• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

[Ask] Mahayana dan Theravada

Bahasa pali donk. Mungkin gue salah ngeja, Tapi kata itu terdapat dalam paritta Buddhanusati.. Coba dicek lagi. thx
 
aku liat dulu dhe

Ternyata Sugato hehe... dari
itipi2.gif
 
Bukan julukan tapi bahasanya mang gitu
kaya.. Sakayamuni Fo,Buddha sakyamuni,Buddha Gaotama, dll ya itu ma cuma sebutan doang

kalo sangbuddha punya nama ma banyak... kan ga cuma 1 buddhanya, buddha sakyamuni/gaotama aja itu buddha ke 28...

yg lainnya kan ada lagi cuman pacceka buddha smua
 
kalo bole ikut berpendapat...
CMIIW..
rasanya Mahayana dan Theravada sdkit berbeda ya..
karena Mahayana sperti menganggap Buddha itu Tuhan,sedang dalam Theravada para bhikku menganggap Buddha hanya sbagai simbol Guru..dan tidak menTuhankan Buddha..

di Mahayana Buddha digambarkan dapat dgn mudah meringankan dosa manusia melalui mantra2..
dalam Theravada dikatakan..tak ada yg dapat menyelamatkan manusia slain manusia itu sndiri..

tampaknya ckup berbeda y..?:)
 
kalo bole ikut berpendapat...
CMIIW..
rasanya Mahayana dan Theravada sdkit berbeda ya..
karena Mahayana sperti menganggap Buddha itu Tuhan,sedang dalam Theravada para bhikku menganggap Buddha hanya sbagai simbol Guru..dan tidak menTuhankan Buddha..

di Mahayana Buddha digambarkan dapat dgn mudah meringankan dosa manusia melalui mantra2..
dalam Theravada dikatakan..tak ada yg dapat menyelamatkan manusia slain manusia itu sndiri..

tampaknya ckup berbeda y..?:)

Setahu saya di aliran Mahayana tidak menganggap Buddha itu tuhan.

Masih banyak umat Buddha rancu terhadap pengertian "Dosa" . Pengertian Dosa dalam agama Buddha berbeda dengan agama lain. Pengertian DOSA dalam agama Buddha adalah kebencian. Dosa termasuk dalam Tiga Akar Kejahatan. Jadi Dosa dalam agama Buddha berbeda dengan agama lain. Yang ada kamma buruk.

Dengan membaca paritta,kita merenungkan sifat agung Sang Buddha,pikiran,ucapan dan perbuatan baik dan cinta kasih tentu akan menambah kebajikan dan karma baik.
 
maaf sblumnnya,saya rasa tidak demikian sdr singthung..


karena jika anda baca di salah 1 kitab sucinya..anda akan menemukan kitab dimana para Buddha bisa menyembuhkan penyakit lwat mantra
bisa juga menghilangkan dosa berat dgn hanya membaca sutta...

dan bnyk hal lainnya..
sperti melihat Buddha di masa kini..
dlindungi para Buddha...

ini jelas berbeda dgn konsep Theravada dimana Buddha suda parinibanna..
dan tiada lagi di alam semesta ini..
walaupun dharmanya tetap hidup..
tapi Buddha tidak dapat menyelamatkan manusia..
karena Buddha sndiri pnyedia jalan...
dan manusialah yg harus menjalankannya...
 
a

hmm mungkin kk singthung yang bener.. kan citta berperan dalam hidup ini, seperti yang di ringkasan kata-kata Sang Buddha tentang membaca paritta, ato sutra(sekarang juga bisa di sebut itu).

Kalau mau tau lihat post2nya singthung aja, sudah ada koq. :)
 
Mohon maaf Buat Ozma...
menurut saya munkin kamu salah pengertian tentang agama buddha..
ya mungkin saja di mahayana emang merasa bahwa buddha adalah tuhan...
tetapi aslinya.. buddha sendiri yg mengatakan bahwa dirinya itu bukan tuhan dan juga bukan titisan dari tuhan...

kalo msalah doa penyembuhan sama , dan penghilangan dosa..
itu adalah ajaran yg salah dari aliran tersebut karena.. buddha mengajarkan bahwa cara untuk menhilangkan dosa atau bisa disebut juga karma jahat .. adalah membuat karma baik... dan kalo masalah doa penyembuhan .. itu saya rasa tidak bisa....

sebenarnya saya sangat kasihan kepada bung ozma karena sama sekali tidak mengerti...
 
KK ada yang dah pernah baca sadharma pundarik sutra??
 
