• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Tentang Waris

dewaSalah

IndoForum Beginner A
No. Urut
19005
Sejak
17 Jul 2007
Pesan
1.047
Nilai reaksi
21
Poin
38
Assalamu'alaikum ikhwan fillah
Ana buat thread ini bagi yang mau mendalami masalah Waris. Diambil dari almanhaj.or.id selamat menyimak dan semoga bermanfaat bagi antum sekalian dan bagi orang-orang yang mencari kebenaran.


ILMU MAWARITS, HUKUM YANG TERABAIKAN


Oleh
Ustadz Armen Halim Naro



PENTINGNYA ILMU MAWARITS
Jika hukum-hukum syari’at, seperti shalat, zakat, haji dan yang lainnya dijelaskan secara global oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala lalu diperinci oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Sunnah, sedangkan hukum mawarits diterangkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala secara terperinci di dalam Al-Qur’an.

Sebagai contoh, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Dirikanlah shalat dan tunaikan zakat…” [Al-Baqarah : 43] atau :”Dan bagi Allah atas manusia untuk berhaji ke Baitullah, bagi siapa yang mampu” [Ali-Imran : 97], baru kemudian Sunnah menjelaskan tata caranya dengan detail.

Adapun pembagian harta warisan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan di awal dan di akhir surat An-Nisa. Allah sendiri yang langsung membagi warisan demi kemaslahatan mahlukNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan laki-laki memperoleh dua bagian dari perempuan, tidak ada seorangpun yang boleh menyangkal hukum dan peraturanNya, karena Dia-lah Dzat yang Maha Adil dan Bijaksana.


SEKILAS PERBANDINGAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN ANTARA ADAT JAHILIYAH DENGAN ISLAM
Pada zaman Arab Jahiliyah dahulu, harta warisan berpindah ke tangan anak sulung si mayit, atau kepada saudaranya atau pamannya sepeninggalnya. Mereka tidak memberikan kepada wanita dan anak-anak. Alasan mereka, karena wanita dan anak-anak tidak bisa memelihara keamanan dan tidak bisa berperang.

Sebagaimana yang berlaku pada kedua putri Sa’ad bin Rabi Radhiyallahu ‘anhu, bahwa paman mereka mengambil semua harta peninggalan ayah mereka. Ketika permasalahan tersebut sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pamannya tersebut untuk memberi kemenakannya dua pertiga, dan ibu mereka seperdelapan, dan sisanya barulah dia ambil.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Orang-orang jahiliyah menjadikan seluruh pembagian kepada laki-laki, tidak kepada perempuan. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka untuk berbagi sama dalam pembagian, kemudian melebihkan di antara dua kelompok dengan menjadikan laki-laki memperoleh dua bagian perempuan. Hal itu, karena laki-laki menangggung biaya nafkah, tanggungan, beban bisnis dan usaha, serta menanggung kesusahan, Maka, layak dia memperoleh dua kali lipat dari bagian perempuan” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/433]

Pada sebagian suku di Indonesia, terutama yang mengambil nasab kepada ibu, misalnya di Minangkabau, mereka memberlakukan pembagian harta warisan kepada perempuan. Karena tugas yang semestinya diemban oleh laki-laki, ternyata harus dibebankan kepada perempuan, mulai dari pengasuhan orang tua ketika lanjut usia, sampai pada pemberian uang saku untuk kemenakan dan famili.

Karena itu, suami dianjurkan (baca : diharuskan) tinggal di rumah orang tua perempuan. Dan merupakan aib bagi suami, jika ia tinggal satu rumah dengan orang tuanya sendiri, jika memang terpaksa harus tinggal di rumah orang tua. Bahkan di sebagian daerah Minang, laki-laki dibeli dengan uang sebagaimana dibelinya barang. Setelah itu, sang suami harus lebih banyak bertandang ke rumah orang tua isteri dari pada ke rumah orang tuanya sendiri.

Fakta seperti ini berlawanan dengan adat jahiliyah Arab yang menempatkan laki-laki sangat dominan dan diuntungkan. Dan sebaliknya, pada adat Minang ini, laki-laki selalu dirugikan. Dikatakan oleh seorang ulama Minang, Buya Hamka rahimahullah dalam salah satu karangannya :”Jika ada laki-laki yang paling sengsara, maka dialah laki-laki Minang. Bagaimana tidak, sewaktu dia masih kecil yang seharusnya dia mendapatkan nasihat dan keputusan dari orang tuanya dalam semua urusannya dari sekolah hingga menikah, itu semua diambil alih oleh mamaknya (paman dari pihak ibu), ketika dia telah menikah dia menjadi semanda di rumahnya sendiri, yang duduk harus di bawah dan di tepi-tepi, ketika sudah tua renta dan mulai pula sakit-sakitan, dia harus siap-siap untuk menyingkir karena pembagian rumah dan harta hanya untuk anak perempuan, maka terpaksalah dia tidur di surau dan kalau makan harus pergi ke lapau (kedai nasi)”

Ada pula pemikiran yang menyimpang, dengan mengusung isu persamaan gender yang awalnya didengungkan para orientalis barat, kemudian di negeri kita dikembangkan oleh orang-orang Islam sendiri yang sekulit dan satu bahasa dengan kita. Pendapat aneh tersebut ialah, tentang pembagian mawarits harus disama-ratakan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan pembagian waris antara laki-laki dan perempuan –menurut mereka- tidak adil. Pendapat seperti ini telah lama dan banyak dilontarkan tokoh-tokoh Islam yang terkontaminasi oleh pemikiran orientalis, yang kemudian diikuti dan dikembangkan oleh kelompok yang menamakan diri Jaringan Islam Liberal atau lebih populer di kalangan ahlusunnah wal jama'ah dengan sebutan Jaringan Iblis Laknat.

Tentu saja, anggapan aneh seperti diatas tidak terbukti. Karena syari’at Islam memberlakukan keadilan dan keseimbangan, dia sampaikan semua hak kepada pemiliknya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi setiap yang mempunyai hak akan haknya. Maka tidak ada wasiat bagi ahli waris” [Hadis Riwayat Abu Dawud 3565, Tirmidzi 2/16, Ibnu Majah 2713, Baihaqi 6/264, Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata “sanadnya hasan”]

Jika adat jahiliyah di luar syariat Islam hanya melihat kemaslahatan orang-orang kuat, maka Islam menjaga kemaslahatan orang-orang lemah, karena mereka yang layak dikasihi dan dilindungi. Disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya engkau lebih baik meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, daripada engkau biarkan mereka miskin meminta-minta kepada manusia” [Hadist Riwayat Bukhari, Bab Wasiat/2, dan Muslim, Bab Wasiat/5]

Islam juga tidak mengabaikan orang-orang kuat dan tidak menyia-nyiakan yang lemah. Setiap orang yang telah memenuhi semua syarat dan tidak ada penghalang yang menghalanginya, maka dia berhak memperoleh warisan, baik dia besar maupun kecil, laki-laki maupun perempuan, lemah maupun kuat.

Jika adat jahiliyah hanya mendahulukan kepentingan orang yang dapat memberikan manfaat, tidak akan mendapatkan warisan kecuali yang ikut serta dalam berperang dan menjaga kehormatan, atau yang menjaga orang tua dan yang menjaga tanah persukuan, maka dalam Islam tidak menapikan andil yang lain. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan, ayah-ayah kalian dan anak-anak kalian tidak akan mengetahui mana yang lebih banyak manfaatnya. Lihat An-Nisa ayat 11

Dari paparan sekilas ini, kita dapat menyimpulkan ciri khas pembagian mawarits dalam Islam sebagaimana berikut.

[1]. Ketetapan warisan merupakan peraturan yang bersifat sosial dan mengikat bagi siapa saja yang telah bersaksi bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb-nya dan Muhammad sebagai rasul.

[2]. Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menempatkan setiap pemilik hak pada posisinya yang layak.

[3]. Dengan pembagian yang adil sesuai syariat tersebut, berarti Islam telah berusaha memperkuat jalinan persaudaraan dan memperkokohnya dengan tali silaturrahim. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :” Dan orang-orang yang punya jalinan darah sebagian mereka lebih berhak dari sebagian yang lainnya, merupakan ketetapan dalam Kitab Allah”. Lihat Al-Qur’an surat Al-Anfaal ayat 75

[4].Islam sangat mempedulikan kepemilikan individu, sehingga mendorong seseorang untuk berusaha sekuat tenaga, dengan harapan orang-orang yang dia cintai akan ikut merasakan manisnya hasil usahanya tersebut. Hal seperti ini tidak didapatkan pada masa jahiliyah Arab dan hukum adat.

[5]. Pembagian harta waris berdasarkan kebutuhan. Semakin seseorang membutuhkan kepada harta warisan, semakin banyak pula dia memperolehnya. Oleh karena itu, laki-laki memperoleh bagian lebih besar, karena laki-laki lebih membutuhkannya daripada perempuan.



ANCAMAN JIKA TIDAK MENGGUNAKAN HUKUM ISLAM DALAM PEMBAGIAN WARISAN
Orang yang tidak memakai hukum mawarits dalam pembagian hartanya, sama halnya dengan orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ancaman terhadap mereka sama dengan ancaman terhadap siapa saja yang tidak berhukum dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [Al-Maidah : 44]

“Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zhallim” [Al-Maidah : 45]

“Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” [Al-Maidah : 47]

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Pernyataan tegas (dalam permasalahan ini) ialah, barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala disertai pengingkaran, sedangkan ia mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan hukum tersebut, sebagaimana yang diperbuat oleh Yahudi, maka dia telah kufur. Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala karena lebih condong kepada hawa nafsu tanpa pengingkaran (terhadap hukum tersebut), maka dia telah berbuat zhalim atau fasik” [Zadul Masir 2/366]

Dalam masalah pembagian harta waris, secara khusus Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan ancaman bagi orang yang menetapkan pembagian harta waris apabila tidak berdasarkan hukum Allah. Allah Suhanahu wa Ta’ala berfirman setelah ayat mawarits.

