magnum
IndoForum Activist C
- No. Urut
- 1320
- Sejak
- 27 Mei 2006
- Pesan
- 14.143
- Nilai reaksi
- 417
- Poin
- 83
Tiga Pelari Lintasi Gurung Sahara
GURUN BARAT, KAMIS - Kalau pereli Paris-Dakkar menggunakan motor atau mobil untuk melintasi gurun Sahara, tiga orang atlet dari tiga negara nekad melintasinya hanya dengan berlari. Rute sejauh 6.437 kilometer pun dihabiskannya dalam 111 hari dengan berlari secara maraton dua kali setiap hari.
"Kami menyentuh air di Senegal saat memulai dan menyentuh air kembali di Laut Merah saat mengkhirinya. Itulah catatan tebal perjalanan kami," ujar Charlie Engle (44), salah seorang pelari dari AS yang melakukannya bersama Ray Zahab (38) dari Kanada, dan Kevin Lin (30) dari Taiwan. Selama kurun waktu kurang dari empat bulan mereka telah membelah gurun terbesar dunia dan melalui wilayah enam negara, yakni Senegal, Mauritania, Mali, Nigeria, Libia, dan Mesir.
Setiap hari, ketiganya dibangunkan pada pukul 4 pagi dan mulai berlari beberapa jam kemudian. Menjelang siang, mereka berhenti sejenak untuk makan siang di tenda darurat berupa pasta, ikan tuna, dan sayur-sayuran. Sekali waktu masing-masing menghabiskan waktu barang sebentar untuk sekedar beristirahat atau tidur di dalam tenda untuk melanjutkan maraton berikutnya. Mereka baru berhenti berlari pada pukul 21.30 untuk makan malam dengan menu yang kaya protein dan karbohidrat, lalu tidur sampai pagi berikutnya. Dalam sehari, mereka bisa menyelesaikan jarak sejauh 70 hingga 80 kilometer.
Perjalanan yang sangat berat ini bukan berarti tanpa halangan. Bukannya bersiap-siap dan bersemangat untuk segera menyelesaikan, masing-masing pelari mengaku sering mempertanyakan kepada diri mereka sendiri tentang apa yang sedang mereka lakukan. Zahab menggambarkan sutau hari dirinya pernah berpikir untuk berhenti dan menyempatkan mandi hanya untuk merasakan betapa tubuhnya tak bisa menahan terpaan pasir yang selalu terbawa angin. Namun, ia tetap pantang menyerah karena melihat dua teman lainnya tidak melewatkan satu hari pun untuk berhenti.
Di sepanjang rute yang dilalui, terik Matahari bisa lebih dari 38 derajat Celcius dan di malam hari bida menembus titik beku. Cedara ringan di sendi dan lutut atau masalah pencernaan sudah menjadi hal biasa saat mereka harus menembus jalanan yang berangin kencang dan panas. Angin yang membawa butiran-butiran pasir seringkali membuat mereka kesulitan melihat dan bernapas. Meski demikian, berlari di kondisi yang sangat ekstrim seperti ini bukanlah hal yang baru bagi ketiganya yang telah teruji dalam berbagai kompetisi di seluruh dunia.
"Ini merupakan sebuah kegiatan yang mengubah hidup," ungkap Engle. Para pelari yang bernyali itu umumnya mau menerima tantangan ini hanya untuk mengukur apakah mereka bisa melakukan sesuatu yang dikatakan banyak orang mustahil. Selama berlari masing-masing membawa alat GPS untuk melacak rute yang telah ditempuh dan diikuti tim medis dan kru dokumentasi yang mengendarai kendaraan mobil.
Saat melintas di beberapa lokasi pemukiman yang jarang penduduknya, mereka berhenti dan berbincang-bincang dengan penduduk sekitar dan pendatang, yang kebetulan lewat, tentang sulitnya memperoleh air di sana. Kegiatan ini memang didukung LSM H2O Afrika yang ditujukan untuk meningkatkan kepedulian akan sulitnya memperoleh air bersih di kawasan tersebut.
"Kami telah melihat sendiri orang yang membutuhkan air bersih, sementara kami bisa mendapatkannya dengan cuma-cuma di Amerika Utara. Padahal air bersih adalah kebutuhan dasar komunitas manapun," tutur Zahab saat diwawancarai kantor berita AP beberapa kilometer sebelum memesuki garis finish. Menurutnya, saat melewati daerah yang sangat kekurangan air bersih, mereka semakin bersemangat untuk menyelesaikan misinya dan berencana akan menggalang dana untuk membantu setelah memulihkan kondisi tubuhnya.
Kru dokumentasi yang merekam seluruh kegiatan ini dan akan merangkumnya dalam sebuah film dokumenter berjudul Running the Sahara. Film yang diproduksi Live Planet akan dipandu sendiri oleh pemilik perusahaan rekaman tersebut, aktor Matt Demon.