Mohon maaf Buat Ozma...
menurut saya munkin kamu salah pengertian tentang agama buddha..
ya mungkin saja di mahayana emang merasa bahwa buddha adalah tuhan...
tetapi aslinya.. buddha sendiri yg mengatakan bahwa dirinya itu bukan tuhan dan juga bukan titisan dari tuhan...

kalo msalah doa penyembuhan sama , dan penghilangan dosa..
itu adalah ajaran yg salah dari aliran tersebut karena.. buddha mengajarkan bahwa cara untuk menhilangkan dosa atau bisa disebut juga karma jahat .. adalah membuat karma baik... dan kalo masalah doa penyembuhan .. itu saya rasa tidak bisa....

sebenarnya saya sangat kasihan kepada bung ozma karena sama sekali tidak mengerti...

saya hanya membandingkan apa yg saya tahu ttg mahayana dibanding dgn theravada...

saya tau secara Theravada Buddha itu bukan Tuhan..
bahkan tidak merasa Tuhan..
karena Buddha sndiri blg dia itu penyedia jalan kan?
bukan juga menebus dosa

tapi lain halnya dgn MAHAYANA..

koq jadi kasihan sama saya?apa yg anda kasihani?
soal ketidaktahuan?
karena saya tidak tau...makanya saya bertanya pada anda yg suda lebih tau?
bukan begitu?
 
Hinayana Buddhism vs. Mahayana Buddhism
There are at least two major schools of thought in Buddhism:

o Mahayana (Big Raft) Buddhism
o Hinayana (Little Raft) or Theraveda (Way of the Elders) Buddhism

Of the two, Theraveda Buddhism claims to be the 'Original' Buddhism. Its basic focus in on the elimination of doctrines and the progress of the individual via their own efforts. Mahayana Buddhism claims to be the 'Buddhism of the masses' and focuses on doctrines and beliefs which will lead people along the path to enlightenment and prepare them for the experience. There are some significant differences between the two approaches to Buddhism:

o For Theraveda Buddhism, spiritual progress is up to the individual - the prayers and supplications of others on our behalf will not help. We must create our own path to enlightenment. For Mahayana Buddhism, the fate and progress of the individual in their quest for enlightenment is closely tied to that of all life.
o In Theraveda, humans are on their own in the universe - no one can help us - not gods, not the Buddha (since once he attained Nirvana he ceased to exist as an individual self). In Mahayana, we get help from the Buddha and from the natural world in the form of an 'energy' or 'power' which draws everything toward enlightenment. (Sounds like Mana)
o For the Theraveda Buddhist enlightenment is seen as the attainment of bodhi (wisdom) - of the supreme knowledge of the reality of the universe. The paradigm of enlightenment is the arhat or saintly one - who obtains Nirvana and ceases to exist. For the Mahayana Buddhist enlightenment is seen as the realization of karuna (compassion). The paradigm of enlightenment is the boddhisatva - the being who is able to obtain Nirvanabut remains in this world to aid others along their path. This view points to the example of the Buddha himself, who remained on this plane to communicate his truths before going on to Nirvana. The Mahayana Buddhist would identify Jesus and probably Mohammed as examples of boddhisatvas.
o In Theraveda the only way to obtain enlightenment is to join a monastic order and devote the rest of ones life to spiritual awakening. Mahayana is the religion of the common man and woman - one is allowed to participate in 'normal' activities of society (even getting married) while still attempting to obtain enlightenment.
o Theraveda regards the Buddha as a supreme sage, of which there may be others. In fact, the knowledge that the Buddha was a human being gives hope to the Buddhist that enlightenment is attainable for them as well. Mahayana regard the Buddha as a savior - his is almost revered as an aspect of the godhead - the supreme energy of the universe.
o Theraveda renounces all doctrines as false and spurns metaphysical speculations as useless and impractical. Mahayana Buddhism, on the other hand is full of elaborate cosmologies, with seven levels of heaven and all kinds of traditional ceremonies and rituals.
o The Theravada scriptures: The first Buddhist scriptures were said to have been written down by Theravada monks at a council in Sri Lanka in the first century BCE. They were written in an ancient Indian language called Pali. The collection of writings became known as the Pali canon or the Tipitaka - the Three Baskets. The three sections of the Tipitaka are:
+ The Vinaya Pitaka
+ The Sutta Pitaka
+ The Abhidhamma Pitaka
o Mahayana scriptures: The Mahayana scriptures were written in Sanskrit not Pali (which is the language of the Theravada scriptures). This accounts for the differences in spellings: Nirvana instead of Nibbana, Sutra instead of Sutta, etc. In the writings of the Mahayana Buddhists, Prince Siddattha took on a more mystical role. These scriptures also introduce the idea of the Bodhisattva. Bodhi means enlightenment and Sattva means essence. A Bodhisattva is a person who delays enlightenment ir order to stay in contact with humans to help them along the path of Buddhism.
+ The Pranjaparamita Sutras: These sutras were written in Sanskrit between 100 BCE and 600 CE. They are thought to be the perfect guide to achieving the wisdom of the Bodhisattva - wisdom which goes beyond this world. The Pranjaparamita Sutras include the Diamond Sutra and the Heart Sutra.
+ The Lotus Sutra: This sutra contains what Mahayana Buddhists believe to be the final teachings of the Buddha.

