• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

SINAR ISLAM [UPDATE-InsyaAllah]

Assalammualaikum.Wr.Wb

Asli kereeeeen gila cerita para mualaf yang arcala post..
sempet beberapa kali merinding dan tercengang dengan kisah para mualaf yang arcala post..

Jujur sebenarnya beberapa hari lalu ane males masuk thread arcala yang ini, soalnya panjangan ceritanya, tapi sekarang demen. UPDATE TERUS YEEEE...

Wassalammualaikum.Wr.Wb
 
Assalammualaikum

kiranya kita tak hanya tau mengapa harus memilih Islam namun juga mengapa kita tak memilih agamalain(krn org2 aga lain piun yg mereka berfikir akan memilih ISlam)subhanallah......keep posting brother.....

Wassalam
 
Rabi'a Frank: Meski Tidak Mudah, Islam Adalah Agama yang Indah

Rabi'a Frank: Meski Tidak Mudah, Islam Adalah Agama yang Indah

rabia.jpg

Tahun 1994, pada usia 31 tahun, Rebecca memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia pun mengganti namanya dengan nama Islam, Rabi'a. Selanjutnya, ia dikenal dengan nama Rabi'a Frank. Ia itu kini hidup bahagia dengan tiga puternya, hasil perkawinannya dengan seorang lelaki Maroko.

Rabi'a mengakui, perkenalannya dengan agama Islam terjadi dengan tidak sengaja. Karena kekasihnya orang Maroko, Rabi'a ingin mempelajari budaya Maroko. Ia pergi ke perpustakaan untuk mencari buku-buku tentang Maroko. Tanpa sengaja, ia juga menemukan buku-buku tentang Islam.

"Saya mulai tertarik dengan Islam dalam usia yang masih muda dan ketika usia Anda masih muda, tidak ada yang aneh, Anda hanya ingin tahu saja. Mungkin kedengarannya klise," kata Rabi'a mengenang awal perkenalannya dengan agama Islam. Rabi'a membaca buku-buku Islam secara diam-diam karena ia tidak ingin menimbulkan kesan bahwa ia belajar Islam karena kekasihnya seorang Muslim. "Saya memulainya dengan membaca terjemahan al-Quran dalam bahasa Belanda. Isinya menggugah hati saya. Saya merasakan kenyamanan, saya merasa ada keterkaitan, saya bisa memahaminya dan hati saya tersentuh membacanya," kata Rabi'a.

Rabi'a kemudian mendapat informasi tentang pusat kegiatan Muslim di The Hague. Ia pun pergi ke tempat itu setiap minggu. Tiba-tiba, imam di masjid itu menanyakan apakah Rabi'a mau ikut dengan beberapa orang lainnya yang akan bersyahadat. Rabi'a terkejut dengan pertanyaan itu karena ia merasa belum cukup bekal untuk menjadi seorang Muslim. Tapi Rabi'a mengiyakan ajakan imam di masjid The Hague.

"Saya ingat, waktu itu saya mengenakan kerudung yang jelek sekali, yang saya ambil begitu saja dari kamar mandi. Tapi setelah mengucapkan syahadat, saya jadi begitu emosional dan tidak henti-hentinya menangis," kenang Rabi'a.

Tapi Rabi'a tidak pernah menyangka ia akan mendapat reaksi keras dari ibunya ketika tahu puterinya sudah menjadi seorang Muslimah. "Ketika ibu saya mendengar tentang keislaman saya, dia menerobos kamar saya, ibu berteriak dan menangis 'kenapa kamu lakukan itu, apa yang sedang kamu pikirkan?'. Situasinya benar-benar tidak mengenakan," tutur Rabi'a. Dalam hati ia berkata, "reaksi seperti inilah yang menjadi alasan mengapa saya tidak mengatakan keislaman saya padamu, ibu."

Jilbab dan Cadar

Sejak masuk Islam, Rabi'a belajar mengenakan jilbab. "Butuh dua tahun bagi saya untuk belajar bagaimana caranya memakai jilbab. Sejak pertama saya masuk Islam, saya menjadikan kaum peremuan Turki dan Maroko sebagai model. Saya juga mengenakan baju panjang, uhh ... saya merasa itu bukan pribadi saya. Saya merasa tidak nyaman terutama ketika ada orang yang bilang 'lihat, ada orang Turki bermata biru'. Saya betul-betul tidak tahu bagaimana berpakaian yang pantas," tuturnya.

Rabi'a menceritakan sebuah lelucon tentang 'orang Islam baru'. Lelucon itu biasanya ditujukan buat para perempuan yang baru masuk Islam. Mereka yang tadinya biasa mengenakan celana jeans dan sangat peduli dengan model pakaian, tiba-tiba harus melepaskan kebiasaan itu dan mulai mengenakan model busana yang berbeda yang sesuai denga tuntutan Islam.

"Saya pikir, semua perempuan yang menjadi mualaf akan melewati fase ini, sebelum mereka betul-betul menemukan model busananya sendiri," ujar Rabi'a.

Bagi Rabi'a, mengenakan jilbab rasanya seperti sebuah pembebasan. "Setiap hari, saya harus melewati para pekerja bangunan. Mereka selalu bersiul ketika saya lewat. Tapi, suatu pagi ketika saya lewat dengan mengenakan jilbab, mereka tidak bersiul lagi," kata Rabi'a.

"Di satu sisi, saya merasa sangat bahagia. Saya berpikir 'akhirnya, inilah saya'. Di sisi lain, saya juga ingin mengatakan bahwa meski penampilan saya berubah, saya tetap orang yang sama," sambungnya.

Rabi'a bukan hanya harus menghadapi reaksi negatif dari ibunya, tapi juga dari keluarga suaminya yang menilainya bukan gadis baik-baik karena bukan gadis Maroko. "Bertahun-tahun saya membuktikan pada mereka dan sekarang, rasanya sayalah satu-satunya di keluarga itu yang menjalankan perintah agama dengan serius," imbuhnya.

Tahun 2005, Rabi'a bukan hanya mengenakan jilbab tapi juga cadar. Alasannya mengenakan cadar, karena ingin memberikan sesuatu yang lebih pada Allah swt. Tiap kali melihat muslimah bercadar, hati Rabi'a tersentuh. Namun ketika ia menyampaikan keinginannya bercadar pada suaminya, ia mendapat jawaban yang tak terduga.

"Apa kamu sudah gila?" kata Rabi'a menirukan reaksi suaminya. "Suami saya tidak terlalu senang, tapi perasaan itu tidak bisa hilang dari hati saya," kata Rabi'a.

Rabi'a membantah berbagai pandangan negatif tentang cadar. Ia menolak jika cadar disebut sebagai bentuk penindasan atau rasa malu perempuan. Cadar, tukas Rabi'a, adalah cara untuk menunjukkan rasa cinta yang besar pada Allah swt.

Bagi Rabi'a Islam adalah agama yang indah, untuk menjalankan ajaran Islam tidak selalu mudah. "Banyak orang beranggapan bahwa para mualaf hanya sedang melakukan pencarian terhadap agama yang ingin diyakininya. Jika memang demikian, saya lebih senang memilih agama yang lebih mudah dijalani," ujar Rabi'a.

"Islam adalah agama yang indah, tapi tidak selalu mudah. Anda harus banyak bertempur melawan nafsu diri Anda sendiri," tukasnya. (ln/iol)
 
Behh parah dahsyat dah nih kisah2 ne..
UPdate terus..

imglanding


Al-Aqsa in Palestine
 
Dr Murad Wilfried Hofmann- Diplomat (Jerman)

Hidayah bagi Sang Diplomat Jerman

20090929110155.jpg

''Islam adalah agama rasional dan satu-satunya agama yang menolak adanya dosa warisan.''

Islam adalah agama yang rasional dan universal. Ia bisa diterima dan sesuai dengan akal sehat. Agama Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Sebab, kendati diturunkan di Jazirah Arabia, agama Islam bukan hanya untuk orang Arab, tetapi juga bisa diterima oleh orang yang bukan Arab (Ajam).

Bahkan, ilmu-ilmu dan ajaran yang terkandung dalam Alquran, sesuai dengan pandangan hidup umat manusia. Karena itu, tak heran, bila agama yang dibawa oleh Muhammad SAW ini, dengan mudah diterima oleh orang-orang yang senantiasa menggunakan akal pikirannya. Itulah yang dialami Dr Murad Wilfried Hofmann, mantan Diplomat Jerman. Ia menerima agama Islam, disaat kariernya berada di puncak.

Dr Hofmann, menerima Islam pada 25 September 1980. Ia mengucapkan syahadat di Islamic Center Colonia yang dipimpin oleh Imam Muhammad Ahmad Rasoul. Ia dilahirkan dalam keluarga Katholik Jerman pada 3 Juli 1931. Dia adalah lulusan dari Union College di New York dan kemudian melengkapi namanya dengan gelar Doktor di bidang ilmu hukum dari Universitas Munich, Jerman tahun 1957.

Selain itu, Hofmann dulunya adalah seorang asisten peneliti pada Reform of Federal Civil Procedure. Dan pada tahun 1960, ia menerima gelar LLM dari Harvard Law School. Kemudian, pada tahun 1983-1987, ia ditunjuk menjadi direktur informasi NATO di Brussels. Selanjutnya, ia ditugaskan sebagai diplomat (duta besar) Jerman untuk Aljazair tahun 1987 dan dubes di Maroko tahun 1990-1994. Tahun 1982 ia berumrah, dan 10 tahun (1992) kemudian melaksanakan haji.

Namun, justru sebelum di Aljazair dan Maroko inilah, Hofmann memeluk Islam. Dan ia baru mempublikasikan keislamannya setelah dirinya menulis sebuah buku yang berjudul Der Islam als Alternative (Islam sebagai Alternatif) tahun 1992. Setelah terbit bukunya ini, maka gemparlah Jerman.

Dalam buku tersebut, ia tidak saja menjelaskan bahwa Islam adalah alternatif yang paling baik bagi peradaban Barat yang sudah kropos dan kehilangan justifikasinya, namun secara eksplisit Hofmann mengatakan, bahwa agama Islam adalah agama alternatif bagi masyarakat Barat. Islam tidak menawarkan dirinya sebagai alternatif yang lain bagi masyarakat Barat pasca industri. Karena memang hanya Islam-lah satu-satunya alternatif itu, tulisnya.

Karena itu, tidak mengherankan saat buku itu belum terbit saja telah menggegerkan masyarakat Jerman. Mulanya adalah wawancara televisi saluran I dengan Murad Hofmann. Dan dalam wawancara tersebut, Hofmann bercerita tentang bukunya yang ketika itu sebentar lagi akan terbit itu.Saat wawancara tersebut disiarkan, seketika gemparlah seluruh media massa dan masyarakat Jerman. Dan serentak mereka mencerca dan menggugat Hofmann, hingga mereka membaca buku tersebut. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh media massa murahan yang kecil, namun juga oleh media massa yang besar semacam Der Spigel.

Malah pada kesempatan yang lain, televisi Jerman men-shooting Murad Hofmann saat ia sedang melaksanakan shalat di atas Sajadahnya, di kantor Duta Besar Jerman di Maroko, sambil dikomentari oleh sang reporter: Apakah logis jika Jerman berubah menjadi Negara Islam yang tunduk terhadap hukum Tuhan?

Hofmann tersenyum mendengar komentar sang reporter.Jika aku telah berhasil mengemukakan sesuatu, maka sesuatu itu adalah suatu realitas yang pedih. Artinya, Hofmann paham bahwa keislamannya akan membuat warga Jerman marah. Namun ia sadar, segala sesuatu harus ia hadapi apapun resikonya. Dan baginya Islam adalah agama yang rasional dan maju.

Sebagai seorang diplomat, pemikiran Hofmann terkenal sangat brilian. Karena itu pula, ia menambah nama depannya dengan Murad, yang berarti yang dicari. Leopold Weist, seorang Muslim Austria yang kemudian berganti nama menjadi Muhamad Asad, mengatakan, dalam pengertian luas, Murad adalah tujuan, yakni tujuan tertinggi Wilfried Hofmann.

Keislaman Hofmann dilandasi oleh rasa keprihatinannya pada dunia barat yang mulai kehilangan moral. Agama yang dulu dianutnya dirasakannya tak mampu mengobati rasa kekecewaan dan keprihatinannya akan kondisi tersebut.
Apalagi, ketika ia bertugas menjadi Atase di Kedutaan besar Jerman di Aljazair, ia menyaksikan sikap umat Islam Aljazair yang begitu sabar, kuat dan tabah menghadapi berbagai macam ujian dan cobaan dari umat lain. Atas dasar itu dan sikap orang Eropa yang mulai kehilangan jati diri dan moralnya, Hofmann memutuskan untuk memeluk Islam.

Ia merasa terbebani dengan pemikiran manusia yang harus menerima dosa asal (turunan/warisan) dan adanya Tuhan selain Allah. Mengapa Tuhan harus memiliki anak dan kemudian disiksa dan dibunuh di kayu salib untuk menyelamatkan diri sendiri. Ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak punya kuasa, tegasnya.

Bahkan, sewaktu masa dalam masa pencarian Tuhan, Hofmann pernah memikirkan tentang keberadaan Allah. ia lalu melakukan analisa terhadap karya-karya filsuf seperti Wittgenstein, Pascal, Swinburn, dan Kant, hingga akhirnya ia dengan yakin menemukan bahwa Tuhan itu ada.

Ia kemudian bertanya; Bagaimana Allah berkomunikasi dengan manusia dan membimbingnya? Disini ia menemukan adanya wahyu yang difirmankan Tuhan. Dan ketika membandingkan agama Yahudi, Kristen, dan Islam, yang umatnya diberi wahyu, Hofmann menemukannya dalam Islam, yang secara tegas menolak adanya dosa warisan.

Ketika manusia berdoa, mereka harusnya tidak berdoa atau meminta kepada tuhan lain selain Allah, sang Pencipta. Seorang Muslim hidup di dunia tanpa pendeta dan tanpa hierarki keagamaan; ketika berdoa, ia tidak berdoa melalui Yesus, Maria, atau orang-orang suci, tetapi langsung kepada Allah, tegasnya.

Hofmann melihat bahwa agama Islam adalah agama yang murni dan bersih dari kesyirikan atau adanya persekutuan Allah dengan makhluknya. Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan,ujarnya. Dalam bukunya Der Islam Als Alternative, Annie Marie Schimmel memberikan kata pengantar dengan mengutip kata-kata Goethe.Jika Islam berarti ketundukan dengan penuh ketulusan, maka atas dasar Islam-lah selayaknya kita hidup dan mati.

Dalam bukunya Trend Islam 2000, Hofmann menyebutkan, potensi masa depan peradaban Islam. Ia menjelaskan, ada tiga sikap muslim terhadap masa depan mereka. Yakni, kelompok pesimis (yang melihat perjalanan sejarah selalu menurun), kelompok stagnan (yang melihat sejarah Islam seperti gelombang yang naik turun), dan ketiga kelompok optimis (umat yang melihat masa depannya terus maju). Karena itu, ia mengajak umat Islam untuk senantiasa bersikap optimis dan menatap hari esok yang lebih baik.

Hofmann juga banyak terlibat aktif dalam organisasi keislaman, seperti OKI. Ia senantiasa menyampaikan pemikiranpemikiran briliannya untuk kemajuan Islam. Pada pertengahan September 2009 lalu, ia dinobatkan sebagai Muslim Personality of The Year (Muslim Berkepribadian Tahun Ini), yang diselenggarakan oleh Dubai International Holy Quran Award (DIHQA). Penghargaan serupa pernah diberikan pada Syekh Dr Yusuf al-Qaradhawi.

Islam Agama Rasional

Ada beberapa alasan yang membuat Murad Wilfried Hofmann akhirnya keluar dari Katholik dan memilih Islam. Dan alasan-lasan itu sangat membekas dalam pikirannya.

Tahun 1961, ketika ia bertugas sebagai Atase Kedutaan Besar Jerman di Aljazair, ia mendapati dirinya berada di tengah-tengah perang gerilya berdarah antara tentara Prancis dan Front Nasional Aljazair yang telah berjuang untuk kemerdekaan Aljazair, selama delapan tahun. Disana ia menyaksikan kekejaman dan pembantaian yang dialami penduduk Aljazair. Setiap hari, banyak penduduk Aljazair tewas.