“Artinya ; (Hukum-hukum mawarits tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukannya ke dalam api neraka, sedangkan ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan” [An-Nisa 13-14]

Ayat di atas menerangkan, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan surga bagi orang yang membagi harta waris sesuai ketentuannya. Sebaliknya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam setiap orang yang melampaui batas, tidak memperdulikan atau berpaling, dan menambah atau mengurangi dengan adzab yang sangat pedih.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasuluillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :”Seseorang beramal dengan amal orang yang shalih selamah tujuh puluh tahun. Kemudian ketika berwasiat, ia melakukan kezhaliman dalam wasiatnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menutup amalannya dengan seburuk-buruk amalan, hingga membuatnya masuk neraka. Dan sesungguhnya, seseorang beramal dengan amal orang fasik selama tujuh puluh tahun, kemudian dia berlaku adil dalam wasiatnya, niscaya ia dapat menutup amalnya dengan amal yang terbaik, sehingga dia masuk surga” Abu Hurairah berkata : “bacalah kalau kalian mau”. Kemudian beliau membaca ayat di atas. [Hadits riwayat Abu Dawud, 2867, Ibnu Majah 22/3/2703 dan Ahmad /447/7728. Ahmad Syakir berkata, “Sanadnya Shahih”]

Demikian secara singkat pembahasan ilmu mawarits yang sangat penting bagi kaum Muslimin. Sebagi pengingat, supaya kita tidak melalaikannya. Dan mudah-mudahan bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
______
Maraji.
[1]. Tafsir Al-Qur’anul Azhim, Ibnu Katsir, Maktabah Ulum wal Hikam
[2]. Tafsir Zadul Masir, Ibnu Jauzi
[3]. Irwa’ul Ghalil Fi Takhrijil Manaris Sabil, Al-Albani, Al-Maktabul Islami
[4]. At-Tahqiqatul Mardhiah Fil Mabahits Al-Faradhiyah, Shalih Al-fauzan, Maktabah Al-Ma’arif
[5]. Tashil Al-Mawarits wal Washaya, Abdul Karim Muhammad Nashr, Maktabah Haramain
 
Nambah lagi...


PEMBAGIAN HARTA WARIS

Problema keluarga sehubungan dengan pembagian harta waris atau pusaka, akan bertambah rumit manakala diantara para ahli waris ingin menguasai harta peninggalan, sehingga berdampak merugikan orang lain. Tak ayal, permusuhan antara satu dengan lainnya sulit dipadamkan. Akhirnya solusi yang ditawarkan dalam pembagian waris tersebut ialah dengan dibagi sama rata. Atau ada juga yang menyelesaikannya di meja pengadilan dan upaya lainnya.

Sebagai kaum Muslimin, sesungguhnya untuk menyelesaikan permasalahan waris ini, sehingga persaudaraan di dalam keluarga tetap terjaga dengan baik, maka tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sinilah penulis ingin menyampaikan perkara ini. Meski singkat, kami berharap semoga bermanfaat.


SIAPAKAH YANG BERWENANG MEMBAGI HARTA WARIS?
Adapun yang berwenang membagi harta waris atau yang menentukan bagiannya yang berhak mendapatkan dan yang tidak, bukanlah orang tua anak, keluarga atau orang lain, tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Dia-lah yang menciptakan manusia, dan yang berhak mengatur kebaikan hambaNya.

“Artinya : Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan…”[An-Nisa : 11]

“Artinya : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah : “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan…” [An-Nisa : 176]

Sebab turun ayat ini, sebagaimana diceritakan oleh sahabat Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu bahwa dia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan dengan harta yang kutinggalkan ini”? Lalu turunlah ayat An-Nisa ayat 11. Lihat Fathul Baari 8/91, Shahih Muslim 3/1235, An-Nasa’i Fil Kubra 6/320

Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu berkata, datang isteri Sa’ad bin Ar-Rabi’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa dua putri Sa’ad. Dia (isteri Sa’ad) bertanya :”Wahai Rasulullah, ini dua putri Sa’ad bin Ar-Rabi. Ayahnya telah meninggal dunia ikut perang bersamamu pada waktu perang Uhud, sedangkan pamannya mengambil semua hartanya, dan tidak sedikit pun menyisakan untuk dua putrinya. Keduanya belum menikah….”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allahlah yang akan memutuskan perkara ini”. Lalu turunlah ayat waris.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil paman anak ini, sambil bersabda : “Bagikan kepada dua putri Sa’ad dua pertiga bagian, dan ibunya seperdelapan Sedangkan sisanya untuk engkau”[Hadits Riwayat Ahmad, 3/352, Abu Dawud 3/314, Tuhwatul Ahwadzi 6/267, dan Ibnu Majah 2/908,Al-Hakim 4/333,Al-Baihaqi 6/229. Dihasankan oleh Al-Albani. Lihat Irwa 6/122]

Berdasarkan keterangan diatas jelaslah, bahwa yang berwenang dan berhak membagi waris, tidak lain hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan Allah mempertegas dengan firmanNya : “Ini adalah ketetapan dari Allah”. Dan firmanNya : “Itu adalah ketentuan Allah”. Lihat surat An-Nisa ayat 11,13, dan 176.

Ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sangat tepat dan satu-satunya cara untuk menanggulangi problema keluarga pada waktu keluarga meninggal dunia, khususnya dalam bidang pembagian harta waris, karena pembagian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti adil. Dan pembagiannya sudah jelas yang berhak menerimanya..Oleh sebab itu, mempelajari ilmu fara’idh atau pembagian harta pusaka merupakan hal yang sangat penting untuk menyelesaikan perselisihan dan permusuhan di antara keluarga, sehingga selamat dari memakan harta yang haram.

Berikutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menentukan pembagian harta waris ini untuk kaum laki-laki dan perempuan. Allah berfirman.

“Artinya : Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan” [An-Nisa : 7]

Dalil pembagian harta waris secara terperinci dapat dibaca dalam surat An-Nisa ayat 11-13 dan 176.


BARANG YANG DIANGGAP SEBAGAI PENINGGALAN HARTA WARIS
Dalam ilmu fara’idh, terdapat istilah At-Tarikah. Menurut bahasa, artinya barang peninggalan mayit. Adapun menurut istilah, ulama berbeda pendapat. Sedangkan menurut jumhur ulama ialah, semua harta atau hak secara umum yang menjadi milik si mayit. Lihat Fiqhul Islam Wa Adillatih 8/270.

Muhammad bin Abdullah At-Takruni berkata : “At-Tarikah ialah, segala sesuatu yang ditinggalkan oleh mayit, berupa harta yang ia peroleh selama hidupnya di dunia, atau hak dia yang ada pada orang lain, seperti barang yang dihutang, atau gajinya, atau yang akan diwasiatkan, atau amanatnya, atau barang yang digadaikan, atau barang baru yang diperoleh sebab terbunuhnya dia, atau kecelakaan berupa santunan ganti rugi. Lihat kitab Al-Mualim Fil Fara’idh hal.119

Adapun barang tidak berhak diwaris, diantaranya:
  1. Peralatan tidur untuk isteri dan peralatan yang khusus bagi dirinya, atau pemberian suami kepada isterinya semasa hidupnya. Lihat Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta 16/429
  2. Harta yang telah diwakafkan oleh mayit, seperti kitab dan lainnya. Lihat Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta 16/466
  3. Barang yang diperoleh dengan cara haram, seperti barang curian, hendaknya dikembalikan kepada pemiliknya, atau diserahkan kepada yang berwajib. Lihat keterangannya di dalam kitab Al-Muntaqa Min Fatawa, Dr Shalih Fauzan 5/238
Semua barang peninggalan mayit bukan berarti mutlak menjadi milik ahli waris, karena ada hak lainnya yang harus diselesaikan sebelum harta peninggalan tersebut dibagi. Hak-hak yang harus diselesaikan sebelum harta waris tersebut dibagi ialah sebagai berikut.

[1]. Mu’nat Tajhiz Atau Perawatan Jenazah
Kebutuhan perawatan jenazah hingga penguburannya. Misalnya meliputi pembelian kain kafan, upah penggalian tanah, upah memandikan, bahkan perawatan selama dia sakit. Semua biaya ini diambilkan dari harta si mayit sebelum dilakukan hal lainnya. Berdasarkan perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Dan kafanillah dia dengan dua pakaianya” [Hadits Riwayat Bukhari 2/656, Muslim 2/866] Maksudnya, peralatan dan perawatan jenazah diambilkan dari harta si mayit.
[2]. Al-Huquq Al-Muta’aliqah Bi Ainit Tarikah Atau Hak-Hak Yang Berhubungan Dengan Harta Waris.
Misalnya barang yang digadaikan oleh mayit, hendaknya diselesaikan dengan menggunakan harta si mayit, sebelum hartanya di waris. Bahkan menurut Imam Syafi’i, Hanafi dan Malik. Didahulukan hak ini sebelum kebutuhan perawatan jenazah, karena berhubungan dengan harta si mayit. Lihat Fiqhul Islami wa Adillatihi 8/274. Tas-hil Fara’idh, 9. Dalilnya ialah, karena perkara ini termasuk hutang yang harus diselesaikan oleh si mayit sebagaimana disebutkan di dalam surat An-Nisa ayat 12, yaitu : “Sesudah dibayar hutangnya”.
[3]. Ad-Duyun Ghairu Al-Muta’aliqah Bit Tarikah Atau Hutang Si Mayit
Apabila si mayit mempunyai hutang, baik yang behubungan dengan berhutang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti membayar zakat dan kafarah, atau yang berhubungan dengan anak Adam, seperti berhutang kepada orang lain, pembayaran gaji pegawainya, barang yang dibeli belum dibayar, melunasi pembayaran, maka sebelum diwaris, harta si mayit diambil untuk melunasinya. Dalilnya ialah.

“Artinya : Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi madharat (kepada ahli waris)” [An-Nisa : 12]
[4]. Tanfidzul Wasiyyah Atau Menunaikan Wasiat
Sebelum harta diwaris, hendaknya diambil untuk menunaikan wasiat si mayit, bila wasiat itu bukan untuk ahli waris, karena ada larangan hal ini, dan bukan wasiat yang mengandung unsur maksiat, karena ada larangan mentaati perintah maksiat. Wasiat ini tidak boleh melebihi sepertiga, karena merupakan larangan. Dalilnya, lihat surat An-Nisa ayat 12 yaitu : “Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat”.