(These attributes are paraphrased from the treatment by Houston Smith and from the Mentorom CD-ROM "Religions of the World")
 
As the Theravada and the Mahayana are both stages in the development
of Buddhism, both are addressed to all individuals, so we can’t
distinguish between them in this respect. At the same time, there is a
difference, which will perhaps become clear with the help of a parable.
Let’s suppose that there is famine somewhere, a terrible famine of the
kind that still happens in Africa. People are gaunt and emaciated, and
there is terrible suffering. In a certain town in the country which has
been struck by this famine there live two men, one old, one young
who each have an enormous quantity of grain, easily enough to feed
all the people. The old man puts outside his front door a notice which
reads: ‘Whoever comes will be given food.’ But after that statement
there follows a long list of conditions and rules. If people want food
they must come at a certain time, on the very minute. They must
bring with them receptacles of a certain shape and size. And holding
these receptacles in a certain way, they must ask the old man for food
in certain set phrases which are to be spoken in an archaic language.
Not many people see the notice, for the old man lives in an out-ofthe-
way street; and of those who do see it, a few come for food and
receive it, but others are put off by the long list of rules … When the
old man is asked why he imposes so many rules, he says ‘That’s how
it was in my grandfather’s time whenever there was a famine. What
was good enough for him is certainly good enough for me. Who
am I to change things?’ He adds that if people really want food they
will observe any number of rules to get it. If they won’t observe the
rules they can’t really be hungry. Meanwhile the young man takes a
great sack of grain on his back and goes from door to door giving it
out. As soon as one sack is empty, he rushes home for another one.
In this way he gives out a great deal of grain all over the town. He
gives it to anyone who asks. He’s so keen to feed the people that he
doesn’t mind going into the poorest, darkest and dirtiest of hovels.
He doesn’t mind going to places where respectable people don’t usually
venture. The only thought in his head is that nobody should be
allowed to starve. Some people say that he’s a busybody, others that
he takes too much on himself. Some people go so far as to say that
he’s interfering with the law of karma. Others complain that a lot of
grain is being wasted, because people take more than they really need.
The young man doesn’t care about any of this. He says it’s better that
some grain is wasted than that anyone should starve to death. One
day the young man happens to pass by the old man’s house. The old
man is sitting outside peacefully smoking his pipe, because it isn’t yet
time to hand out grain. He says to the young man as he hurries past,
‘You look tired. Why don’t you take it easy?’ The young man replies,
rather breathlessly, ‘I can’t. There are still lots of people who haven’t
been fed.’ The old man shakes his head wonderingly. ‘Let them come
to you! why should you go dashing off to them?’ But the young man,
impatient to be on his way, says ‘They’re too weak to come to me.
They can’t even walk. If I don’t go to them they’ll die.’ ‘That’s too
bad,’ says the old man. ‘They should have come earlier, when they
were stronger. If they didn’t think ahead that’s their fault. ‘But by this
time the young man is out of earshot, already on his way home for
another sack. The old man rises and pins another notice beside the
first one. The notice reads: ‘Rules for reading the rules.’
No doubt you’ve already guessed the meaning of the parable. The old
man is the Arhat, representing Southern Buddhism, and the young
man is the Bodhisattva, representing the Mahayana. The famine is
the human predicament, the people of the town are ‘all living beings,
and the grain is the Dharma, the teaching. Just as in principle
both the old and the young man are willing to give out grain to
everybody, so in principle both the Theravada and the Mahayana are
universal, meant for all. But in practice we find that the Theravada
imposes certain conditions. To practice Buddhism within the Theravada
tradition, even today, if you’re taking it all seriously, you must leave home
438 and become a monk or nun. You must live exactly as the monks and
nuns lived in India in the Buddha’s time. And you mustn’t change
anything. The Mahayana doesn’t impose any such conditions. It makes
the Dharma available to people as they are and where they are, because
it is concerned solely with essentials. It’s concerned with getting the
grain to the people, not with any particular manner in which this is
to be done. The Theravada expects people to come to it, so to speak,
but the Mahayana goes out to them. This difference between the
Theravada and the Mahayana goes back to the early days of Buddhist
history. About a hundred years after the Buddha’s death, his disciples
disagreed about certain issues so strongly that the spiritual community
was split in two. Indeed, they disagreed about the very nature
of Buddhism itself. One group of disciples held that Buddhism was
simply what the Buddha had said. The Four Noble Truths, the Noble
Eightfold Path, the Twelve Links or chain of conditioned co-production,
the Four Foundations of Mindfulness – this was Buddhism.
But the other group responded that this was not enough. Yes, all of
these teachings did form part of Buddhism, but the example of the
Buddha’s life could not be ignored. The Buddha’s teaching revealed his
wisdom, but his life revealed his compassion, and both together made up
Buddhism.”
Sangha / Drama: 15 #2348 and 1799
NB: The differences between the two branches of Buddhism,
Mahayana and Theravada, are deliberately emphasized in the above
passages for the sake of clarity. In actual practice, these differences
are less clear-cut, and depend mainly on the state of mind of the
individual practitioner rather than on his affiliation.
(IV) Notes
Unlike Mahayana schools, the Theravada tradition makes no mention
of Amitabha Buddha, the Bodhisattva Avalokitesvara, etc. or the
Pure Land. Theravadins believe mainly in Sakyamuni Buddha and
the Bodhisattva Maitreya, but not in the numerous transhistorical
Buddhas and Bodhisattvas of the Mahayana tradition. This is because
Theravada stresses the historical Buddha and His early teachings,
applying the term Bodhisattva mainly to the previous incarnations of
Buddha Sakyamuni.

