identitas budaya dan suku dari masing masing komponen masyarakat termasuk masyarakat Tionghoa. Konsep Integrasi yang diperjuangkan oleh Siauw Giok Tjhan ini sangat identik dengan teori "pluralisme" atau "multikulturalisme".
Menurut Siauw Giok Tjhan, Indonesian Race - Ras Indonesia - tidak ada. Yang ada adalah "Nasion" Indonesia, yang terdiri dari banyak suku bangsa. Siauw berpendapat, sejak tahun 50-an, golongan Tionghoa yang sudah bergenerasi di Indonesia, harus memperoleh status suku. Dengan demikian suku Tionghoa adalah bagian dari "Nasion" Indonesia. Berdasarkan pengertian inilah, Siauw mencanangkan konsep integrasi, sebagai metode yang paling efektif dalam mewujudkan "Nasion" Indonesia - Nasion yang ber-Bhineka Tunggal Ika - berbeda-beda tetapi bersatu. Setiap suku, termasuk suku Tionghoa, harus mengintegrasikan diri mereka ke dalam tubuh "Nasion" Indonesia melalui kegiatan politik, sosial dan ekonomi, sehingga aspirasi "Nasion" Indonesia itu menjadi aspirasi setiap suku. Berpijak di atas prinsip ini, Siauw mengemukakan bahwa setiap suku tetap mempertahankan nama, bahasa dan kebudayaannya, tetapi bekerja sama dengan suku-suku lainnya dalam membangun Indonesia.
"Lahir di Indonesia, Besar di Indonesia menjadi Putra-Putri Indonesia" adalah semboyan yang untuk pertama-kalinya dikumandangkan Kwee Hing Tjiat melalui Harian MATAHARI di Semarang sejak tahun 1933-1934. Dan semboyan ini benar-benar menjadi keyakinan-hidup Siauw Giok Tjhan sejak masa muda, berjuang menjadi putra ter-baik Indonesia yang tidak ada bedanya dengan putra-putra Indonesia bersuku lainnya dalam usaha dan memperjuangkan kemerdekaan dan kebahagiaan hidup bersama.
Dalam menghadapi persoalan Tionghoa di Indonesia, Siauw Giok Tjhan menganut konsep Integrasi yaitu konsep menjadi Warga Negara dan menjadi bagian dari masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan budaya tanpa menghilangkan identitas budaya dan suku dari masing masing komponen masyarakat termasuk masyarakat Tionghoa. Konsep Integrasi yang diperjuangkan oleh Siauw Giok Tjhan ini sangat identik dengan teori "pluralisme" atau "multikulturalisme".
Menurut Siauw Giok Tjhan, Indonesian Race - Ras Indonesia - tidak ada. Yang ada adalah "Nasion" Indonesia, yang terdiri dari banyak suku bangsa. Siauw berpendapat, sejak tahun 50-an, golongan Tionghoa yang sudah bergenerasi di Indonesia, harus memperoleh status suku. Dengan demikian suku Tionghoa adalah bagian dari "Nasion" Indonesia. Berdasarkan pengertian inilah, Siauw mencanangkan konsep integrasi, sebagai metode yang paling efektif dalam mewujudkan "Nasion" Indonesia - Nasion yang ber-Bhineka Tunggal Ika - berbeda-beda tetapi bersatu. Setiap suku, termasuk suku Tionghoa, harus mengintegrasikan diri mereka ke dalam tubuh "Nasion" Indonesia melalui kegiatan politik, sosial dan ekonomi, sehingga aspirasi "Nasion" Indonesia itu menjadi aspirasi setiap suku. Berpijak di atas prinsip ini, Siauw mengemukakan bahwa setiap suku tetap mempertahankan nama, bahasa dan kebudayaannya, tetapi bekerja sama dengan suku-suku lainnya dalam membangun Indonesia.