Jika empat perkara di ats telah ditunaikan, dan ternyata masih ada sisa hak milik si mayit, maka itu dinamakan Tarikah atau bagian bagi ahli waris yang masih hidup. Dan saat pembagian harta waris, jika ada anggota keluarga lainnya yang tidak mendapatkan harta waris ikut hadir, sebaiknya diberi sekedarnya, agar dia ikut merasa senang, sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 8.

BAGAIMANA MENENTUKAN YANG BERHAK MENERIMA HARTA WARIS?
Sebelum harta peninggalan si mayit diwaris, hendaknya diperhatikan perkara-perkara dibawah ini.
  1. Al-Muwarrits (orang yang akan mewariskan hartanya) dinyatakan telah mati, bukan pergi yang mungkin kembali, atau hilang yang mungkin dicari.
  2. Al-Waritsun wal Waritsat (ahli waris), masih hidup pada saat kematiannya Al-Muwarrits
  3. At-Tarikah (barang pusakanya) ada, dan sudah disisakan untuk kepentingan si mayit.
  4. Hendaknya mengerti Ta’silul Mas’alah, yaitu angka yang paling kecil sebagai dasar untuk pembagian suku-suku bagian setiap ahli waris dengan hasil angka bulat. Adapun caranya.
[a]. Jika ahli waris memiliki bagian ashabah, tidak ada yang lain, maka ta’silul mas’alahnya menurut jumlah yang ada ; yaitu laki-laki mendapat dua bagian dari bagian wanita.
Misalnya : Mayit meninggalkan 1 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Maka angka ta’silul mas’alahnya 3, anak laki-laki = 2 dan anak perempuan =1.
Misal lain : Mayit meninggalkan 5 anak laki-laki, maka angka aslul mas’alahnya 5, maka setiap anak laki-laki = 1

. Jika ahli waris ashabul furudh hanya seorang, yang lain ashabah, maka ta’silul mas’alahnya angka yang ada.
Misalnya : Mayit meninggalkan isteri dan anak laki-laki. Maka angka ta’silul mas’alahnya 8, karena isteri mendapatkan 1/8, yang lebihnya untuk anak laki-laki; isteri = 1 dan anak laki-laki = 7

[c]. Jika ahli waris yang mendapatkan ashabul furudh lebih dari satu, atau ditambah ashabah, maka dilihat angka pecahan setiap ahli waris, yaitu : ½, ¼, 1/6, 1/8, 1/3. 2/3
[c.1] Jika sama angka pecahannya seperti 1/3, 1/3, maka ta’silul masalahnya diambil salah satu, yaitu angka 3

[c.2]. Jika pecahan satu sama lain saling memasuki, maka ta’silul masalahnya angka yang besar, seperti ½, 1/6, ta’silul masalahnya 6, 1/6 dari 6 = 1, sedangkan ½ dari 6 = 3

[c.3]. Jika pecahan satu sama lain bersepakat, maka ta’silul masalahnya salah satu angkanya dikalikan dengan angka yang paling kecil yang bisa dibagi dengan yang lain. Misalnya ; 1/6, 1/8, maka ta’silul masalahnya 24

[c.4]. Jika pecahan satu sama lain kontradiksi, maka ta’silul masalahnya sebagian angkanya dikalikan dengan angka lainnya, sekiranya bisa dibagi dengan angka yang lain. Misalnya : angak 2/3, ¼, maka ta’silul mas’alahnya 4 x 3 = 12
[d]. Bila sulit memahami bagian [c1-c4], maka bisa memilih salah satu dari angka 2, 3, 4, 6, 8, 12, 24 untuk dijadikan angka pedoman yang bisa dibagi dengan pecahan suku-suku bagian ahli waris dengan hasil yang bulat.
Misalnya : si A mendapatkan 2/3, si B mendapatkan ¼, maka angka pokok yang bisa dibagi keduanya bukan 8, tetapi 12 dan seterusnya.

Dalam membagi harta waris setelah diketahui ta’silul masalah dan bagian setiap ahli warisnya, ada tiga cara yang bisa ditempuh.

[1]. Dengan cara menyebutkan pembagian masing-masing ahli waris sesuai dengan ta’silul masalahnya, lalu diberikan bagiannya.

Misalnya si mati meninggalkan harta Rp. 120.000 dan meninggalkan ahli waris : isteri, ibu dan paman. Maka ta’silul masalahnya 12, karena isteri mendapatkan 1/4, dan ibu mendapatkan 1/3.
- Isteri mendapatkan /4 dari 12 = 3, sehingga ¼ dari 120.000 = 30.000
- Ibu 1/3 dari 12 = 4, maka 1/3 dari 120.000 = 40.000
- Paman ashabah mendapatkan sisa yaitu 5, maka 120.000 – 30.000 – 40.000 = 50.000
[2]. Atau dengan mengalikan bagian setiap ahli waris dengan jumlah harta waris, kemudian dibagi hasilnya dengan ta’silul mas’alah, maka akan keluar bagiannya. Contoh seperti di atas, prakterknya.
- Isteri bagiannya 3 x 120.000 = 360.000 : 12 = 30.000
- Ibu bagiannya 4 x 120.000= 480.000 : 12 = 40.000
- Paman bagiannya 5 x 120.000 = 600.000 : 12 = 50.000
[3]. Atau membagi jumlah harta waris dengan ta’silul mas’alah, lalu hasilnya dikalikan dengan bagian ahli waris, maka akan keluar hasilnya.
Contoh seperti di atas, prkateknya.
-Isteri bagiannya 120.000 : 12 = 10.000 x 3 (1/4 dari 12) = 30.000
-Ibu bagiannya 120.000 : 12 = 10.000 x 4 (1/3 dari 12) = 40.000
-Paman bagiannya 120.000 : 12 = 10.000 x 5 (sisa) = 50.000

CARA MENYELESAIKAN PERBEDAAN ANTARA SUKU BAGIAN DENGAN TA’SILUL MAS’ALAH
[1]. Jika bagian tertentu telah dibagikan kepada yang berhak dan tidak ada ashabah, ternyata harta waris masih tersisa, maka sisa tersebut dikembalikan kepda ahli waris selain suami dan isteri.

Misalnya : Si mati meninggalkan suami dan seorang anak perempuan, maka aslul masalah 4, yaitu suami mendapat ¼ = 1, dan anak perempuan mendapatkan ½ = 2. Adapun yang tersisa 1 diberikan kepada anak perempuan

[2]. Jika suku bagian ahli waris (siham) melebihi ta’silul mas’alah, hendaknya ditambah (aul).

Misalnya : Si mati meninggalkan suami dan 2 saudari selain ibu. Suami mendapatkan ½ dan saduari 2/3, ta’silul mas’alahnya 6, yang sudah tentu kurang, karena suami mendapatkan 3, dan saudari mendapatkan 4, maka ta’silul mas’alah ditambah 1, sehingga menjadi 7.

[3]. Jika suku bagian ahli waris (siham) kurang daripada ta’silul mas’alahnya, maka dikembalikan kepada ahli warisnya selain suami dan isteri, namanya : Radd.

Misalnya : Si mati meninggalkan isteri dan seorang anak perempuan. Isteri mendapatkan 1/8, 1 anak perempuan mendapatkan ½, ta’silul mas’alahnya 8, yaitu isteri =1, satu anak perempuan = 4 + sisa 3 = 7

[4]. Jika suku bagian ahli waris (siham) sama pembagiannya dengan ta’silul mas’alahnya dinamakan (al-adalah).

Misalnya si mati meninggalkan suami dan satu saudara perempuan. Suami mendapatkan ½, dan seorang saudari mendapatkan ½, ta’silul mas’alahnya 2, yaitu suami = 1, dan seorang saudarinya = 1

Jika pada waktu pembagian ada anggota keluarga lainnya yang bukan ahli waris ikut hadir, seperti bibi atau anak yatim, faqir miskin, maka hendaknya diberi hadiah walaupun sedikit.

“Artinya : Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya)dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik” [An-Nisa : 8]

Demikian sebagian pembahasan yang bisa disajikan kepada pembaca. Untuk telaah lebih luas, dapat dibaca kitab rujukan di atas dan kitab fara’idh lainnya.


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
 
Nambah lagi...

PERINCIAN PEMBAGIAN HARTA WARIS


Oleh
Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron



KERABAT LAKI-LAKI YANG BERHAK MENERIMA PUSAKA ADA 15 ORANG
  1. Anak laki-laki
  2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki
  3. Bapak
  4. Kakek / ayahnya ayah
  5. Saudara laki-laki sekandung
  6. Saudara laki-laki sebapak
  7. Saudara laki-laki seibu
  8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
  9. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
  10. Suami
  11. Paman sekandung
  12. Paman sebapak
  13. Anak dari paman laki-laki sekandung
  14. Anak dari paman laki-laki sebapak
  15. Laki-laki yang memerdekakan budak
Selain yang disebut di atas termasuk “dzawil arham”, seperti paman dari pihak ibu, anak laki-laki saudara seibu dan paman seibu, dan anak laki-laki paman seibu dan semisalnya tidak mendapat harta waris. Lihat Muhtashar Fiqhul Islami, hal. 775-776



ADAPUN AHLI WARIS PEREMPUAN SECARA TERINCI ADA 11 ORANG
  1. Anak perempuan
  2. Cucu perempuan dari anak laki-laki
  3. Ibu
  4. Nenek / ibunya ibu
  5. Nenek / ibunya bapak
  6. Nenek / ibunya kakek
  7. Saudari sekandung
  8. Saudari sebapak
  9. Saudari seibu
  10. Isteri
  11. Wanita yang memerdekakan budak
Semua keluarga wanita selain ahli waris sebelas ini, seperti bibi dan seterusnya dinamakan “dzawil arham”, tidak mendapat harta waris. Lihat Muhtashar Fiqhul Islam, hal. 776

Catatan.
  1. Bila ahli waris laki-laki yang berjumlah lima belas di atas masih hidup semua, maka yang berhak mendapatkan harta waris hanya tiga saja, yaitu : Bapak, anak dan suami. Sedangkan yang lainnya mahjub (terhalang) oleh tiga ini.
  2. Bila ahli waris perempuan yang berjumlah sebelas di atas masih hidup semua, maka yang berhak mendapatkan harta waris hanya lima saja, yaitu : Anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, isteri, saudari sekandung
  3. Jika semua ahli waris laki-laki dan perempuan masih hidup semuanya, maka yang berhak mendapatkan harta waris lima saja, yaitu : Bapak, anak, suami, atau isteri, anak perempuan, dan ibu.
PERINCIAN BAGIAN SETIAP AHLI WARIS DAN PERSYARATANNYA.

