• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

tanya masalah sholat

stufenedu

IndoForum Newbie F
No. Urut
73815
Sejak
22 Jun 2009
Pesan
7
Nilai reaksi
0
Poin
1
assalammualaikum pa. tanya nih.
kalo gw pergi buat studi keluar negeri n paling ga butuh waktu 5 tahun. kira2 gw boleh ga selama gw di luarnegeri jamak n qosor shloat. karena mesjid n mushola jarang banget di temuin.maksi atas jawabannya:)
 
Saya coba kasih masukan yah.

Sedapat mungkin sholatlah pada waktunya.
Apabila tidak ada uzur, sholat tidak boleh ditinggal, atau dijamak.

Apabila tidak ada masjid/mushola, kan masih bisa shalat sendiri. Atau carilah saudara seiman disana dan laksanakan shalat berjamaah.

Kira² segitu dulu masukan saya. Mudah²an sukses disana /no1
 
boleh di jamak dan qosor tanpa batas waktu tertentu..
asal tidak ada niat bermukim disana..selama masih niat safar...
bahkan sholat jumat pun ga wajib.... asal jangan niat mukim disana..... gw aja waktu kuliah gak sholat jumat dan selalu men jama sholat gw dan qosor.. karena itu lebih utama dan selain mendapat pahala sunnah juga mendapat pahala wajib...

ARAK SAFAR YANG DIBOLEHKAN MENGQASHAR.

Qashar hanya boleh di lakukan oleh musafir -baik safar dekat atau safar jauh-, karena tidak ada dalil yang membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi seseorang yang bepergian boleh melakukan qashar apabila bepergiannya bisa di sebut safar menurut pengertian umumnya. Sebagian ulama? memberikan batasan dengan safar yang lebih dari delapan puluh kilo meter agar tidak terjadi kebingunan dan tidak rancu, namun pendapat ini tidak berdasarkan dalil sahih yang jelas. [8]

Apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menetukan jarak atau batasan diperbolehkannya mengqashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang menentukan jarak dan batasan tersebut -yaitu sekitar 80 atau 90 kilo meter-, karena pendapat ini juga merupakan pendapat para imam dan ulama yang layak berijtihad. [9]

Seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampung halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya. [10]

Berkata Ibnul Mundzir: Aku tidak mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam mengqashar dalam safarnya melainkan setelah keluar (meninggalkan) kota Madinah.?

Berkata Anas ?radhiallahu anhu : ?Aku shalat bersama Rasulullah ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam di kota Madinah empat raka?at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka?at.? [11]

SAMPAI KAPAN MUSAFIR BOLEH MENGQASHAR.

Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan meng-qashar (meringkas) shalat. Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk didalamnya imam empat: Hanafi, Maliki, Syafi?i dan Hambali ?rahimahumullah berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu. Namun para ulama yang lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As-sa?di, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya ?rahimahumullah berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk meng-qashar shalat selama ia mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya walaupun ia berada di perantauannya selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu dalilpun yang sahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini. Dan pendapat inilah yang rajih (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya:

Sahabat Jabir ?radhiallahu anhu meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari meng-qashar shalat. [12]

Sahabat Ibnu ?Abbas ?radhiallahu anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari meng-qashar shalat. [13]

Nafi? ?rahimahullah meriwayatkan, bahwasanya Ibnu Umar ?radhiallahu anhuma tinggal di Azzerbaijan selama enam bulan meng-qashar shalat. [14]

Dari dalil-dalil diatas jelaslah bahwa Rasulullah ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam tidak memberikan batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya meng-qashar shalat bagi musafir (perantau) selama mereka mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya dan tidak berniat untuk menetap di daerah perantauan tersebut. [15]

JAMA?.

Menjama? shalat adalah mengabungkan antara dua shalat (Dhuhur dan Ashar atau Maghrib dan ?Isya?) dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh seseorang melakukan jama? taqdim dan jama? ta?khir. [19]

Jama? taqdim adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat pertama, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Dhuhur, Maghrib dan ?Isya? dikerjakan dalam waktu Maghrib. Jama? taqdim harus dilakukan secara berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh terbalik.

