Petunjuk Shalat Fardhu Saat Bepergian
Orang yang bepergian, dalam hal ini disebut safar, merupakan hal yang
tidak aneh lagi di zaman sekarang. Apatah lagi dengan berbagai jenis
kendaraan dewasa ini. Yang aneh pada orang yang melakukan safar di
zaman ini adalah mereka tidak mempedulikan hal-hal yang penting selain
safar mereka tersebut.
Di antara hal-hal yang telah disepelekan tersebut adalah shalat yang
merupakan kewajiban bagi setiap muslim.
Dari Jabir radhiallahu 'anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan
kekufuran adalah meninggalkan shalat". (H.R. Muslim)
Dari 'Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu 'anhu, ia berkata, "Aku
mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
'Lima shalat diwajibkan Allah atas para hamba. Barangsiapa
mengerjakannya dan tidak menyia-nyiakannya sedikitpun karena
menganggap enteng, maka dia memiliki perjanjian dengan Allah untuk
memasukkannya ke Surga. Dan barangsiapa tidak mengerjakannya, maka
dia tidak memiliki perjanjian dengan Allah. Jika Dia berkehendak, maka Dia
mengadzabnya. Atau jika Dia berkehendak, maka Dia mengampuninya."
(H.R. Ibnu Majah, Malik, Ahmad, Abu Dawud, An Nasa'i)
Kewajiban shalat adalah tetap bagi setiap muslim, yang sehat maupun
sakit,
mukim maupun safar, pria maupun wanita, muallaf maupun
tidak, pemerintah maupun rakyat, ulama maupun awam. Hanya saja bagi
orang yang melakukan safar terdapat hal-hal khusus mengenai kewajiban
shalat, di antaranya sebagai berikut.
1. Orang yang Safar Wajib Mengqashar Shalat Zhuhur, 'Ashar dan 'Isya'
Allah berfirman:
"Dan apabila akmu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
mengqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.
Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu." (Q.S.
An-Nisaa':101)
Dari Ya'la bin Umayyah, dia menanyakan ayat ini pada 'Umar bin al-Khattab
radhiallahu 'anhu. Dia berkata:
"... jika kamu takut diserang orang-orang kafir..." (Q.S. An-Nisaa':101)
Padahal orang-orang sudah dalam keadaan aman. 'Umar berkata, "Dulu aku
juga bingung dengan masalah ini sebagaimana kamu. Lalu aku menanyakan
hal tersebut pada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam. Lantas beliau
bersabda:
"Itu adalah shadaqah dari Allah untuk kalian. Maka, terimalah shadaqah-Nya."
(H.R. Muslim, Abu Dawud, An-Nasa'i, Ibnu Majah, at-Tirmidzi)
Dari Ibnu 'Abbas
radhiallahu 'anhuma, dia berkata,
"Melalui lisan Nabi kalian,
Allah mewajibkan shalat empat raka'at dalam keadaan mukim, dua raka'at
ketika safar, dan satu raka'at ketika dalam keadaan takut." (H.R. Ibnu
Majah, Muslim, Abu Dawud)
Dari 'Umar
radhiallahu 'anhu, dia berkata,
"Shalat dalam safar dua raka'at,
shalat Jum'at dua raka'at, shalat Idul Fithri dan Idul Adhha dua raka'at.
Sempurna, tidak diqashar. Berdasarkan ucapan Muhammad shallallahu
'alaihi wa sallam." (H.R. Ibnu Majah, An-Nasa'i)
Dari 'Aisyah raha, dia berkata,
"Pertama kali, shalat diwajibkan dua raka'at.
