• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Seputar Aliran Sesat

arcala

IndoForum Beginner A
No. Urut
89881
Sejak
20 Jan 2010
Pesan
1.120
Nilai reaksi
71
Poin
48
AHMADIYAH, KEKUFURAN YANG DIKEMAS ISLAM

Ahmadiyah adalah agama baru yang muncul pada akhir abad kesembilan belas Masehi, di Qodiyan, Punjab, India. Agama ini didukung dan dilindungi oleh penjajah Inggris.

Pendiri agama Ahmadiyah adalah Mirza Ghulam Ahmad Al-Qodiyani, lahir 1265 H. Mirza semula adalah seorang da'i muslim. Kemudian ia mengaku bahwa dirinya telah menerima wahyu dari Allah. Pada tahap berikutnya, ia mengaku sebagai Al-Mahdi yang ditunggu dan Al-Masih yang dijanjikan.

Mengenai hal ini, ia mengatakan, "Orang-orang muslim dan orang-orang Kristen memiliki keyakinan yang mirip bahwa Al-Masih putra Maryam telah diangkat jasad fisiknya ke langit, dan di kemudian hari ia akan turun kembali. Saya sudah menjelaskan bahwa ini merupakan keyakinan yang salah. Yang dimaksud turunnya Al-Masih ini bukan benar-benar ia akan turun kembali. Ia merupakan berita yang menggunakan bahasa kiasan tentang datangnya seseorang seperti Al-Masih, dan berdasarkan wahyu, dirikulah bukti kebenaran berita itu".

Selanjutnya, pengakuannya berubah lagi. Ia tidak lagi mengaku sebagai orang yang seperti Al-Masih, melainkan Al-Masih itu sendiri. Ia mengatakan, "Aku inilah Isa yang ditunggu-tunggu. Yang dimaksud Maryam dan Isa dalam wahyu tidak ada lain selain diriku".

Karena Isa adalah seorang Nabi yang mendapat wahyu, Mirza menulis sebuah Quran untuk dirinya sendiri. Ia menamai qurannya dengan Al-Kitab Al-Mubin. Ia mengatakan : "Aku di atas petunjuk Tuhan Yang Maha Memberi. Allah telah mengutusku di permulaan abad, untuk memperbarui agama, menerangi wajah agama, mematahkan salib, dan memadamkan api agama Nasrani. Allah telah memberikan wahyu dan ilham kepadaku serta telah berbicara kepadaku sebagaimana Dia telah berbicara kepada para rasul mulia".

Tampaknya, pengakuannya sebagai Al-Masih tidak mendapat sambutan seperti diharapkan. Tujuan yang diinginkannya tidak tercapai. Akhirnya, ia beralih mengaku sebagai Nabi Muhammad saw. serta bahwa hakekat Muhammad telah berinkarnasi kepada dirinya serta bahwa Nabi Muhammad saw. telah dibangkitkan sekali lagi dalam sosok Mirza Ghulam Ahmad. Mirza mengatakan, "Allah telah menurunkan Muhammad saw. sekali lagi di Qodiyan untuk memenuhi janji-Nya".

Kemudian ia mengaku bahwa kenabiannya lebih tinggi dari kenabian Muhammad saw. Maka, ia memperoleh pengikut-pengikut dari kalangan orang-orang bodoh atau mereka yang menginginkan keuntungan duniawi.

BEBERAPA CONTOH KESALAHANNYA

Mirza telah membuat pengakuan dahsyat seperti itu, sayangnya ia seorang bodoh dan kotor ucapannya. Ia melontarkan makian yang sangat kotor terhadap musuh-musuhnya!

Pengakuan bahwa dirinya menerima wahyu didasarkannya pada beberapa potongan ayat Al-Quran yang dihimpunnya menjadi satu, yang menunjukkan rendahnya pemahamannya terhadap Al-Quran. Berikut ini beberapa contoh dari apa yang di-klaim-nya sebagai wahyu.