Siauw Giok Tjhan adalah ketua umum Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI), sebuah organisasi massa yang didirikan pada suatu pertemuan di Gedung Sin Ming Hui di Jakarta pada 13 Maret 1954. Pertemuan ini dihadiri oleh 44 orang Tokoh Tionghoa, kebanyakan dari mereka merupakan wakil dari berbagai organisasi Tionghoa, seperti PERWITT (Persatuan Warga Indonesia Turunan Tionghoa) yang berpusat di Kediri, PERWANIT (Persatuan Warga Indonesia Tionghoa) yang berdiri di Surabaya dan PERTIP (Perserikatan Tionghoa Peranakan) yang berdiri di Makassar. Semua peserta adalah peranakan Tionghoa yang umumnya berpendidikan Belanda. Sebagian besar dari mereka berasal dari Jawa, tetapi ada pula sebagian yang berasal dari luar Jawa, seperti Padang, Palembang, dan Banjarmasin.
Mereka mewakili semua spektrum politik di Indonesia saat itu, antara lain tokoh-tokoh golongan kanan, seperti Khoe Woen Sioe, Tan Po Goan, Auwyong Peng Koen, Tan Siang Lian. Tokoh-tokoh golongan kiri, seperti Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan dan Ang Jang Goan, dan mereka yang bergaris netral, seperti Thio Thiam Tjong, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Tan Eng Tie, Lim Tjong Hian dan Liem Koen Seng (adik Liem Koen Hian).
Siauw Giok Tjhan terpilih sebagai Ketua Umum, sementara wakil ketuanya adalah Oei Tjoe Tat, Khoe Woen Sioe, The Pek Siong, dan Thio Thiam Tjong. Baperki Cabang Jakarta dibentuk pada 14 Maret 1954 dan diketuai oleh Sudarjo Tjokrosisworo (seorang pribumi Indonesia).
Baperki ikut serta dalam Pemilu 1955 untuk memilih anggota DPR (29 September 1955) dan anggota Konstituante (15 Desember 1955). Dalam kedua pemilu ini, Baperki memperoleh 178.887 untuk DPR dan 160.456 untuk Konstituante, atau 70% suara dari golongan Tionghoa di Jawa. Dengan jumlah suara sebanyak ini, Baperki berhasil memperoleh satu kursi di DPR dan mendudukkan Siauw Giok Tjhan sebagai wakilnya.
Pada tahun 1958 Jajasan Pendidikan dan Kebudajaan Baperki mulai berpikir untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi. Maka pada tahun itu dibukalah Akademi Fisika dan Matematika yang tujuan utamanya adalah mendidik guru-guru sekolah menengah. Setelah itu, pada 1959, dibuka pula Kedokteran Gigi (September), dan Teknik (November). Pada 1962 dibuka Fakultas Kedokteran dan Sastra. Rektor pertama Universitas Baperki ini adalah Ferdinand Lumban Tobing, seorang dokter yang pernah menjadi menteri dalam beberapa kabinet di masa demokrasi parlementer.
Pada 1962, nama Universitas Baperki diubah menjadi Universitas Res Publica yang biasa disingkat sebagai URECA, dengan cabang-cabang di berbagai kota di Jawa dan Sumatra. Setelah peristiwa G30S, Universitas Res Publica ditutup, dan gedungnya diambil alih oleh pemerintah. URECA di Jakarta kemudian dibuka kembali dengan kepengurusan yang baru, dengan nama Universitas Trisakti.
Untuk Konstituante, Baperki diwakili oleh Siauw Giok Tjhan, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan, Liem Koen Seng, Oei Poo Djiang, Jan Ave dan C.S. Richter. Dua nama terakhir adalah wakil-wakil Baperki untuk golongan Indo.
Setelah tragedi Gerakan 30 September 1965, Baperki dibubarkan oleh pemerintah Orde Baru karena dituduh sebagai onderbouw Partai Komunis Indonesia. Sejumlah aktivisnya, seperti Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat dijebloskan ke penjara tanpa pernah diadili.
