yan raditya
IndoForum Addict E
- No. Urut
- 163658
- Sejak
- 31 Jan 2012
- Pesan
- 24.461
- Nilai reaksi
- 72
- Poin
- 48
Kawasan karst Maros Pangkep menjadi incaran banyak pihak, terutama karena potensi tambangnya. Hal itu tergambar jelas pada Data dinas ESDM Sulsel, sebanyak 134 Izin Usaha Pertambangan (IUP) telah dikeluarkan. Dari jumlah itu, 73 IUP ditujukan untuk pertambangan marmer.
“Marmer dari Sulsel diminati. Harganya lebih murah dibanding marmer Eropa dengan jenis warna yang sama, krem dan putih. China belum bisa produksi dan permintaan cukup tinggi,“ tutur Ketua Asosiasi Pengusaha Marmer Indonesia Sulsel Hamdan kepada okezone.
Namun, penambangan marmer bisa mengubah bentang alam. Seperti dipaparkan Muhammad Ikhwan dari Kelompok Pencinta Alam Tapak Rimba Nusantara Maros saat ditemui terpisah.
“Kalau ditambang, pengusahanya saja yang untung besar, masyarakat sekitar kurang diberdayakan. Mereka hanya menjadi pekerja saja, tetapi bahan tambangnya habis, lingkungan rusak, masyarakat sengsara,“ papar Ikhwan.
Ikhwan menawarkan agar wilayah sekitar kawasan karst menjadi daerah wisata. Menurutnya, potensi alam di kawasan karst memiliki keindahan yang sudah didapat tandingannya.
“Apalagi ada cagar budaya dan situs. Jadi bisa menjadi semacam wisata sejarah. Jalan-jalan menikmati keindahan alam sambil mempelajari sejarah, kegiatan yang mengasyikkan bagi banyak orang,“ tuturnya.
Hal senada dikemukakan Dosen Fakultas Kehutanan Unhas Professor Amran Achmad. Menurut Amran, seharusnya kawasan karst dilindungi dan dimanfaatkan non-konsumtif. Non konsumtif yang dimaksudkannya adalah pemanfaatan kawasan karst yang tidak merusak kawasan itu sendiri.
“Apalagi kalau ada nilai budaya di dalamnya. Ada situs, ada cagar budaya yang harus dijaga. Pada dasarnya semua kawasan karst Maros Pangkep masuk kelas satu yang seharusnya dijaga,“ imbuh Guru Besar Fakultas Kehutanan Unhas itu.
Amran yang mengambil judul “Penerapan Ilmu Ekologi Hutan dalam Konservasi Ekosistem Karst menawarkan pemanfaatan kawasan karst yang belum dijamah menjadi kawasan wisata”.
Dia membandingkan nilai ekonomis hasil tambang di kawasan karst dengan nilai ekonomis kawasan karst yang dimanfaatkan sebagai kawasan wisata.
“Kawasan karst yang menjadi daerah wisata pemasukannya meningkat seiring perjalanan waktu. Sementara, kawasan karst yang dikelola dengan pertambangan nilai pemasukannya akan semakin menurun,“ jelas Amran.
Amran mencontohkan, pendapatan pemerintah daerah dari pemanfaatan spesies dan ekosistem berkelanjutan karst di Bantimurung. Bantumurung difungsikan sebagai Taman Wisata Alam. Pada 2008, kata dia, pengunjung TWA Bantimurung 578.981 orang dan pemasukannya mencapai Rp2,8 miliar.
Tahun berikutnya 2009, jumlah kunjungan menjadi 692.212 orang dengan pemasukan mencapai Rp3,2 miliar.
“Jumlah ini dua kali lebih besar dari pemasukan sektor pertambangan yang dipastikan menghancurkan ekosistem karst yang unik. Pendapatan tambang marmer saat itu bagi Maros hanya Rp 20 juta. Jika dengan wisata kawasan karst lebih lestari, pendapatannya lebih tinggi,“ ucapnya.
Amran berpesan agar usaha pemanfaatan ekosistem karst Maros Pangkep harsunya dengan pendekatan konservasi. Menurutnya, perlindungan monumen alam kebanggaan masyarakat bisa terjaga.
“Ini kebanggaan kita bersama, bahkan menjadi kebanggaan dunia. Alam di sekitar kita sekarang hanyalah pinjaman dari anak cucu yang harus dikembalikan utuh kepada mereka sebagai pemilik sah, pungkas lelaki murah senyum ini.