Adapun jama? ta?khir adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat kedua, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Ashar, Maghrib dan ?Isya? dikerjakan dalam waktu ?Isya?. Jama? ta?khir boleh dilakukan secara berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang afdhal adalah dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah ?shallallahuhu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam.[20]

Menjama? shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya -baik musafir atau bukan- dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan ketika diperlukan saja.[21]

Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama? shalatnya dalah musafir ketika masih dalan perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan[22], turunnya hujan[23], dan orang sakit[24].

Berkata Imam Nawawi ?rahimahullah: ?Sebagian imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang mukim boleh menjama? shalatnya apabila di perlukan asalkan tidak di jadikan sebagai kebiasaan.? [25]

Dari Ibnu Abbas ?radhiallahu anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam menjama? antara dhuhur dengan ashar dan antara maghrib dengan isya? di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanyakan hal itu kepada Ibnu Abbas ?radhiallahu anhuma beliau menjawab: ?Bahwa Rasulullah ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam tidak ingin memberatkan ummatnya.?[26]

SHALAT JUM?AT BAGI MUSAFIR.

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat Jum?at bagi musafir, namun apabila musafir tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalat Jum?at maka wajib atasnya untuk mengikuti shalat Jum?at bersama mereka. Ini adalah pendapat imam Malik, imam Syafi?I, Ats-Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll. [38]

Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam apabila safar (bepergian) tidak shalat Jum?at dalam safarnya, juga ketika Haji Wada? Beliau ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam tidak melaksanakan shalat Jum?at dan menggantinya dengan shalat Dhuhur yang dijama? (digabung) dengan Ashar.[39] Demikian pula para Khulafa? Ar-Rasyidun (empat khalifah) ?radhiallahu anhum dan para sahabat lainnya ?radhiallahu anhum serta orang-orang yang setelah mereka apabila safar tidak shalat Jum?at dan menggantinya dengan Dhuhur. [40]

Dari Al-Hasan Al-Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata: ?Aku tinggal bersama dia (Al-Hasan Al-Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalat dan tidak shalat Jum?at.?

Sahabat Anas ?radhiallahu anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak melaksanakan shalat Jum?at.

Ibnul Mundzir -rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah Ijma? (kesepakatan para ulama?) yang berdasarkan hadis sahih dalam hal ini sehingga tidak di perbolehkan menyelisihinya. [41]

Wallahu A?lam dan Semoga Bermanfaat.

catatan kaki

[8] Lihat Al-Muhalla, Ibnu Hazm 21/5, Zaadul Ma?ad, Ibnul Qayyim 1/481, Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq 1/307-308, As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 160-161, Al-Wajiz, Abdul Adhim Al-Khalafi 138 dll.

[9] Lihat Majmu? Fatawa Syaikh Utsaimin 15/265.

[10] Al-Wajiz, Abdul ?Adhim Al-Khalafi 138

[11] HR. Bukhar, Muslim dll.

[12] HR. Imam Ahmad dll dengan sanad sahih.

[13] HR. Bukhari dll

[14] Riwayat Al-Baihaqi dll dengan sanad sahih

[15] Lihat Majmu? Fatawa Syaikh Utsaimin jilid 15, Irwa?ul Ghalil Syaikh Al-Albani jilid 3, Fiqhus Sunnah 1/309-312.

[16] HR. Bukhari dan Muslim.

[17] HR. Bukhari. Lihat Zaadul Ma?ad, Ibnul Qayyim 1/315-316, 473-475, Fiqhus Sunah 1/312-313, Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/223-229. Majmu? Fatawa Syaikh Utsaimin 15/254.

[18] Kitab Ad-Dakwah, Bin Baz, lihat As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 308.

[19] Lihat Fiqhus Sunnah 1/313-317.

[20] Lihat Fatawa Muhimmah, Syaikh Bin Baz 93-94, Kitab As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 177.

[21] Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/308-310 dan Fiqhus Sunnah 1/ 316-317.