Saya menyaksikan kesabaran dan ketahanan orang-orang Aljazair dalam menghadapi penderitaan ekstrem, mereka sangat disiplin dan menjalankan puasa selama bulan Ramadhan, rasa percaya diri mereka sangat tinggi dengan kemenangan yang akan diraih. Saya sangat salut dan bangga dengan sikap mereka, ujarnya. Alasan lain yang membuatnya memilih Islam, Hofmann adalah seorang penyuka seni dan keindahan.

Islam punya beragam kesenian yang sangat menarik dan indah, termasuk seni arsitekturnya. Hampir semua ruangan dimanifestasikan dalam seni keindahan Islam yang universal. Mulai dari kaligrafi, pola karpet, ruang bangunan dan arsitektur masjid, menunjukkan kuatnya seni Islam, jelasnya. Dari beberapa alasan diatas, persoalan yang benar-benar membuatnya harus memeluk Islam, karena hanya agama ini yang tidak mengajarkan doktrin tentang dosa warisan.

Pernyataan yang terdapat dalam Alquran sangat jelas, rasional dan tegas.Tak ada keraguan bagi saya akan kebenaran Islam dan misi yang dibawa oleh Nabi Muhammad SA, paparnya. sya/berbagai sumber
Biodata
Nama : Wilfried Hofmann
Nama Muslim : Murad Wilfried Hofmann
Lahir : Jerman, 6 September 1931
Masuk Islam : 25 September 1980

Pekerjaan :
*Direktur Informasi NATO di Brussels Belgia
(1983-1987)
*Duta Besar Jerman untuk Aljazair (1987-
1990)
*Duta Besar Jerman untuk Maroko (1990-
1994).
*Penulis
 
Assalammualaikum

Sang Pencetus Larangan Masjid Di Swiss Itu Kini Masuk Islam

ane mau nambah lagi ini cerita source nya dari eramuslim tapi daripada dibilang cerita mending ini dibilang berita gembira berikut

Daniel Streich, politikus Swiss, yang tenar karena kampanye menentang pendirian masjid di negaranya, tanpa diduga-duga, memeluk Islam.

Streich merupakan seorang politikus terkenal, dan ia adalah orang pertama yang meluncurkan perihal larangan kubah masjid, dan bahkan mempunyai ide untuk menutup masjid-masjid di Swiss. Ia berasal dari Partai Rakyat Swiss (SVP). Deklarasi konversi Streich ke Islam membuat heboh Swiss.

Streich mempropagandakan anti-gerakan Islam begitu meluas ke senatero negeri. Ia menaburkan benih-benih kemarahan dan cemoohan bagi umat Islam di Negara itu, dan membuka jalan bagi opini publik terhadap mimbar dan kubah masjid.

Tapi sekarang Streich telah menjadi seorang pemeluk Islam. Tanpa diduganya sama sekali, pemikiran anti-Islam yang akhirnya membawanya begitu dekat dengan agama ini. Streich bahkan sekarang mempunyai keinginan untuk membangun masjid yang paling indah di Eropa di Swiss.

Yang paling menarik dalam hal ini adalah bahwa pada saat ini ada empat masjid di Swiss dan Streich ingin membuat masjid yang kelima. Ia mengakui ingin mencari “pengampunan dosanya” yang telah meracuni Islam. Sekarang adalah fakta bahwa larangan kubah masjid telah memperoleh status hukum.

Abdul Majid Aldai, presiden OPI, sebuah LSM, bekerja untuk kesejahteraan Muslim, mengatakan bahwa orang Eropa sebenarnya memiliki keinginan yang besar untuk mengetahui tentang Islam. Beberapa dari mereka ingin tahu tentang hubungan antara Islam dan terorisme; sama halnya dengan Streich. Ceritanya, ternyata selama konfrontasi, Streich mempelajari Alquran dan mulai memahami Islam.

Streich adalah seorang anggota penting Partai Rakyat Swiss (SVP). Ia mempunyai posisi penting dan pengaruhnya menentukan kebijakan partai. Selain petisinya tentang kubah masjid itu, ia juga pernah memenangkan militer di Swiss Army karena popularitasnya.

Lahir di sebuah keluarga Kristen, Streich melakukan studi komprehensif Islam semata-mata untuk memfitnah Islam, tapi ajaran Islam memiliki dampak yang mendalam pada dirinya. Akhirnya ia malah antipati terhadap pemikirannya sendiri dan dari kegiatan politiknya, dan dia memeluk Islam. Streich sendiri kemdian disebut oleh SVO sebagai setan.

Dulu, ia mengatakan bahwa ia sering meluangkan waktu membaca Alkitab dan sering pergi ke gereja, tapi sekarang ia membaca Alquran dan melakukan salat lima waktu setiap hari. Dia membatalkan keanggotaannya di partai dan membuat pernyataan publik tentang ia masuk Islam. Streich mengatakan bahwa ia telah menemukan kebenaran hidup dalam Islam, yang tidak dapat ia temukan dalam agama sebelumnya.

source:http://www.eramuslim.com/berita/dun...ngan-masjid-di-swiss-itu-kini-masuk-islam.htm

semogfa musuh2 Islam dapat megetahui dimana kesalahan mereka...............
 
Charles Le Gai Eaton - Diplomat (Inggris)

Kegundahan Hati Charles Le Gai Eaton
Kisah Islamnya Sang Diplomat Inggris

Charles-Le-Gai-Eaton.jpg

Ia mengenal kata 'Tuhan' untuk pertama kalinya dari pengasuh anak yang bekerja di rumahnya.

Charles Le Gai Eaton hanyalah sebagian kecil dari jajaran diplomat Kerajaan Inggris yang memilih Islam sebagai jalan hidup. Ia memutuskan memeluk Islam pada 1951, setelah menempuh pencarian yang panjang. Sejak saat itu dia menyandang nama baru Hassan Abdul Hakeem. Namun, dalam berbagai kesempatan ia kerap menggunakan nama Hassan Le Gai Eaton.

Ia lahir di Swiss pada 1921, saat perjanjian damai untuk mengakhiri Perang Dunia pertama ditandatangani. Meski lahir di Swiss, namun ia bukan orang Swiss. Kedua orang tuanya berkebangsaan Inggris. Ayah Eaton adalah seorang tentara Inggris yang dikirim ke Swiss. Mereka adalah pemeluk Kristen. Kendati demikian, Eaton tumbuh dan dibesarkan sebagai seorang agnostik oleh orang tuanya.

Ia mengenyam pendidikan di Charterhouse dan King's College, Cambridge. Di sana, ia bekerja selama beberapa tahun sebagai pengajar dan jurnalis di Jamaica dan Mesir, sebelum akhirnya memutuskan bergabung dengan British Diplomatic Service (Dinas Diplomasi Inggris). Dia juga pernah menjadi konsultan Pusat Budaya Inggris di London.

Di negara asalnya, Eaton dikenal luas berkat karya-karya tulisnya yang indah, puitis, dan bagus. Buku-bukunya antara lain Islam and the Destiny of Men (Islam dan Tujuan Manusia), King of the Castle (Raja Istana), dan Remembering God (Mengingat Tuhan). Buku-buku karya Charles Le Gai Eaton itu telah mengubah hidup beberapa orang. Bahkan, bukunya juga memegang rekor tertinggi di bidang ilmu pengetahuan dan literatur.

Surat kabar The Sunday Times edisi Februari 2004 dalam sebuah artikelnya menulis bahwa tulisan-tulisan mantan diplomat Inggris ini banyak menginspirasi masyarakat non-Muslim Inggris untuk masuk Islam. Eaton menerima surat dari banyak orang yang tidak setuju dengan Kristen yang semakin kontemporer dan mencari agama lain yang tidak begitu berkompromi dengan kehidupan modern.

Perkenalan Eaton dengan agama Islam terjadi begitu saja, tanpa ia sadari. Saat itu usianya masih belasan tahun. Ia mengenal Islam dari seorang wanita muda yang dipekerjakan oleh ibunya sebagai pengasuh anak. Pengasuhnya ini, terang Eaton sebagaimana dilansir situs Islamreligion, memiliki ambisi menjadi seorang misionaris di Arab Saudi.

''Dia kerap menyebut bahwa dirinya harus menyelamatkan jiwa-jiwa yang tersesat, yakni orang-orang yang disebutnya sebagai kafir Muslim,'' terang Eaton menjelaskan tentang sikap pembantunya itu.

Suatu hari, kata Eaton, pengasuhnya ini mengajaknya jalan-jalan hingga mereka melewati penjara Wandsworth (saat itu keluarganya tinggal di wilayah Wandsworth, selatan London). Sepanjang perjalanan sang pengasuh mengatakan kepada Eaton berbagai hal yang menakutkan mengenai keberadaan seseorang berambut merah di langit sana, yang sewaktu-waktu siap menembak dirinya jika ia nakal.

Kisah mengenai perjalanan itu kemudian ia sampaikan ke ibunya, setelah tiba di rumah. ''Aku tidak ingat apa yang dikatakannya untuk menghibur saya, tapi gadis itu segera diberhentikan. Namun, inilah kali pertama saya mendengar mengenai keberadaan Tuhan,'' paparnya.

Peristiwa tersebut mendorong orang tuanya untuk mengirim Eaton ke sekolah berasrama, Charterhouse. Di sekolah barunya ini, ia banyak mendapatkan pengajaran tentang ajaran Kristen dan kitab suci mereka. Di sinilah ia mulai secara intens bersentuhan dengan dogma-dogma agama. Pada akhirnya, Eaton mulai merasakan ketertarikan terhadap ilmu filsafat. Secara rutin, ia mulai membaca karya-karya Descartes, Kant, Hume, Spinoza, Schopenhauer, dan Bertrand Russell, atau membaca karya-karya yang menjelaskan ajaran-ajaran mereka.

Setelah menamatkan pendidikan di Charterhouse, ia mendaftar di King's College, Cambridge. Saat menempuh pendidikan di King's College ini, ia berkenalan dengaan novelis Inggris, Leo H Myers. Karya-karya Myers banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Hindu Vedanta. Namun, Perang Dunia Kedua (PD II) yang berkecamuk pada 1939, memaksanya meninggalkan bangku sekolah dan ikut program wajib militer. Ia kemudian dikirim ke Akademi Militer Kerajaan di Sandhurst. Pendidikan militer ini ia tempuh selama lima bulan.

Selepas dari kemiliteran, Eaton mulai menulis. Banyak hal yang ia tulis saat itu, di antaranya mengenai ajaran Vedanta, Taoisme, dan Budhisme Zen. Karya-karya awalnya ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran penulis-penulis Barat, termasuk Leo Myers. Tulisan-tulisannya ini kemudian ia terbitkan sebagai sebuah esai dengan judul The Richest Vein.

Saat The Richest Vein diluncurkan, Eaton telah meninggalkan Inggris menuju Jamaica. Salah seorang teman sekolah, menawari Eaton sebuah pekerjaan sebagai penulis di Jamaica. Namun, pekerjaan tersebut hanya dijalaninya selama 2,5 tahun. Karena alasan keluarga, ia memutuskan kembali ke Inggris.

Belajar Islam

Saat kembali ke Inggris ini Eaton menerima dua buah surat dari penggemarnya yang diketahuinya kemudian hari juga banyak membaca karya-karya Rene Guenon, seorang penulis sufisme Islam. Karena tertarik pada isi surat tersebut, kemudian ia memutuskan untuk bertemu dengan mereka. ''Mereka mengatakan bahwa saya bisa menemukan apa yang jelas-jelas saya cari selama ini, tidak di India atau Cina tetapi dalam dimensi sufi Islam,'' jelasnya mengenai ungkapan penggemarnya itu.

Maka sejak saat itu, Eaton mulai membaca tentang Islam dengan semakin meningkat minatnya terhadap sufisme Islam. Perubahan yang terjadi padanya ini mendapat reaksi keras dari seorang teman dekatnya yang bekerja di Timur Tengah. Sang sahabat menyatakan ketidaksetujuannya terhadap keinginan Eaton untuk mendalami Islam. Sahabatnya ini banyak bercerita mengenai ajaran Islam yang tidak rasional, erat dengan kekerasan, dan sejumlah keburukan lainnya yang banyak disematkan oleh dunia Barat.

Pada saat bersamaan, perubahan juga terjadi dalam kehidupan ekonomi Eaton. Sekembalinya di Inggris, ia tidak memiliki pekerjaan dan hidup dalam kemiskinan. Ia mengajukan surat lamaran tiap kali membaca iklan lowongan kerja. Salah satunya adalah surat lamaran yang ditujukan kepada Universitas Kairo untuk posisi asisten dosen jurusan Sastra Inggris. ''Ini hal terbodoh yang pernah aku lakukan,'' ujarnya membatin.

''Bagaimana mungkin aku yang lulusan Cambridge jurusan sejarah dan buta sama sekali mengenai sastra sebelum abad ke-19 bisa diterima. Karena bagaimanapun mereka pasti akan mempekerjakan seseorang yang memiliki kualitas,'' ungkapnya.

Akhirnya pada Oktober 1950, saat usianya menginjak 29, Eaton berangkat ke Kairo. Di antara rekan-rekan kerjanya di Universitas Kairo adalah seorang Muslim berkebangsaan Inggris, Martin Lings, yang telah lama menetap di Mesir. Lings merupakan salah seorang teman Rene Guenon yang juga merupakan teman dari dua orang penggemar karya-karyanya. Tali pertemanan pun kemudian terjalin di antara Eaton dan Lings. Di luar waktu kerja, Eaton kerap berkunjung ke rumah Lings yang berada di luar Kota Kairo.

Dari interaksi yang kerap dilakukannya bersama Lings, ia banyak mengetahui mengenai ajaran Islam lebih jauh. Ketertarikannya terhadap Islam semakin menggebu-gebu, setiap kali ia menyampaikan mata kuliah di hadapan para mahasiswanya. Kendati demikian, keragu-raguan masih menghinggapi dirinya.

''Padahal, saat itu saya mulai benar-benar bisa menikmati kehidupanku di Kairo. Tapi, satu pertanyaan yang menuntut sebuah jawaban tegas tengah menanti di hadapanku di saat yang bersamaan,'' ujarnya.

Setelah berpikir masak-masak, Eaton akhirnya datang menemui rekan kerjanya, Martin Lings. Di hadapan rekannya itu, ia menumpahkan seluruh kegundahan hatinya dan meminta Lings untuk membimbingnya membaca kalimat Syahadat, sebagai tanda bahwa ia menerima Islam sebagai agamanya yang baru. ''Meskipun pada awalnya ragu-ragu, ia melakukannya,'' kenang Eaton.

Rasa takut sekaligus bahagia, ungkap Eaton, menjalari sekujur tubuhnya. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, sambung dia, dirinya memanjatkan doa kepada Sang Pencipta. Maka resmilah ia menjadi seorang Muslim bertepatan dengan bulan Ramadhan 1951. Keesokan harinya, terang Eaton, ia memutuskan untuk ikut berpuasa. ''Sesuatu yang saya tidak pernah membayangkan akan saya lakukan.''
 