Dia mengatakan :
"Baru saja aku menerima wahyu, ketika aku memberi komentar terhadap hasyiyah ini, bunyinya :

" يا أحمد بارك الله فيك، وما رميت إذ رميت ولكن الله رمى . الرحمن علم القرآن، لتنذر قوما ما أنذر آباؤهم، ولتستبين سبيل المجرمين، قل إني أمرت وأنا أول المؤمنين ، قل جاء الحق وزهق الباطل إن الباطل كان زهوقا..."

"Wahai Ahmad, Allah telah memberkatimu. Tidaklah engkau memanah, pada saat memanah, akan tetapi Allah lah yang memanah. Ar-Rohmân yang telah mengajarkan Al-Quran, agar engkau memberi peringatan satu bangsa yang nenek moyang mereka belum pernah diberi peringatan dan agar supaya menjadi jelas jalan orang-orang yang berdosa. Katakan : aku diperintah sedangkan aku adalah yang pertama-tama beriman. Katakan : telah datang kebenaran dan telah musnah kebatilan, sesungguhnya kebatilan itu pasti musnah…dst."​

Ia juga mengatakan :

" ووالله إنه ظل فصاحة القرآن ليكون آية لقوم يتدبرون . أتقولون سارق فأتوا بصفحات مسروقة كمثلها في التزام الحق والحكمة إن كنتم تصدقون " !!

"Demi Allah, kefashihan Al-Quran telah menjadi bukti bagi orang-orang yang mau berfikir dengan mendalam. Apakah kalian mengatakan : pencuri!, maka datangkanlah lembaran-lembaran curian yang seperti itu yang selalu berada dalam kebenaran dan kebijaksanaan jika kalian orang-orang yang benar!"​

Mirza juga menyampaikan banyak nubuwat, dan nubuwat-nubuwatnya itu sangat cepat terbukti kebohongannya. Salah satunya, suatu ketika ia berdebat dengan seorang Nasrani yang berhasil mengalahkannya. Ketika Mirza tidak mampu mengemukakan jawaban, maka ia murka kepada orang Nasrani itu. Namun, ia ingin menghapus aib kekalahannya. Ia pun mengatakan bahwa orang Nasrani itu akan mati –jika tidak mau bertobat- lima belas bulan kemudian, berdasarkan wahyu yang diterimanya. Maka, tibalah waktu yang ditetapkan dalam nubuwatnya itu, tetapi si Nasrani tidak mati. Maka, para pengikut Ahmadiyah mengatakan bahwa orang Nasrani tadi telah bertobat. Namun, justru sebaliknya, ketika orang Nasrani itu mendengar pernyataan para pengikut Ahmadiyah, ia membuat tulisan yang mendustakan pernyataan mereka dan serta membanggakan kebenaran agama Nasrani yang dianutnya.

Mirza juga pernah mengklaim bahwa wabah Tho'un tidak mungkin memasuki wilayah Qodiyan, selama ia berada di dalamnya, walaupun wabah itu menimpa selama tujuh puluh tahun. Namun, Allah menunjukkan kedustaan ucapannya. Allah bahkan mengirimkan wabah Tho'un ke wilayah Qodiyan dan membunuh banyak penduduknya. Mirza sendiri salah satu yang terserang wabah ini dan tewas karenanya. Padahal, ia mengaku menerima wahyu sebagai berikut :

وآية له أن الله بشره بأن الطاعون لا يدخل داره، وأن الزلازل لا تهلكه وأنصاره، ويدفع الله عن بيته شرهما ".