Siauw Giok Tjhan memasuki kancah politik nasional Indonesia melalui proses pembentukan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang dipelopori oleh Liem Koen Hian pada tahun 1932. Berusia 18 tahun, Siauw menjadi salah seorang pendiri PTI termuda. PTI berkembang sebagai aliran terbaru di dalam komunitas Tionghoa di zaman Hindia Belanda. Ia mendorong semua Tionghoa di kawasan Hindia Belanda, terutama yang lahir di sana, untuk menerima Indonesia sebagai tanah airnya. Argumentasinya, menurut perspektif masa kini, sangat masuk di akal. Orang Tionghoa pada umumnya lahir, hidup dan meninggal di Indonesia. Setelah hidup bergenerasi, kaitan dengan Tiongkok semakin berkurang.
PTI mendukung berdirinya GERINDO (Gerakan Rakyat Indonesia) pada tanggal 18 Mei 1937, yang berdasarkan keputusan Kongres di Palembang, menerima Oei Gee Hwat (Sekretaris Pengurus Besar PTI) menjadi salah seorang pengurus GERINDO. Ketika itu, GERINDO dibawah pimpinan A.K. Gani, Amir Syarifudin, Mohammad Yamin dan lain lain melanjutkan usaha perjuangan tokoh-tokoh PNI, Partindo, yang di-Digul-kan dan masih dalam pembuangan. Jadi, GERINDO menjalankan garis demokrasi yang mengutamakan perlawanan terhadap fasisme dan tidak mempersoalkan warna-kulit yang berbeda, bisa membuka pintu untuk menerima etnis Tionghoa.
Siauw Giok Tjhan dianggap sebagai tokoh yang memperjuangkan hak komunitas Tionghoa. Akan tetapi sebenarnya ia senantiasa bersandar atas prinsip yang dianugrahi PTI sejak tahun 1932, yaitu pemecahan masalah Tionghoa tidak terpisahkan dari masalah nasional Indonesia. Karena prinsip ini, Siauw Giok Tjhan kerap melontarkan pandangan-pandangan, di dalam bidang politik, sosial dan ekonomi, yang sifatnya membenahkan struktur Indonesia secara keseluruhan.
Pada tahun 1950-an, Siauw tekun menyebar-luaskan pandangannya dalam hal pengembangan ekonomi domestik. Pada hakekatnya, ia menganjurkan dilaksanakannya sebuah kebijakan ekonomi pemerintah yang menyuburkan pada usaha yang dikelola oleh para pedagang Indonesia tanpa memandang latar belakang ras si pedagang.
Argumentasinya, modal domestik ini sangat dibutuhkan untuk membangun ekonomi Indonesia dan pengkonsolidasian usaha domestik akan mempercepat kemakmuran yang bisa diarahkan kemerataannya.
Siauw menentang digalakkannya usaha-usaha raksasa yang dikelola oleh kekuatan multi-nasional karena menurutnya keuntungan usaha semacam ini, yang diperoleh dari eksploitasi kekayaan negara akan ditarik keluar dari Indonesia. Ia beranggapan kebijakan ekonomi yang membunuh usaha domestik dan membangun jaringan multi-nasional akan merugikan Indonesia.
Bilamana modal domestik dikembangkan, ia berargumentasi, keuntungan yang diperoleh akan dipergunakan oleh para pengusaha domestik untuk mengembangkan usahanya, sehingga Indonesia secara keseluruhan memperoleh faedahnya. Pandangan ekonomi digambarkan di atas sebenarnya mencanangkan "perkawinan" antara paham sosialisme dan kapitalisme. Ia menginginkan kapitalisme skala domestik berkembang untuk mempercepat proses perwujudan sosialisme ala Indonesia.
Pada tahun 1950-an, pandangan ekonomi Siauw cukup banyak ditentang oleh beberapa tokoh PKI di parlemen, seperti Sakirman. Mereka mempromosikan konsep ekonomi sosialisme yang menghendaki kapitalisme dikikis habis.