Ibrahim Sily - Pendeta (AFSEL)

Ibrahim Sily - Pendeta (AFSEL)

Mungkin kisah ini terasa sangat aneh bagi mereka yang belum pernah bertemu dengan orangnya atau langsung melihat dan mendengar penuturannya. Kisah yang mungkin hanya terjadi dalam cerita fiktif, namun menjadi kenyataan. Hal itu tergambar dengan kata-kata yang diucapkan oleh si pemilik kisah yang sedang duduk di hadapanku mengisahkan tentang dirinya. Untuk mengetahui kisahnya lebih lanjut dan mengetahui kejadian-kejadian yang menarik secara komplit, biarkan aku menemanimu untuk bersama-sama menatap ke arah Johannesburg, kota bintang emas nan kaya di negara Afrika Selatan di mana aku pernah bertugas sebagai pimpinan cabang kantor Rabithah al-’Alam al-Islami di sana.
Pada tahun 1996, di sebuah negara yang sedang mengalami musim dingin, di siang hari yang mendung, diiringi hembusan angin dingin yang menusuk tulang, aku menunggu seseorang yang berjanji akan menemuiku. Istriku sudah mempersiapkan santapan siang untuk menjamu sang tamu yang terhormat. Orang yang aku tunggu dulunya adalah seorang yang mempunyai hubungan erat dengan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela. Ia seorang misionaris penyebar dan pendakwah agama Nasrani. Ia seorang pendeta, namanya ‘Sily.’ Aku dapat bertemu dengannya melalui perantaraan sekretaris kantor Rabithah yang bernama Abdul Khaliq Matir, di mana ia mengabarkan kepada-ku bahwa seorang pendeta ingin datang ke kantor Rabithah hendak membicarakan perkara penting.
Tepat pada waktu yang telah dijanjikan, pendeta tersebut datang bersama temannya yang bernama Sulaiman. Sulaiman adalah salah seorang anggota sebuah sasana tinju setelah ia memeluk Islam, selepas bertanding dengan seorang petinju muslim terkenal, Muhammad Ali. Aku menyambut keda-tangan mereka di kantorku dengan perasaan yang sangat gembira. Sily seorang yang berpostur tubuh pendek, berkulit sangat hitam dan mudah tersenyum. Ia duduk di depanku dan berbicara denganku dengan lemah lembut. Aku katakan, “Saudara Sily bolehkah kami mendengar kisah keislamanmu?” ia tersenyum dan berkata, “Ya, tentu saja boleh.”
Pembaca yang mulia, dengar dan perhatikan apa yang telah ia ceritakan kepadaku, kemudian setelah itu, silahkan beri penilaian.!
Sily berkata, “Dulu aku seorang pendeta yang sangat militan. Aku berkhidmat untuk gereja dengan segala kesungguhan. Tidak hanya sampai di situ, aku juga salah seorang aktifis kristenisasi senior di Afrika Selatan. Karena aktifitasku yang besar maka Vatikan memilihku untuk menjalankan program kristenisasi yang mereka subsidi. Aku mengambil dana Vatikan yang sampai kepadaku untuk menjalankan program tersebut. Aku mempergunakan segala cara untuk mencapai targetku. Aku melakukan berbagai kunjungan rutin ke madrasah-madrasah, sekolah-sekolah yang terletak di kampung dan di daerah pedalaman. Aku memberikan dana tersebut dalam bentuk sumbangan, pemberian, sedekah dan hadiah agar dapat mencapai targetku yaitu memasukkan masyarakat ke dalam agama Kristen. Gereja melimpahkan dana tersebut kepadaku sehingga aku menjadi seorang hartawan, mempunyai rumah mewah, mobil dan gaji yang tinggi. Posisiku melejit di antara pendeta-pendeta lainnya.
Pada suatu hari, aku pergi ke pusat pasar di kotaku untuk membeli beberapa hadiah. Di tempat itulah bermula sebuah perubahan!
Di pasar itu aku bertemu dengan seseorang yang memakai kopiah. Ia pedagang berbagai hadiah. Waktu itu aku mengenakan pakaian jubah pendeta berwarna putih yang merupakan ciri khas kami. Aku mulai menawar harga yang disebutkan si penjual. Dari sini aku mengetahui bahwa ia seorang muslim. Kami menyebutkan agama Islam yang ada di Afrika selatan dengan sebutan ‘agama orang Arab.’ Kami tidak menyebutnya dengan sebutan Islam. Aku pun membeli berbagai hadiah yang aku inginkan. Sulit bagi kami menjerat orang-orang yang lurus dan mereka yang konsiten dengan agamanya, sebagaimana yang telah berhasil kami tipu dan kami kristenkan dari kalangan orang-orang Islam yang miskin di Afrika Selatan.
Si penjual muslim itu bertanya kepadaku, “Bukankah anda seorang pendeta?” Aku jawab, “Benar.” Lantas ia bertanya kepadaku, “Siapa Tuhanmu?” Aku katakan, “Al-Masih.” Ia kembali berkata, “Aku menantangmu, coba datangkan satu ayat di dalam Injil yang menyebutkan bahwa al-Masih AS berkata, ‘Aku adalah Allah atau aku anak Allah. Maka sembahlah aku’.” Ucapan muslim tersebut bagaikan petir yang menyambar kepalaku. Aku tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut. Aku berusaha membuka-buka kembali catatanku dan mencarinya di dalam kitab-kitab Injil dan kitab Kristen lainnya untuk menemukan jawaban yang jelas terhadap pertanyaan lelaki tersebut. Namun aku tidak menemukannya. Tidak ada satu ayat pun yang men-ceritakan bahwa al-Masih berkata bahwa ia adalah Allah atau anak Allah. Lelaki itu telah menjatuhkan mentalku dan menyulitkanku. Aku ditimpa sebuah bencana yang membuat dadaku sempit. Bagaimana mungkin pertanyaan seperti ini tidak pernah terlintas olehku? Lalu aku tinggalkan lelaki itu sambil menundukkan wajah. Ketika itu aku sadar bahwa aku telah berjalan jauh tanpa arah. Aku terus berusaha mencari ayat-ayat seperti ini, walau bagaimanapun rumitnya. Namun aku tetap tidak mampu, aku telah kalah.
Aku pergi ke Dewan Gereja dan meminta kepada para anggota dewan agar berkumpul. Mereka menyepakatinya. Pada pertemuan tersebut aku mengabarkan kepada mereka tentang apa yang telah aku dengar. Tetapi mereka malah menyerangku dengan ucapan, “Kamu telah ditipu orang Arab. Ia hanya ingin meyesatkanmu dan memasukkan kamu ke dalam agama orang Arab.” Aku katakan, “Kalau begitu, coba beri jawabannya!” Mereka membantah pertanyaan seperti itu namun tak seorang pun yang mampu memberikan jawaban.
Pada hari minggu, aku harus memberikan pidato dan pelajaranku di gereja. Aku berdiri di depan orang banyak untuk memberikan wejangan. Namun aku tidak sanggup melakukannya. Sementara para hadirin merasa aneh, karena aku berdiri di hadapan mereka tanpa mengucapkan sepatah katapun. Aku kembali masuk ke dalam gereja dan meminta kepada temanku agar ia menggantikan tempatku. Aku katakan bahwa aku sedang sakit. Padahal jiwaku hancur luluh.
Aku pulang ke rumah dalam keadaan bingung dan cemas. Lalu aku masuk dan duduk di sebuah ruangan kecil. Sambil menangis aku menengadahkan pandanganku ke langit seraya berdoa. Namun kepada siapa aku berdoa. Kemudian aku berdoa kepada Dzat yang aku yakini bahwa Dia adalah Allah Sang Maha Pencipta, “Ya Tuhanku… Wahai Dzat yang telah men-ciptakanku… sungguh telah tertutup semua pintu di hadapanku kecuali pintuMu… Janganlah Engkau halangi aku mengetahui kebenaran… manakah yang hak dan di manakah kebenaran? Ya Tuhanku… jangan Engkau biarkan aku dalam kebimbangan… tunjukkan kepadaku jalan yang hak dan bimbing aku ke jalan yang benar…” lantas akupun tertidur.
Di dalam tidur, aku melihat diriku sedang berada di sebuah ruangan yang sangat luas. Tidak ada seorang pun di dalamnya kecuali diriku. Tiba-tiba di tengah ruangan tersebut muncul seorang lelaki. Wajah orang itu tidak begitu jelas karena kilauan cahaya yang terpancar darinya dan dari sekelilingnya. Namun aku yakin bahwa cahaya tersebut muncul dari orang tersebut. Lelaki itu memberi isyarat kepadaku dan memanggil, “Wahai Ibrahim!” Aku menoleh ingin mengetahui siapa Ibrahim, namun aku tidak menjumpai siapa pun di ruangan itu. Lelaki itu berkata, “Kamu Ibrahim… kamulah yang bernama Ibrahim. Bukankah engkau yang memohon petunjuk kepada Allah?” Aku jawab, “Benar.” Ia berkata, “Lihat ke sebelah kananmu!” Maka akupun menoleh ke kanan dan ternyata di sana ada sekelompok orang yang sedang memanggul barang-barang mereka dengan mengenakan pakaian putih dan bersorban putih. Ikutilah mereka agar engkau mengetahui kebenaran!” Lanjut lelaki itu.
Kemudian aku terbangun dari tidurku. Aku merasakan sebuah kegembiraan menyelimutiku. Namun aku belum juga memperoleh ketenangan ketika muncul pertanyaan, di mana gerangan kelompok yang aku lihat di dalam mimipiku itu berada.
Aku bertekad untuk melanjutkannya dengan berkelana mencari sebuah kebenaran, sebagaimana ciri-ciri yang telah diisyaratkan dalam mimpiku. Aku yakin ini semua merupakan petunjuk dari Allah SWT. Kemudian aku minta cuti kerja dan mulai melakukan perjalanan panjang yang memaksaku untuk berkeliling di beberapa kota mencari dan bertanya di mana orang-orang yang memakai pakaian dan sorban putih berada. Telah panjang perjalanan dan pencarianku. Setiap aku menjumpai kaum muslimin, mereka hanya memakai celana panjang dan kopiah. Hingga akhirnya aku sampai di kota Johannesburg.
Di sana aku mendatangi kantor penerima tamu milik Lembaga Muslim Afrika. Di rumah itu aku bertanya kepada pegawai penerima tamu tentang jamaah tersebut. Namun ia mengira bahwa aku seorang peminta-minta dan memberikan sejumlah uang. Aku katakan, “Bukan ini yang aku minta. Bukankah kalian mempunyai tempat ibadah yang dekat dari sini? Tolong tunjukkan masjid yang terdekat.” Lalu aku mengikuti arahannya dan aku terkejut ketika melihat seorang lelaki berpakaian dan bersorban putih sedang berdiri di depan pintu.
Aku sangat girang, karena ciri-cirinya sama seperti yang aku lihat dalam mimpi. Dengan hati yang berbunga-bunga, aku mendekati orang tersebut. Sebelum aku mengatakan sepatah kata, ia terlebih dahulu berkata, “Selamat datang ya Ibrahim!” Aku terperanjat mendengarnya. Ia mengetahui namaku sebelum aku memperkenalkannya. Lantas ia melanjutkan ucapan-nya, “Aku melihatmu di dalam mimpi bahwa engkau sedang mencari-cari kami. Engkau hendak mencari kebenaran? Kebenaran ada pada agama yang diridhai Allah untuk hamba-Nya yaitu Islam.” Aku katakan, “Benar. Aku sedang mencari kebenaran yang telah ditunjukkan oleh lelaki bercahaya dalam mimpiku, agar aku mengikuti sekelompok orang yang berpakaian seperti busana yang engkau kenakan. Tahukah kamu siapa lelaki yang aku lihat dalam mimpiku itu?” Ia menjawab, “Dia adalah Nabi kami Muhammad, Nabi agama Islam yang benar, Rasulullah SAW.” Sulit bagiku untuk mempercayai apa yang terjadi pada diriku. Namun langsung saja aku peluk dia dan aku katakan kepadanya, “Benarkah lelaki itu Rasul dan Nabi kalian yang datang menunjukiku agama yang benar?” Ia berkata, “Benar.”
Ia lalu menyambut kedatanganku dan memberikan ucapan selamat karena Allah telah memberiku hidayah kebenaran. Kemudian datang waktu shalat zhuhur. Ia mempersilahkanku duduk di tempat paling belakang dalam masjid dan ia pergi untuk melaksanakan shalat bersama jamaah yang lain. Aku memperhatikan kaum muslimin banyak memakai pakaian seperti yang dipakainya. Aku melihat mereka rukuk dan sujud kepada Allah. Aku berkata dalam hati, “Demi Allah, inilah agama yang benar. Aku telah membaca dalam berbagai kitab bahwa para nabi dan rasul meletakkan dahinya di atas tanah sujud kepada Allah.” Setelah mereka shalat, jiwaku mulai merasa tenang dengan fenomena yang aku lihat. Aku berucap dalam hati, “Demi Allah sesungguhnya Allah SAW telah menunjukkan kepadaku agama yang benar.” Seorang muslim memanggilku agar aku mengumumkan keislamanku. Lalu aku mengucapkan dua kalimat syahadat dan aku menangis sejadi-jadinya karena gembira telah mendapat hidayah dari Allah SWT.
Kemudian aku tinggal bersamanya untuk mempelajari Islam dan aku pergi bersama mereka untuk melakukan safari dakwah dalam waktu beberapa lama. Mereka mengunjungi semua tempat, mengajak manusia kepada agama Islam. Aku sangat gembira ikut bersama mereka. Aku dapat belajar shalat, puasa, tahajjud, doa, kejujuran dan amanah dari mereka. Aku juga belajar dari mereka bahwa seorang muslim diperintahkan untuk menyampaikan agama Allah dan bagaimana menjadi seorang muslim yang mengajak kepada jalan Allah serta berdakwah dengan hikmah, sabar, tenang, rela berkorban dan berwajah ceria.Setelah beberapa bulan kemudian, aku kembali ke kotaku. Ternyata keluarga dan teman-temanku sedang mencari-cariku. Namun ketika melihat aku kembali memakai pakaian Islami, mereka mengingkarinya dan Dewan Gereja meminta kepadaku agar diadakan sidang darurat. Pada pertemuan itu mereka mencelaku karena aku telah meninggalkan agama keluarga dan nenek moyang kami. Mereka berkata kepadaku, “Sungguh kamu telah tersesat dan tertipu dengan agama orang Arab.” Aku katakan, “Tidak ada seorang pun yang telah menipu dan menyesatkanku. Sesungguhnya Rasulullah Muhammad SAW datang kepadaku dalam mimpi untuk menunjukkan kebenaran dan agama yang benar yaitu agama Islam. Bukan agama orang Arab sebagaimana yang kalian katakan. Aku mengajak kalian kepada jalan yang benar dan memeluk Islam.” Mereka semua terdiam.
Kemudian mereka mencoba cara lain, yaitu membujukku dengan memberikan harta, kekuasaan dan pangkat. Mereka berkata, “Sesungguhnya Vatikan me-mintamu untuk tinggal bersama mereka selama enam bulan untuk menyerahkan uang panjar pembelian rumah dan mobil baru untukmu serta memberimu kenaikan gaji dan pangkat tertinggi di gereja.”
Semua tawaran tersebut aku tolak dan aku katakan kepada mereka, “Apakah kalian akan menyesatkanku setelah Allah memberiku hidayah? Demi Allah aku takkan pernah melakukannya walaupun kalian memenggal leherku.” Kemudian aku menasehati mereka dan kembali mengajak mereka ke agama Islam. Maka masuk Islamlah dua orang dari kalangan pendeta.
Alhamdulillah, Setelah melihat tekadku tersebut, mereka menarik semua derajat dan pangkatku. Aku merasa senang dengan itu semua, bahkan tadinya aku ingin agar penarikan itu segera dilakukan. Kemudian aku mengembalikan semua harta dan tugasku kepada mereka dan akupun pergi meninggalkan mereka,” Sily mengakhiri kisahnya.
Kisah masuk Islam Ibrahim Sily yang ia ceritakan sendiri kepadaku di kantorku, disaksikan oleh Abdul Khaliq sekretaris kantor Rabithah Afrika dan dua orang lainnya. Pendeta sily sekarang dipanggil dengan Da’i Ibrahim Sily berasal dari kabilah Kuza Afrika Selatan. Aku mengundang pendeta Ibrahim -maaf- Da’i Ibrahim Sily makan siang di rumahku dan aku laksanakan apa yang diwajibkan dalam agamaku yaitu memuliakannya, kemudian ia pun pamit. Setelah pertemuan itu aku pergi ke Makkah al-Mukarramah untuk melaksanakan suatu tugas. Waktu itu kami sudah mendekati persiapan seminar Ilmu Syar’i I yang akan diadakan di kota Cape Town. Lalu aku kembali ke Afrika Selatan tepatnya ke kota Cape Town.
Ketika aku berada di kantor yang telah disiapkan untuk kami di Ma’had Arqam, Dai Ibrahim Sily mendatangiku. Aku langsung mengenalnya dan aku ucapkan salam untuknya dan bertanya, “Apa yang kamu lakukan disini wahai Ibrahim.?” Ia menjawab, “Aku sedang mengunjungi tempat-tempat di Afrika Selatan untuk berdakwah kepada Allah. Aku ingin mengeluarkan masyarakat negeriku dari api neraka, mengeluarkan mereka dari jalan yang gelap ke jalan yang terang dengan memasukkan mereka ke dalam agama Islam.”
Setelah Ibrahim selesai mengisahkan kepada kami bahwa perhatiannya sekarang hanya tertumpah untuk dakwah kepada agama Allah, ia meninggalkan kami menuju suatu daerah… medan dakwah yang penuh dengan pengorbanan di jalan Allah. Aku perhatikan wajahnya berubah dan pakaiannya bersinar. Aku heran ia tidak meminta bantuan dan tidak menjulurkan tangannya meminta sumbangan. Aku merasakan ada yang mengalir di pipiku yang membangkitkan perasaan aneh. Perasaan ini seakan-akan berbicara kepadaku, “Kalian manusia yang mempermainkan dakwah, ti-dakkah kalian perhatikan para mujahid di jalan Allah!”“Benar wahai sudaraku. Kami telah tertinggal… kami berjalan lamban… kami telah tertipu dengan kehidupan dunia, sementara orang-orang yang seperti Da’i Ibrahim Sily, Da’i berbangsa Spanyol Ahmad Sa’id berkorban, berjihad dan bertempur demi menyampaikan agama ini. Ya Rabb rahmatilah kami."