"Salah satu bukti kenabiannya adalah bahwa Allah telah memberinya kabar gembira bahwa wabah Tho`un tidak akan memasuki negerinya, gempa bumi tidak akan membinasakannya dan para pengikutnya. Allah akan mencegah bahaya keduanya dari rumahnya".​

BEBERAPA KEYAKINAN AHMADIYAH
  1. Para penganut Ahmadiyah memiliki keyakinan reinkarnasi, di mana Mirza mengatakan bahwa Ibrahim as. Dilahirkan kembali 2500 tahun kemudian di rumah Abdullah bin Abdul Muthalib, dalam tubuh Nabi Muhammad saw. Kemudian Nabi Muhammad saw. dibangkitkan dua kali lagi, salah satunya ketika esensi diri Muhammad itu menempati jasad sang pengikut sempurna, maksudnya dirinya.
  2. Mereka berkeyakinan bahwa Allah itu berpuasa dan shalat, tidur dan bisa salah. Mahasuci Allah dari sifat-sifat buruk yang mereka katakan. Mirza mengatakan :

    Allah berfirman kepadaku : "Sesungguhnya Aku juga melakukan shalat, puasa, bangun, dan tidur".

    Allah juga berfirman: "Aku bersama Rasul, menjawab, bersalah atau benar. Sesungguhnya Aku bersama Rasul Maha Meliputi".
  3. Mereka berkeyakinan bahwa kenabian itu tidak diakhiri dengan Muhammad saw., melainkan tetap berlaku. Allah mengutus para rasul sesuai dengan kebutuhan serta bahwa Ghulam Ahmad adalah nabi yang paling utama, serta bahwa Jibril menurunkan wahyu kepada Ghulam Ahmad serta bahwa ilham-ilham yang diterimanya setara dengan Al-Quran.
  4. Mereka mengatakan bahwa tidak ada Al-Quran selain yang telah dibawa oleh Al-Masih yang dijanjikan, yaitu Ghulam, tidak ada hadits kecuali yang ada dalam kerangka ajaran-ajarannya, serta tidak ada nabi kecuali di bawah kepemimpinan Ghulam Ahmad. Mereka meyakini bahwa kitab mereka diturunkan dari langit, namanya Al-Kitab Al-Mubin, ia berbeda dari Al-Quranul Karim.
  5. Mereka meyakini bahwa mereka adalah para pengikut agama baru yang independen, dengan syariat yang independen, bahwa para sahabat Ghulam sebagaimana para sahabat Nabi. Hal ini disebutkan dalam sahifah Al-Fadhl, milik mereka, edisi 92 : "Tidak ada perbedaan antara para sahabat Nabi saw. dengan murid-murid Mirza Ghulam Ahmad. Para sahabat Nabi adalah tokoh-tokoh pada kebangkitan pertama, sedangkan murid-murid Mirza adalah para tokoh kebangkitan kedua".
  6. Mereka berkeyakinan bahwa Haji Akbar adalah berhaji ke Qodiyan dan menziarahi kubur Al-Qodiyani. Mereka menyatakan bahwa kota suci ada tiga, yaitu : Mekah, Madinah, dan Qodiyan. Dalam salah satu sahifah mereka dinyatakan :

    "Berhaji ke Mekah tanpa berhaji ke Qodiyan adalah haji yang kering kerontang. Karena berhaji ke Mekah tidak tidak menunaikan risalahnya dan tidak memenuhi tujuannya".
  7. Mereka menghalalkan miras, opiom, dan nakoba.
  8. Semua muslim menurut mereka adalah kafir, kecuali yang masuk ke dalam golongan Ahmadiyah. Barangsiapa yang menikahi atau menikahkan anaknya dengan selain pengikut Ahmadiyah, maka ia orang yang kafir.
  9. Mereka menyerukan penghapusan syariat jihad serta kewajiban patuh kepada pemerintahan Inggris yang saat itu menjajah India, karena menurut mereka Inggris adalah Waliyul Amri kaum muslimin.
  10. Al-Qodiyani berkeyakinan bahwa Tuhannya berkebangsaan Inggris, karena Tuhannya berbicara kepadanya dengan bahasa Inggris.



