yan raditya
IndoForum Addict E
- No. Urut
- 163658
- Sejak
- 31 Jan 2012
- Pesan
- 24.461
- Nilai reaksi
- 72
- Poin
- 48
Satu per satu, orang-orang dekat Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi Abdurachman, "menghilang".
Mulai dari supir yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil, hingga anggota Brimob yang dibayar sebagai ajudan, hingga saat ini belum memenuhi pemanggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam tiga bulan terakhir, nama Nurhadi menjadi sorotan penting. Keterlibatan pejabat di lembaga peradilan tertinggi di Indonesia tersebut dikaitkan dengan sejumlah kasus suap.
Terakhir, Nurhadi diduga terlibat dalam kasus suap perkara hukum yang melibatkan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Tak lama setelah melakukan operasi tangkap tangan terhadap pemberi dan penerima suap, penyidik KPK melakukan penggeledahan di kediaman Nurhadi, di Jalan Hang Lekir, Kebayoran, Jakarta Selatan.
Dari penggeledahan tersebut, penyidik menyita sejumlah dokumen dan uang berjumlah Rp 1,7 miliar yang terdiri dari berbagai pecahan mata uang asing.
Sejumlah orang dekat yang diduga mengetahui perkara suap tersebut dipanggil KPK. Namun, beberapa di antaranya tidak kooperatif, bahkan menghilang tanpa jejak.
Pertama, KPK memanggil Royani, sopir Nurhadi. Namun, hingga beberapa kali panggilan, Royani tidak hadir tanpa memberikan keterangan.
KPK menduga, Royani dengan sengaja disembunyikan keberadaannya oleh Nurhadi, karena diduga kuat mengetahui sejauh mana keterlibatan Nurhadi dalam perkara suap di PN Jakpus.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar mengatakan, pihaknya telah mengkonfirmasi kepala satuan empat polisi yang tidak memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa sebagai saksi.
Menurut Boy, empat polisi tersebut tidak dapat memenuhi panggilan KPK karena dipindahtugaskan ke Poso dan bergabung Satgas Tinombala yang memburu kelompok teroris Santoso.
Pemindahan tugas tersebut sejak akhir Mei 2016.
Tak kooperatif
Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Liza Farihah menilai, tindakan keempat anggota Polri tersebut tidak kooperatif dan tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi yang melibatkan sektor peradilan.
Terlebih lagi, saksi yang dihadirkan adalah anggota polisi yang merupakan aparat penegak hukum.
Menurut Liza, petinggi Polri sebaiknya bisa bekerja sama dengan KPK, untuk membantu menghadirkan keempat anggota Brimob tersebut.
"Saya sangat menyesalkan orang-orang yang mangkir dari KPK. Bagaimanapun, mereka itu polisi, seharusnya bisa menempatkan diri sebagai penjaga ketertiban masyarakat," kata Liza.
Panggil paksa
KPK sebelumnya telah melayangkan surat pemanggilan bagi keempat polisi, yang juga dikirimkan kepada Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti.
KPK berharap petinggi Polri dapat membantu menghadirkan keempat polisi tersebut. Namun, hingga pemanggilan kedua, keempat anggota polisi tidak juga hadir, bahkan tanpa memberikan keterangan.
Untuk itu, sesuai dengan prosedur pemanggilan, penyidik KPK dapat melakukan penjemputan paksa terhadap empat anggota polisi.
"Karena ini panggilan kedua, maka selanjutnya akan disertai dengan penjemputan paksa," kata Yuyuk.
Mulai dari supir yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil, hingga anggota Brimob yang dibayar sebagai ajudan, hingga saat ini belum memenuhi pemanggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam tiga bulan terakhir, nama Nurhadi menjadi sorotan penting. Keterlibatan pejabat di lembaga peradilan tertinggi di Indonesia tersebut dikaitkan dengan sejumlah kasus suap.
Terakhir, Nurhadi diduga terlibat dalam kasus suap perkara hukum yang melibatkan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Tak lama setelah melakukan operasi tangkap tangan terhadap pemberi dan penerima suap, penyidik KPK melakukan penggeledahan di kediaman Nurhadi, di Jalan Hang Lekir, Kebayoran, Jakarta Selatan.
Dari penggeledahan tersebut, penyidik menyita sejumlah dokumen dan uang berjumlah Rp 1,7 miliar yang terdiri dari berbagai pecahan mata uang asing.
Sejumlah orang dekat yang diduga mengetahui perkara suap tersebut dipanggil KPK. Namun, beberapa di antaranya tidak kooperatif, bahkan menghilang tanpa jejak.
Pertama, KPK memanggil Royani, sopir Nurhadi. Namun, hingga beberapa kali panggilan, Royani tidak hadir tanpa memberikan keterangan.
KPK menduga, Royani dengan sengaja disembunyikan keberadaannya oleh Nurhadi, karena diduga kuat mengetahui sejauh mana keterlibatan Nurhadi dalam perkara suap di PN Jakpus.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar mengatakan, pihaknya telah mengkonfirmasi kepala satuan empat polisi yang tidak memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa sebagai saksi.
Menurut Boy, empat polisi tersebut tidak dapat memenuhi panggilan KPK karena dipindahtugaskan ke Poso dan bergabung Satgas Tinombala yang memburu kelompok teroris Santoso.
Pemindahan tugas tersebut sejak akhir Mei 2016.
Tak kooperatif
Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) Liza Farihah menilai, tindakan keempat anggota Polri tersebut tidak kooperatif dan tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi yang melibatkan sektor peradilan.
Terlebih lagi, saksi yang dihadirkan adalah anggota polisi yang merupakan aparat penegak hukum.
Menurut Liza, petinggi Polri sebaiknya bisa bekerja sama dengan KPK, untuk membantu menghadirkan keempat anggota Brimob tersebut.
"Saya sangat menyesalkan orang-orang yang mangkir dari KPK. Bagaimanapun, mereka itu polisi, seharusnya bisa menempatkan diri sebagai penjaga ketertiban masyarakat," kata Liza.
Panggil paksa
KPK sebelumnya telah melayangkan surat pemanggilan bagi keempat polisi, yang juga dikirimkan kepada Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti.
KPK berharap petinggi Polri dapat membantu menghadirkan keempat polisi tersebut. Namun, hingga pemanggilan kedua, keempat anggota polisi tidak juga hadir, bahkan tanpa memberikan keterangan.
Untuk itu, sesuai dengan prosedur pemanggilan, penyidik KPK dapat melakukan penjemputan paksa terhadap empat anggota polisi.
"Karena ini panggilan kedua, maka selanjutnya akan disertai dengan penjemputan paksa," kata Yuyuk.