(SUMBER: karya Muhammad Shalih al-Qaththani, seperti yang dinukilnya dari tulisan Dr. Abdul Aziz Ahmad Sarhan, Dekan fakultas Tarbiyah di Makkah al-Mukarramah)
 
Subhnalloh...
mudah2an akan ada lebih banyak lagi orang2 yang diberikan hidayah oleh Alloh...
 
Dahsyat Update terus kk..

Nice post..


"SAMPAIKAN DARIKU WALAU HANYA SATU AYAT"
 
Husain Rofe - Reformis Inggris

Husain Rofe
(Reformer Inggris)

Pada waktu orang bermaksud akan berpindah dari agamanya yang dianutnya karena pengaruh lingkungan kelahirannya, biasanya yang mendorongnya itu dasar-dasar emosional, filsafat atau kemasyarakatan. Bakat pembawaan saya sendiri telah menuntut suatu keimanan yang dapat memenuhi tuntutan filsafat dan sosial. Bagi saya hal itu hanya bisa dipenuhi dengan keputusan untuk menguji kebenaran semua agama penting di dunia melalui buku-bukunya, dakwahnya dan pengaruhnya.

Saya lahir dari kedua orang tua campuran, seorang Yahudi dan, seorang Katolik, dan saya tumbuh di bawah pengaruh tradisi gereja Inggris. Pada waktu saya selama beberapa tahun mengikuti sembahyang di gereja sebagai salah satu kewajiban harian, saya mulai dapat membandingkan antara kepercayaan-kepercayaan dan peribadatan-peribadatan Yahudi dan Kristen.

Bakat pembawaan saya sendiri menolak kepercayaan inkarnasi Tuhan dan
bahwa Tuhan menutupi dosa manusia. Akal saya juga tidak mampu menerima
kenyataan banyaknya Injil dan keterangan-keterangannya atau tafsirnya,
atau kepercayaan yang tidak berdasarkan logika, seperti tradisi-
tradisi yang dijalankan dalam gereja Inggris.

Dalam agama Yahudi saya menemukan gambaran tentang Allah itu lebih terhormat, walaupun penggambaran ini berbeda-beda pada masing-masing Bible. Ada kepercayaan Yahudi yang masih terpelihara kesuciannya, sehingga saya dapat belajar banyak dari padanya, tapi juga banyak yang saya tolak. Kalau kita laksanakan semua ajaran dan tuntutannya, kita akan kehabisan waktu sama sekali atau hanya tinggal waktu sedikit saja untuk mengurus soal-soal duniawi, karena dalam agama Yahudi ada upacara-upacara peribadatan yang tidak habis-habisnya merepotkan energi kita. Dan bisa jadi yang terburuk dalam agama Yahudi ialah bahwa dakwahnya itu hanya ditujukan kepada segolongan minoritas tertentu, dan karenanya agama Yahudi itu menimbulkan jurang pemisah antara bermacam-macam tingkat sosial dalam masyarakat.

Dalam pada itu saya suka menyaksikan sembahyang Kristen di gereja Inggris, sebagaimana juga saya suka menghadiri sembahyang di gereja Yahudi. Saya turut kedua-duanya. Akan tetapi kenyataannya saya tidak memegang atau mempercayai salah satu agama yang dua itu. Dalam agama Katolik Roma saya lihat banyak hal-hal yang tidak jelas bisa dimengerti dan tunduk kepada kekuasaan manusia. Agama Katolik Roma menganggap rendah kemanusiaan, sebaliknya Paus dan para pendetanya dianggap suci, bahkan hampir disamakan dengan Tuhan.

Kemudian saya mempelajari filsafat Hindu, terutama ajaran-ajarannya pada Upanishads and Vedanta. Di sini juga saya menemukan banyak hal yang mengagumkan saya, tapi juga banyak yang tidak bisa diterima oleh akal saya. Dalam filsafat Hindu saya tidak menemukan cara pemecahan beberapa macam penyakit masyarakat, dan didalamnya tidak terhitung banyaknya macam-macam keistimewaan (privileges) untuk para pendeta, disamping tidak adanya uluran tangan untuk mengasihi orang-orang miskin terlantar, seakan-akan nasibnya itu karena kesalahannya sendiri, dan jika dia mau memikul penderitaan hidup dengan sabar, maka rupanya kehidupan sesudah mati malah lebih baik.

Agama Hindu hanyalah satu cara untuk menundukkan dan menguasai orang banyak. Agama itu bagi mereka hanya untuk menegakkan kekuasaan kependetaan yang memegang kendali segala kekuasaan, sedang perhubungannya dengan Tuhan hanya proforma, seolah-olah kehendak-Nya itu minta supaya segala sesuatu tetap sebagaimana adanya.

Buddisme mengajarkan kepada saya banyak mengenai akal dan ketentuan-ketentuannya. Buddisme menunjukkan kepada saya suatu cara untuk mengusahakan adanya saling pengertian di antara bangsa-bangsa, seakan-akan sama mudahnya dengan percobaan-percobaan kimiawi, asal setiap orang mau memberikan pengorbanan yang diperlukan, mungkin berupa reaksi terhadap penyusunan kasta-kasta.

Akan tetapi dalam Buddisme saya tidak menemukan pelajaran-pelajaran tentang akhlak. Dalam hal ini Buddisme sama dengan Hindu. Didalamnya saya hanya menemukan ajaran bagamana caranya supaya manusia bisa sampai ke tingkat manusia-super-kuat atau apa yang dikira demikian oleh orang banyak. Akan tetapi bagi saya jelas bahwa kekuatan yang dimaksud itu bukan merupakan bukti tingginya jiwa seperti yang mereka kira. Kekuatan semacam itu hanya mampu meningkatkan ilmu, mencapai prestasi olahraga, menguasai emosi dan menyederhanakan banyak kesenangan dan syahwat, seperti yang diajarkan oleh ajaran Stoics. Dalam Buddisme saya tidak menemukan ajaran bagamana caranya supaya kita ingat kepada Allah; didalamnya saya tidak menemukan ajaran yang memberi petunjuk ke arah Maha Pencipta. Budisme hanyalah suatu latihan badan untuk mencapai keselamatan dan kebebasan. Dalam pada itu, Bodhisatya malah menganjurkan pengorbanan keselamatan dan kebebasan seseorang untuk keselamatan dan kebebasan orang lain. Dalam aliran ini tampak ada soal-soal kerohanian, tidak hanya mempersoalkan penguasaan nafsu kehewanan dan kekuatan-kekuatan alam. Oleh karena itu, maka secara teoritis Buddisme sanggup menyelamatkan dunia, seperti juga agama Kristen, kata Tolstoi, asal terbatas pada kata-kata Yesus, tanpa
tambahan dan tafsiran yang salah.

Akan tetapi jika ternyata banyak kepercayaan yang menurut teorinya sanggup menyelamatkan dunia, mengapa mereka gagal dalam praktek? Jawabnya ialah: Kepercayaan-kepercayaan itu tidak memberi perhatian kepada golongan mayoritas (terbanyak). Dia hanya tertuju kepada golongan minoritas. Sebenarnya, jika kita perhatikan ajaran-ajaran Kristen dan Buddha sebagaimana yang dimaksud oleh para pendirinya, ternyata bahwa kedua agama itu mengelakkan diri dari soal-soal kesulitan masyarakat, karena memang kemasyarakatan itu bukan sasaran perhatiannya. Keduanya, Yesus dan Buddha menganjurkan supaya orang melepaskan diri dari nafsu ingin memiliki kekayaan dan dari kesenangan-kesenangan duniawi sebagai usaha mencari Tuhan, dengan kata-kata seperti: "Jangan melakukan perbuatan buruk" atau "Vairagyam", dan "Janganlah kamu direpotkan dengan apa yang akan terjadi besok."

Saya menaruh hormat besar bagi mereka yang mampu menempuh jalan atau cara ini, saya yakin bahwa itu bisa menyampaikan mereka kepada Allah. Tapi saya juga yakin bahwa umumnya manusia tidak mampu menempuh jalan semacam ini. Karena itu, maka ajaran-ajaran ini sedikit sekali nilai kemasyarakatannya. Suatu ajaran kerohanian yang mulia, tapi gagal total dalam usaha membimbing orang banyak. Kepuasan intelektual yang tidak
ada gunanya untuk mengubah orang banyak dan memperbaiki kondisi mereka
dalam bidang kerohanian, mental dan material dalam waktu yang pendek.

Mungkin merupakan suatu keanehan, bahwa ketika saya berdiam di negara-negara Arab, perhatian saya kepada Islam itu sedikit saja dan hanya melihat lahiriyahnya. Agama ini tidak mendapat perhatian saya untuk mempelajarinya secara teliti, seperti yang saya lakukan terhadap agama-agama lain. Akan tetapi kalau saya ingat bahwa hubungan saya yang pertama dengan Islam itu dengan membaca Al-Qur'an terjemahan Bodwell, maka tidaklah mengherankan kalau saya katakan bahwa saya tidak tertarik. Akan tetapi sesudah saya berkenalan dengan salah seorang muballig Islam terkenal di London, saya menjadi kaget dengan sedikitnya kegiatan orang-orang Arab dalam usaha memberikan petunjuk kepada orang-orang bukan Islam supaya masuk Islam, dan dalam usaha menyiarkan ajaran-ajarannya di tempat-tempat atau negara-negara yang mungkin di sana mereka akan lebih berhasil. Hanya karena sering merasa tidak percaya kepada orang-orang asing, cara yang biasa ditempuh oleh orang-orang Timur ialah bergerak secara diam-diam, dari pada secara terang-terangan.

Dengan bimbingan yang bijaksana, saya telah membaca sebuah terjemahan Al-Qur'an dan tafsirannya dari seorang muslim, ditambah dengan membaca buku-buku yang lain tentang Islam, saya akhimya mendapat gambaran yang benar tentang Islam. Dengan demikian, maka dalam waktu yang tidak lama,
saya telah menemukan sesuatu yang saya cari selama bertahun-tahun.

Pada suatu hari di tahun 1945 saya mendapat undangan untuk menghadiri embahyang 'Id dan sesudah itu makan-makan. Hal itu merupakan kesempatan yang baik bagi saya untuk mempelajari sekumpulan international Muslim, di mana tidak terdapat kumpulan Arab, tidak ada nasionalisme. Yang ada hanyalah perkumpulan orang banyak yang mewakili bermacam-macam bangsa di dunia, bermacam-macam tingkat sosial dan bermacam-macam warna kulit. Di sana saya bertemu dengan seorang pangeran Turki dan juga rakyat biasa. Mereka semua duduk untuk makan bersama. Pada wajah orang-orang kaya tidak nampak sikap merendahkan diri yang dibuat-buat, atau sikap pura-pura merasa sama dari orang-orang kulit putih dalam pembicaraannya dengan kawan-kawan mereka yang berkulit hitam. Tidak juga kelihatan di antara mereka orang yang menjauh dari orang banyak, tidak nampak rasa kepangkatan dan kedudukan yang tersembunyi di balik tabir kepalsuan.

Dalam agama Islam saya tidak berkesempatan untuk melukiskan soal-soal kehidupan, justru karena kelengkapannya yang tidak saya temukan dalam agama-agama lain. Cukuplah kalau saya katakan bahwa sesudah saya berpikir dan memperhatikan, saya beroleh petunjuk untuk iman kepada agama ini, sesudah saya mempelajari agama-agama terkenal di dunia tanpa memeluk salah satunya.

Dengan keterangan saya tersebut, cukup jelas, mengapa saya menjadi orang Islam? Walaupun hal itu belum cukup untuk menjelaskan segala sesuatunya. Soalnya, karena perasaan ini selalu tumbuh dan bertambah bersamaan dengan berlalunya waktu dan bertambahnya pengalaman saya. Saya telah mempelajari kebudayaan Islam pada English University, dimana untuk pertama kalinya saja mengetahui bahwa Islamlah yang telah mengeluarkan Eropa dari kegelapan. Saya mempelajari sejarah, ternyata bahwa pemerintahan-pemerintahan besar itu adalah pemerintahan Islam, dan kebanyakan ilmu pengetahuan modern itu berasal dari Islam. Maka ketika orang-orang pada datang kepada saya untuk mengatakan bahwa dengan memeluk agama Islam itu saya telah menemukan jalan mundur, saya tersenyum saja. Mereka tidak mengetahui tentang hubungan sebab dan akibat.

Bolehkah dunia menghukum Islam karena kemundurannya yang ditimbulkan oleh faktor-faktor luar? Apakah nilai Renaisance yang pernah dialami Eropa itu kurang disebabkan kemunduran-kemunduran umum yang dialami dimana-mana di dunia sekarang ini?! Apakah agama Kristen itu boleh dicap brandalan, penumpah darah dan barbarisme disebabkan inkuisisi abad tengah dan penaklukan Spanyol?!

Perlu diperingatkan bahwa akal pikiran yang terbesar dan termaju di segala zaman seluruhnya memandang dengan penuh hormat kepada kebudayaan
Islam yang mutiara-mutiaranya tetap tersimpan dan Barat tidak pernah menemukannya.

Saya telah datang ke beberapa daerah jajahan dan saya berkesempatan untuk melihat bagamana seorang pengembara/pendatang diterima di setiap tempat, di mana reaksi pertamanya adalah pertolongan yang diberikan kepada mereka. Saya tidak pernah menemukan di luar kalangan kaum muslimin orang yang mendekati cara mereka dalam menghormati orang asing dan menolongnya tanpa pamrih.

Dilihat dari segi perekonomian, saya menemukan kenyataan bahwa hanya masyarakat Islam-lah yang telah menghilangkan jurang pemisah antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin dengan cara yang menyeluruh, melenyapkan kekacauan. Saya bisa mengatakan bahwa komunis Sovyet modern tidak akan mampu menghasilkan apa yang bisa dihasilkan di bawah Pemerintahan Islam.
 
Karima Burns:
Cintaku kepada Islam tertambat di Istana Al-Hambra


20090522102813.jpg

Ketika membuka Al-Quran perasaan yang hadir persis seperti orang yang baru saja menemukan kembali anggota keluarganya yang telah lama hilang

Karima Kristie Burns, MH, ND nama lengkapnya. Karima (39) dikenal sebagai perempuan dengan banyak bakat. Ya sebagai editor, penulis, guru, dan juga pakar herbalis. Di dunia herbalis dia sangat dikenal lewat konsultasi online di website Herb’n Muslim yang dikelolanya sejak 1994. Sejak masuk Islam, dia membuka usaha Herb’n Muslim yang dikenal dengan teknik penyembuhan alami dan islami. Dia juga telah menulis lebih dari 120 artikel kesehatan yang bisa didownload via websitenya itu. Karima menghabiskan separuh hidupnya di Midwest, Iowa (AS), tempat dia dibesarkan. Dan separuhnya lagi di kawasan Timur Tengah (Mesir dan Arab Saudi).