The various teachings of the Buddha constitute a totality. While it is
said that the Buddha taught 84,000 methods in accordance with the
capacity of his listeners, on another level we can also say that individuals
receive and understand these teachings differently. It is like rain
which falls equally on all vegetation. However, the big trees absorb
more of the rain water than the smaller trees, while a dead bush cannot
benefit at all. The differences between the different Buddhist
schools are similar: they are caused by the different capacities of
Buddhist followers and not by the Buddha preaching different teachings
to different audiences.

Maaf kutipan dari "Glosaary of budhism" di atas mungkin kurang berkenan bagi sebagian kita. tapi mengapa kita tidak mendengar pendapat orang lain, sebelum kita terus menerus menghakimi kebudhis-an orang lain.
 
begini bung Ozma..

pertannyaannya skr adalah... kalo di ajaran aslinya buddha sendiri menyebutnya bukan tuhan dan tidak ada mantra buat penyembuh sakit.. knp di mahayana malah disebut tuhan dan ada mantra penyembuh penyakit....?
 
Maaf buat bung "Yang Terakhir" Menurut konferensi sangha dunia saya lupa yang keberapa, Penggunaan kata hinayana sudah tidak dipakai lagi. Karena terkesan merendahkan aliran Theravada...
 
yang saya tau ttg mantra peyembuh penyakit dalam aliran mahayana itu dapat dipahami sebagai berikut :
kalo kita dalam kondisi sakit kan untuk melakukan suatu perbuatan (apalagi karma baik ) kan sangat terbatas, lalu seharian kita hanya mensia-siakan waktu, nah mungkin timbul pemikiran dari para sesepuh yang menurukan mantera ini utnuk kita laksanakan jika kita sakit dengan maksud daripada kita menyia-yiakan waktu kita alangkah baiknya kita memuji dan menghormati para buddha, para suciawan dll dengan khidmad melalui metode dengan melafal mantera tsb, bukan ini dapat mengurangi karma buruk kita ( kusala vaci kamma = berbuat baik melalui ucapan ), lalu dengan berkurangnya karma buruk kita atau setidak tertekannya karma buruk kita dengan kekuatan karma baik kita maka kemungkinan kita terlepas dari rasa sakit itu semakin membesar ( sakit kan bisa dikategorikan sedang mendapat karma buruk ), ini pengertian saya ttg mantera tsb.

tapi kita boleh percaya atau tidak, banyak teman-teman saya yang membacakan mantera Ta pei cou pada segelas air dengankekuatan tekad dan keyakinan yang tulus kepada bodhisatva avalokistevara lalu diminumkan ke pasien, terus si pasien tersebut merasakan energi yang terasa sangat menyegarkan kondisi tubuhnya yang sedang sakit tsb.

saya rsa semua ini hanya perbedaan metodologi dalam pelaksanaan dharma sang buddha, seperti yang di jelaskan oleh sdr/i kwetiau sapi jangkung. karna kalo kita mau mencari poerbedaan sebuah aliran lebih baik bukan dari cara metodenya akan tetapi pada prinsip dasarnya, kalo dalam agama buddha itu adalah :
1. adanya Buddha Dharma Sangha / triratna
2. Hukum karma
3. pattica samupada
4. tilakkhana
5. catur arya satyani
6. asta arya marga

ini merupakan konsep dasar budhisme yang diakui oleh dunia.

nah kalo metodenya kan bisa beraneka ragam.

kalo saya bialng pada dasarnya 3 aliran besar dalam buddhisme ini semuanya mempunyai konsep dasar yang sama hanya berbeda pemahaman dan metodologinya saja sehigga terkesan tidak sama.
 
@kwetiaw
Anda benar, istilah hinayana muncul sebagai kebalikan dari mahayana, memang secara tidak langsung terkesan merendahkan yang non-mahayana.
Karena Vajrayana/Tantra juga hanya bisa dijalani dengan basis mahayana, tersisalah theravada sebagai non-mahayana, sehingga terkesan theravada adalah hinayana
memang istilah tersebut tidak perlu lagi untuk dipergunakan.

"Bodhicitta" adalah dasar bagi semua Mahayana, hanya dengan berkembangnya bodhicitta barulah dapat dikatakan sebagai telah memasuki jalan.
istilah hinayana muncul untuk menjelaskan tentang sistem latihan yang tidak terlebih dahulu mengembangkan bodhicitta.

Maaf, tentang kutipan di atas, saya hanya mengutip mengikuti teks aslinya.
Secara pribadi saya sendiri merasa penjelasan kutipan tersebut memang sepihak.
Namun saya mengutip yang demikian sekedar untuk menjadi penyeimbang, karena banyak rekan yang terkesan menggunakan konsep yang mereka pegang teguh untuk "mengukur" kesahihan/kebudhisan rekan-rekan yang lain.