Bagian Anak Laki-Laki
  1. Mendapat ashabah (semua harta waris), bila dia sendirian, tidak ada ahli waris yang lain.
  2. Mendapat ashabah dan dibagi sama, bila jumlah mereka dua dan seterusnya, dan tidak ada ahli waris lain.
  3. Mendapat ashabah atau sisa, bila ada ahli waris lainnya.
  4. Jika anak-anak si mayit terdiri dari laki-laki dan perempuan maka anak laki mendapat dua bagian, dan anak perempuan satu bagian. Misalnya, si mati meninggalkan 5 anak perempuan dan 2 anak laki-laki, maka harta waris dibagi 9. Setiap anak perempuan mendapat 1 bagian, dan anak laki-laki mendapat 2 bagian.
Bagian Ayah
  1. Mendapat 1/6, bila si mayit memiliki anak laki atau cucu laki. Misalnya si mati meninggalkan anak laki dan bapak, maka harta dibagi menjadi 6, Ayah mendapat 1/6 dari 6 yaitu 1, sisanya untuk anak.
  2. Mendapat ashabah, bila tidak ada anak laki atau cucu laki. Misalnya si mati meninggalkan ayah dan suami, maka suami mendapat ½ dari peninggalan isterinya, bapak ashabah (sisa).
  3. Mendapat 1/6 plus ashabah, bila hanya ada anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki. Misalnya si mati meninggalkan ayah dan satu anak perempuan. Maka satu anak perempuan mendapat ½, ayah mendapat 1/6 plus ashabah.
Mengenai seorang anak wanita mendapat ½, lihat keterangan berikutnya. Semua saudara sekandung atau sebapak atau seibu gugur, karena ada ayah dan kakek.

Bagian Kakek
  1. Mendapat 1/6, bila ada anak laki-laki atau cucu laki-laki, dan tidak ada bapak. Misalnya si mati meninggalkan anak laki-laki dan kakek. Maka kakek mendapat 1/6, sisanya untuk anak laki-laki.
  2. Mendapat ashabah, bila tidak ada ahli waris selain dia
  3. Mendapat ashabah setelah diambil ahli waris lain, bila tidak ada anak laki, cucu laki dan bapak, dan tidak ada ahli waris wanita. Misalnya si mati meninggalkan datuk dan suami. Maka suami mendapatkan ½, lebihnya untuk datuk. Harta dibagi menjadi 2, suami =1, datuk = 1
  4. Kakek mendapat 1/6 dan ashabah, bila ada anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki. Misalnya si mati meninggalkan kakek dan seorang anak perempuan. Maka anak perempuan mendapat ½, kakek mendapat 1/6 ditambah ashabah (sisa).
Dari keterangan di atas, bagian kakek sama seperti bagian ayah, kecuali bila selain kakek ada isteri atau suami dan ibu, maka ibu mendapat 1/3 dari harta waris, bukan sepertiga dari sisa setelah suami atau isteri mengambil bagiannya.

Adapun masalah pembagian kakek, bila ada saudara dan lainnya, banyak pembahasannya. Silahkan membaca kitab Mualimul Faraidh, hal. 44-49 dan Tashil Fara’idh, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 28 dan kitab lainnya.

Bagian Suami
  1. Mendapat ½, bila isteri tidak meninggalkan anak atau cucu dari anak laki.
  2. Mendapat ¼, bila isteri meninggalkan anak atau cucu. Misalnya, isteri mati meninggalkan 1 laki-laki, 1 perempuan dan suami. Maka suami mendapat ¼ dari harta, sisanya untuk 2 orang anak, yaitu bagian laki-laki 2 kali bagian anak perempuan

Bagian Anak Perempuan
  1. Mendapat ½, bila dia seorang diri dan tidak ada anak laki-laki
  2. Mendapat 2/3, bila jumlahnya dua atau lebih dan tidak ada anak laki-laki
  3. Mendapat sisa, bila bersama anak laki-laki. Putri 1 bagian dan, putra 2 bagian.

Bagian Cucu Perempuan Dari Anak Laki-Laki
  1. Mendapat ½, bila dia sendirian, tidak ada saudaranya, tidak ada anak laki-laki atau anak perempuan.
  2. Mendapat 2/3, jika jumlahnya dua atau lebih, bila tidak ada cucu laki-laki, tidak ada anak laki-laki atau anak perempaun.
  3. Mendapat 1/6, bila ada satu anak perempuan, tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki
  4. Mendapat ashabah bersama cucu laki-laki, jika tidak ada anak laki. Cucu laki-laki mendapat 2, wanita 1 bagian. Misalnya si mati meninggalkan 3 cucu laki-laki dan 4 cucu perempuan. Maka harta dibagi menjadi 10 bagian. Cucu laki-laki masing-masing mendapat 2 bagian, dan setiap cucu perempuan mendapat 1 bagian.

Bagian Isteri
  1. Mendapat ¼, bila tidak ada anak atau cucu
  2. Mendapat 1/8, bila ada anak atau cucu
  3. Bagian ¼ atau 1/8 dibagi rata, bila isteri lebih dari satu
Bagian Ibu
  1. Mendapat 1/6, bila ada anak dan cucu
  2. Mendapat 1/6, bila ada saudara atau saudari
  3. Mendapat 1/3, bila hanya dia dan bapak
  4. Mendapat 1/3 dari sisa setelah suami mengambil bagiannya, jika bersama ibu dan ahli waris lain yaitu bapak dan suami. Maka suami mendapat ½, ibu mendapat 1/3 dari sisa, bapak mendapatkan ashabah (sisa)
  5. Mendapat 1/3 setelah diambil bagian isteri, jika bersama ibu ada ahli waris lain yaitu bapak dan isteri. Maka isteri mendapat ¼, ibu mendapat 1/3 dari sisa, bapak mendapatkan ashabah (sisa).
Sengaja no. 4 dan 5 dibedakan, yaitu 1/3 dari sisa setelah dibagikan kepada suami atau isteri, bukan 1/3 dari harta semua, agar wanita tidak mendapatkan lebih tinggi daripada laki-laki. Lihat Muhtashar Fiqhul Islami, hal. 778-779 dan Al-Mualimul Fara’idh, hal. 35

Bagian Nenek
Nenek yang mendapat warisan ialah ibunya ibu, ibunya bapak, ibunya kakek.
  1. Tidak mendapat warisan, bila si mati meninggalkan ibu, sebagaimana kakek tidak mendapatkan warisan bila ada ayah.
  2. Mendapat 1/6, seorang diri atau lebih, bila tidak ada ibu. Lihat Muhtashar Fiqhul Islami, hal. 780
Bagian Saudari Sekandung
  1. Mendapat ½, jika sendirian,tidak ada saudara sekandung, bapak, kakek, anak.
  2. Mendapat 2/3, jika jumlahnya dua atau lebih, tidak ada saudara sekandung, anak, bapak, kakek.
  3. Mendapat bagian ashabah, bila bersama saudaranya, bila tidak ada anak laki-laki, bapak. Yang laki mendapat dua bagian, perempuan satu bagian.
Bagian Saudari Sebapak
  1. Mendapat ½, jika sendirian, tidak ada bapak, kakek, anak dan tidak ada saudara sebapak,saudara ataupun saudara sekandung
  2. Mendapat 2/3, jika dua ke atas, tidak ada bapak, kakek, anak dan tidak ada saudara sebapak, saudara ataupun saudara sekandung.
  3. Mendapat 1/6 baik sendirian atau banyak, bila ada satu saudari sekandung, tidak ada anak, cucu, bapak, kakek, tidak ada saudara sekandung dan sebapak.
  4. Mendapat ashabah, bila ada saudara sebapak. Saudara sebapak mendapat dua bagian, dan dia satu bagian.
Bagian Saudara Seibu
Saudara seibu atau saudari seibu sama bagiannya
  1. Mendapat 1/6, jika sendirian, bila tidak ada anak cucu, bapak, kakek.
  2. Mendapat 1/3, jika dua ke atas, baik laki-laki atau perempuan sama saja, bila tidak ada anak, cucu, bapak, kakek.

[Ditulis berdasarkan kitab Mualimul Fara’idh, Tashil Fara’idh (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin), Mukhtashar Fiqhul Islam, dan kitab-kitab lainnya]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
 
BILA WARISAN TIDAK MENCUKUPI UNTUK MEMBAYAR HUTANG


Oleh
Ustadz Abu Humaid Arif Syarifuddin



Di dalam kehidupan sehari-harinya seseorang tidak terlepas dari beban dan tanggungan. Di antara tanggungan yang mungkin menimpanya ialah hutang. Terutama ketika kondisi yang mendesak dan amat membutuhkan, atau kondisi-kondisi lainnya. Baik hutang tersebut terkait dengan hak manusia ataupun yang terkait dengan hak Allah. Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur masalah ini, sebagaimana telah tertuang dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adapun yang terkait hak manusia, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah berhutang. Seperti pernah diceritakan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha.

