singthung
IndoForum Junior E
- No. Urut
- 7164
- Sejak
- 21 Sep 2006
- Pesan
- 1.634
- Nilai reaksi
- 27
- Poin
- 48
TERLAHIR Sebagai MANUSIA itu SULIT
Kita sering mendengar atau membaca tentang perumpamaan kura-kura buta yang diucapkan Buddha untuk menggambarkan betapa sulitnya terlahir sebagai manusia. Masih ingat, kan?
Diumpamakan seluruh daratan berubah menjadi samudra luas dan di dalamnya hidup seekor kura-kura buta yang hidup sepanjang kalpa tak terhingga. Setiap seratus tahun sekali ia memunculkan kepala ke atas permukaan samudra. Di atas permukaan samudra, sebuah gelang kayu terapung dan terombang-ambing dipermainkan gelombang. Dalam kondisi seperti ini, apakah kura-kura itu dapat dengan tepat memasukkan kepalanya ke dalam gelang yang terapung itu? Jawabannya tentu sangat sulit atau boleh dikatakan mustahil.
Saya kutipkan pula uraian lain yang diambil dari ceramah Sayale Dipankara (seorang guru meditasi perempuan dari Myanmar). Beliau mengatakan bahwa manusia itu terbentuk dari dua unsur besar yakni jasmani dan batin. Penggabungan ini dalam bahasa sehari-hari dikenal dengan nama laki-laki, perempuan, bayi, orang tua, anak muda, dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan jasmani adalah badan raga ini, sedang batin terdiri dari gabungan empat kelompok besar: perasaan (vedanakhanda), persepsi (sannakhanda), aktivitas kehendak (sankharakhanda) dan terakhir, kelompok kesadaran (vinnanakhanda).Bila dijabarkan lebih detail, empat kelompok kehidupan batin ini sebenarnya terdiri dari 52 faktor batin. Jadi untuk bisa terlahir sebagai manusia, harus mampu menghimpun satu kelompok kehidupan jasmani dan 52 faktor batin.
Meski begitu ada juga manusia yang hanya memiliki 51 faktor batin, yang berarti faktor batinnya tidak lengkap. Satu faktor batin yang sering tidak hadir adalah kegiuran (piti). Tanpa piti tetap bisa bertumimbal lahir sebagai manusia, tetapi manusia yang lahir tanpa piti akan sulit tersenyum. Sehingga orang awam seperti
kita pun bisa melihat adakah seseorang memiliki piti atau tidak dengan melihat kebiasannya sehari-hari. Bila ada orang yang sulit tersenyum, bisa jadi karena dia tidak punya enerji piti.
Bila hanya mampu menghimpun 14 sampai 16 faktor batin saja, maka terlahirlah ia di alam binatang. Padahal sekali terlahir sebagai binatang maka akan sulit untuk menghimpun atau melakukan perbuatan baik. Mau contoh? Lihat saja perilaku para hewan di sekeliling kita. Hewan-hewan ini hanya bergerak berdasarkan naluri belaka. Mereka berperilaku jauh di bawah batas normal etika manusia.
Saya sering mengamati kucing dan anjing peliharaan saya. Biasanya setelah diberi makan keduanya lantas bermalas-malasan atau tidur. Pun mereka buang air sembarangan. Bangun dari tidur, mereka memberi isyarat ingin diberi makan. Setelah makan mereka tidur lagi. Buang air lagi. Begitu seterusnya. Selingan yang biasa mereka lakukan adalah bermain-main atau berkelahi. Itu saja. Bisakah para hewan ini diajak untuk berdana atau menjalankan sila, misalnya? Atau melakukan meditasi? Mustahil, bukan?
Berikut ini saya kutipkan satu kisah Jataka “Kisah Ratu Upari” untuk menjelaskan betapa sulitnya terlahir sebagai manusia.
Waktu itu Bodhisatta (calon Buddha) terlahir sebagai pertapa yang memiliki kekuatan batin. Sehari-hari beliau bermukim di kaki Gunung Himavunta. Agak jauh dari tempat itu ada sebuah kerajaan besar dengan rajanya yang bernama Akasaka, seorang raja muda yang tampan. Ketika tiba waktunya untuk menikah, para menteri mengumpulkan para gadis jelita dari seluruh negeri ke istana. Pilihan raja jatuh pada Upari, seorang gadis belia berusia 16 tahun yang luar biasa cantik.
Raja dan Upari akhirnya menjadi suami isteri. Raja sangat mencintai ratunya. Rupanya sang ratu ini menyadari bahwa dirinya cantik dan sangat dicintai sang raja. Tak heran kalau dia memuja kecantikannya sendiri. Sehari-hari yang dipikirkannya hanya bagaimana cara memelihara keindahan jasmaninya.
Bila dijabarkan kegiatan sehari-hari Ratu Upari hanyalah seputar keramas, mandi susu, mandi madu, mandi teh, potong kuku kaki, potong kuku tangan, berhias, makan, bernyanyi-ria, mandi lagi, luluran lagi, keramas lagi dan berdandan lagi. Karena perhatiannya terserap sepenuhnya untuk mempercantik diri, Ratu Upari tak pernah berpikir untuk menghimpun perbuatan bajik seperrti misalnya menghormati orang yang patut dihormati, berdana, tidak makan pada jam-jam tertentu, merenungkan kematian, pun membina moralitas.