Dan Theravada adalah theravada.. tidak perlu karena dinyatakan oleh konsili/konferensi Buddhis manapun. Ini adalah mengenai bagaimana kita mengagumi dan menghormati Siapapun yang tengah di dalam Jalan.

Dan semoga sebutan Theravada tidak pula berarti bahwa yang non theravada hanyalah segelintir ajaran yang dikarang sana sini, tidak dapat ditelusuri kebenarannya, bukan ajaran para Thera, dianggap sempalan dan cap cai, ....
Ini bukan urusan adil-tidak adil,
Ini adalah urusan menggoyahkan keyakinan dan sistem pembinaan,
Ini adalah perbuatan yang siapapun tidak akan sanggup untuk menanggung karmanya.

Maaf kalau saya terus menerus berusaha mewakili yang tidak terwakili.
Semoga saya dipahami dan direstui.

Che Pei..
 
HINAYANA, SEBUAH MITOS KUNO



Beberapa di antara kita mungkin sering mendengar bahkan mungkin ada yang menggunakan istilah Hinayana. Ada yang berpendapat bahwa Hinayana adalah salah satu aliran/sekte dari Buddhisme yang berarti Kendaraan Kecil. Dan ada yang berpendapat bahwa aliran Hinayana adalah aliran Theravada. Dan ada juga yang berpendapat bahwa Hinayana berarti kendaraan berkapasitas kurang ? Benarkah demikian ? Mari kita ulas.


Kerancuan

Kita semua pasti sependapat bahwa pada masa kehidupan Sang Buddha tidak ada sekte atau aliran dalam Buddhisme. Apa yang diajarkan Sang Buddha pada saat itu hanyalah disebut Dhamma dan Vinaya. Oleh karena itu tidak mungkin aliran yang bernama Hinayana itu ada pada masa itu. Tetapi di antara abad ke-1 SM sampai abad ke-1 M istilah Mahayana dan Hinayana muncul dalam Saddharma Pundarika Sutra Atau Sutra Teratai. Istilah ini terdapat pada bab 3 dari Sutra Teratai. Ini menjadi hal yang menarik. Jika pada masa kehidupan Sang Buddha tidak ada sekte atau aliran dalam Buddhisme, mengapa terdapat istilah Mahayana dan Hinayana dalam Sutra Teratai yang dikatakan dibabarkan sendiri oleh Sang Buddha? Mengacu pada aliran manakah Hinayana ini? Theravada kah?

Pada masa sekarang terjadi kerancuan dalam umat Mahayana ataupun Vajrayana di dalam menggunakan istilah Hinayana dengan tiga cara yang berbeda, yaitu:



Dalam pemahaman sejarah; aliran Pra-Mahayana di anggap sebagai Hinayana.

Theravada modern dianggap sebagai Hinayana.

Istilah Hinayana digunakan sebagai bagian internal dari ajaran Mahayana
Mari kita lihat lebih dekat penggunaan tiga cara ini.
Beberapa orang menyatakan bahwa kata Hinayana adalah sebagai istilah untuk aliran lebih awal yang penggunaannya hanya digunakan pada masa lalu saja. Ini tidak benar. Hal tersebut dapat ditemukan di beberapa karya referensi modern, dan dalam literatur spesial lainnya, sebagai contoh dapat ditemukan di Buddhist Philosophy In Theory and Practice, H.V. Guenther, yang mengutip sebuah karya Tibet dari abad ke-18 dan 20.


Sebagai contoh kerancuan istilah Hinayana dengan Theravada, terdapat dalam kutipan Bibliografi Jane Hope (Jane Hope pernah belajar kepada Chogyam Trungpa Rinpoche.), Buddha for beginners, dicetak tahun 1995, berikut terjemahan dari versi Norwegia: ”Buddhisme Hinayana. Suatu pengenalan yang baik untuk tradisi Hinayana adalah ’What the Buddha Taught’, karya Walpola Rahula ... Berasal sudut pandang masa sekarang dan ditulis oleh dua orang Barat yang berlatih tradisi Theravada, adalah... Seeking the Heart of Wisdom, oleh Joseph Goldstein & Jack Kornfield ...”