Kedekatan Siauw dengan Bung Karno dan para tokoh politik di zaman Demokrasi Terpimpin memungkinkan pandangan ekonomi ini masuk ke dalam kebijakan ekonomi yang tercantum di dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1964.
Sayangnya kebijakan ini tidak pernah dilaksanakan karena kekuasaan politik beralih ke tangan Soeharto lebih tertarik ke arah Kapitalisme.
Yap Thiam Hien
Obor Pejuang Keadilan dan HAM
Yap Thiam Hien seorang pengabdi hukum sejati. Ia mengabdikan seluruh hidupnya berjuang demi menegakkan keadilan dan hak asasi manusia (HAM). Namanya telah menjadi sumber inspirasi dan obor api semangat bagi segenap pejuang keadilan dan HAM di negeri ini. Pria Tionghoa ini seorang advokat teladan yang berani dan tanpa pamrih selalu hadir paling depan membela orang-orang tertindas. Patutlah namanya diabadikan sebagai nama penghargaan penegakan HAM: Yap Thiam Hien Award.
Sehingga, walaupun pejuang HAM, kelahiran Banda Aceh 25 Mei 1913, ini telah wafat 25 April 1989, namanya tetap hidup menjadi sumber inspirasi dan obor api perjuangan hak asasi manusia yang terus menyala, tidak pernah padam. Ia telah menjadi teladan dan guru bagi banyak advokat terkenal di negeri ini. Semangat juangnya untuk menegakkan keadilan diukir dalam lambang Yap Thiam Hien Award dengan semboyan Fiat Justitia, Ruat Caelum yang artinya tegakkan keadilan, sekalipun langit runtuh.
Agaknya, itu pulalah menjadi makna paling hakiki dari penganugerahan Yap Thiam Hien Award, yaitu suatu sumber nyala api semangat meneruskan (estafet) perjuangan hak asasi manusia sebagai komitmen terhadap kemerdekaan, keadilan dan peradaban. Suatu obor estafet hak asasi manusia. Sekaligus sebagai penghormatan dan penghargaan kepada Yap Thiam Hien, walaupun dia tidak mengharapkan penghargaan itu.
Yap Thiam Hien Award yang adalah penghargaan bidang HAM yang pertama di Indonesia, telah diselenggarakan sejak 1992. Dianugerahkan kepada individu dan lembaga yang teguh berjuang di bidang penegakan HAM.
Siapa Yap Thiam Hien? Sudah banyak cerita (kisah) tentang dia. Ia seorang pejuang hak asasi manusia di Indonesia. Sebagian besar hidupnya diabdikan untuk membela siapa saja yang tertindas. Pemilik sosok tubuh kecil ini bernyali besar untuk membela siapapun yang tertindas.
Ia dikenal sebagai seorang advokat teladan yang mencerminkan prinsip dan idealisme seorang penegak hukum yang ideal. Seorang pejuang hak asasi manusia yang gigih memperjuangkan hak-hak kaum terpinggir dan minoritas. Ia sosok advokat yang menjadi teladan dan sumber inspirasi bagi para penegak hukum generasi sesudahnya.
Sebagai advokat, ia tidak pernah memilih-milih klien untuk dibela. Sejak aktif sebagai advokat tahun 1948, ia selalu melayani kepentingan masyarakat dari semua lapisan tanpa kenal lelah. Hampir setiap perkara yang ditanganinya sarat dengan isu-isu yang bersangkutan dengan hak asasi manusia, prinsip-prinsip negara hukum dan keadilan. Ia tak pernah takut berhadapan dengan kekuasaan walaupun risikonya bisa menyulitkan dirinya, ditahan dan dipenjara.