SIKAP PARA ULAMA TERHADAP GOLONGAN AHMADIYAH

Para ulama menentang gerakan Ahmadiyah, di antaranya adalah Syaikh Abul Wafa' Tsanaullah, pemimpin Jum'iyah Ahlul Hadits di India. Beliau pernah berdebat dengan Mirza Ghulam hingga berhasil mengalahkannya dengan argumentasi dan berhasil mengungkap kebusukan hatinya, kekafiran, serta kesesatannya. Karena Ghulam Ahmad tidak mau kembali kepada kebenaran, Syaikh Abul Wafa menantangnya untuk melakukan mubahalah bahwa siapa di antara mereka yang berbohong akan mati lebih dulu. Hanya beberapa hari sesudah itu, Mirza Guhlam Ahmad Al-Qodiyani tewas, pada tahun 1908 M dengan meninggalkan warisan berupa lebih dari lima puluh buku, brosus, dan artikel yang

Parlemen Pakistan pernah mengadakan diskusi dengan salah seorang pemimpin semuanya mempropagandakan kesesatan.kelompok Ahmadiyah, yaitu Mirza Nashir Ahmad. Dalam diskusi ini ia dibantah oleh Mufti Mahmud rahimahullah. Diskusi ini berlangsung selama hampir tiga puluh jam, di mana Nashir Ahmad tidak mampu berbicara dan mengemukakan jawaban, sehingga terbukalah kedok kekafiran kelompok ini. Maka, Parlemen mengambil keputusan bahwa kelompok Ahmadiyah termasuk dalam golongan minoritas non Muslim.

Pada bulan Rabiul Awal, 1394 H bertepatan dengan April 1974 M, diselenggarakan muktamar Rabithah Alam Islami, di Mekah. Muktamar ini dihadiri oleh para utusan berbagai organisasi Islam di seluruh dunia. Muktamar ini mengumumkan bahwa Ahmadiyah adalah kelompok kafir dan telah keluar dari Islam. Muktamar menghimbau kaum muslimin untuk memerangi bahaya kelompok ini serta tidak melakukan muamalah dengannya, serta jangan sampai menguburkan mayat orang-orang Ahmadiyah di pekuburan kaum muslimin.

Telah dikeluarkan beberapa fatwa dari berbagai Konggres dan Organisasi Islam di seluruh Dunia Islam yang menetapkan kekafiran Ahmadiyah, di antaranya adalah Konggres Fikih yang berafiliasi kepada Rabithah Alam Islami, Konggres Fikih Islam yang berafiliasi kepada Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan Organisasi Ulama Besar Kerajaan Saudi Arabia. Selain itu juga telah dikeluarkan fatwa-fatwa dari ulama Mesir, Syam, Maroko, India, dan lain-lain.

BAHAN RENUNGAN

Banyak hal yang perlu kita renungkan terkait dengan fenomena Ahmadiyah, akan tetapi penting untuk kita perhatikan dan kaji adalah akar dari kemunculan berbagai gerakan semacam Ahmadiyah, bagaimana gerakan semacam ini mendapat lahan subur untuk pertumbuhannya di lingkungan masyarakat muslim. Padahal, gerakan Ahmadiyah ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip baku Islam, baik dilihat substansi maupun penampilan luarnya. Seluruh umat Islam bersepakat bahwa tidak ada nabi sesudah Nabi Muhammad saw., maka setiap pengakuan adanya nabi sesudah itu merupakan pengakuan sesat. Ini selain berbagai ajaran-ajaran kufur baru yang mereka yakini.

Pertanyaan yang terlontar di sini, bagaimana mereka itu bisa mendapat pengikut dari kalangan kaum muslimin? Mungkin, tidak terlalu sulit menjawabnya –walaupun ini merupakan pertanyaan yang sangat penting. Yaitu, kebodohan. Kebodohan adalah faktor yang menyebabkan banyaknya orang yang masuk ke dalam golongan-golongan semacam Ahmadiyah ini. Juga, kurangnya informasi yang disampaikan oleh para ulama dan penuntut ilmu mengenai kesesatan gerakan ini. Informasi-informasi seperti ini perlu digalakkan, dalam rangka menjaga kemurnian Islam, dari propaganda-propaganda ajaran baru yang sesat dan keluar dari Islam.