[22] HR. Bukhari dan Muslim

[23] HR. Muslim, Inbu Majah dll.

[24] Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/310, Al-Wajiz, Abdul Adhim bin Badawi Al-Khalafi 139-141, Fiqhus Sunnah 1/313-317

[25] Lihat syarh Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz 141.

[26] HR. Muslim dll. Lihat Sahihul Jami? 1070.

[27] HR. Bukhari 2697 dan Muslim 1718.

[28] HR. Muslim.

[29] . Lihat Majmu? Fatawa Syaikh Utsaimin 15/ 369-378.

[30] Lihat Sifat haji Nabi ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam karya Al-Albani.

[31] HR. Muslim. Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/308-309.

[32] As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 181. Pendapat ini adalah merupakan fatwa para ulama termasuk syaikh Abdul Aziz bin Baz.

[33] Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/ 308.

[34] Riwayat Imam Ahmad dengan sanad sahih. Lihat Irwa?ul Ghalil no 571 dan Tamamul Minnah, Syaikh Al-Albani 317

[35] HR. Abu Dawud..

[36] Lihat Al-Majmu? Syarah Muhadzdzab 4/178 dan Majmu? Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269

[37] Lihat Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman Al-Bassam 2/294-295

[38] Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al-Majmu? Syarh Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, lihat pula Majmu? Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370.

[39] Lihat Hajjatun Nabi ?shallallahu ?alaihi wa ?ala alihi wasallam Kama Rawaaha Anhu Jabir -radhiallahu anhu, Karya Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani hal 73.

[40] Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216.

[41] Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216
 
Pelajari

assalammualaikum pa. tanya nih.
kalo gw pergi buat studi keluar negeri n paling ga butuh waktu 5 tahun. kira2 gw boleh ga selama gw di luarnegeri jamak n qosor shloat. karena mesjid n mushola jarang banget di temuin.maksi atas jawabannya:)
Ini panduan sholat bagi orang yang safar
Petunjuk Shalat Fardhu Saat Bepergian

Orang yang bepergian, dalam hal ini disebut safar, merupakan hal yang
tidak aneh lagi di zaman sekarang. Apatah lagi dengan berbagai jenis
kendaraan dewasa ini. Yang aneh pada orang yang melakukan safar di
zaman ini adalah mereka tidak mempedulikan hal-hal yang penting selain
safar mereka tersebut.

Di antara hal-hal yang telah disepelekan tersebut adalah shalat yang
merupakan kewajiban bagi setiap muslim.

Dari Jabir radhiallahu 'anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan
kekufuran adalah meninggalkan shalat".
(H.R. Muslim)

Dari 'Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu 'anhu, ia berkata, "Aku
mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

'Lima shalat diwajibkan Allah atas para hamba. Barangsiapa
mengerjakannya dan tidak menyia-nyiakannya sedikitpun karena
menganggap enteng
, maka dia memiliki perjanjian dengan Allah untuk
memasukkannya ke Surga. Dan barangsiapa tidak mengerjakannya, maka
dia tidak memiliki perjanjian dengan Allah. Jika Dia berkehendak, maka Dia
mengadzabnya. Atau jika Dia berkehendak, maka Dia mengampuninya."

(H.R. Ibnu Majah, Malik, Ahmad, Abu Dawud, An Nasa'i)
Kewajiban shalat adalah tetap bagi setiap muslim, yang sehat maupun
sakit, mukim maupun safar, pria maupun wanita, muallaf maupun
tidak, pemerintah maupun rakyat, ulama maupun awam. Hanya saja bagi
orang yang melakukan safar terdapat hal-hal khusus mengenai kewajiban
shalat, di antaranya sebagai berikut.