Karima mulai tertarik dengan metode penyembuhan alami justru ketika berupaya menyembuhkan dirinya sendiri yang mengidap penyakit asma, alergi, mudah panik, depresi, dan beberapa penyakit bagian dalam lainnya. Kala itu dia mencoba dengan terapi alami dan bantuan tumbuh-tumbuhan. Dia berkeliling hingga ke Mesir guna mencari berbagai informasi berkenaan penyembuhan tradisional. Dari kegigihannya itu, dia bahkan berhasil memperoleh gelar formal master of herbalist dan doktor bidang naturopathic tahun 1996 dari Trinity College di Dublin, Irlandia. Naturopathic adalah teknik pengobatan alamiah yang meresepkan herbal untuk para pasiennya. Namun tak banyak yang tahu, ketertarikan Karima kepada Islam justru ketika berkunjung ke Spanyol. Dia mengaku terkagum-kagum dengan tulisan Arab di Istana Al-Hambra di kota Granada. Istana itu sendiri dulunya bekas mesjid hingga bekas kaligrafinya masih ada. Berikut penuturan Karima yang disadur dari beberapa sumber.

***​

Kenal Islam di Spanyol

Karima Burns awalnya adalah seorang mahasiswi program sarjana studi kawasan Arab di Universitas Iowa, AS. Karima mengaku Islam hadir di hatinya berawal dari membaca rangkaian tulisan ayat suci Al-Quran dalam rangka penyelesaian tugas kuliahnya. Dan dia tak kuasa menghindar dari bisikan hati itu.

Ceritanya, satu ketika dia dan teman-temannya mengadakan studi tur ke Granada, Spanyol. Granada merupakan salah satu bekas kawasan yang pernah dikuasai Islam selama hampir tujuh abad. Kala itu dia sedang duduk-duduk di Istana Al-Hambra. Istana itu dulunya adalah mesjid. Karima takjub melihat jejeran tulisan di dinding gedung tua itu. Baginya itulah tulisan terindah yang pernah dia lihat.

“Bahasa apa itu?” tanyanya pada salah seorang turis Spanyol. “Bahasa Arab,” sahut turis lokal itu. Hari berikutnya, tatkala pemandu wisata menanyakan buku panduan dalam bahasa apa yang dia inginkan, Karima menjawab spontan bahasa Arab.

“Apa, bahasa Arab? Anda bisa bahasa Arab?” tanya si pemandu terkejut.

“Tidak, tapi tolong berikan juga yang dalam bahasa Inggris,” sahut Karima.

Di akhir tour tas Karima penuh dengan buku-buku petunjuk wisata dari tiap-tiap kota yang dia singgahi di seluruh Spanyol. Dan semuanya dalam bahasa Arab!

“Tas travel saya sudah terlalu penuh hingga saya bermaksud membuang beberapa potong pakaian dan beberapa barang lainnya agar tasnya bisa muat. Namun, untuk buku-buku bahasa Arab rasanya berat untuk ditinggalkan. Buku-buku itu ibarat emas bagi saya. Saya sering membolak-balik halamannya tiap malam. Kata per kata-nya saya amati dengan seksama. Huruf-hurufnya juga unik, beda dengan huruf latin biasa. Saya membayangkan andainya saja bisa menulis dengan huruf yang demikian indah itu. Waktu itu saya punya pikiran pasti akan sangat berharga jika bisa mengetahui bahasa Arab ini. Saya pun berniat dalam hati untuk belajar bahasa ini. Ya satu saat nanti kala kembali ke kampus di musim gugur,” tukas Karima.

Mencari jawaban

“Ketika itu ada sekitar dua bulan saya meninggalkan keluarga di Iowa untuk mengikuti tour sepanjang kawasan Eropa ini. Sendirian pula. Kala itu usia saya baru 16. Makanya saya kepingin jalan-jalan dulu sembari “melihat dunia”. Itu alasan yang saya katakan pada keluarga dan kawan-kawan. Tapi sebenarnya saya sedang mencari jawaban atas konsep Kristen yang sudah lama saya pendam. Saya meninggalkan gereja (baca: Kristen -red) persis beberapa bulan sebelum berangkat ke Eropa dan belum bisa menentukan pilihan (agama) lain. Saya merasa belum mendapatkan apapun dengan apa yang telah saya pelajari selama ini. Sampai kini pun belum mendapatkan alternatif-alternatif lain,” ungkapnya.

“Tempat dimana saya dibesarkan, yakni Midwest, sebenarnya sangat cocok buat saya. Misalnya hal keyakian, tidak ada yang perlu dipusingkan disana. Mau jadi bagian dari gereja silahkan. Tidak, ya juga ndak masalah. Tapi karena itu pula saya tidak punya gambaran agama lain yang bisa dijadikan alternatif. Makanya ketika ada waktu keliling Eropa saya berharap bisa berjumpa dengan “sesuatu” yang lain itu,” imbuhnya.

“Di gereja tempat kami tinggal, kami hanya boleh melakukan ibadah untuk Yesus dan menyandarkan segala sesuatu padanya agar bisa menyampaikan pesan kepada Tuhan. Secara intuitif saya merasakan bahwa ada sesuatu yang salah dengan dogma itu,” kata dia.

“Saya kala itu dengan patuh pergi ke gereja tiap hari minggu dan sangat serius dengan apa yang saya pelajari tentang kejujuran, murah hati dan saling berkasih sayang. Tapi ada yang bikin saya bingung tatkala melihat jamaag gereja. Sikap mereka tampak begitu beda selama satu hari itu. Apakah Cuma sehari dalam sepekan bersikap jujur, murah hati dan kasih sayang? Apakah mereka cuma bahagia di hari minggu saja? Aku mencari-cari di beberapa buku panduan, namun tak menemukan apa-apa. Ada hal tentang 10 perintah Tuhan yang meliputi hal-hal yang sudah nyata sekali seperti larangan membunuh, mencuri dan berbohong. Uniknya, orang-orang ke gereja seperti tak ada etiket. Misalnya, sejauh yang saya tahu, banyak yang pakai rok mini ke gereja. Ironisnya lagi, ada juga dari mereka pergi ke sekolah minggu hanya karena ada cowok ganteng disana,” tukas Karima.

Kitab Bibel aneka versi

Satu hari Karima berkunjung ke rumah salah seorang dosennya. Disana dia melihat beberapa kitab Bibel tersusun rapi di rak lemari si dosen. “Saya tanya apa itu. Dosennya menjawab bahwa itu kitab Bibel dalam berbagai versi. Saya sebenarnya tak mau mengganggunya dengan pertanyaan seputar Bibel dalam aneka versi itu. Tapi makin dipendam makin sangat mengganggu pikiran. Saya beranikan diri mengamati beberapa dari Bibel itu. Saya terkejut. Memang ada yang benar-benar beda satu versi dengan versi lainnya. Bahkan ada beberapa bab yang tidak sama dengan Bibel kepunyaan saya. Kala itu saya benar-benar bingung. Bahkan mulai timbul perasaan bimbang,” katanya-

Ikut kelas bahasa Arab

Selepas tur Eropa Karima kembali ke kampus dengan perasaan kecewa sebab tak menemukan jawaban yang diharapkannya. Akan tetapi dengan keinginan yang begitu besar akan sebuah bahasa, Karima mengaku tertarik untuk mempelajari bahasa Arab. “Ironis ya, mendapat secercah jawaban yang saya cari-cari justru di dinding istana Al Hambra. Setelah pulang dari Spanyol, butuh dua tahun bagi saya untuk merealisasikan semua itu (masuk Islam-red),” ujarnya.

“Hal pertama sekali yang saya lakukan kala aktif kembali di kampus adalah mendaftar kelas bahasa Arab. Saya amati tampaknya kelas itu tidak begitu diminati. Entah kenapa. Buktinya peserta yang mendaftar cuma tiga. Saya dan dua mahasiswa lainnya. Tapi saya tak ambil pusing,” kata dia. Karima pun langsung tenggelam dengan pelajaran bahasa Arab. Rasa ingin tahunya sangat tinggi, hingga sang dosen takjub melihatnya.

“Saya kerjakan tugas-tugas yang diberikan dengan pulpen khusus untuk menulis huruf kaligrafi. Bahkan seringkali saya pinjam buku-buku dalam bahasa Arab dari dosen hanya untuk melihat huruf-huruf Arab yang ada dalam buku itu. Memasuki tahun kedua di universitas, saya putuskan untuk memilih bidang Studi Timur Tengah. Jadi dengan begitu bisa fokus pada satu kawasan saja. Nah di salah satu mata kuliahnya adalah belajar Al-Quran. Saya gembira bukan main,” aku Karima mengenang.

Kagum dengan Al-Quran

“Satu malam saya buka Al-Quran untuk mengerjakan PR. Heran campur takjub. Makin saya baca makin terasa nikmat. Sulit untuk berhenti membacanya. Persis seperti seseorang baru mendapatkan sebuah novel baru. Ketika itu saya bergumam dalam hati; wow menarik sekali. Inilah yang selama ini saya cari-cari. Semuanya ada dalam Al-Quran. Semua penjelasan betul-betul menarik. Saya sungguh kagum, kitab suci ini menguraikan semua yang juga saya percayai dan saya cari-cari jawabannya selama bertahun-tahun. Sangat jelas disebutkan bahwa hanya ada satu Tuhan yang patut disembah, yakni Allah. Tidak seperti di Kristen, satu dalam tiga,” imbuhnya.

Hari berikutnya Karima kembali ke ruang kelas untuk menanyakan siapa gerangan pengarang kitab itu. Karima melihat ada sebuah nama tertulis di halaman depan Al-Quran itu. “Awalnya saya menyangka itu nama pengarangnya. Misalnya seperti kitab Gospel yang dikarang oleh St. Luke atau kitab-kitab dalam agama lain yang pernah saya pelajari sebelumnya,” kata dia.

Salah seorang dosen Karima yang beragama Kristen memberitahu bahwa itu bukan nama pengarangnya. “Ternyata itu adalah nama penerjemahnya. Masih menurut dosen itu, dia mengutip pernyataan penganut Islam, bahwa tak ada seorang pun yang mampu menulis kitab suci itu. Quran, kata orang Islam, merupakan perkataan Allah dan tidak berubah dari pertama diturunkan hingga saat ini. Al-Quran dibaca dan dihafal banyak orang. Wow…tak perlu saya katakana bagaimana gembiranya hati saya. Makin terpesona dan takjub. Setelah penjelasan itu saya tambah tertarik, bukan hanya mempelajari bahasa Arab, tapi juga mempelajari Islam. Hingga timbul keinginan pergi ke Timur Tengah,” katanya sumringah.

Masuk Islam

Di tahun terakhir kuliah akhirnya Karima mendapat kesempatan mengunjungi Mesir. Salah satu tempat favorit yang ingin dia lihat di sana adalah mesjid. “Saya merasakan seolah-olah sudah jadi bagian dari mereka. Berada di dalam mesjid, keagungan Allah semakin nyata. Dan, seperti biasanya, saya sangat menikmati rangkaian tulisan kaligrafi yang ada di dinding mesjid itu,” kata dia.

Satu hari seorang teman menanyakan kenapa tidak masuk Islam saja kalau memang sudah sangat tertarik. “Tapi saya sudah jadi seorang muslim,” kata Karima. Si teman terkejut mendengar jawaban itu. Tak cuma dia, bahkan Karima sendiri terkejut dengan jawaban spontan yang keluar dari bibirnya. “Tapi kemudian saya sadari hal itu logis dan normal. Islam telah merasuk dalam jiwa saya dan selalu memberikan perasaan lain. Begtupun pernyataan teman saya itu ada benarnya. Kenapa saya tidak masuk Islam saja?” tanya Karima pada dirinya sendiri. Temannya menyarankan agar lebih resmi (masuk Islam) sebaiknya pergi ke mesjid saja dan menyatakan keislaman di hadapan jamaah di sana sebagai saksinya.

“Tanpa menunggu lama saya ikuti sarannya. Ringkas saja, Alhamdulillah, akhirnya saya pun bersyahadat. Pihak mesjid lalu memberikan selembar sertifikat resmi selepas bersyahadat. Tapi sertifikat itu tak penting dan hanya saya simpan dilemari. Sama seperti dokumen-dokumen lain seperti asuransi, ijazah dan lainnya. Tak ada niat menggantung kertas itu di dinding rumah sebagai bukti telah ber-Islam. Bagi saya yang penting sudah jadi seorang muslim,” akunya.

“Kini saya habiskan waktu hanya untuk mempelajari Al-Quran. Ketika membuka Al-Quran perasaan yang hadir persis seperti orang yang baru saja menemukan kembali anggota keluarganya yang telah lama hilang,” ungkap Karima. Di rumahnya Karima tak lupa menggantung foto Istana Al Hambra, tempat dimana dia pertama kali melihat tulisan Arab yang membuat dirinya takjub dan jatuh cinta dengan Al-Quran. Kini, disamping mengelola praktek penyembuhan alaminya dia juga aktif menulis. Ada lebih dari 120 artikel yang telah dia tulis. Umumnya bertema kesehatan. Tulisannya yang terkenal antara lain The “Yoga” of Islamic Prayer, Vetegarian Muslim, dan banyak lainnya lagi. Begitulah.


sumber : www.hidayatullah.com

luar biasa,...sungguh islam itu indah .
 
luar biasa,...sungguh islam itu indah .

om waren, tumben :)
gimana kabarnya :D
perhaps u will be O.K everyday./no1 makasih dah mau berkunjung :)

----------------------
Rusman Unri Surbakti, Terbuai Lantunan Ayat Suci

Rusman-S.jpg

Berbagai keraguan sering muncul dalam hatinya saat mendalami Injil dan mengikuti kebaktian di gereja.

Alquran adalah kitab suci umat Islam. Ia menjadi pedoman hidup dan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Tak ada keraguan di dalamnya. Susunan kata begitu indah, gaya bahasanya begitu menarik, dan kandungan yang ada di dalamnya sangat jelas dan tegas. Bahkan, dari Alquran pula, banyak orang yang sukses. Ribuan bahkan jutaan buku ditulis. Semuanya bersumber dari Alquran.

Tak heran bila banyak orang yang kagum dan takjub dengan kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW itu. Khalifah Umar Ibn Khattab memeluk agama Islam berkat kandungan yang ada di dalamnya. Ia terkesima dengan lantunan kalam Ilahi itu. Padahal, sebelumnya, ia adalah penentang agama Islam yang sangat ditakuti.

Tak hanya Umar, seorang aktivis gereja di Indonesia pun akhirnya memilih agama Islam berkat lantunan kalam Ilahi ini. Dia adalah Rusman Unri Surbakti, seorang anak muda aktivis gereja di Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Pria ini akhirnya memeluk Islam karena banyak keraguan yang ia yakini sebelumnya menjadi tak masuk akal. Akhirnya, setelah menelusuri dan mendalami berbagai aliran dan agama yang ada, ia pun bertekad bulat memeluk Islam. Subhanallah.

Hidayah
Islam, bagi dia, sebetulnya bukan hal yang baru. Ketika kecil, entah mengapa, anak kelima dari delapan bersaudara itu selalu tertarik jika mendengarkan suara ayat suci di stasiun TVRI yang dilantunkan menjelang acara pengajian. ''Lantunan itu menarik hati saya. Tapi, karena keluarga saya penganut Kristen, siaran TV itu segera dimatikan.''

Lulus SMA, dia merantau ke Batam setelah sempat ke Pekanbaru. Di Batam, Rusman bekerja di sebuah bengkel. Di sela-sela kesibukan kerjanya, dia aktif di gereja, bahkan menjadi ketua pemuda gereja. Dalam setiap perayaan natal dan kegiatan serimonial Kristen yang lain, Rusman selalu jadi ketua panitia.

Beberapa lama kemudian, Rusman pindah kerja ke kawasan Batamindo. Di situ, dia mulai bergaul dengan teman-temannya yang aktif di kegiatan keislaman. Hal itu mengingatkan kembali memori masa kecilnya ketika mendengarkan lantunan ayat suci Alquran. Muncullah dalam hatinya ketertarikan untuk mengenal Islam lebih dekat.

Anehnya, ketika muncul ketertarikan terhadap Islam, ia justru juga semakin giat mendalami ajaran agama yang dianutnya, yakni Kristen Protestan. Namun, di balik usahanya itu, hatinya justru semakin dekat dengan Islam.

''Di Injil, saya melihat ada beberapa surat yang tak konsisten. Di satu surat, ada yang mengharamkan babi, tapi dalam surat lain boleh.'' Rusman menyebutkan, masih banyak contoh lainnya yang membuatnya ragu dengan agama yang dipeluknya sejak kecil itu.