“Artinya : Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan harga pembayaran dibelakang (hutang) dan memberi jaminan dengan baju besi milik beliau” [Hadits Riwayat Bukhari 2386 –Fathul Bari- dan Muslim 1603]

Hadits tersebut menunjukkan adanya dalil bolehnya bermuamalah dengan ahli dzimmah (kafir dzimmi), dan boleh memberi suatu jaminan untuk hutang di saat mukim.[1]

Meski Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhutang, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang senantiasa ingin bersegera dalam membayar hutangnya dan melebihkan pembayarannya. Jabir Radhiyallahu ‘anhu mengisahkan.

“Artinya : Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau di Masjid –Mis’ar (perawi dalam sanad) berkata : Saya kira ia menyebut waktu Dhuha-. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki hutang kepadaku. Maka beliau melunasinya dan memberiku tambahan”. [Hadits Riwayat Al-Bukhari 2394 –Fathul Bari- dan Muslim 715]

Demikianlah seharusnya setiap muslim mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga, hutang yang menjadi tanggungan diri seorang muslim, hendaknya segera ditunaikan bila telah memiliki harta yang dapat untuk melunasinya, tidak mengulur-ulurnya, karena hal itu termasuk bentuk kezhaliman. Hutang ini tetap akan menjadi tanggungannya, sampai ia mati sekalipun. Jika belum dilunasi, maka ruhnya akan tergantung sampai terlunasi hutangnya tersebut. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Penguluran (hutang) oleh orang yang mampu (membayar) adalah kezhaliman” [Hadits Riwayat Al-Bukhari 2400 –Fathul Bari- dan Muslim 1564]

Beliau Shallalalhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda.

“Artinya : Jiwa (ruh) seorang mukmin tergantung karena hutangnya, sampai terlunasi” [Hadits Riwayat At-Tirmidzi 1078 dan Ibnu Majah 2413, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahihul Jami’ 6779]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tidak mau menyalati jenazah seseorang, karena si mayit tersebut masih memiliki tanggungan hutang. Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu ‘anhu menuturkan.

“Artinya : Bahwasanya, pernah dihadapkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang jenazah untuk beliau shalati. Lalu beliau bertanya, “Apakah dia punya hutang?” Mereka menjawab, “Tidak”, maka beliau pun menyalatinya. Kemudian didatangkan kepada beliau jenazah yang lain, lalu beliau bertanya, “Apakah dia punya hutang?”, Mereka menjawab, “Ya” maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Shalatilah teman kalian ini oleh kalian”. Abu Qatadah berkata, “Wahai Rasulullah. Saya yang akan melunasi hutangnya”, maka beliau pun mau menyalatinya” [Hadits Riwayat Al-Bukhari 2295 –Fathul Bari-]

Jadi, jika seseorang meninggal, di antara hak yang harus ditunaikan sebelum dilakukan pembagian warisan dari harta yang ditinggalkan untuk para ahli warisnya ialah melunasi hutang-hutang si mayit bila ia meninggalkan hutang, baik hutang yang terkait dengan hak Allah maupun hak manusia. Meskipun ketika melunasi hutang-hutangnya tersebut sampai menghabiskan seluruh harta yang ditinggalkannya. [2]

Akan tetapi, jika harta si mayit tersebut tidak mencukupi untuk melunasi hutang-hutangnya, maka apa yang harus dilakukan ?

1. Jika hutang-hutangnya berkaitan dengan hak manusia, maka dibolehkan bagi wali mayit untuk meminta pengampunan dari para pemilik harta hutang atas hutang-hutang si mayit kepada mereka, baik sebagian maupun keseluruhan. Hal ini terisyaratkan dalam kisah yang dialami oleh Jabir Radhiyallahu ‘anhu ketika ayahnya terbunuh di medan perang Uhud, sementara ia menanggung hutang. Dia meminta kepada para pemilik harta hutang untuk membebaskan sebagian hutang ayahnya, tetapi mereka menolak dan tetap berkeinginan untuk mengambil hak mereka. Akhirnya Jabir Radhiyallahu ‘anhu mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan memintanya menyelesaikan masalah tersebut), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kepada mereka agar mau meneriman kurma-kurma yang ada di kebun Jabir Radhiyallahu ‘anhu sebagai pembayarannya, dan menghalalkan (membebaskan) sebagian hutang ayahnya, tetapi mereka menolak. [Lihat Shahih Al-Bukahri, hadits 2395 dan 2405 – Fathul Bari]

Dari kisah diatas terdapat dalil, bahwa wali mayit boleh meminta kepada para pemilik harta hutang untuk mebebaskan hutang-hutang si mayit. Dan pemilik harta, boleh membebaskan sebagian atau seluruh hutang si mayit, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Baththal dan Ibnu Munayyir. [Lihat Fathul Bari, 3/73]

Dan dari kisah diatas, juga terpahami bahwa bila si mayit tidak memiliki harta yang cukup untuk melunasi hutang-hutangnya, maka dilunasi oleh walinya, atau kerabatnya. Sebagaimana juga disebutkan dalam hadits yang dituturkan Sa’ad bin Athwal Radhiyallahu ‘anhu, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya.

“Artinya : Sesungguhnya saudaramu tertahan (ruhnya) karena hutangnya, maka lunasilah hutangnya”. Kemudian Sa’ad berkata, “Wahai Rasulullah. Aku telah melunasi semuanya, kecuali dua dinar yang diakui oleh seorang wanita, sementara dia tidak punya bukti”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah dia, karena dia berhak” [Hadits Riwayat Ibnu Majah, 2433, Ahmad 5/7 dan Al-Baihaqi 10/142. Dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahih Ibnu Majah] [3]

2. Namun, jika tidak ada seorangpun dari keluarga atau kerabat mayit yang bisa melunasi hutang-hutangnya, maka negara atau pemerintah yang menanggung pelunasan hutangnya, [4] diambilkan dari Baitul Mal.

Dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.sebagai pemimpin kaum muslimin.

“Artinya : Aku lebih berhak menolong kaum Mukminin dari diri mereka sendiri. Jika ada seseorabng dari kaum Mukminin yang meninggal, dan meninggalkan hutang maka aku yang akan melunasinya…” [Hadits Riwayat Al-Bukhari 2298 –Fathul Bari- dan Muslim 1619 dari Abu Haurairah Radhiyallahu ‘anhu]

Maksud Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah, akan melunasinya dari harta Baitul Mal, yang terdiri dari ghanimah (harta rampasan perang), jizyah (dari orang kafir yang berada dalam naungan kaum Muslimin), infak atau shadaqah serta zakat. [5]

Sebagiamana yang dipahami dari pekataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Jabir Radhiyallahu ‘anhu (di saat ia tidak mampu melunasi hutang-hutang ayahnya yang wafat dalam keadaan meninggalkan hutang).

“Artinya : Kalaulah telah datang harta (jizyah) dari Bahrain, niscaya aku memberimu sekian dan sekian” [Hadits Riwayat Al-Bukahri 2296 –Fathul Bari- dan Muslim 2314]

Dan jika negara atau pemerintah tidak menanggungnya, kemudian ada diantara kaum Muslimin yang siap menanggungnya, maka hal itu dibolehkan sebagaimana kandungan hadits Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu ‘anhu di atas. Hal itu memberi pelajaran bahwa mayit dapat memperoleh dengan dilunasinya hutang-hutangnya, meskipun oleh selain anaknya. Dengan demikian berarti akan membebaskannya dari adzab. [6]

Berbeda halnya dengan shadaqah, karena si mayit bisa memperoleh manfaat dan pahala dari shadaqah atas nama dirinya yang dilakukan oleh anaknya saja. Sebab anak merupakan hasil usaha orang tua, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan bahwasanya, seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” [An-Najm : 39]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya, sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang ialah dari hasil usahanya sendiri. Dan anaknya, termasuk dari hasil usahanya” [Hadits Riwayat Abu Dawud 3528, An-Nasa’i 4449 dan 4451, At-Tirmidzi 1358 –dengan lafazh jamak- Ibnu Majah 2137. Dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami 2208 dan tahqiq Misykatul Mashabih 2770] [7]

3. Jika hutang si mayit berkaitan dengan hak Allah seperti nadzar haji, maka wajib ditunaikan oleh si mayit dengan harta si mayit bila mencukupi. Sedangkan bila harta si mayit tidak mencukupi ketika wafatnya, maka ditanggung oleh walinya yang akan menghajikan untuk si mayit, sebagaimana kandungan dari hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, bahwa pernah ada seorang wanita dari bani Juhainah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata :

“Artinya : Sesungguhnya ibuku telah bernadzar haji, tetapi belum berhaji sampai meninggalnya, apakah aku harus menghajikan untuknya?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, hajikanlah untuknya. Bukankah jika ibumu menanggung hutang maka kamu yang akan melunasinya? Tunaikanlah hak Allah, karena hak Allah lebih utama untuk ditunaikan” [Hadits Riwayat Al-Bukhari 1852- Fathul Bari]

4. Jika ia memiliki hutang yang berkaitan dengan hak Allah dan hak manusia, manakah yang lebih dahulu ditunaikan?
Dalam permasalahan ini, para ulama berbeda pendapat dalam tiga kelompok.[8]

Pertama : Harta si mayit yang ada dibagikan untuk hutang-hutang tersebut dengan masing-masing mendapat jatah bagian berdasarkan nisbah (prosentase), seperti pada kejadian seorang yang mengalami kebangkrutan, pailit (muflis), (yaitu) ketika dia menanggung hutang-hutang yang melampaui harta miliknya. Ini adalah pendapat ulama madzhab Hambali.

Kedua : Diutamakan hutang-hutang yang berkait dengan hak manusia, dengan mempertimbangkan oleh sifat asal manusia yang bakhil (tidak memaafkan). Adapun hak Allah dibangun atas dasar sifat Allah yang suka memaafkan. Ini adalah pendapat ulama madzhab Hanafi dan Maliki.