Kemudian hal ini ditetapkan bagi shalat dalam keadaan safar. Sedangkan
pada saat mukim dikerjakan secara lengkap (4 raka'at)." (
Muttafaqun
'Alaihi)
Dari Ibnu 'Umar
radhiallahu 'anhuma, dia berkata,
"Aku pernah menemani
perjalanan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau tidak pernah
shalat lebih dari dua raka'at hingga Allah mewafatkannya. Pernah juga aku
menyertai perjalanan Abu Bakar, dan dia juga tidak pernah shalat lebih dari
dua raka'at hingga Allah mewafatkannya. Aku pun pernah bepergian
bersama 'Umar, dan dia juga tidak pernah shalat lebih dari dua raka'at
hingga Allah mewafatkannya. Aku juga pernah safar bersama 'Utsman, dia
tidak pernah shalat lebih dari dua raka'at hingga Allah mewafatkannya.
Allah berfirman:
"Sesungguhnya, pada Rasulullah benar-benar terdapat teladan yang baik bagi kalian..."
(Q.S Al-Ahzaab: 21)
2. Batasan Jarak Shalat Qashar
Para ulama memiliki banyak pendapat yang berbeda-beda dalam
menentukan batasan jarak diperbolehkannya mengqashar shalat. Sampai-
sampai Ibnul Mundzir dan yang lainnya menyebutkan lebih dari dua puluh
pendapat dalam masalah ini.
Yang rajih (kuat) adalah, "Pada dasarnya, tidak ada batasan jarak yang
pasti. Kecuali yang disebut safar dalam bahasa Arab, yaitu bahasa yang
digunakan Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam saat berkomunikasi dengan
mereka (orang-orang Arab). Jika memang safar mempunyai batasan selain
dari apa yang baru saja kami kemukakan, tentu Nabi
shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak akan lupa menjelaskannya. Para sahabat pun tidak akan lalai
menanyakan hal itu pada beliau
shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka juga
tidak akan bersepakat untuk mengabaikan penukilan riwayat yang
menjelaskan batasan tersebut kepada kita." (Al-Muhalla)
3. Tempat DIperbolehkannya Mengqashar Shalat
Mayoritas ulama berpendapat bahwa, disyari'atkan mengqashar shalat
ketika telah meninggalkan tempat mukim dan keluar dari daerah tempat
tinggal. Ini adalah syarat. Dan tidaklah disempurkanakan shalat (4 raka'at)
sampai memasuki rumah pertama (di dalam tempat tinggalnya).
Ibul Mundzir berkata,
"Aku tidak mengetahui bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
melakukan qashar dalam beberapa safarnya kecuali beliau telah keluar dari
Madinah. Anas radhiallahu 'anhu berkata, "Aku shalat Dzuhur empat raka'at
bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di Madinah. Sedangkan di Dzul
Hulaifah dua raka'at." (Fiqhus Sunnah (I/240, 241). Ucapan Anas
radhiallahu 'anhu diriwayatkan dalam Shahiih al-Bukhari, Shahih Muslim,
Sunan Abi Dawud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan An-Nasaa'i)
Jika seorang musafir tinggal di suatu daerah untuk menunaikan suatu
kepentingan, namun tidak berniat mukim, maka dia melakukan qashar
hingga meninggalkan daerah tersebut.
Dari Jabir
radhiallahu 'anhu, dia berkata, "Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam
tinggal di Tabuk selama dua puluh hari sampil tetap mengqashar shalat."
(Hadits Shahih riwayat Abu Dawud)
Ibnul Qayyim berkata, "Beliau
shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah
mengatakan pada umat, 'Janganlah seseorang mengqashar shalat jika
tinggal lebih lama dari itu.' Hanya kebetulan saja lama tinggal beliau
bertepatan dengan masa tersebut." (Fiqhus Sunnah (I/241))
Jika seseorang berniat mukim, maka dia shalat secara lengkap setelah
sembilan belas hari. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu 'Abbas
radhiallahu
'anhu,
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tinggal selama sembilan belas hari
sambil melakukan qashar. Jika kami melakukan safar selama sembilan
belas hari, maka kami melakukan qashar. Dan jika lebih dari itu, maka kami
menyempurnakan shalat." (Hadits Shahih riwayat al-Bukhari, at-Tirmidzi,
Ibnu Majah, Abu Dawud hanya saja dia mengatakan "Tujuh belas")
Rujukan
http://darulabrar.org/petunjuk_saat_bepergian