1. Orang yang Safar Wajib Mengqashar Shalat Zhuhur, 'Ashar dan 'Isya'
Allah berfirman:
"Dan apabila akmu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
mengqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.
Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu."
(Q.S.
An-Nisaa':101)

Dari Ya'la bin Umayyah, dia menanyakan ayat ini pada 'Umar bin al-Khattab
radhiallahu 'anhu. Dia berkata:
"... jika kamu takut diserang orang-orang kafir..." (Q.S. An-Nisaa':101)
Padahal orang-orang sudah dalam keadaan aman. 'Umar berkata, "Dulu aku
juga bingung dengan masalah ini sebagaimana kamu. Lalu aku menanyakan
hal tersebut pada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Lantas beliau
bersabda:

"Itu adalah shadaqah dari Allah untuk kalian. Maka, terimalah shadaqah-Nya."
(H.R. Muslim, Abu Dawud, An-Nasa'i, Ibnu Majah, at-Tirmidzi)

Dari Ibnu 'Abbas radhiallahu 'anhuma, dia berkata, "Melalui lisan Nabi kalian,
Allah mewajibkan shalat empat raka'at dalam keadaan mukim, dua raka'at
ketika safar, dan satu raka'at ketika dalam keadaan takut."
(H.R. Ibnu
Majah, Muslim, Abu Dawud)

Dari 'Umar radhiallahu 'anhu, dia berkata, "Shalat dalam safar dua raka'at,
shalat Jum'at dua raka'at, shalat Idul Fithri dan Idul Adhha dua raka'at.
Sempurna, tidak diqashar. Berdasarkan ucapan Muhammad shallallahu
'alaihi wa sallam
."
(H.R. Ibnu Majah, An-Nasa'i)

Dari 'Aisyah raha, dia berkata, "Pertama kali, shalat diwajibkan dua raka'at.
Kemudian hal ini ditetapkan bagi shalat dalam keadaan safar. Sedangkan
pada saat mukim dikerjakan secara lengkap (4 raka'at)."
(Muttafaqun
'Alaihi
)

Dari Ibnu 'Umar radhiallahu 'anhuma, dia berkata, "Aku pernah menemani
perjalanan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau tidak pernah
shalat lebih dari dua raka'at hingga Allah mewafatkannya. Pernah juga aku
menyertai perjalanan Abu Bakar, dan dia juga tidak pernah shalat lebih dari
dua raka'at hingga Allah mewafatkannya. Aku pun pernah bepergian
bersama 'Umar, dan dia juga tidak pernah shalat lebih dari dua raka'at
hingga Allah mewafatkannya. Aku juga pernah safar bersama 'Utsman, dia
tidak pernah shalat lebih dari dua raka'at hingga Allah mewafatkannya.
Allah berfirman:

"Sesungguhnya, pada Rasulullah benar-benar terdapat teladan yang baik bagi kalian..."

(Q.S Al-Ahzaab: 21)

2. Batasan Jarak Shalat Qashar
Para ulama memiliki banyak pendapat yang berbeda-beda dalam
menentukan batasan jarak diperbolehkannya mengqashar shalat. Sampai-
sampai Ibnul Mundzir dan yang lainnya menyebutkan lebih dari dua puluh
pendapat dalam masalah ini.

Yang rajih (kuat)
adalah, "Pada dasarnya, tidak ada batasan jarak yang
pasti. Kecuali yang disebut safar dalam bahasa Arab, yaitu bahasa yang
digunakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam saat berkomunikasi dengan
mereka (orang-orang Arab). Jika memang safar mempunyai batasan selain
dari apa yang baru saja kami kemukakan, tentu Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam
tidak akan lupa menjelaskannya. Para sahabat pun tidak akan lalai
menanyakan hal itu pada beliau shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka juga
tidak akan bersepakat untuk mengabaikan penukilan riwayat yang
menjelaskan batasan tersebut kepada kita." (Al-Muhalla)

3. Tempat DIperbolehkannya Mengqashar Shalat
Mayoritas ulama berpendapat bahwa, disyari'atkan mengqashar shalat
ketika telah meninggalkan tempat mukim dan keluar dari daerah tempat
tinggal. Ini adalah syarat. Dan tidaklah disempurkanakan shalat (4 raka'at)
sampai memasuki rumah pertama (di dalam tempat tinggalnya).