Ketiga : Yang benar adalah diutamakan hak Allah daripada hak manusia, berdasarkan keumuman hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu di atas, yaitu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Tunaikan hak Allah, karena hak Allah lebih utama untuk ditunaikan” [Hadits Riwayat Al-Bukhari 1852 –Fathul Bari-] [9]
Pendapat ketiga ini merupan pendapat ulama madzhab Syafi’i. Wallahu a’lam



[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
__________
Foote Note
[1]. Lihat Syarhu Shahih Muslim 11/33
[2]. Lihat juga Ahkamul Janaiz, hal. 25
[3]. Lihat Ahkamul Janaiz hal.25-26
[4]. Lihat Ahkamul Janaiz, hal. 25
[5]. Lihat Fathul Bari 4/558. Dan lihat perbedaan pendapat dalam masalah ini dalam Syarh Shahih Muslim 11/52
[6]. Lihat Ahkamul Janaiz, hal 28
[7]. Lihat Ahkamul Janaiz, hal.16
[8]. Lihat At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah, hal.26
[9]. Lihat Nailul Authar 4/286-287
 
ORANG YANG TIDAK BERHAK MENDAPAT HARTA WARIS


Oleh
Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron



1. Ar-Riqqu Atau Hamba Sahaya
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata : “Budak adalah manusia yang tidak memiliki wewenang sendiri, tetapi dia dimiliki, boleh dijual, boleh dihibahkan dan diwaris. Dia dikuasai dan tidak memiliki kekuasaan. Adapun (yang menjadi) sebab dia tidak mendapatkan warisan, karena Allah membagikan harta waris kepada orang yang berwenang memiliki sesuatu, sedangkan dia (budak) tidak memiliki wewenang.

Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata. Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Dan barangsiapa membeli budak sedangkan budak itu memiliki harta, maka hartanya milik si penjual, kecuali bila pembeli membuat syarat” [Hadits Riwayat Bukhari 2/838 dan Muslim 3/1173]

Selanjutnya beliau berkata : Jika dia tidak berhak memiliki, maka tidak berhak mewarisi, sebab bila dia mewarisi, maka akan beralih kepemilikannya kepada pemiliknya. [Lihat Tashilul Fara’id : 21]
2. Al-Qatil Atau Membunuh Orang Yang Akan Mewariskan
Bila ada orang yang berhak menerima waris, tetapi orang itu membunuh orang yang akan mewariskan, misalnya ada anak yang tidak sabar menanti warisan ayahnya, sehingga ia membunuh ayahnya, maka anak tersebut tidak berhak mengambil pusaka ayahnya. Untuk lebih jelasnya, lihat Muhtashar Al-Fiqhul Islami, hal. 774 oleh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwajiri.

Dalilnya, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Pembunuh tidaklah memperoleh harta waris” [Hadits Riwayat Tirmidzi 3/288, Ibnu Majah 2/883, Hadits Shahih Lihat Al-Irwa’, hal. 1672]

Adapun pembunuh secara tidak sengaja, maka menurut Imam Malik, dia tetap mendapat harta waris. Lihat Sunan Tirmidzi (3/288). Sedangkan jumhur ulama berpendapat, pembunuh tidak mendapat harta waris, baik dengan sengaja atau tidak . Lihat Sunan Tirmidzi (3/288).

Jalan tengah dari dua pendapat yang berbeda ini, Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata : “Pembunuhan yang disengaja tidak berdosa apabila pembunuhan itu seperti membunuh perampok (walaupun itu ahli waris), maka membunuh perampok (walaupun itu ahli waris), maka tidaklah menghalangi pembunuhnya mendapatkan harta waris dari yang dibunuh., karena tujuannya untuk membela diri. Demikian juga, misalnya pembunuhan yang disebabkan karena mengobati atau semisalnya, maka tidaklah menghalangi orang itu untuk mendapatkan harta waris, selagi dia diizinkan untuk mengobati dan berhati-hati”. Lihat Tashilul Fara’id, hal. 21-22
3. Ikhtilaffud Din Atau Berlainan Agama Dan Murtad
Ahli waris lain agama, misalnya yang meninggal dunia orang Yahudi, sedangkan ahli warisnya Muslim, maka ahli waris yang Muslim tersebut tidak boleh mewarisi hartanya. Dan demikian juga sebaliknya.

Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu berkata sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Tidak boleh orang Muslim mewarisi harta orang kafir, dan tidak boleh orang kafir mewarisi harta orang Muslim” [Hadits Riwayat Bukhari 6/2484]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata : “Mereka tidak mendapatkan harta waris karena antara keduanya putus hubungan secara syar’i. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata kepada nabi Nuh ‘Alahis Salam menjelaskan anaknya yang kafir dengan firmanNya.

“Artinya : Allah berfirman : “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik” [Hud : 46]

Selanjutnya Syaikh menjelaskan : Ada dua perkara, bolehnya lain agama mewarisinya. Pertama : Al-Wala. Yaitu orang yang memerdekakan budak, dia mendapatkan warisan budak yang telah dimerdekakannya, walaupun lain agama. Kedua : Kerabat yang kafir lalu masuk Islam sebelum pembagian harta. Lihat Tashilul Fara’id, hal.22. Tiga macam diatas dinamakan hajib washaf. Artinya, keberadaannya seperti tidak adanya, karena mereka tidak mendapat harta waris.

4. Al-Muthallaqah Raj’iah Atau Talak Raj’i Yang Telah Habis Masa Iddahnya

Wanita yang sudah habis masa iddahnya, tidak mendapatkan warisan dari suaminya yang meninggal dunia. Demikian pula sebaliknya. Tetapi bila meninggal dunia sebelum habis masa iddahnya, jika salah satunya meninggal dunia, maka mendapat harta waris. Lihat Muhtashar Al-Fihul Islam oleh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwajiri, hal. 775. Dalilnya ialah.

“Artinya : Dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Rabb-mu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar, kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang”. [At-Thalaq : 1]

Yang dapat diambil pelajaran dari ayat ini, jika isteri dalam masa iddah, maka statusnya masih isteri sampai keluar masa iddah. Karena itu si isteri harus tinggal di rumah suami, tidak boleh diusir atau keluar dari rumah suami, selama masa iddah.
5. Al-Muthallaqah Al-Bainah Atau Talak Tiga
Wanita yang dicerai tiga kali dinamakan thalaq ba’in. Bila suami menceraikannya dalam keadaan sehat, lalu meninggal dunia, maka si isteri tidak mendapat warisan. Demikian pula sebaliknya. Atau suami dalam keadaan sakit keras dan tidak ada dugaan menceraikannya karena takut isteri mengambil warisannya, maka si isteri tidak mendapat warisan pula. Tetapi bila suami menceraikannya karena bermaksud agar isteri tidak mendapatkan warisan, maka isteri mendapatkan warisan. Lihat Mukhtashar Al-Fiqhul Islami, Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri, hal. 775

Apa yang difatwakan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri bagian akhir ini benar, karena termasuk hailah atau rekayasa untuk menghalangi hak orang lain. Seperti halnya lima orang yang berserikat memiliki kambing dan jumlah kambingnya telah mencapai 40 ekor. Tiba waktu mengeluarkan zakat, mereka membaginya agar terlepas dari kewajiban mengeluarkan zakat. Jika mereka melakukan hailah (rekayasa) seperti ini, maka mereka tetap diwajibkan mengeluarkan zakat.
6. Al-Laqit Atau Anak Angkat
Dalam hal ini termasuk juga orang tua angkat. Keduanya tidak medapat warisan bila salah satunya meninggal dunia, sekalipun sama agamanya dan diakui sebagai anaknya sendiri, atau bapaknya sendiri, sudah memiliki akte kelahiran dan di catat sebagai anak atau bapak kandung, karena istilah orang tua dan anak ialah yang satu darah yang disebabkan pernikahan menurut syar’i. Dalilnya ialah firman Allah.

“Artinya : … Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan” [An-Nisa :176]
7. Ibu Tiri Atau Bapak Tiri
Anak tiri tidak mendapatkan warisan bila bapak tiri atau ibu tirinya meninggal dunia.

“Artinya : Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak” [An-Nisa : 11]
8. Auladul Li’an Atau Anak Li’an
Apabila suami menuduh isterinya berzina dan bersumpah atas nama Allah empat kali, bahwa tuduhannya benar, dan sumpah yang kelima disertai dengan kata-kata “ Laknat Allah atas diriku bila aku berdusta”, kemudian isterinya juga membalas sumpahnya sebagaimana disebutkan di dalam surat An-Nur ayat 6, maka anaknya dinamakan anak li’an (tidak diakui oleh suami), maka anak tersebut tidak mendapat warisan bila yang meli’an meninggal dunia. Demikian pula sebaliknya, jika anak tersebut meninggal. Alasannya, karena anak itu tidak diakui oleh yang meli’an. Anak yang dili’an hanya mendapatkan harta waris dari ibunya dan sebaliknya.
9. Auladuz Zina Atau Anak Yang Lahir Hasil Zina
Anak yang dilahirkan hasil zina, maka anak tersebut tidak mendapatkan harta waris dari laki-laki yang menzinai, dan sebaliknya. Tetapi, anak mendapatkan warisan dari ibunya dan juga sebaliknya. Alasannya, karena anak yang mendapatkan harta waris ialah anak senasab atau satu darah, lahir dengan pernikahan syar’i. Lihat Al-Fiqhul Islami Wa Adillatih (8/256)

Selain keterangan di atas, ada pula ahli waris yang mahjub isqath terhalang karena ada orang yang lebih kuat dan dekat dengan si mayit. Misalnya kakek mahjub (tidak mendapatkan harta waris), karena ayah si mayit masih hidup, atau cucu mahjub karena anak masih hidup, saudara mahjub dengan anak, bapak dari seterusnya.



[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
 
^dewaSalah

wew... Nice Info... semoga ilmu yg ente kasih bermaanfaat.. amien. karena pahala yg tidak pernah putus setelah meninggal salah satunya adalah ilmu yg bermanfaat.
 
Makasih infonya, ilmu yang berguna utk semua org di masa depan. Keep up the good work.
:D
 
Sbenarnya masih banyak ilmu dr situs itu tp berhubung browser pc lg ngambek, jd blm bisa ksh info yg lbh bnyk.
Opera mini mode ON.
 
wah sip sitenya banyak bgt yg penting
gud post
 
Fatwa Ulama tentang Waris

SEORANG WANITA TELAH MELANGSUNGKAN AKAD NIKAH DENGAN SEPUPUNYA, LALU SANG SUAMI MENINGGAL SEBELUM MENGGAULINYA, APAKAH SI WANITA WAJIB BERDUKA CITA DAN APAKAH IA MENDAPAT BAGIAN WARISAN ?