Sekarang untuk kerancuan yang kuat, terdapat dalam Buddhisme Tibet. Beberapa orang mengatakan bahwa Hinayana dan Mahayana pada awalnya adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan dua sikap spiritual yang berbeda, dan dikutip dari Bab ke-7 ("Loving Kindness and Compassion") dari karya Tibet klasik, The Jewel Ornament of Liberation, yang ditulis pada abad ke-10, dimana penulis, Jé Gampopa mengacu Hinayana sebagai “kapasitas sedikit” ("theg pa dman pa"). Paragrafnya terbaca sebagai berikut: “Berhubungan dengan kebaikan diri atas kedamaian semata (1) menandakan suatu sikap kapasitas yang rendah (2) dimana keinginan untuk menghapus penderitaan hanya dipusatkan pada dirinya sendiri. Dengan penghindaran penghargaan terhadap orang lain ini maka hanya ada sedikit pengembangan akan kepedulian terhadap yang lain. [...] Ketika Kasih Sayang dan Belas Kasih menjadi satu, begitu banyak rasa keperdulian terhadap kesadaran makhluk-makhluk lain sehingga seseorang tidak bisa hanya membebaskan dirinya sendiri saja. [...] Guru Manjushrikirti pernah mengatakan: ’Pengikut Mahayana seharusnya tidak tanpa memiliki kasih sayang dan belas kasih meskipun sekejap saja’, dan’bukanlah kemarahan dan kebencian tetapi kasih sayang dan belas kasih-lah yang bersedia memberikan kesejahteraan orang lain’.”
Catatan kaki pada bagian buku ini adalah sebagai berikut:

(1) Kata zhi.ba dalam bahasa Tibet berarti ”damai”(peace). Pada bagian buku tersebut diterjemahkan sebagai ”kedamaian semata” (mere peace), sejak buku tersebut digunakan oleh Gampopa untuk menunjukkan hubungan kedamaian tanpa belas kasih yang merupakan hasil dari pengembangan meditasi konsentrasi semata saja.
(2) Hinayana: ”kapasitas sedikit” sering diterjemahkan sebagai ”kendaraan kecil”. Istilah ini menyiratkan kemampuan untuk membawa beban. Dalam kasus ini beban tersebut adalah diri sendiri sejak seseorang berkomitmen untuk membawa diri sendiri pada pembebasan sendiri, bukan semua orang (dalam hal ini Mahayana, ”kapasitas besar”).

Masalah dan kerancuan di sini tentunya bukanlah sebuah analisa yang mengacu secara langsung pada kata hinayana dalam bahasa Pali/Sanskerta, tetapi mengacu pada terjemahan bahasa Tibet "theg pa dman pa". Inilah kunci permasalahannya.


Pengertian Hinayana

Kita mulai dengan pengertian dari kata Hinayana. Kata Hinayana bukanlah berasal dari bahasa Tibet, bukan berasal dari bahasa China, Inggris ataupun Bantu, tetapi berasal dari bahasa Pali dan Sanskerta. Oleh karena itu, satu-satunya pendekatan yang masuk akal untuk menemukan arti dari kata tersebut, adalah mempelajari bagaimana kata hiinayaana digunakan dalam teks Pali dan Sanskerta.

Kata hiinayaana berasal dari 2 kata, yaitu ”hiina” dan ”yana”. Kata ”yana” berarti kendaraan, tidak ada yang berselisih paham mengenai kata ini. Sedangkan beberapa orang mengatakan kata ”hiina” adalah lawan dari kata ”maha”. Padahal bila kita menengok bahasa Sanskerta maupun bahasa Pali, lawan kata dari kata ”maha” yang berarti besar bukanlah ”hiina” tetapi kata ”cuula” yang berarti ”kecil”. Lalu apakah arti kata ”hiina”? Kata ”hiina” sendiri berarti rendah, buruk, amoral. Hal ini dapat dibuktikan dengan kata ”hina” dalam kosakata Indonesia yang sedikit banyak dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta.

Selain itu, di dalam kitab Pali, dimana setiap Buddhist tentu tahu kotbah pertama Sang Buddha yaitu Dhammacakkappavattana Sutta, sebuah kotbah yang disampaikan kepada lima petapa yang menjadi lima bhikkhu pertama, di dalamnya terdapat kata ”hiina”. Sang Buddha bersabda: ”Dua pinggiran yang ekstrim, O para bhikkhu, yang harus dihindari oleh seseorang bhikkhu (yang meninggalkan keduniawian). Pinggiran ekstrim pertama ialah mengumbar napsu-napsu, kemewahan, hal yang rendah (hiina), kasar, vulgar, tidak mulia, berbahaya...”

Mengingat bahwa sutta memiliki gaya yang sering mengunakan kata-kata yang bersinonim, sehingga saling menguatkan dan menjelaskan satu sama yang lain, maka dalam hal ini dapat dilihat bahwa, kasar, vulgar, tidak mulia, berbahaya adalah sebagai definisi pelengkap dari kata ”hiina”.

Di sini Sang Buddha menunjukkan dengan jelas bahwa jalan yang harus dihindari untuk dilatih merupakan sesuatu yang hiina.

Dalam teks Pali dan komentar lainnya, hiina sering digunakan dalam kombinasi kata hiina-majjhima-pa.niita, yaitu : buruk – menengah – baik. Dalam konteks hiina- majjhima-pa.niita (atau kadang hanya hiina- pa.niita), kata ”hiina” selalu digunakan sebagai suatu istilah untuk kualitas yang dihindari seperti kebencian, keserakahan, dan kegelapan batin. Hal ini jelas bahwa kata ”hiina” berarti ”rendah, yang harus dihindari, tercela”, dan bukannya ”kecil” atau ”kurang”.