Ibul Mundzir berkata,
"Aku tidak mengetahui bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
melakukan qashar dalam beberapa safarnya kecuali beliau telah keluar dari
Madinah. Anas radhiallahu 'anhu berkata, "Aku shalat Dzuhur empat raka'at
bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di Madinah. Sedangkan di Dzul
Hulaifah dua raka'at."
(Fiqhus Sunnah (I/240, 241). Ucapan Anas
radhiallahu 'anhu diriwayatkan dalam Shahiih al-Bukhari, Shahih Muslim,
Sunan Abi Dawud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan An-Nasaa'i)

Jika seorang musafir tinggal di suatu daerah untuk menunaikan suatu
kepentingan, namun tidak berniat mukim, maka dia melakukan qashar
hingga meninggalkan daerah tersebut.


Dari Jabir radhiallahu 'anhu, dia berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
tinggal di Tabuk selama dua puluh hari sampil tetap mengqashar shalat."
(Hadits Shahih riwayat Abu Dawud)

Ibnul Qayyim berkata, "Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah
mengatakan pada umat, 'Janganlah seseorang mengqashar shalat jika
tinggal lebih lama dari itu.' Hanya kebetulan saja lama tinggal beliau
bertepatan dengan masa tersebut." (Fiqhus Sunnah (I/241))

Jika seseorang berniat mukim, maka dia shalat secara lengkap setelah
sembilan belas hari. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu 'Abbas radhiallahu
'anhu
, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tinggal selama sembilan belas hari
sambil melakukan qashar. Jika kami melakukan safar selama sembilan
belas hari, maka kami melakukan qashar. Dan jika lebih dari itu, maka kami
menyempurnakan shalat."
(Hadits Shahih riwayat al-Bukhari, at-Tirmidzi,
Ibnu Majah, Abu Dawud hanya saja dia mengatakan "Tujuh belas")

Rujukan

http://darulabrar.org/petunjuk_saat_bepergian
 
.

assalamulaikum,
langsung aja, saya mau tanya, kalo kita lagi shalat sunat di mesjid,tiba2 ada yg menepuk bahu kita dari belakang (manandakan ia meminta kita jadi imamnya) padahal kita sedang melaksakan shalat sunat, itu gimana pak? truz niatnya jadi berubah?
mohon bantuannya...

.
 
.

assalamulaikum,
langsung aja, saya mau tanya, kalo kita lagi shalat sunat di mesjid,tiba2 ada yg menepuk bahu kita dari belakang (manandakan ia meminta kita jadi imamnya) padahal kita sedang melaksakan shalat sunat, itu gimana pak? truz niatnya jadi berubah?
mohon bantuannya...

.

Tidak perlu berubah niat, lanjutkan saja. Insya Allah shalatnya tetap sah.
Makmum tidak tahu kalo anda shalat sunnah. Tapi niat dia shalat wajib, maka tetap sah shalat wajibnya.
Apabila anda merubah niat saat shalat, justru shalat anda menjadi batal.
Saat shalat, niat tidak boleh dirubah, kecuali niat keluar dari imam.
Oleh sebab itu saat shalat sunnah, sebaiknya tidak ditengah-tengah masjid/mushola, ambilah tempat agak ke tepi, untuk menghindari orang lain menjadi makmum saat kita shalat.
 
Sekalian nanya aja bos, kalau pada saat rakaat terakhir atau ketika tahiyat akhir, tanpa sengaja kita batuk ataupun bersin dan mengeluarkan gas (maaf, kentut), batalkah solat kita?
 
^
sholat kita batal walaupun kentutnya nggak sengaja..
kecuali kentutnya setelah salam yang pertama.. sholat kita tidak batal.
 
Iya, kalo kondisinya begitu, tetap batal.
makanya biasakan Istibro' saat Istinja. Sebagaimana yg disunahkan oleh Rosulullah.
 
Astaghfirulloh... makasih udah ngasih infonya bos..
 