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz


Pertanyaan.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saudara perempuan saya berusia 14 tahun telah melangsungkan akad nikah dengan sepupunya. Namun Allah telah menetapkan kepastian pada sepupu itu, ia kini telah meninggal dunia. Saya mohon jawaban, apakah si wanita itu harus melaksanakan iddah dengan sempurna atau separuhnya atau tidak perlu, dan apakah ia berhak mendapat bagian warisan, sementara ia sama sekali belum bercampur dan belum pernah diberi apa-apa, tidak perhiasan dan tidak pula lainnya. Kami mohon jawaban, semoga Allah memberi anda balasan kebaikan.

Jawaban.

Jika seorang laki-laki meninggal sebelum menggauli istrinya, maka si istri wajib iddah dan berhak mendapat bagian warisan, berdasarkan firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaknya para istri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari". [Al-Baqarah : 234]

Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membedakan antara yang sudah bercampur dan yang belum, Allah menetapkan secara umum dalam ayat tadi sehingga mencakup semuanya (yang sudah digauli dan yang belum). Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam secara shahih dari berbagai jalan, bahwa beliau bersabda.

"Artinya : Tidak boleh berduka cita seroang wanita atas seorang mayat lebih dari tiga hari, kecuali terhadap suaminya. Dalam hal ini ia berduka cita terhadapnya selama empat bulan sepuluh hari"

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membedakan antara yang sudah dicampuri dan yang belum, Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki ( se ibu saja) atau seorang saudara perempuan ( se ibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara se ibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya". [An-Nisa' : 12]

Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membedakan antara yang sudah bercampur dan yang belum. Ini menunjukkan bahwa semua istri berhak mewarisi suaminya, baik itu sudah bercampur maupun belum, selama tidak ada halangan syar'i yang menghalanginya, yaitu ; perbudakan, pembunuhan dan perbedaan agama.

[Kitab Ad-Da'wah, Syaikh Ibnu Baz, juz 1, hal.160]



PUTRI-PUTRI SAUDARA KANDUNG TIDAK MEWARISI WARISAN PAMAN YANG MENINGGAL JIKA ADA LAKI-LAKI





Pertanyaan:
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Seorang laki-laki meninggal dunia, ia tidak mempunyai istri tidak pula anak, tapi ada keponakan dari saudara kandungnya yang telah meninggal. Apakah keponakan-keponakan itu, baik laki-laki maupun perempuan, mewarisi harta pamannya yang meninggal itu ?

Jawaban:
Jika kenyataannya seperti yang disebutkan oleh penanya, maka seluruh warisan itu menjadi hak anak-anak laki-laki saudaranya itu, adapun anak-anak perempuannya tidak mewarisi, demikian menurut ijma' kaum Muslimin berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Artinya : Berikanlah bagian-bagian warisan itu kepada ahli warisnya, adapun selebihnya menjadi hak kerabat laki-laki yang paling dekat hubungannya (dengan si mayat)" [Disepakati keshahihannya]

Karena keponakan-keponakan perempuan itu tidak termasuk ashabul furudh dan tidak juga ashabah tapi termasuk dzawil arham menurut ijma' para ahlul ilmi.

[Ibnu Baz, Fatawa Islamiyah, Juz 3, hal. 56]


[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]
 
Fatwa Ulama tentang Waris

ORANG MUSYRIK TIDAK DIWARISI OLEH ANAK-ANAKNYA YANG MUWAHHID [YANG AQIDAHNYA LURUS]


Oleh
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta



Pertanyaan:
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Seorang laki-laki biasa mengerjakan shalat, puasa dan rukun-rukun Islam lainnya, namun disamping itu ia juga memohon kepada selain Allah, seperti ; bertawasul dengan para wali dan meminta pertolongan kepada mereka serta berkeyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mendatangkan manfaat dan mencegah mudharat. Tolong beri tahu kami, semoga Allah memberi anda kebaikan, apakah anak-anaknya yang mengesakan Allah dan tidak mempersekutukanNya dengan sesuatu pun mewarisi ayah mereka, dan bagaimana hukum mereka ?


Jawaban:

Orang yang mengerjakan shalat, puasa dan rukun-rukun Islam lainnya, namun disamping itu ia pun meminta pertolongan kepada orang-orang yang telah meninggal, orang-orang yang tidak ada atau kepada malaikat dan sebagainya, maka ia seorang musyrik. Jika telah dinasehati namun tidak menerima dan tetap seperti itu sampai meninggal, maka ia telah melakukan syirik akbar yang mengeluarkannya dari agama Islam, sehingga tidak boleh dimandikan, tidak boleh dishalatkan jenazahnya, tidak boleh dikubur di pekuburan kaum Muslimin dan tidak boleh dimintakan ampunan untuknya serta warisannya tidak diwarisi oleh anak-anaknya, orang tuanya atau saudara-saudaranya atau lainnya yang muwahhid (yang tidak mempersekutukan Allah). Hal ini karena perbedaan agama mereka dengan si mayat, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Tidaklah seorang muslim mewarisi seorang kafir dan tidaklah seorang kafir mewarisi seorang muslim". [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim]

Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada seluruh keluarga dan para sahabatnya.


[Al-Lajnah Ad-Da'imah (dari kitab Fatawa Islamiyah), Juz 3, hal.51]




YANG DIKHUSUSKAN BAGI ISTRI TIDAK TERMASUK HARTA WARISAN




Pertanyaan:

Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Imiyah wal Ifta' ditanya : Ada seorang suami yang meninggal dunia dengan meninggalkan rumah dan isinya, termasuk kamar tidur dan perlengkapannya. Apakah kamar ini dikhususkan bagi istrinya atau milik bersama ahli waris. Ada juga emas milik istrinya yang dipinjam olehnya untuk suatu proyek, apakah harus dibayar dari harta peninggalannnya lalu diserahkan kepada sang istri atau tidak. Dan apakah wasiat untuk membangun perkampungan anak-anak yatim -di Riyadh-, sementara ibu dan anak-anak di Amman, yang mana hal ini memerlukan ongkos untuk mendatangkan mereka dari Amman ke Riyadh, apakah boleh memindahkan wasiat karena alasan mendekatkan ke Amman agar lebih dekat kepada mereka ? Kami mohon jawabannya. Jazakumullah khairan.

Jawaban:
Kamar tidur dan semua yang dikhususkan untuk istri tidak ada hubungannya dengan harta peninggalan, karena barang-barang itu telah diberikan kepada istrinya. Jika memang ada pinjaman, maka itu adalah utang yang harus ditanggung oleh si mayat dan dibayarkan dari harta peninggalannya seperti halnya utang-utang lainnya. Adapun memindahkan pembangunan penampungan dari Riyadh ke Amman dengan alasan mendekatkan merupakan hak khusus pihak pengadilan syari'at.

Hanya Allah lah sumber petunjuk. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, seluruh keluarga dan para sahabatnya.

[Fatawa Lajnah Da'imah, Juz 16, fatawa nomor 4726]


[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Jaurisiy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]
 
Fatwa Ulama tentang Waris

WARISAN BAGI ISTRI YANG DICERAI


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin




Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah wanita yang telah diceraikan oleh suaminya yang kemudian meninggal tiba-tiba setelah menceraikannya mendapat bagian warisan, sementara ia masih dalam masa iddah, atau setelah habis masa iddah ?

Jawaban.

Wanita yang ditalak, jika suaminya meninggal ketika masih dalam masa iddah, ada dua kemungkinan, yaitu talak raj'i (yang bisa di rujuk) dan bukan raj'i (tidak bisa di rujuk).

Jika itu talak raj'i maka statusnya masih sebagai istri sehingga iddahnya berubah dari iddah talak ke iddah wafat (iddah karena ditinggal mati suami). Talak raj'i yang terjadi setelah campur tanpa iwadh (pengganti talak), baik talak pertama maupun talak yang kedua kali, jika suaminya meninggal, maka si wanita berhak mewarisinya, berdasarkan firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf". [Al-Baqarah : 228]

Dalam ayat lain disebutkan.

"Artinya : Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru". [Ath-Thalaq : 1]

Allah Subhnahu wa Ta'ala memerintahkan wanita yang ditalak (raj'i) agar tetap tinggal di rumah suaminya pada masa iddah, Allah berfirman.

"Artinya : Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru".[Ath-Thalaq : 1]

Maksudnya adalah rujuk. Jika wanita yang ditinggal mati suaminya dengan tiba-tiba itu dalam keadaan talak ba'in (yang tidak dapat di rujuk), seperti talak yang ketiga kali atau si wanita memberikan pengganti mahar kepada suaminya agar ditalak, atau sedang pada masa fasah (pemutusan ikatan pernikahan), bukan iddah talak, maka ia tidak berhak mewarisi dan statusnya tidak berubah dari iddah talak ke iddah diitnggal mati suami.

Namun demikian, ada kondisi dimana wanita yang di talak ba'in tetap berhak mewarisi, yaitu seperti ; jika sang suami mentalaknya ketika sedang sakit dengan maksud agar si istri tetap mendapat hak warisan walaupun masa iddahnya telah berakhir selama ia belum menikah lagi. Tapi jika ia telah menikah lagi maka tidak boleh mewarisi.

[Fatawa Nur 'Ala Ad-Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2, hal 820]


APAKAH ISTRI YANG BELUM DIGAULI BERHAK MENDAPAT WARISAN




Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang laki-laki melamar seorang gadis, lalu akad pun dilaksanakan. Sebelum bercampur, laki-laki tersebut meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan tapi tidak mempunyai anak atau kerabat ataupun ahli waris lainnya selain istri yang telah akad nikah dengannya itu. Apakah si isteri itu berhak mendapat warisan walaupun belum bercampur ?