Sekarang dalam teks Sanskerta. Dalam Lalitavistara kita dapat menemukan versi Dhammacakkappavattana Sutta, dimana kata ”hiina” digunakan tepat seperti kutipan dalam sutta versi Pali.

Dalam Mahayanasutralankara karya Asanga, yang mewakili seluruh teks Mahayana, kita menemukan sesuatu yang menarik bagi pertanyaan kita. Asanga mengatakan: ”Ada tiga kelompok manusia: hiina-madhyama-vishishta…(buruk-menengah-terbaik).” Ungkapan ini sesuai dengan teks Pali: hiina-majjhima-pa.niita, dan ini menunjukkan bahwa umat Mahayana yang menggunakan istilah ”hinayana”, melihat ”hiina” sebagai istilah penjelekkan (penghinaan), dengan arti yang sama seperti dalam teks Pali.

Teks yang sangat menarik yaitu edisi dari Catushparishatsutra dimana teks tersebut di tampilkan dalam 4 kolom sejajar: terjemahan Sanskerta, Pali (Mahavagga), Tibet dan Jerman yang berasal dari versi bahasa China. Di ini, kembali, kita menemukan Dhammacakkappavattana Sutta. Kita telah melihat terjemahannya dalam bahasa Sankerta dan Pali. Versi Jerman dari bahasa China mengatakan: “Erstens: Gefallen zu finden an und anzunehmen die niedrigen und üblen Sitten der gewöhnliche Personen ..." Sedikit kurang jelas apakah kata "niedrigen" (hina) atau "üblen" (jahat, buruk) berhubungan dengan ”hiina”. Tapi pada akhirnya, jelas bahwa konotasi yang sangat negatif dari kata ”hiina” terdapat pada terjemahan bahasa China.

Dalam kolom terjemahan bahasa Tibet, kita menemukan kata Tibet "dman-pa" berhubungan dengan kata ”hiina” dalam bahasa Sanskerta, sesuai dengan kutipan Jé Gampopa di atas. Dan di ini kita memiliki penyebab dari kerancuan dan kesalahpahaman kemudian atas istilah hiiinayana. Mari kita lihat kamus bahasa Tibet-Inggris tentang "dman-pa": Kamus Sarat Chandra Das mengatakan : ” dman-pa: sedikit (low) mengacu pada kuantitas atau kualitas, kecil (little)”. Kamus Jäschke bahkan lebih menjelaskan: “"dman-pa": 1. sddikit (low), mengacu pada kuantitas, kecil (little). 2. mengacu pada kualitas: acuh tak acuh (indifferent), hina/buruk (inferior) (Ssk :hiina).”

Berdasarkan hal itu nampaknya kata hiina dalam bahasa Sanskerta, tanpa diragukan lagi berarti ”kualitas rendah/buruk” yang diterjemahkan dalam bahasa Tibet sebagai ”dman-pa” memiliki dua arti yaitu ”kualitas rendah” dan ”kuantitas sedikit”. Dan petikan dari Jé Gampopa di atas nampaknya mengindikasikan bahwa banyak orang Tibet untuk selanjutnya membaca pada arti yang terakhir dari kedua arti tersebut sebagai ”kapasitas sedikit”, ”kapasitas kecil”, jadi artinya mengalami distorsi dari ”kualitas rendah/buruk” menjadi ”kuantitas sedikit ”.

Dengan demikian kita melihat bahwa kerancuan timbul dari fakta bahwa kata ”dman-pa” memiliki dua arti dalam bahasa Tibet. Hinayana – semula berarti ”kendaraan kualitas buruk.” – yang kemudian memiliki arti baru ”kendaraan kapasitas rendah”. Tapi hal ini berasal dari cara yang salah. Tentu adalah sebuah kesalahan menerapkan suatu arti dalam bahasa Tibet yang baru ke dalam bahasa Sanskerta/Pali, dan mengatakan, ”Inilah arti dari Hinayana, karena inilah bagaimana para Guru di Tibet menjelaskannya.” Apa yang para Guru Tibet jelaskan adalah kata ”dman-pa” dalam bahasa Tibet, bukan kata hiina dalam bahasa Sanskerta.

Oleh karena itu jelas sudah bahwa seseorang tidak dapat menyatakan bahwa Hinayana memiliki pengertian yang ”lembut” seperti yang diberikan oleh tradisi Tibet melalui kata ”dman-pa”. Hinayana bukanlah bahasa Tibet, tetapi Sanskerta/Pali, dan memiliki arti yang kasar, arti yang bersifat menghina yang tidak dapat dirubah oleh usaha perlunakkan apapun.


Hinayana sebuah aliran Buddhisme?

Di mulai pada Sidang Agung Sangha ke-2 dimana Buddhisme terbagi menjadi 2. Di satu sisi kelompok yang ingin perubahan beberapa peraturan minor dalam Vinaya, disisi lain kelompok yang mempertahankan Vinaya apa adanya. Kelompok yang ingin perubahan Vinaya memisahkan diri dan dikenal dengan Mahasanghika yang merupakan cikal bakal Mahayana. Sedangkan yang mempertahankan Vinaya disebut Sthaviravada.