Memang, ia seorang advokat yang pantas menyandang predikat istimewa dalam penegakan hukum dan keadilan di Indonesia: Seorang ‘Singa Pengadilan’. Demi menegakkan hukum dan keadilan, ia selalu siap berjuang habis-habisan tanpa mengenal rasa takut. Sering kali ia membela klien yang sebelumnya telah ditolak advokat lain karena miskin atau unsur politik dan mengenai kepentingan pemerintah. Pada era Orde Baru itu, kerap kali para advokat menghindari membela kepentingan rakyat yang tertindas. Tetapi, Yap tetap teguh pada prinsip, ia berani dengan segala konsekuensinya membeli kepentingan para wong cilik.
Contohnya, ia pernah membela pedagang di Pasar Senen yang tempat usahanya tergusur oleh pemilik gedung. Saking ‘geram’-nya ‘Singa Pengadilan’ ini bahkan menyerang pengacara pemilik gedung itu dalam persidangan, dengan mengatakan: “Bagaimana Anda bisa membantu seorang kaya menentang orang miskin?” Yap, salah seorang pendiri Lembaga Bantuan Hukum Indonesia itu berani membangkitkan semangat wong cilik tertindas dan tergusur itu untuk menentang kebijakan pemerintah yang salah, demi tegaknya keadilan.
Pada era Bung Karno, Yap (panggilan akrabnya) menulis artikel yang mengimbau presiden agar membebaskan sejumlah tahanan politik, seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Mochtar Lubis, Subadio, Syahrir, dan Princen.
Begitu pula ketika terjadinya G-30-S/PKI, Yap, yang dikenal sebagai pribadi yang antikomunis, juga berani membela para tersangka G-30-S/PKI seperti Latief, Asep Suryawan, dan Oei Tjoe Tat. Yap bersama Aisyah Aminy, Dr Halim, Wiratmo Sukito, dan Dr Tambunan yang tergabung dalam Lembaga Hak-hak Asasi Manusia yang mereka dirikan dan sekaligus mewakili Amnesty Internasional di Indonesia, meminta supaya para tapol PKI dibebaskan.
Ia juga membela Soebandrio, bekas perdana menteri, yang menjadi sasaran cacian massa pada awal Orde Baru itu. Pembelaan Yap yang serius dan teliti kepada Soebandrio itu sempat membuat hakim-hakim militer di Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) bingung, heran dan jengkel.
Yap juga seorang tokoh yang antikorupsi. Ia bahkan sempat ditahan selama seminggu pada tahun 1968 sebagai akibat kegigihannya menentang korupsi di lembaga pemerintah.
Pada Peristiwa Malari (Lima Belas Januari) 1974, Yap juga tampil teguh memosisikan diri membela para aktivis berhadapan dengan kekuasaan yang otoriter. Ia pun ditahan tanpa proses peradilan. Ia dianggap menghasut mahasiswa melakukan demo besar-besaran. Begitu pula ketika terjadi Peristiwa Tanjung Priok pada 1984, Yap maju ke depan membela para tersangka.
Yap Thiam Hien, anak sulung dari tiga bersaudara buah kasih Yap Sin Eng dan Hwan Tjing Nio, dibesarkan dalam lingkungan perkebunan yang sangat feodalistik. Kondisi lingkungan feodalistik ini telah menempa pribadi cucu Kapitan Yap Hun Han ini sejak kecil memberontak dan membenci segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan.
Semangat antipenindasan ini telah mendorongnya untuk giat belajar. Ia sadar bahwa pendidikan adalah syarat utama untuk bisa melawan penindasan. Tanpa pendidikan akan sulit bagi seseorang melepaskan diri dari penindasan, apalagi untuk membela orang dari penindasan. Maka ia pun dengan tekun belajar di Europesche Lagere School, Banda Aceh. Kemudian melanjut ke MULO di Banda Aceh.
Setamat dari MULO, Yap meninggalkan Banda Aceh, melanjutkan studi ke AMS A-II jurusan Sastra Barat di Yogyakarta pada 1933. Ketika di AMS itu Yap banyak menghabiskan waktu membaca literatur berbahasa Belanda, Jerman, Inggris, Prancis, dan Latin.