Suatu ketika, dalam kebaktian di gereja, dia memerhatikan umat yang datang. Tak sedikit perempuan yang datang dengan mengenakan pakaian yang terbuka, mengumbar aurat. Tiba-tiba, ia merasa risih. Padahal, dari dulu sudah begitu. Namun, entah mengapa, perasaannya hari itu sangat berbeda.

''Itulah puncak dari kegelisahan saya. Saat itu juga, saya keluar dari agama yang sejak kecil saya anut.''Ia pun kemudian mempelajari agama Islam. Namun, sebelum mantap meyakini Islam, ia mencoba mempelajari agama lainnya. ''Siapa tahu cocok,'' demikian batinnya.

Aliran kepercayaan ia pelajari, namun tak cocok dengan hati nuraninya. Yahudi, tak kena di hati. Agama Buddha dan Hindu juga tak berkenan di hatinya. Di tengah kebimbangannya itu, ia makin khawatir kalau tiba-tiba sakaratul maut menjemputnya. ''Saya gelisah, takut mati karena tak punya agama,'' katanya.

Akhirnya, suatu ketika, dia membaca buku Sejarah Islam dari Segi Hukum dan Sejarah Iman. Dari buku itu, Rusman menemukan sesuatu yang selama ini dia inginkan: kedamaian dan ketenteraman. Buku itu seolah menjadi magnet yang menarik dirinya untuk memeluk agama Islam. Setelah itu, dia mulai mempelajari Islam secara lebih intens. Sampai akhirnya, Rusman membaca dua kalimat syahadat pada usianya yang 22 tahun.

Ceritanya, siang hari pada bulan Ramadhan, Rusman mendatangi Masjid Nurul Hikmah di kawasan industri Batam. Kebetulan, pengurus masjid Nurul Hikmah, Mohammad Soleh--yang pernah satu kantor dengannya--ada di masjid itu. Ia pun langsung menyapa Soleh.

''Selamat siang, Mas Soleh,'' sapa Rusman.
''Eh, Bang Rusman. Ada apa ini?'' jawab Soleh agak terheran dengan kedatangan Rusman. Beberapa jamaah di masjid juga memandang curiga kehadirannya.
''Saya mau masuk Islam,'' jawab Rusman tanpa basa-basi.
''Oh , ya? Wah , ada apa ini? Kok , tiba-tiba.''
''Niat saya sudah bulat, Mas.''
''Mohon maaf, Bang Rusman, agama bukan barang mainan. Mohon, pelajari dulu dengan baik. Nanti, jika sudah paham, baru benar-benar masuk Islam.''
''Saya sudah pelajari, Mas. Pokoknya, saya mau masuk Islam.'' Tekad Rusman sudah bulat.
''Oke kalau begitu. Nanti, datang ke sini lagi sebelum Maghrib. Ada baiknya mandi besar dulu.''
''Apa itu mandi besar?''
''Pokoknya mandi yang bersih, keramas.''

Sore hari menjelang Maghrib, Rusman sampai di masjid. Sekilas, matanya sempat melihat pengumuman di dinding. ''Sore ini, pengislaman saudara Rusman Surbakti.''
Pemuda kelahiran 7 November 1971 itu sempat tergetar melihat pengumuman itu. Begitu melangkah ke dalam masjid, ia disambut oleh para pengurus masjid.

Rupanya, di dalam masjid sudah dipenuhi oleh jamaah. Mereka ingin menyaksikan aktivis Kristen itu masuk Islam. Selama ini, Rusman yang mereka kenal adalah penganut fanatik agama Kristen. Setidaknya, itu dibuktikan melalui posisi Rusman semacam ketua pemuda Kristen yang aktif melakukan kegiatan seremonial agama Kristen.

Ia kemudian duduk menghadap hadirin. ''Segera saya duduk bersila di depan meja yang sudah disiapkan. Di sisi kiri saya, ada saksi. Di sisi kanan, tokoh masyarakat. Di depan saya, ustaz Muhammad Machfud. Beliau-lah yang mengislamkan saya,'' kata Rusman.

Setelah masuk Islam dan menjadi mualaf, pada 13 Maret 1993 ia mengganti nama yang sudah diberikan orang tuanya. Dari Rusman Unri Surbakti menjadi Abdullah Hidayat Ramadhan. Hidayah dari Allah itu datang pada bulan Ramadhan karena itu nama tengah dan belakang memakai nama Hidayat Ramadhan.

Dicibir
Setelah beberapa saat memeluk Islam, teman-temannya segereja dulu mencibirnya. Mereka tak percaya, seorang aktivis gereja tiba-tiba pindah agama dan memeluk Islam. Mereka mengira, Rusman pindah agama karena perempuan.

Namun, setelah mengetahui kepindahannya bukan disebabkan ketertarikannya pada perempuan, namun karena keraguan Rusman terhadap agama yang dianutnya dulu, teman-temannya pun mengejeknya. Apalagi, setelah namanya berganti menjadi Abdullah, ia makin dijauhi. ''Mereka mungkin tidak membenci saya, tapi tetap saja menjauh,'' kata Rusman alias Abdullah.

Bagaimana sambutan keluarga? Sebulan setelah masuk Islam, Abdullah pulang ke kampung halamannya di Asahan, Sumatra Utara. Dia datang menjelang malam. Keluarga sedang makan malam bersama, sebuah tradisi keluarga besar mereka.

''Ah, si Rusman datang. Ayo, ayo, langsung makan,'' begitu abangnya menyambut kedatangannya. Di kursi yang mengelilingi meja besar itu, duduk ayah dan ibunya serta saudara-saudara sekandungnya. Mereka juga mengajak makan bersama.

''Alhamdulillah, saya sudah makan di jalan,'' jawabnya.
Hah? Ungkapan singkat itu membuat semua yang ada di ruangan tersebut menjadi terkejut. Abdullah memahami keterkejutan itu. Belum selesai keheranan mereka, Abdullah berkata lagi, ''Saya memang sudah pindah agama. Sekarang, saya seorang Muslim.''

Suasana menjadi tegang. Abangnya yang sulung terlihat paling geram. ''Apa-apaan ini? Kamu tidak tahu, itu lihat Iran dan Irak yang sama-sama Islam malah saling bunuh!''

Suasana makin panas, tensi meninggi. Brak! Tangan kanan abangnya menggebrak meja. ''Tidak ada itu pindah agama. Kamu ini gimana, sih ?''
''Saya tidak mau tahu. Saya yakin, Islam itu yang benar.'' Abdullah tak kalah lantang menjawabnya.
''Benar menurut kamu, belum tentu benar menurut kami,'' kata ayahnya.
''Ayah, saya sudah yakin dengan pilihan saya. Kalau ayah dan abang menyuruh saya mencabut keimanan saya, saya pilih mati!''

Suasana mendadak hening. Semua terdiam. Tensi ketegangan entah mengapa makin menyurut. Sesaat kemudian, ayahnya angkat bicara.

''Baiklah, kalau memang sudah begitu keputusanmu. Silakan jalan dengan keyakinanmu. Tapi, ada satu permintaan, jangan menjauh dengan keluarga ini,'' terang ayahnya.
''Islam tak membeda-bedakan, ayah. Jadi, aku pun tidak akan meninggalkan keluarga ini meskipun kita punya keyakinan yang berbeda,'' kata Abdullah.

Abdullah pun kemudian mendalami Islam secara giat. Bila dulu ia menjadi aktivis gereja, kini ia aktif di kegiatan keislaman. Di kawasan industri Batamindo, ia ditunjuk menjadi ketua majelis taklim gabungan Fastabiqul Khaerat . Lembaga ini menghimpun 14 majelis taklim di daerah itu. ed : sya


Dari TKI Menjadi Ustaz

Begitu masuk Islam, Abdullah Hidayat Ramadhan merasakan bahwa pemahamannya terhadap Islam masih kurang. Karena itu, atas berbagai pertimbangan, ia merasa perlu untuk merantau ke Jawa, belajar tentang Islam secara lebih mendalam, termasuk belajar Alquran secara baik dan benar. ''Saya belajar ke Yayasan Maarif di Blitar.''

Setahun belajar Islam di Blitar, Abdullah kembali ke Batam. Di sana, oleh teman-teman pengajian, Abdullah ditunjuk sebagai ketua seksi pembinaan mualaf. Tak berapa lama, karena kreativitasnya dalam menjalankan roda organisasi dan pengajian, Abdullah ditunjuk sebagai ketua majelis taklim gabungan Fastakibul Khaerat. Di Batam ini pula, dia menemukan jodohnya, seorang Muslimah.

Sekitar lima tahun memeluk Islam, dia merasa ada yang tidak pas dengan atmosfer keislaman di Tanah Air. Ada banyak kelompok yang masing-masing merasa paling benar sendiri. Dia trauma dengan agama sebelumnya yang juga banyak kelompok keagamaan. ''Saat itu, saya berpikir untuk mencari Islam ke sumbernya dan pilihannya tak lain adalah Arab Saudi.''

Abdullah memantapkan diri pergi Arab Saudi. Sebagai apa? TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Mobil pun dijual. Sebagian hasilnya untuk menambah uang saku ke Arab, sebagian lagi untuk kehidupan keluarganya. Maka, berangkatlah dia mencari ilmu agama Islam, langsung ke sumbernya di Makkah pada Juli 2000.

Sampai di Arab, dia dipekerjakan sebagai sopir di Jeddah. Tapi, baru sekitar empat bulan, dia bentrok dengan majikannya. Ia menilai, majikannya itu telah melecehkan martabatnya sebagai manusia. ''Saya keluar dari pekerjaan itu. Konsekuensinya, surat-surat saya ditahan oleh majikan.''

Untuk mengambil surat-surat itu, ia harus menebus dengan uang yang jika dijumlahkan sekitar Rp 200 juta. Uang sebesar itu bukan jumlah yang kecil. Karena itu, dia hidup menggelandang, mencari pekerjaan yang sifatnya gelap. Tujuh bulan hidup lontang-lantung di negeri orang.

Sampai-sampai pernah 'tinggal' di Masjidil Haram sekitar sepekan. Untuk makan, Abdullah mengandalkan sedekah dari pengunjung masjid. ''Saya kadang hidup dengan satu riyal sehari, cukup untuk beli roti Arab,'' kata Abdullah.

Ia pun berdoa, memohon dimudahkan dalam segala urusan. Ia pergi ke depan Ka'bah, menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Allah menjawab doanya. Beberapa orang anggota Kerukunan Keluarga Sumatra Utara (KKSU) di Arab Saudi meminjamkan uang untuk menebus surat-surat dan paspor agar dia menjadi sah (legal).

Sejak itu, Abdullah bisa bekerja secara legal dan tidak takut untuk dideportasi (meskipun sebelumnya dia memilih dideportasi karena benar-benar tidak punya uang untuk hidup).

Singkat cerita, Abdullah bekerja di Panitia Penyelengara Ibadah Haji (PPIH) di Arab Saudi, sebuah lembaga yang mengurus ibadah haji di bawah KBRI. ''Selama empat tahun saya bekerja di situ, akhirnya utang-utang kepada orang yang membantu saya untuk menebus paspor itu bisa lunas,'' kata Abdullah.

Ketika menjadi petugas haji, Abdullah secara otodidak terus mengembangkan wawasan keislamannya. Berbagai buku dia baca untuk menambah pengetahuan tentang Islam. Diskusi dengan ulama Arab Saudi tak pernah dilewatkan.

Pemahaman tentang Islam terus bertambah seiring dengan waktu. Hingga suatu saat, dia mengkritik cara kerja Departemen Agama dalam penyelenggaraan haji. ''Saya kamudian 'ditendang' dari PPIH.''

Keluar dari PPIH, Abdullah bekerja di travel Malaysia sebagai pemandu jamaah haji plus. Hanya setahun di situ, Abdullah pindah ke perusahaan travel Indonesia sebagai muthawwif. Kini, mantan aktivis Kristen itu menikmati kehidupan yang damai dan indah sebagai ustaz di Makkah.
 
Misionaris Bermimpi Bertemu Rasulullah saw

Nama saya Iselyus Uda, istri saya Maria Juana. Lima belas tahun saya menjadi penginjil di Kalimantan Tengah sampai akhirnya saya bertemu dengan seorang laki-laki dalam suatu mimpi.

Tidak pernah terbayang kalau kelak saya akan menginjakkan kaki di tanah haram yang dirindukan umat Islam. Bahkan tak pernah terpikir saya akan memeluk agama Islam yang tadinya saya benci. Sebab, sejak kecil saya dan istri biasa hidup di lingkungan adat yang sama sekali bertentangan dengan ajaran Islam.

Dulu, suku Dayak dikenal sebagai pengayau tengkorak manusia. Memburu kepala musuh, baik sesama suku maupun suku lain, merupa-kan pilar utama budaya dan kepercayaan kami lantaran kepala yang baru dipenggal sangat
penting bagi terciptanya kesejahteraan seisi kampung. Sementara tengkorak lama makin luntur kekuatan magisnya. Untuk itu, dibutuhkan perburuan terus menerus yang menyebabkan sering terjadinya peperangan, baik antar suku ataupun dengan masyarakat luar.

Jasa Penginjil

Sebetulnya agama Islam sudah tersiar di tanah Jawa sejak abad 15, terutama di Kutai dalam wilayah kerajaan Hindu Mulawarman yang kini termasuk Provinsi Kalimantan Timur. Namun masyarakat Dayak tidak tertarik untuk menganut agama Islam karena kami dilarang beternak babi atau berburu celeng dan memakan dagingnya. Islam juga melarang umat-nya memelihara anjing. Padahal, babi dan anjing sudah menyatu dengan kehidupan kami dan tidak mungkin terpisahkan dari upacara adat dan ritus-ritus nenek moyang.

Tak seorangpun penganjur Islam yang pernah memberitahu adanya keringanan-keringanan tentang najis anjing dan babi, serta tidak terlalu memaksa seseorang yang baru bersyahadat agar segera dikhitan. Seakan keringanan itu sengaja disembunyikan. Yang kami ketahui, kalau memeluk agama Islam kami harus meninggalkan adat-istiadat neneng moyang. Sedikit saja menyimpang dan tetap melaksanakan tradisi nenek moyang, kabarnya kami akan dituduh musyrik dan masuk neraka. Bukankah itu menyakitkan dan
mengerikan?

Berbeda dengan sikap penginjil, baik dari kalangan Katolik maupun Protestan. Mereka datang berduyun-duyun membawa hadiah, ilmu dan pengetahuan baru yang dapat mengubah cara hidup kami tanpa mengharu biru adat istiadat dan ritual nenek moyang. Mereka merambah ke kawasan-kawasan terpencil, perang antar suku tidak pernah terjadi lagi berkat jerih payah mereka. Kebiasaan mengayau kepala manusia sudah lama kami tinggalkan, juga agama asli. Dan hal itu terjadi tanpa memusnahkan upacara adat dan tradisi.

Misionaris Yang Sukses

Sungguh mereka banyak berbuat untuk suku Dayak, termasuk saya dan keluarga, yang sebagai pengikut Yesus dan Bunda Maria, segala kebutuhan
hidup kami selalu dipenuhi, oleh karena itu, untuk menanggung delapan
orang anak dan seorang istri, saya tidak pernah mengeluh walaupun saya
hanya sebagai penginjil Katolik.

Sudah tak terhitung banyaknya penduduk yang dapat saya ajak masuk gereja. Apalagi sejak saya dianugerahi amanat memimpin umat Katolik di desa Bangkal oleh gereja Sampit. Makin menggebu-gebu semangat saya untuk mengibarkan panji-panji sang juru selamat dan menegakkan palang salib di berbagai penjuru. Saya tanamkan iman Kristiani kepada masyarakat kecamatan Danau Sembuluh tanpa pandang bulu. Malah cita-cita saya tidak
saja menasranikan rakyat Sampit, ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur, melainkan juga seluruh pelosok Provinsi Kalimantan Tengah.

Tiga tahun saya menebarkan ayat-ayat Injil di mimbar gereja dan di berbagai persekutuan doa di desa Bangkal dan desa-desa lainnya. Kemudian saya dipercaya pula untuk mengumandangkan misi gereja di kecamatan Cempaga sejak tahun 1978.