Sama2 kk cimcim /ok

Sepatutnya kita sebagai umat Islam, mengetahui dahulu Rukun2 dan syarat2 Sholat dengan jelas. Karena mempengaruhi ibadah kita.
Sebelum itu, pelajarilah dahulu bagaimana berwudhu yg benar, termasuk rukun dan syaratnya.
Dan sebelum itu, ketahuilah dahulu tatacara bersuci. Baik itu Istinja maupun Mandi hadas besar (mandi Junub).
Karena apabila dari mandi hadasnya saja sudah salah, maka ibadah lainnya yg kita kerjakan akan sia2, jadi janganlah sampai ibadah kita bertahun tahun sia-sia dikarenakan ketidaktahuan kita akan bersuci.

Maaf, bukan bermaksud menggurui, namun hanya semata mengingatkan. Amar ma'ruf, nahi munkar. Agar ibadah kita tidak menjadi sia2.
 
masih mau tanya lagi nih pak,
kalo meninggalkan shalat misalnya karena ketiduran, apa itu boleh diganti atau tidak?
kalau boleh diganti, apakah tetap berdosa atau gimana pak?
 
Assalamualaikum wr. wb.

Shalat fardhu telah ditentukan waktu-waktunya dalam sehari semalam.

Apabila ada yang tidak dikerjakan pada waktunya karena lupa atau ketiduran, maka shalat tersebut dikerjakan pada saat kita ingat atau sadar, meskipun telah lewat waktunya.

Lain halnya kalau ada shalat dilewatkan karena malas, lalai, dan disengaja.

Saya belum dapat dalilnya bagaimana mengqada shalat yang ditinggalkan semacam ini, dan berapa jumlah shalat yang boleh diqada (berapa hari).

Hanya saya dapat keterangan dari Dr Ahmad Al Syarbashi (guru besar Universitas Al Azhar) dalam kitabnya, Yas Alunaka Fiddin Wal al Hayat jilid IV halaman 30, mengatakan,

“Apabila ada orang Islam yang ketinggalan satu shalatnya atau lebih, maka wajib ia mengqadanya secara tertib, apabila tidak lebih dari lima shalat.

Tetapi bila tidak tahu lagi berapa shalat yang ketinggalan, mengqadanya tidak mesti tertib.

Kalau ia tahu berapa jumlah shalat yang ketinggalan itu, ia harus qada seluruhnya dengan sempurna. Kalau tidak tahu lagi, ia perkirakan saja kepada keadaan yang sebenarnya, lalu ia qada.

Dengan cara ini, ia akan bebas dari hukuman (di akhirat) meninggalkan shalat, meskipun tetap ia berdosa karena melalaikan shalat.

Kalau ketinggalan shalat itu berlangsung lama, misalnya enam bulan, maka ia mengqada selama enam bulan.

Caranya, setiap shalat ia dobel. Pertama ia shalat dulu dengan shalat yang sekarang.

Kemudian shalat lagi dengan niat qada (misalnya shalat subuh dua kali, lohor dua kali, asar dua kali, magrib dua kali, serta isya dua kali, selama enam bulan”.

mudah2an membantu Ya Akhi.. :)
 
alhamdulillah ternyata para netter sudah banyak yang paham tentang sholat tapi sudah pahamkah anda amal apa yang membatalkan semua amal sholih yang kita lakukan dan jika kita mati dalam kedaan demikian maka neraka jahannam dan keabadian disanalah hadiahnya ? sebuah renungan
 
Kalau yg saya tahu sih perbuatan Syirik
Dan orang syirik mati dalam keadaan Su'ul Khotimah /wah Naudzubillahi Min Dzalik /wah
 
alhamdulillah ternyata para netter sudah banyak yang paham tentang sholat tapi sudah pahamkah anda amal apa yang membatalkan semua amal sholih yang kita lakukan dan jika kita mati dalam kedaan demikian maka neraka jahannam dan keabadian disanalah hadiahnya ? sebuah renungan

dan juga janganlah kita berbuat maksiat dan mabuk, karena pada saat itu iman kita sedang lepas dari kita, dan pada saat itu juga kita di panggil, kita akan mati dalam keadaan kafir, maka merugilah dia...dan neraka lah tempat sebaik2nya bagi mereka yang merugi...
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.