Sidang Agung Sangha ke-3 (abad ke-3 SM), Sidang ini hanya diikuti oleh kelompok Sthaviravada. Sidang ini memutuskan untuk tidak mengubah Vinaya, dan Moggaliputta Tissa sebagai pimpinan sidang menyelesaikan buku Kathavatthu yang berisi penyimpangan-penyimpangan dari aliran lain. Saat itu pula Abhidhamma dimasukkan. Setelah itu ajaran-ajaran ini di tulis dan disahkan oleh sidang. Kemudian Y.M. Mahinda (putra Raja Asoka) membawa Tipitaka ini ke Sri Lanka tanpa ada yang hilang sampai sekarang dan menyebarkan Buddha Dhamma di sana. Di sana ajaran ini dikenal sebagai Theravada.

Setelah Sidang Agung Sangha ke-3, Buddhisme terdiri dari 18 aliran yaitu:


(1) Thera-vadino, (2) Vajjiputtaka, (3) Mahigsasaka, (4) Dhammuttarika, (5) Bhaddayanika, (6) Channagarika, (7) Sammitiya, (8) Sabbatthivada, (9) Dhammaguttika, (10) Kassapika, (11) Sankantika, (12) Suttavada, (13) Mahasamghika, (14) Gokulika, (15) Ekabyoharika, (16) Bahulika, (17) Pannatti-vada, (18) Cetiya-vada.

Banyak hal-hal yang terjadi pada masa itu di India Pusat. Di antaranya adanya beberapa kelompok bhikkhu yang menjalankan Buddha Dhamma secara ekstrim dengan hanya mementingkan intelektual semata dan lupa dengan hal yang utama yaitu praktek dan pengamalan. Kemudian kelompok lain yang memegang prinsip pengamalan mulai melakukan kritik dan menerapkan konsep bodhisatta, namun mereka pun menjadi ekstrim sehingga menciptakan figur-figur bodhisatta.

Akhirnya antara abad ke-1 SM sampai abad ke-1 M, muncullah Saddharma Pundarika Sutra dengan istilah Hinayana dan Mahayana. Dan sekitar abad ke-2 M, aliran Mahayana menjadi nyata dan utuh setelah Nagajurna mengembangkan filsafat Sunyata dalam teks kecil yaitu Madhyamika-karika. Abad ke- 4 M , Asanga dan Vasubandhu menulis banyak karya mengenai Mahayana.

Dari sejarah yang telah di sampaikan di atas, tidak ada aliran yang bernama Hinayana pada 18 aliran Buddhsime terdahulu. Lalu siapa yang dimaksud dengan Hinayana dalam Sutra Teratai ? Apakah Theravada ? Tidak, ketika Mahayana muncul dengan Sutra Teratainya, Theravada yang dulunya bernama Sthaviravada telah ”hijrah” atau ”beremigrasi” ke Sri Lanka dan ketika perdebatan Mahayana-Hinayana terjadi, sukar untuk menghitung aliran mana yang mendominasi di India Pusat. Aliran tua yang sangat berpengaruhi saat itu adalah Sarvastivada, jadi mungkin saja aliran ini, tapi sukar dikatakan jika hanya aliran ini saja yang merupakan target satu-satunya dari ejekan ”Hinayana”.

Sekarang Sarvastivada dan aliran-aliran Buddhisme lain di India Pusat yang ada pada saat itu sudah lama mati, kecuali Theravada. Tidak bisa dipastikan siapa sebenarnya Hinayana itu. Hinayana itu tidak ada. Hinayana hanyalah sebuah mitos.

Istilah Hinayana yang berkonotasi negatif ini hanya bisa dipastikan sebagai suatu kritikan bahkan ejekan untuk aliran terdahulu yang masih ada pada waktu itu yang melakukan hal yang tidak sesuai Dhamma dan Vinaya seperti misalnya hanya mementingkan intelektual semata dan lupa dengan hal yang utama yaitu praktek dan pengamalan. Istilah ”Hinayana” tidak lain juga merupakan bentuk defensive kelompok Mahayana terhadap kritikan dari aliran lama yang mengkritik umat Mahayana, khususnya mengenai penciptaan sutra-sutra baru dan ”penempaan” sabda-sabda Sang Buddha. Demikianlah mengapa istilah Hinayana mendapat sebutan ”miring” sebagai aliran yang mementingkan pribadi. Dan istilah ”Hinayana” ini terus berlangsung dan dipegang oleh beberapa umat Mahayana dan Vajrayana untuk menamai aliran/sekte di luar Mahayana dan Vajrayana.

Pada tahun 1950, World Fellowship of Buddhists dalam World Council di Colombo telah menyepakati bersama bahwa istilah Hinayana harus disingkirkan dari penamaan terhadap aliran lain. Dan sangat disayangkan jika dewasa ini masih ada yang memegang mitos ini sampai sekarang.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.