Berkat kegigihan saya, hingga hampir segenap waktu saya tersita oleh kegiatan pelayanan rohani, bahkan saya berhasil mengajak umat dan semua pihak untuk bersama-sama membangun gereja yang cukup besar lengkap
dengan asramanya.

Keyakinan Fatamorgana

Dua tahun saya bekerja, memeras tenaga dan pikiran demi kejayaan agama Katolik melalui gereja yang saya dirikan. Sungguh bangga hati saya, sungguh mantap kaki saya. Namun dibalik kepuasan batin itu ada sesuatu yang terngiang-ngiang jauh di dasar sanubari saya. Entah mengapa dan darimana datangnya tuntutan itu, tidak pernah terungkap sama sekali. Yakni tanda tanya yang tak mampu saya jawab meskipun telah saya gali lewat firman-firman suci. Apakah betul jalan saya berasal dari Tuhan? Tidak kelirukah keyakinan saya itu?.

Kebimbangan tersebut betul-betul sangat menyiksa hidup saya dan mengusik
ketentraman batin. Seolah ada sebuah lubang pada diri saya yang tidak mampu saya tutupi, malah saya rasa makin lama makin dalam dan lebar, "Ya Tuhan, kalau Engkau Maha Kuasa dan Maha Penyayang, tunjukkanlah kebenaran yang sempurna" demikian ratap saya tiap malam tatkala suasana
sedang lengang dan kesunyian sedang mencekam sambil saya genggam rosario
kalung salib– erat-erat.

Saya menggapai-gapai bagaikan hampir tenggelam di tengah-tengah samudera
kehampaan. Saya berteriak nyaring di tengah gurun kesunyian. Saya merasa
ditinggalkan sendirian dalam sebuah lorong gelap dan pengap setelah seberkas cahaya yang tadinya saya jadikan pedoman kian buram dan hampir
padam. Saya merindukan sinar terang yang tidak menipu saya dengan bercak-bercak fatamorgana. Saya mendambakan jalan lurus menuju haribaan Tuhan yang sejati dan hakiki.

Mimpi yang menakjubkan

Tiba-tiba, pada suatu malam menjelang akhir Oktober 1980, ketika kesibukan untuk mengabarkan Injil mencapai puncaknya, saya didatangi mimpi yang sangat aneh. Seorang lelaki berjenggot rapi mengunjungi saya antara tidur dan jaga. Pundak saya ditepuk dan tangan kanan saya ditariknya. Saya menoleh, betapa takjub saya melihat sosok manusia yang begitu tampan dalam usia bayanya. Berpakaian serba putih dengan rambut berombak tertutup selembar kain halus yang juga berwarna putih, ia tampak sangat agung dan anggun. Saya merasa damai oleh pandangan dan senyumnya.

Dituntunnya saya menjelajahi hamparan tanah yang tandus menuju sebuah
gurun pasir yang luas dan gersang. Anehnya, meskipun matahari terik membakar, saya justru merasakan kesejukan yang indah dan menawan, seolah
gumpalan awan besar menaungi kami berdua.

Ketika tiba di suatu tempat yang asing dan sakral, ia mempersilakan saya masuk, saya melihat ribuan manusia bergerak mengelilingi sebuah bangunan berbentuk kubus sambil berlari-lari kecil, di antara mereka ada yang sedang bersujud dengan khusyu', banyak pula yang berebutan mencium batu hitam kebiruan yang menempel di dinding kubus itu, begitu saya datang, kerumunan manusia tadi menyibakkan diri memberikan kesempatan kepada saya untuk memeluk dan mencium batu berkilat itu sepuas hati. Amboi, alangkah harumnya, alangkah tenteramnya jiwa saya.

Setelah itu ia mengarak saya bersama berbagai awan ke tempat lain yang
pemandangannya amat berbeda, tetapi suasananya sama, penuh keagungan,
saya bertanya "Bangunan apa yang teduh ini?" Ia menjawab, "Ini yang
dinamakan Masjid Nabawi".

Sebagai penginjil saya pernah mengenal istilah itu, sebab mempelajari
agama-agama lain adalah modal untuk membeberkan kebenaran kami dan
membongkar kelemahan mereka. Oleh karena itu saya terkejut, mengapa saya
dibawa kemari?

"Gundukan tanah yang ditengah itu untuk apa?", kembali saya bertanya,
"Itu makam Nabi Muhammad". sahutnya.

Mendengar penjelasan itu sayapun makin kaget. Nabi Muhammad adalah pembawa ajaran Islam, ada hubungan apa dengan saya sampai saya diajaknya
berziarah ke situ? meski beribu kebingungan menyemak di hati, sekonyong-konyong, tanpa dimintanya saya bersimpuh di depan kuburan yang sederhana itu, Air mata saya menetes. Saya terharu walaupun tidak tahukenapa.

Betapa mulianya pemimpin kaum Muslimin itu yang pengikutnya ratusan juta orang, tetapi makamnya begitu bersahaja, yang ajarannya ditaati umatnya, namun kematiannya tidak boleh diratapi. Saya terpana sangat lama sehingga tatkala saya sadar kembali, lelaki yang mengantar saya tadi telah menghilang kedalam kuburan itu.

Panggilan hati

Saya ceritakan mimpi ini kepada istri dan anak-anak, mereka terkesima,
istri saya berkaca-kaca, saya tidak mengerti apa sebabnya. Barulah pada
malam harinya, ketika kami cuma berdua, ia berkata, "saya yakin itu bukan sekedar mimpi. Itu panggilan. Dan kita berdosa kepada Tuhan bilatidak mau mendatangi panggilan-Nya".
"Maksudmu?" saya tidak paham akan maksud istri saya.
"Kita tanya kepada orang yang ahli agama Islam. Siapakah lelaki baya yang mengajak abang itu, dan apa makna mimpi itu. Kalau memang benar merupakan panggilan Tuhan, berarti kita harus masuk Islam", jawab istri saya tanpa ragu-ragu.

Sayalah yang justru dilanda kebimbangan, terombang-ambing dalam iman Kristiani yang makin goyah. Apalagi tiap kali teringat akan salah satu surah al-Qur'an yang pernah saya pelajari,

"Tuhanmu adalah Allah yang Maha Tunggal, Yang Tidak Beranak dan Tidak
Diperanakkan
"

Saya ingin lari menghindari dengungan batin itu, namun keyakinan saya tak cukup kuat untuk menahan deburan ayat-ayat suci al-Qur'an. Untungnya pada tahun 1983 gereja Sampit memindahkan saya ke Medan di desa Resettlement untuk mengobarkan semangat Injil pada masyarakat setempat, saya terima dengan setengah hati sebab semangat Injil saya sedang meluntur ke titik paling rawan. Anehnya, saya merasa bahagia menerima keadaan itu, lebih-lebih ucapan istri saya yang tak pernah lenyap dari pendengaran saya. "Kalau mimpi itu merupakan panggilan Tuhan, kita berdosa jika tidak mendatangi-Nya. Kita harus masuk Islam".

Masuk Islam

Akhirnya, awal Maret 1990 saya sekeluarga mengunjungi KUA Mentawa Baru Ketapang, sesudah lebih dulu mendapat penjelasan dari seseorang yang saya percayai memiliki pengetahuan mendalam tentang agama Islam. Ia mengatakan bahwa lelaki dalam mimpi saya adalah Nabi Muhammad saw. Diterangkannya lebih lanjut bahwa tidak semua orang, termasuk kaum Muslimin, bisa memperoleh kehormatan bertemu dengan Nabi saw dalam mimpi. Dia meyakinkan saya bahwa mimpi itu bukan dusta, bukan kembang tidur. Sebab, Iblis tak sanggup menyerupai Nabi saw walaupun ia bisa menyamar sebagai Malaikat.

Itulah yang kian memantapkan tekad saya sekeluarga untuk memeluk ajaran Islam, maka dengan bimbingan Mahali, BA, kami mengucapkan dua kalimah syahadat disaksikan oleh para pendahulu kami, Arkenus Rembang dan Budiman Rahim, dari Kantor Departemen Agama Sampit. Nama saya Iselyus Uda diganti dengan Muhammad Taufik; istri saya menjadi Siti Khadijah.
Begitu pula kedelapan anak saya yang memperoleh nama baru yang diambilkan dari al-Qur'an. Sepulang dari upacara persaksian itu dada saya terasa sangat lapang dan dunia makin benderang. Tengah malam saya mengangkat kedua tangan dan menggumam, "Ya Tuhan, terpujilah nama-Mu, telah datang Kerajaan-Mu, kami bersyukur kepada-Mu, ya Allah, untuk anugerah kebenaran ini".

Menebus mimpi

Sejak hari paling bahagia itu saya mulai berangan-angan, kapankah pemandangan dalam mimpi saya dulu itu bisa terwujud. Saya merindukan tanah suci tempat kelahiran Nabi dan tempat makamnya, yaitu Makkah dan Madinah. Tanpa kuasa Allah SWT, rasanya mustahil terlaksana mengingat ekonomi saya tidak secerah semasa menjadi penginjil, akan tetapi saya tidak mengeluh. Memang pada segi materi terjadi penurunan, tetapi dari segi yang lain kehidupan kami bertambah makmur, sejahtera dan penuh berkah.

Kekurangan kami sedikit, kami anggap biasa, itulah ujian iman. Materi bukanlah segala-galanya yang penting anak-anak dapat melanjutkan sekolah
mereka dan kebutuhan sehari-hari kami tercukupi. Adapun hidup lebih bukanlah tujuan utama. Buat kami sudah puas dengan kaya di hati dan rezeki yang halal.

Saya tidak tahu apakah keikhlasan itu diterima Tuhan, ataukah lantaran sudah tertulis dalam takdir-Nya bahwa saya sekeluarga harus menjadi muslim dan muslimat yang kuat. Peristiwa yang terjadi dua pekan setelah kami masuk Islam membuat saya makin bersyukur kepada Allah SWT, yaitu ketika Kakandepag Kotawaringin Timur, Drs. H. Wahyudi A. Ghani, bertamu ke rumah saya di Desa Resettlement. Ia tidak hanya bertandang, tetapi mengantarkan tebusan mimpi.

Ia mengabarkan bahwa Menteri Agama, H. Munawir Syadzali, MA, menaruh simpati kepada saya dan berkenan memberangkatkan kami suami istri untuk menjalani ibadah umrah. Subhanallah, alangkah Akbarnya Engkau, alangkah luas kasih sayang Engkau. Sungguh saya tidak mampu menggoreskan pena
atau menggerakkan lidah guna menggambarkan kegembiraan dan kebahagiaan
saya.

Tidak bisa lain yang menggugah hati Menteri Agama, pasti Allah Yang Maha
Kuasa. Tanpa kehendak-Nya mana mungkin seorang menteri memperhatikan
seorang warga desa terpencil di Kalimantan Tengah ini, padahal kegiatannya selaku menteri tidak kepalang sibuknya. Saya dan istri langsung sujud syukur di hadapan Allah SWT. Kamipun berangkat ketanah suci tahun 1991.

Akhirnya, kami kesampaian mewujudkan pemandangan dalam mimpi dengan
melaksanakan thawaf mengelilingi Ka'bah, menunaikan sa'i antara bukit Shafa dan Marwah, serta berziarah ke makam Nabi Muhammad saw.

Agaknya doa kami di tempat-tempat mustajab di Makkah dan Madinah mulai
dikabulkan-Nya. Sekembalinya dari tanah suci ada seorang hartawan yang
tidak ingin disebut namanya, mewakafkan sebidang tanah kepada saya.

Saya berniat menghabiskan sisa umur saya untuk menebus dosa-dosa pada
masa silam tatkala lima belas tahun lamanya saya bekerja keras memurtadkan umat Islam dan merayu banyak orang agar mengikuti keyakinan saya kala itu.

Ihdinashshirathal mustaqim.

catatan :
Kebanyakan sumber permasalahan adalah cara berkomunikasi!!
 
Assalammualaikum

wih...cerita yang bagus...salut....dapetnya cerita darimana mas Arcala? saya ya pernah tinggal di KalTim..disana memang banyak orang dayak yang menganut agama nasrani..semoga dengan kita mengetahui kesalahan dakwah kita seperti yang dikatakan dalam cerita diatas kita dapat memperbaikinya.

saya tidak mengatakan kita harus merubah agama agar mudah diterima warga atau menyogok makanan agar mereka berbondong2 datang....tetapi kita harus bisa meyakinkan mereka bahwa Allah SWT adalah yang esa, yang paling awal dan yang paling akhir, yang tidak ber anak dan tidak pula di per anakkan, hal tersebut dapat kita laksanakan bila kita memiliki Ilmu yang luas....semoga membantu dan semoga Allah SWT selalu melindungi mereka yang berjuang di jalannya...amin

wassalam
 
Ingrid Mattson - Filsuf, Guru Besar (USA)

Ingrid Mattson, Mengenal Islam Melalui Seni

20091207174234.jpg

Nama Ingrid Mattson sempat menjadi topik pembicaraan hangat di berbagai media Barat ketika namanya masuk dalam daftar salah satu tokoh yang diundang pada inaugurasi Barack Obama setelah kandidat Presiden Amerika Serikat (AS) dari Partai Demokrat itu menang dalam pemilu.

Sebagaimana dilansir kantor berita Associated Press (AP), Mattson yang menjabat presiden Komunitas Islam Amerika Utara (ISNA) merupakan salah satu pemimpin agama yang akan berbicara pada acara doa yang digelar di Cathedral Nasional di Washington DC sehari setelah pelantikan Obama sebagai presiden AS ke-44. Undangan yang ditujukan kepada Mattson ini menuai kontroversi publik Amerika. Sebab, yang bersangkutan dicurigai jaksa federal terkait dengan jaringan teroris. Seperti diketahui, pada Juli 2007, jaksa federal di Dallas, mengajukan tuntutan kepada ISNA karena diduga memiliki jaringan dengan Hamas organisasi Islam di Palestina yang dikelompokkan Pemerintah AS sebagai organisasi teroris.

Namun, baik Mattson maupun organisasinya tidak pernah dihukum. Jaksa hanya menyatakan memiliki bukti-bukti dan kesaksian yang dapat menghubungkan kelompok tersebut ke Hamas dan jaringan radikal lainnya. Sebelumnya, Muslimah kelahiran Kanada tahun 1963 ini juga pernah membuat kejutan dengan melakukan pertemuan dengan pejabat tinggi Pentagon selama pemerintahan Bush. Dia juga hadir pada misa Konvensi Nasional Partai Demokrat di Denver saat Obama mencalonkan diri sebagai presiden.

Pemerintah AS dan ISNA sebenarnya memiliki hubungan kerja sama yang baik. Kelompok tersebut memberikan latihan agama kepada Biro Penyelidik Federal (FBI). Karen Hughes, orang kepercayaan Bush, mengatakan bahwa Mattson sebagai pemimpin yang hebat dan panutan bagi banyak orang. Mattson adalah seorang profesor studi Islam di Hartford Seminary di Hartford, Connecticut.

Ia memperoleh gelar sarjana dalam bidang filsafat dari Universitas Waterloo, Ontario, pada 1987. Sementara gelar PhD pada studi Islam ia peroleh dari Universitas Chicago pada 1999. Penelitiannya mengenai Hukum Islam dan Masyarakat. Selama kuliah di Chicago, ia banyak terlibat pada kegiatan komunitas Muslim lokal.

Ia duduk dalam jajaran Direktur Universal School di Bridgeview dan anggota komite Interfaith Committee of the Council of Islamic Organizations of Greater Chicago. Mattson juga pernah menetap di Pakistan dan bekerja sebagai pekerja sosial bagi pengungsi wanita Afghanistan selama kurun waktu 1987-1988. Pada 1995, ia ditunjuk sebagai penasihat bagi delegasi Afghanistan untuk PBB bagi Komisi yang membidangi Status Perempuan.

Saat bekerja di kamp pengungsi di Pakistan inilah ia bertemu dengan pria yang kini menjadi suaminya, Amer Aetak, seorang insinyur dari Mesir. Dari pernikahan mereka, pasangan ini dikaruniai seorang anak perempuan bernama Soumayya dan satu orang anak laki-laki bernama Ubayda.