Foto Comming Soon!
GURUN BARAT, KAMIS - Kalau pereli Paris-Dakkar menggunakan motor atau mobil untuk melintasi gurun Sahara, tiga orang atlet dari tiga negara nekad melintasinya hanya dengan berlari. Rute sejauh 6.437 kilometer pun dihabiskannya dalam 111 hari dengan berlari secara maraton dua kali setiap hari.
"Kami menyentuh air di Senegal saat memulai dan menyentuh air kembali di Laut Merah saat mengkhirinya. Itulah catatan tebal perjalanan kami," ujar Charlie Engle (44), salah seorang pelari dari AS yang melakukannya bersama Ray Zahab (38) dari Kanada, dan Kevin Lin (30) dari Taiwan. Selama kurun waktu kurang dari empat bulan mereka telah membelah gurun terbesar dunia dan melalui wilayah enam negara, yakni Senegal, Mauritania, Mali, Nigeria, Libia, dan Mesir.
Setiap hari, ketiganya dibangunkan pada pukul 4 pagi dan mulai berlari beberapa jam kemudian. Menjelang siang, mereka berhenti sejenak untuk makan siang di tenda darurat berupa pasta, ikan tuna, dan sayur-sayuran. Sekali waktu masing-masing menghabiskan waktu barang sebentar untuk sekedar beristirahat atau tidur di dalam tenda untuk melanjutkan maraton berikutnya. Mereka baru berhenti berlari pada pukul 21.30 untuk makan malam dengan menu yang kaya protein dan karbohidrat, lalu tidur sampai pagi berikutnya. Dalam sehari, mereka bisa menyelesaikan jarak sejauh 70 hingga 80 kilometer.
Perjalanan yang sangat berat ini bukan berarti tanpa halangan. Bukannya bersiap-siap dan bersemangat untuk segera menyelesaikan, masing-masing pelari mengaku sering mempertanyakan kepada diri mereka sendiri tentang apa yang sedang mereka lakukan. Zahab menggambarkan sutau hari dirinya pernah berpikir untuk berhenti dan menyempatkan mandi hanya untuk merasakan betapa tubuhnya tak bisa menahan terpaan pasir yang selalu terbawa angin. Namun, ia tetap pantang menyerah karena melihat dua teman lainnya tidak melewatkan satu hari pun untuk berhenti.
Di sepanjang rute yang dilalui, terik Matahari bisa lebih dari 38 derajat Celcius dan di malam hari bida menembus titik beku. Cedara ringan di sendi dan lutut atau masalah pencernaan sudah menjadi hal biasa saat mereka harus menembus jalanan yang berangin kencang dan panas. Angin yang membawa butiran-butiran pasir seringkali membuat mereka kesulitan melihat dan bernapas. Meski demikian, berlari di kondisi yang sangat ekstrim seperti ini bukanlah hal yang baru bagi ketiganya yang telah teruji dalam berbagai kompetisi di seluruh dunia.
"Ini merupakan sebuah kegiatan yang mengubah hidup," ungkap Engle. Para pelari yang bernyali itu umumnya mau menerima tantangan ini hanya untuk mengukur apakah mereka bisa melakukan sesuatu yang dikatakan banyak orang mustahil. Selama berlari masing-masing membawa alat GPS untuk melacak rute yang telah ditempuh dan diikuti tim medis dan kru dokumentasi yang mengendarai kendaraan mobil.
Saat melintas di beberapa lokasi pemukiman yang jarang penduduknya, mereka berhenti dan berbincang-bincang dengan penduduk sekitar dan pendatang, yang kebetulan lewat, tentang sulitnya memperoleh air di sana. Kegiatan ini memang didukung LSM H2O Afrika yang ditujukan untuk meningkatkan kepedulian akan sulitnya memperoleh air bersih di kawasan tersebut.
"Kami telah melihat sendiri orang yang membutuhkan air bersih, sementara kami bisa mendapatkannya dengan cuma-cuma di Amerika Utara. Padahal air bersih adalah kebutuhan dasar komunitas manapun," tutur Zahab saat diwawancarai kantor berita AP beberapa kilometer sebelum memesuki garis finish. Menurutnya, saat melewati daerah yang sangat kekurangan air bersih, mereka semakin bersemangat untuk menyelesaikan misinya dan berencana akan menggalang dana untuk membantu setelah memulihkan kondisi tubuhnya.
Kru dokumentasi yang merekam seluruh kegiatan ini dan akan merangkumnya dalam sebuah film dokumenter berjudul Running the Sahara. Film yang diproduksi Live Planet akan dipandu sendiri oleh pemilik perusahaan rekaman tersebut, aktor Matt Demon.
Foto Comming Soon!