Bismillaahirahmaanirrahiim
Kalau menurut saya, kebiasaan kita yang salah yang sering kita cuekin adalah TUMA'NINAH (diam, tenang, tidak buru-buru) dalam shalat. Apalagi kalau lagi sholat sendirian atau 'cuma' ngerjain sholat sunah rawatib. Kita sering lihat (atau lakukan) sholat sebatas 'memenuhi' kewajiban. Yang penting udah sholat. Was, wes, sholat tak ubahnya gerakan senam.
Padahal kita sedang menghadap Allah, meminta kepada-Nya, memuji-Nya... Astaghfirullaah.
Coba kita renungkan beberapa hadits berikut:
"Sejahat-jahatnya pencuri adalah orang yang mencuri dalam shalatnya", mereka bertanya: “Bagaimana ia mencuri dalam shalatnya?" Beliau menjawab: "(Ia) tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya".
(Hadits riwayat Imam Ahmad, 5/ 310 dan dalam Shahihul jami’ hadits no: 997.)
Abu Abdillah Al Asy’ari t berkata: “(suatu ketika) Rasulullah saw shalat bersama shahabatnya, kemudian beliau duduk bersama sekelompok dari mereka. Tiba-tiba seorang laki-laki masuk masjid dan berdiri menunaikan shalat. Orang itu ruku’ lalu sujud dengan cara mematuk, maka Rasulullah barsabda:
“Apakah kalian menyaksikan orang ini?, barang siapa meninggal dunia dalam keadaan seperti ini (shalatnya), maka dia meninggal dalam keadaan di luar agama Muhammad. Ia mematuk dalam shalatnya sebagaimana burung gagak mematuk darah. Sesungguhnya perumpamaan orang yang shalat dan mematuk dalam sujudnya bagaikan orang lapar yang tidak makan kecuali sebutir atau dua butir kurma, bagaimana ia bisa merasa cukup (kenyang) dengannya".
(Hadits riwayat Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya: 1/ 332, lihat pula shifatus shalatin Nabi, Oleh Al Albani hal: 131.)
Sujud dengan cara mematuk maksudnya: Sujud dengan cara tidak menempelkan hidung dengan lantai, dengan kata lain, sujud itu tidak sempurna, sujud yang sempurna adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas t bahwasanya ia mendengar Nabi r besabda: “Jika seseorang hamba sujud maka ia sujud denga tujuh anggota badan(nya), wajah, dua telapak tangan,dua lutut dan dua telapak kakinya”. HR. Jama'ah, kecuali Bukhari, lihat fiqhus sunnah, sayyid sabiq: 1/ 124.