Meski saat ini banyak berkecimpung dalam kegiatan keagamaan dan menjabat sebagai Presiden ISNA, sebuah organisasi berbasiskan komunitas Muslim terbesar di AS, namun Mattson kecil tumbuh dan besar dalam lingkungan Kristen di Kitchener, Ontario, Kanada. Ayahnya adalah seorang pengacara pidana, sementara ibunya bekerja di rumah membesarkan ketujuh anaknya.

Mattson berhenti pergi ke gereja pada usia 16 tahun dengan alasan tidak bisa lagi percaya dengan apa yang diajarkan oleh gereja. Saat menimba ilmu di Universitas Waterloo, ia mempelajari seni dan filsafat, yang dinilainya menekankan kebebasan seseorang untuk memilih.

''Setahun sebelum saya masuk Islam, saya banyak menghabiskan waktu saya mencari dan melihat hal-hal yang berhubungan dengan seni. Saat mengikuti pendidikan bidang filsafat dan seni rupa, saya duduk berjam-jam dalam ruang kelas yang gelap untuk melihat dan mendengarkan penjelasan profesor saya melalui infokus proyektor, beliau menjelaskan tentang kehebatan hasil karya Seni Barat,'' paparnya seperti dikutip dari situs whyislam.org.

Wajah Islam
Saat di Waterloo ini, ia sempat bekerja pada bagian Departemen Seni Rupa, yang salah satu tugasnya mempersiapkan slide dan katalog seni. Karenanya setiap kali masuk ke perpustakaan, menurut Mattson, ia selalu mengumpulkan buku-buku seni sejarah. Dan untuk mendapatkan bahan-bahan guna keperluan pembuatan katalog seni, ia terpaksa harus pergi ke museum yang ada di Toronto, Montreal, dan Chicago.

Bahkan, ia harus merelakan masa liburan musim seminya dihabiskan di dalam Museum Louvre yang berada di tengah Kota Paris. Saat berada di Paris inilah untuk kali pertama dalam hidupnya Mattson berjumpa dengan seorang Muslim. Ia menyebut momen tersebut sebagai 'the summer I met Muslims'.

''Saya selalu terkenang akan peristiwa ini,'' ungkapnya. Apa yang dicarinya selama ini, ungkap Mattson, hanya berkaitan dengan semua karya seni yang tergambar dalam bentuk visual. Peradaban Barat memang dikenal memiliki tradisi menggambarkan sesuatu dalam bentuk visual, termasuk penggambaran mengenai keberadaan Tuhan.

''Kita banyak membuat kesalahan dengan berpikir bahwa melihat berarti mengenali, dan semakin terekspose seseorang itu, maka semakin pentinglah orang tersebut.'' Namun, akhir dari pencariannya tentang seni telah membawa Mattson bertemu dengan dua orang seniman, laki-laki dan perempuan, yang tidak membuat patung dan lukisan sensual tentang Tuhan. ''Mereka telah mengenali Tuhan dengan cara yang berbeda, menghargai pemimpin, dan menghargai hasil kerja seorang wanita.''

Gambaran mengenai Islam yang ia dapatkan dari kedua orang teman barunya ini, membawa Mattson pada pengenalan wajah Islam yang semakin baik. Ia menyatakan, peradaban Islam tidak menganut sistem penggambaran sesuatu dalam bentuk visual di dalam mengingat dan Memuji Tuhan dan menghargai seorang Nabi.

''Allah adalah sesuatu yang tersembunyi. Tersembunyi dalam pantulan mata umat manusia. Tetapi, orang yang memiliki penglihatan dapat mengenali Tuhannya dengan melihat, mempelajari pengaruh dari kekuatan ciptaan-Nya.'' Selain penggambaran terhadap Tuhan, umat Islam juga melarang penggambaran terhadap semua Nabi Allah.

Umat Islam hanya menuliskan nama mereka dalam bentuk kaligrafi. Kata-kata, tulisan, dan ucapan serta akhlak mulia dalam kehidupan merupakan media utama bagi Muhammad di dalam menyebarkan pengaruhnya ke seluruh umatnya. Dari sinilah kemudian Mattson mulai tertarik untuk mempelajari keyakinan yang dianut oleh kedua temannya yang asal Senegal ini.

Ia pun mulai menggali tentang ketuhanan dan kepribadian Muhammad melalui Alquran terjemahan. Setelah banyak mempelajari lebih jauh mengenai Islam dari Alquran, Mattson akhirnya menyadari dan yakin adanya Allah. ''Pilihan-pilihan Anda mencerminkan siapa diri Anda. Meski ada keterbatasan, tapi selalu tersedia kesempatan untuk memilih yang terbaik,'' katanya.

Yang membuatnya semakin tertarik dengan Islam adalah semua umat Muhammad tidak hanya mengikutinya dalam hal beribadah, tetapi juga di dalam semua aspek kehidupan, mulai dari kebersihan diri sampai pada cara bersikap terhadap anak-anak dan tetangga. Semua perbuatan, perkataan, dan perilaku Nabi SAW inilah yang disebut dengan sunah.

Dan pengaruh Sunah Nabi Muhammad tersebut telah tergambar pada kehidupan para orang tua, muda, kaya, miskin, yang menjadikannya sebagai suri teladan bagi semua pengikutnya. ''Pertama kali saya menyadari pengaruh fisik dari Sunah Nabi Muhammad pada generasi muda Muslim adalah ketika suatu hari saya duduk di masjid, menyaksikan anak saya yang berumur 9 tahun shalat di samping guru mengajinya. Ubayda duduk di samping guru dari Arab Saudi yang dengan tekun dan lembut mengajarinya sehingga membuatnya sangat respek dan hormat,'' tuturnya.


Islam itu Suka Berbagi

Perkenalan Ingrid Mattson tentang Islam makin berkembang saat ia berkunjung ke sejumlah negara yang mayoritas berpenduduk Muslim.

Beberapa peristiwa yang dia temui di negaranegara tersebut, diakui Mattson, makin mempertebal keyakinannya terhadap Islam. Lebih setahun, dalam perjalanannya ke negara-negara Muslim ini ia menyaksikan kesamaan keinginan untuk berbagi dan selalu saling memberi antara sesama serta kesamaan keyakinan yang mendalam.

''Makanan untuk dua orang cukup untuk tiga orang dan makanan untuk tiga orang cukup untuk empat orang,'' jelasnya sambil mengutip hadis Nabi SAW.

Salah satunya adalah ketika ia mengunjungi Kosovo. Selama serangan Serbia ke Kosovo, banyak Muslim Albania yang menyediakan rumah mereka untuk para peng ungsi. Bahkan, satu orang memasak setiap harinya untuk 20 orang dalam rumah yang sederhana.

Begitu juga ketika ia menikah di Pakistan. Sebagai pekerja sosial pada kamp pengungsian, Mattson dan suami tidak memiliki cukup uang. Sekembalinya dari pernikahan ke kamp pengungsian, para wanita Afghanistan bertanya kepadanya tentang pakaian, perhiasan emas, cincin kawin, dan kalung emas yang diberikan oleh suami kepadanya sebagai mahar.

''Saya perlihatkan kepada mereka cincin emas sederhana dan saya ceritakan tentang baju pengantin yang saya pinjam untuk menikah. Wajah mereka langsung berubah menunjukan perasaan sedih dan simpati.

''Seminggu setelah peristiwa itu, saat ia sedang duduk di depan tenda kamp pengungsi yang berdebu, para wanita Afghanistan tersebut muncul lagi. Mereka datang menemuinya dengan membawa celana biru cerah terbuat dari satin dengan hiasan emas, sebuah baju berlengan merah dengan warna-warni dan scarfwarna biru yang tampak serasi dengan pakaian, sebagai hadiah per -nikahan.

''Semua yang saya lihat adalah hadiah pernikahan yang tak ternilai bagi saya, bukan saja dukungan mereka, tetapi pelajaran keikhlasan dan rasa empati yang mereka berikan yang merupakan buah yang sangat manis dari sebuah keyakinan yang benar"
 
Muhammad Abdullah (d/h Alexander Pertz) : Kisah Islamnya Bocah Amerika

Muhammad Abdullah (d/h Alexander Pertz)
Kisah Islamnya Bocah Amerika

Rasulullah saw bersabda:
Setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi.”
(HR. Bukhari)


2quq99f.jpg

Kisah bocah Amerika ini tidak lain adalah sebuah bukti yang membenarkan hadits tersebut di atas. Alexander Pertz dilahirkan dari kedua orang tua Nasrani pada tahun 1990 M. Sejak awal ibunya telah memutuskan untuk membiarkannya memilih agamanya jauh dari pengaruh keluarga atau masyarakat. Begitu dia bisa membaca dan menulis maka ibunya menghadirkan untuknya buku-buku agama dari seluruh agama, baik agama langit atau agama bumi.

Setelah membaca dengan mendalam, Alexander memutuskan untuk menjadi seorang muslim. Padahal ia tak pernah bertemu muslim seorangpun.

Dia sangat cinta dengan agama ini sampai pada tingkatan dia mempelajari sholat, dan mengerti banyak hukum-hukum syar’i, membaca sejarah Islam, mempelajari banyak kalimat bahasa Arab, menghafal sebagian surat, dan belajar adzan.

Semua itu tanpa bertemu dengan seorang muslimpun. Berdasarkan bacaan-bacaan tersebut dia memutuskan untuk mengganti namanya yaitu Muhammad ’Abdullah, dengan tujuan agar mendapatkan keberkahan Rasulullah saw yang dia cintai sejak masih kecil.

Salah seorang wartawan muslim menemuinya dan bertanya pada bocah tersebut. Namun, sebelum wartawan tersebut bertanya kepadanya, bocah tersebut bertanya kepada wartawan itu, ”Apakah engkau seorang yang hafal Al Quran ?”

Wartawan itu berkata: ”Tidak”. Namun sang wartawan dapat merasakan kekecewaan anak itu atas jawabannya.

Bocah itu kembali berkata , ”Akan tetapi engkau adalah seorang muslim, dan mengerti bahasa Arab, bukankah demikian ?”. Dia menghujani wartawan itu dengan banyak pertanyaan. ”Apakah engkau telah menunaikan ibadah haji ? Apakah engkau telah menunaikan ’umrah ? Bagaimana engkau bisa mendapatkan pakaian ihram ? Apakah pakaian ihram tersebut mahal ? Apakah mungkin aku membelinya di sini, ataukah mereka hanya menjualnya di Arab Saudi saja ? Kesulitan apa sajakah yang engkau alami, dengan keberadaanmu sebagai seorang muslim di komunitas yang bukan Islami ?”

Setelah wartawan itu menjawab sebisanya, anak itu kembali berbicara dan menceritakan tentang beberapa hal berkenaan dengan kawan-kawannya, atau gurunya, sesuatu yang berkenaan dengan makan atau minumnya, peci putih yang dikenakannya, ghutrah (surban) yang dia lingkarkan di kepalanya dengan model Yaman, atau berdirinya di kebun umum untuk mengumandangkan adzan sebelum dia sholat. Kemudian ia berkata dengan penuh penyesalan, ”Terkadang aku kehilangan sebagian sholat karena ketidaktahuanku tentang waktu-waktu sholat.”

Kemudian wartawan itu bertanya pada sang bocah, ”Apa yang membuatmu tertarik pada Islam ? Mengapa engkau memilih Islam, tidak yang lain saja ?” Dia diam sesaat kemudian menjawab.

Bocah itu diam sesaat dan kemudian menjawab, ”Aku tidak tahu, segala yang aku ketahui adalah dari yang aku baca tentangnya, dan setiap kali aku menambah bacaanku, maka semakin banyak kecintaanku”.

Wartawab bertanya kembali, ”Apakah engkau telah puasa Ramadhan ?”

Muhammad tersenyum sambil menjawab, ”Ya, aku telah puasa Ramadhan yang lalu secara sempurna. Alhamdulillah, dan itu adalah pertama kalinya aku berpuasa di dalamnya. Dulunya sulit, terlebih pada hari-hari pertama”. Kemudian dia meneruskan : ”Ayahku telah menakutiku bahwa aku tidak akan mampu berpuasa, akan tetapi aku berpuasa dan tidak mempercayai hal tersebut”.

”Apakah cita-citamu ?” tanya wartawan

Dengan cepat Muhammad menjawab, ”Aku memiliki banyak cita-cita. Aku berkeinginan untuk pergi ke Makkah dan mencium Hajar Aswad”.

”Sungguh aku perhatikan bahwa keinginanmu untuk menunaikan ibadah haji adalah sangat besar. Adakah penyebab hal tersebut ?” tanya wartawan lagi.

Ibu Muhamad untuk pertama kalinya ikut angkat bicara, dia berkata : ”Sesungguhnya gambar Ka’bah telah memenuhi kamarnya, sebagian manusia menyangka bahwa apa yang dia lewati pada saat sekarang hanyalah semacam khayalan, semacam angan yang akan berhenti pada suatu hari. Akan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa dia tidak hanya sekedar serius, melainkan mengimaninya dengan sangat dalam sampai pada tingkatan yang tidak bisa dirasakan oleh orang lain”.

Tampaklah senyuman di wajah Muhammad ’Abdullah, dia melihat ibunya membelanya. Kemudian dia memberikan keterangan kepada ibunya tentang thawaf di sekitar Ka’bah, dan bagaimanakah haji sebagai sebuah lambang persamaan antar sesama manusia sebagaimana Tuhan telah menciptakan mereka tanpa memandang perbedaan warna kulit, bangsa, kaya, atau miskin.

Kemudian Muhammad meneruskan, ”Sesungguhnya aku berusaha mengumpulkan sisa dari uang sakuku setiap minggunya agar aku bisa pergi ke Makkah Al-Mukarramah pada suatu hari. Aku telah mendengar bahwa perjalanan ke sana membutuhkan biaya 4 ribu dollar, dan sekarang aku mempunyai 300 dollar."

Ibunya menimpalinya seraya berkata untuk berusaha menghilangkan kesan keteledorannya, ”Aku sama sekali tidak keberatan dan menghalanginya pergi ke Makkah, akan tetapi kami tidak memiliki cukup uang untuk mengirimnya dalam waktu dekat ini."

”Apakah cita-citamu yang lain ?” tanya wartawan.

“Aku bercita-cita agar Palestina kembali ke tangan kaum muslimin. Ini adalah bumi mereka yang dicuri oleh orang-orang Israel (Yahudi) dari mereka.” jawab Muhammad

Ibunya melihat kepadanya dengan penuh keheranan. Maka diapun memberikan isyarat bahwa sebelumnya telah terjadi perdebatan antara dia dengan ibunya sekitar tema ini.

Muhammad berkata, ”Ibu, engkau belum membaca sejarah, bacalah sejarah, sungguh benar-benar telah terjadi perampasan terhadap Palestina."

”Apakah engkau mempunyai cita-cita lain ?” tanya wartawan lagi.

Muhammad menjawab, “Cita-citaku adalah aku ingin belajar bahasa Arab, dan menghafal Al Quran.”

“Apakah engkau berkeinginan belajar di negeri Islam ?” tanya wartawan

Maka dia menjawab dengan meyakinkan : “Tentu"

”Apakah engkau mendapati kesulitan dalam masalah makanan ? Bagaimana engkau menghindari daging babi ?”

Muhammad menjawab, ”Babi adalah hewan yang sangat kotor dan menjijikkan. Aku sangat heran, bagaimanakah mereka memakan dagingnya. Keluargaku mengetahui bahwa aku tidak memakan daging babi, oleh karena itu mereka tidak menghidangkannya untukku. Dan jika kami pergi ke restoran, maka aku kabarkan kepada mereka bahwa aku tidak memakan daging babi."

”Apakah engkau sholat di sekolahan ?”

”Ya, aku telah membuat sebuah tempat rahasia di perpustakaan yang aku shalat di sana setiap hari” jawab Muhammad

Kemudian datanglah waktu shalat maghrib di tengah wawancara. Bocah itu langsung berkata kepada wartawan,”Apakah engkau mengijinkanku untuk mengumandangkan adzan ?”

Kemudian dia berdiri dan mengumandangkan adzan. Dan tanpa terasa, air mata mengalir di kedua mata sang wartawan ketika melihat dan mendengarkan bocah itu menyuarakan adzan.
 
wow anak amerika islam? keren",

semoga tambah banyak yang beragama Islam/no1
 
Alhamdullilah, semoga semakin banyak lagi anak2 yg memeluk Islam di muka bumi ini..

Amien..
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.