Usia ratu sangat singkat. Ia meninggal di puncak kejayaan dan kecantikannya. Tentu saja raja sangat terpukul. Raja menangis dan berduka. Raja memerintahkan para menteri untuk membuatkan peti mati dari kaca. Jasad ratu lalu dibalsem dan dimasukkan ke dalam peti kaca tersebut. Di sisi peti mati kaca inilah raja tenggelam dalam duka sehingga lupa akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai kepala negara. Meski para menteri sibuk membujuk dan menghiburnya, raja tidak mempedulikan mereka. Ia terus meratap.
Pada saat itulah pertapa agung Bodhisatta mencermati kejadian tersebut. Hanya dirinya yang mampu mengenyahkan kesedihan raja. Maka beliau segera terbang dan dalam sekejap sudah berada di halaman istana. Singkatnya, beliau menghadap raja dan berkata bisa membantu raja menemui ratunya. Sudah tentu yang dimaksudkan bukan jasad ratu yang terbujur kaku di dalam peti mati kaca, namun Ratu Upari yang sudah bertumimbal lahir.
Meski tidak percaya, tapi terdorong rasa penasaran, akhirnya raja mengangguk. Kemudian raja pergi bersama-sama Bodhisatta menuju taman kerajaan. “Di sanalah,” kata Bodhisatta, “Raja akan dapat menjumpai Ratu.”
Sesaat setelah sampai di salah satu sudut taman, keluarlah, tepatnya terbanglah seekor kumbang. Kumbang itu terbang melintasi raja dan para rombongan. Ternyata itu adalah seekor kumbang jantan. Di belakang kumbang jantan itu ikut terbang seekor kumbang betina, sang istri. Ke manapun kumbang jantan itu terbang, ke situlah kumbang betina mengikuti.
Pertapa berkata bahwa kumbang betina itu adalah mantan Ratu Upari. Mendengar ucapan ini, tentu saja raja tidak percaya. Waktu itu masyarakat setempat, juga raja, menganut kepercayaan yang umum berlaku kala itu, yakni sekali suatu makhluk bisa terlahir sebagai manusia maka seterusnya ia akan bertumimbal lahir sebagai makhluk manusia juga, tidak mungkin terlahir menjadi makhluk alam lain. Sehingga wajarlah bila raja tidak mempercayai ucapan Bodhisatta. Bagaimana mungkin makhluk yang dulunya manusia bisa bertumimbal lahir sebagai kumbang karnivora yang rendah derajatnya?
Untuk membuktikan kebenaran ucapannya, Bodhisatta menggunakan kekuatan batinnya. Beliau membuat raja dan para rombongan memahami bahasa kumbang. Setelah itu beliau berdialog dengan kumbang betina.
“Siapakah kamu?”
“Aku adalah istri si kumbang jantan.”
“Yang kumaksudkan adalah siapakah kamu sebelum menjadi kumbang betina?”
“Sebelumnya aku adalah Upari, permaisuri Raja Akasaka. Sebagai ratu aku hidup senang karena dicinta dan dimanjakan oleh suamiku. Aku pun sangat mencintainya.”
“Apakah saat ini kamu masih mencintai suamimu si Raja Akasaka?”
“Tentu saja tidak. Saat ini yang kucintai adalah suamiku, si kumbang jantan. Bahkan bila mungkin aku ingin menghisap darah dari kaki raja untuk kupersembahkan kepada suamiku, si kumbang jantan.”
Tentu raja sangat kaget mendengar ucapan kasar yang keluar dari mulut kumbang betina. Saat itu juga kedukaannya lenyap. Ia berpikir, apa gunanya menangisi perempuan yang kini tak mengingat lagi keagungan cintanya? Segera ia memerintahkan para menteri untuk mengenyahkan peti kaca dan jasad ratu dari kamarnya.
Semoga uraian dan kisah Jataka di atas dapat senantiasa mengingatkan kita untuk selalu waspada dalam setiap perbuatan yang kita lakukan. Bila kita sekarang terlahir sebagai manusia, itu menunjukkan dalam kehidupan sebelummya telah menanam benih kebajikan. Ini bukan hal yang mudah. Hitung saja berapa probabilitas kura-kura buta untuk dapat dengan tepat memasukkan kepalanya ke dalam gelang yang terapung di samudra luas, itulah probabilitas kita untuk dapat terlahir sebagai manusia. Ini juga menyadarkan kita, bahwa peluang untuk terlahir di alam menderita (hewan, setan, neraka) adalah jauh lebih besar daripada terlahir di alam bahagia (dewa dan manusia).
Jadi, marilah kita menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan jahat, memperbanyak kebajikan serta memurnikan hati dan pikiran kita, inilah cara efektif yang dipastikan akan meningkatkan probabilitas untuk terlahir di alam bahagia.
Akhir kata, saya kutipkan sebuah syair dalam Buddhisme yang maknanya sebagai berikut:
Sulit terlahir sebagai manusia, tapi kini sudah terlahir;
Sulit untuk dapat mendengarkan Buddha Dharma, tapi kini sudah mendengar;
Bila tidak berusaha berlatih diri dalam kehidupan sekarang ini;
Kapan lagi baru berlatih diri mencapai Pantai Seberang?