Jawaban
Ya, ia berhak mewarisinya walaupun belum bercampur.Hal ini karena keumuman firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu". [An-Nisa' : 12]

Jadi, seorang isteri itu statusnya sebagai isteri dengan adanya akad yang benar. Jika akad yang benar telah terjadi, lalu suaminya meninggal, maka ia berhak mewarisinya dan wajib melaksanakan iddah wafat walaupun belum bercampur, serta mendapatkan mahar dengan sempurna.

Adapun sisa warisan tersebut menjadi hak kerabat laki-laki yang mempunyai hubungan paling dekat dengan yang meninggal itu. Dalam masalah yang ditanyakan, di mana si mayat tidak mempunyai ahli waris, baik ashabul furudh maupun 'ashabah, maka sisa warisan setelah diserahkan bagian si wanita itu menjadi hak baitul mal, karena baitul mal itu merupakan lembaga penampungan setiap harta yang tidak ada pemiliknya.

[Fatawa Nur Ala Ad-Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2, hal 821]



MELUNASI UTANG SEBELUM PEMBAGIAN WARIS





Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya mewarisi harta dari seorang kerabat. Dalam hal ini ikut pula mewarisi seorang putrinya dan dua orang istrinya. Selang beberapa waktu, baru diketahui bahwa yang meninggal itu mempuyai banyak utang, namun para ahli waris yang lain enggan ikut melunasi utang-utang tersebut, sementara saya merasa kasihan terhadap yang telah meninggal itu karena kelak akan dimintai pertanggung jawab di hadapan Allah, maka saya memutuskan untuk berbisnis dengan harta yang ada pada saya agar bisa berkembang lalu saya bisa melunasi utang-utangnya, karena utang-utang tersebut melebihi harta yang ada pada saya. Bagaimana hukumnya.?

Jawaban.

Para ahli waris tidak berhak mendapat bagian warisan kecuali setelah dilunasi utang-utang tersebut, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyebutkan tentang warisan.

"Artinya : (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya". [An-Nisa : 11]

Karena itu, para ahli waris tidak berhak mendapat apa pun dari harta yang diwariskannya kecuali setelah dilunasi utang-utangnya. Jika harta warisan itu telah dibagikan karena mereka tidak tahu, lalu setelah itu mereka tahu, maka masing-masing mereka wajib mengembalikan harta yang telah diterimanya untuk melunasi utang tersebut.

Jika ada yang menolak, maka ia berdosa dan berarti ia telah berbuat aniaya terhadap si mayat dan terhadap pemiliki utang. Jika anda telah melakukan hal tersebut, yaitu anda berbisnis dengan modal harta yang anda peroleh dari warisan tersebut untuk mengembangkannya agar bisa melunasi utang-utang si mayat, maka ini merupakan tindak ijtihad, dan karena ijtihad ini mudah-mudahan anda tidak berdosa. Lain dari itu hendaknya anda bisa melunasi utang-utang tersebut dari modal pokok yang diwariksan itu dari labanya.

Tapi sebenarnya yang anda lakukan itu tidak boleh, karena anda tidak berhak menggunakan harta yang bukan hak anda. Tapi karena itu telah terlanjur anda lakukan dalam rangka ijtihad, mudah-mudahan anda tidak berdosa.

[Fatawa Islamiyah, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 3, hal.49]


[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]
 
Fatwa Ulama tentang Waris

@HabibiDXXX
biar pada melek masalah warisan, terutama muslim yang awam akan ilmu agama. Lanjut...



TIDAK ADA WASIAT UNTUK AHLI WARIS


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin




Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kenapa Islam melarang wasiat untuk ahli waris ?

Jawaban.
Islam melarang wasiat untuk ahli waris karena akan melanggar ketentuan-ketentuan Allah Azza wa Jalla, sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan hukum-hukum pembagian waris, sebagaimana firmanNya.

"Artinya : (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal didalamnya ; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya ; dan baginya siksa yang menghinakan". [An-Nisa 13-14]

Jika seseorang mempunyai seorang anak permpuan dan seorang saudara perempuan sekandung, umpamanya, maka si anak mempunyai hak setengahnya sebagai bagian yang telah ditetapkan (fardh), sementara saudara perempuannya berhak atas sisanya sebagai ashabah. Jika diwasiatkan sepertiganya untuk anak perempuannya, umpamanya, berarti si anak akan mendapat dua pertiga bagian, sementara saudara perempuannya mendapat sepertiga bagian saja. Ini berarti pelanggaran terhadap ketetapan Allah.

Demikian juga jika ia mempunyai dua anak laki-laki, maka ketentuannya bahwa masing-masing berhak atas setengah bagian. Jika diwasiatkan sepertiganya untuk salah seorang mereka, maka harta tersebut menjadi tiga bagian. Ini merupakan pelanggaran terhadap ketetapan Allah dan haram dilakukan.

Demikian ini jika memang dibolehkan mewasiatkan harta warisan untuk ahli waris, maka tidak ada gunanya ketentuan pembagian warisan itu, dan tentu saja manusia akan bermain-main dengan wasiat sekehendaknya, sehingga ada ahli waris mendapat bagian lebih banyak, sementara yang lain malah bagiannya berkurang.

[Fatawa Nur Ala Ad-Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2, hal 558]




BATASAN WASIAT DENGAN SEPERTIGA BAGIAN WARISAN





Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kenapa tidak boleh mewasiatkan warisan lebih dari sepertiganya ?

Jawaban.

Dilarangnya mewasiatkan warisan lebih dari sepertiganya, karena hak ahli waris tergantung pada harta warisan. Jika dibolehkan mewasiatkan lebih dari sepertiganya, maka akan masuk hak-hak mereka. Karena itulah ketika Sa'ad bin Abi Waqash meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mewasiatkan dua pertiga hartanya beliau berkata, "Tidak boleh", Lalu Sa'ad berkata, "Setengahnya". Rasulullah Shallallah 'alaihi wa sallam pun berkata, "Tidak boleh", Lalu Sa'ad berkata lagi, "Kalau begitu sepertiganya". Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Sepertiganya. Sepertiganya itu cukup banyak. Sesungguhnya jika engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya (cukup) itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga meminta-minta kepada orang lain". [Hadits Riwayat Al-Bukhari, kitab Al-Janaiz no. 1295, dan Muslim, kitab Al-Washiyyah no. 1628]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa menegaskan dalam hal ini tentang hikmah dilarangnya wasiat melebihi sepertiganya. Karena itu, jika ia mewasiatkan lebih dari sepertiganya lalu para ahli warisnya mengizinkan, maka hal itu tidak apa-apa.

[Fatawa Nur 'Ala Ad-Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2, hal 559]




MEMBAGIKAN HARTA WARISAN KETIKA PEMILIKNYA MASIH HIDUP




Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya seorang laki-laki yang sudah menikah, alhamdulillah. Saya mempunyai harta dan hanya mempunyai seorang anak perempuan disamping seorang saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan. Kondisi ekonomi anak saya cukup makmur, ia menginginkan agar saya mencatatkan apa-apa yang dikhususkan bagi pamannya, yaitu saudara saya sendiri, dari harta saya, demikian juga saudara perempuan saya menginginkan hal serupa, yaitu agar saya mencatatkan apa-apa yang dikhususkan baginya.

Perlu diketahui, bahwa saya pun beristrikan seorang wanita yang bukan ibu anak saya tersebut. Ia belum melahirkan keturunan, tapi mereka tidak menyukainya. Di sisi lain saya khawatir seandainya saya mencatatkan sesuatu untuk saudara saya, ia akan mengusir saya dan istri saya dari rumah. Saya mohon petunjuk untuk mengambil sikap yang terbaik.

Jawaban
Sikap yang terbaik adalah membiarkan harta anda tetap di tangan anda, karena anda tidak tahu apa yang akan terjadi dalam kehidupan anda. Jangan anda catatkan harta anda untuk siapapun, sebab jika Allah mentaqdirkan anda meninggal, maka para ahli waris anda akan mewarisi harta anda sesuai dengan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Lalu, bagaimana mungkin anda mencatatkan atas nama mereka sementara mereka itu para ahli waris anda, dan anda pun tidak tahu, boleh jadi mereka meninggal sebelum anda sehingga malah anda yang mewarisi harta mereka. Yang jelas, kami sarankan agar anda tetap memegang harta anda, tidak mencatatkannya untuk seseorang. Biarkan ditangan anda dan anda pergunakan sesuka anda dalam batas-batas yang dibolehkan syari'at. Jika salah seorang dari anda meninggal, maka yang lainnya otomatis akan mewarisinya sesuai dengan yang telah ditetapkan Allah Subahanahu wa Ta'ala dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

[Fatawa Nur Ala Ad-Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2, hal 558]



WARISAN TIDAK DIBERIKAN KARENA SUSUAN



Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Jika seorang wanita meninggal dan memiliki harta tapi tidak mempunyai ahli waris, sementara orang yang paling dekat hubungannya hanya orang yang pernah disusuinya, baik laki-laki maupun perempuan, apakah yang pernah disusuinya itu berhak terhadap harta warisannya atau harta warisan itu harus diserahkan ke baitul mal ?

Jawaban.
Hubungan kekeluargaan akibat penyusuan tidak menjadi sebab warisan. Maka, saudara susu atau ayah susuan tidak mempunyai hak waris, hak perwalian, hak nafkah atau hak-hak kekerabatan lainnya. Tapi tentu saja ada hak-hak lain yang harus dihormati, adapun dalam hal warisan tidak mempunyai hak, karena, sebab, warisan itu hanya tiga : Hubungan kerabat (keturunan, baik ke atas maupun ke bawah), pernikahan dan wala' (kekerabatan secara hukum yang ditetapkan oleh syari'at antara yang memerdekakan budak dengan mantan budak yang disebabkan adanya pembebasan status budaknya, atau yang ada akad muwalah atau muhafalah).

Adapun penyusuan tidak termasuk penyebab warisan. Karena itu, harta peninggalan wanita tersebut menjadi hak baitul mal dan harus diserahkan ke baitul mal. Sedangkan anak yang pernah disusuinya itu tidak mempunyai hak.

[Fatawa Nur Ala Ad-Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2, hal 560]


[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.