Kemudian ia pindah ke Jakarta, dan masuk Chineesche Kweekschool. Selepas itu, Yap menjadi guru di Chinese Zendingschool, Cirebon. Berikutnya menjadi guru di Tionghwa Hwee Kwan Holl, China School di Rembang dan Christelijke School di Batavia. Lalu, sejak 1938, Yap yang pernah menjadi pencari langganan telepon, bekerja di kantor asuransi Jakarta dan di Balai Harta Peninggalan Departemen Kehakiman pada 1943.
Belum puas dengan tingkat pendidikan yang diperolehnya, setelah kemerdekaan, Yap berangkat ke negeri kincir angin melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda. Dari sana ia meraih gelar Meester de Rechten.
Sekembali ke tanah air, ia mulai berkiprah sebagai seorang advokat sejak 1948. Pada mulanya menjadi pengacara warga keturunan Tionghoa di Jakarta. Setelah lebih berpengalaman, Yap bersama John Karwin, Mochtar Kusumaatmadja dan Komar membuka kantor pengacara pada 1950. Sampai kemudian, sebagai advokat pejuang, Yap membuka kantor pengacara sendiri sejak tahun 1970.
Sejak aktif sebagai advokat itu, Yap tak jemu-jemunya melayani kepentingan masyarakat. Ia pejuang hak asasi dan gigih memperjuangkan hak-hak kaum minoritas dan kaum tertindas. Dalam profesi sebagai advokat, untuk tujuan memperkuat hukum dan melayani keperluan keadilan, ia pun memelopori berdirinya Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) dan kemudian menjadi pimpinan asosiasi advokat itu.
Dalam rangka memperkuat perlawanannya terhadap penindasan dan tindakan diskriminatif yang dialami keturunan Tionghoa, Yap ikut mendirikan BAPERKI, suatu lembaga politik untuk orang-orang Tionghoa. Lalu, pada Pemilihan Umum 1955, ia menjadi anggota DPR dan Konstituante.
Nama Yap muncul ke permukaan setelah ia terlibat dalam perdebatan di Konstituante pada 1959. Ketika itu, sebagai seorang anggota DPR dan Konstituante keturunan Tionghoa, ia menolak kebijakan fraksinya yang mendapat tekanan dari pemerintah. Ia satu-satunya anggota Konstituante yang menentang UUD 1945 karena keberadaan Pasal 6 yang diskriminatif dan konsep kepresidenan yang terlalu kuat.
Perjalanan karir dan perjuangannya juga ditopang dengan kuat oleh Sang Isteri, Tan Gian Khing Nio, yang berprofesi guru. Mereka dikaruniai dua anak dan empat cucu. Yap, yang meraih gelar doktor honoris causa dan dikenal sebagai pengabdi hukum sejati itu, mampu dengan penuh semangat melaksanakan berbagai prinsip keadilannya, juga ditopang oleh Sang Isteri.
Bagi keluarganya, Yap juga seorang panutan. Walaupun sangat sedikit waktu yang bisa dia sediakan untuk keluarga, ia selalu berupaya memanfaatkan waktu yang sempit itu untuk bersahabat dengan isteri dan anak-cucunya. Jika ada waktu senggang ia senang memanfaatkannya dengan bepergian atau berdiskusi dengan putra-putrinya. Baginya, Sang Isteri dan putera-puterinya adalah inspiasi, gairah dan semangat tinggi.
Namun, setinggi apapun semangat itu, tak ada manusia yang kuasa menolak kematian. Begitu pula bagi Yap. Hari itu pun tiba. Dalam suatu perjalanan tugas menghadiri konferensi internasional Lembaga Donor untuk Indonesia di Brussel, Belgia, Yap menderita pendarahan usus. Setelah dua hari dirawat di Rumah Sakit Santo Agustinus, Brussel, Yap menghembuskan napas yang terakhir pada 25 April 1989. Jenazahnya diterbangkan ke Jakarta. Lima hari kemudian, diiringi ribuan pelayat, jenazahnya dikebumikan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir Jakarta.
-------------------------------------------------------------------------