Maka, terapinya jelas, yaitu gerakan untuk menyebarkan ilmu-ilmu Din, jangan sampai ada satu wilayah desa atau kota yang terlupakan dari gerakan penyebaran ilmu ini. Insya Allah, bila kaum muslimin bahu membahu mendukung gerakan ini, mudah-mudahan umat ini akan diselamatkan dari ajaran-ajaran baru yang menyimpang dari kebenaran seperti ini.

Nabi SAW. membiarkan Ahmadiyah?

"Tatkala saya tengah tidur, didatangkanlah (dalam mimpi) simpanan-simpanan bumi, lalu diletakkan pada telapak tanganku dua gelang emas, maka keduanya terasa berat bagiku. Lalu Allah mewahyukan kepadaku: "Tiuplah!" Maka kutiup kedua gelang itu lalu keduanya lenyap. Aku menakwilkan kedua gelang itu dengan dua pendusta besar yang aku berada di tengah antara keduanya, yaitu: pendusta di Shan’a' (Yaman) dan pendusta di Yamamah."​

Dalam riwayat Turmudzi disebutkan: "Salah satu dari keduanya bernama Musailamah orang Yamamah, dan al-‘Ansi orang Shan’a'". (hadits shahih)

Keterangan:
  1. Musailamah dan Aswad al-‘Ansi adalah dua orang yang mengaku sebagai nabi di saat Nabi Muhammad saw masih hidup.
  2. Musailamah berkirim surat kepada Nabi Muhammad saw yang isinya antara lain: "Amma ba’du, dari Musailamah utusan Allah kepada Muhammad utusan Allah. Sesungguhnya bumi ini dibagi dua; separoh untukmu dan separuh untukku".
  3. Surat tersebut dibalas oleh Nabi Muhammad saw: "Amma ba’du, dari Muhammad Rasulullah kepada Musailamah si pendusta besar. Sesungguhnya bumi ini milik Allah. Dia mewariskannya kepada siapapun yang Dia kehendaki".
  4. Nabi Muhammad saw membiarkan hidup Musailamah; tidak membunuhnya. Bahkan kedua utusannya pun juga dibiarkan hidup padahal melecehkan di hadapan Nabi saw. Dalam hadits shahih:

    Rasulullah saw berkata kepada dua utusan Musailamah tatkala membaca surat dari Musailamah: "Apa pendapat kalian berdua?", Dijawab, "Kami berpendapat seperti pendapat Musailamah". Beliau menegaskan, "Ingatlah! Demi Allah, seandainya tidak karena para utusan itu tidak boleh dibunuh, sungguh telah kupukul tengkuk kalian berdua!"

JADI
:

Ahmadiyah telah ada sejak masa Nabi saw, namun dalam bentuk pengikut setia Musailamah al-kadzdzab; yang sebanding dengan Mirza Ghulam Ahmed al-Kadzdzab.


APA SIKAP ISLAM TERHADAP MUSAILAMAH
(baca: Ahmadiyah kuno)?

Sikap FPI: Pukuli Ahmadiyah atau pembelanya.

Benarkah sikap ini? TIDAK(?)! Karena:​

Sikap SAHABAT NABI SAW adalah:

Sayyidina Abu Bakr ra mengirim pasukan besar untuk membasmi habis Musailamah. Setelah Musailmah mampus, semua jemaat "ahmadiyah"-nya diminta bertobat. Banyak dari mereka yang bertobat dan kembali kepada Islam yang benar. Tidak kurang ISTRI MUSAILAMAH pun juga ikut bertobat dan membaguskan Islamnya. Alhamdulillah.

Demikianlah sikap Islam terhadap jamaah ahmadiyah kuno pembebek Mirza Ghulam Ahmad. Jadi mereka yang mbandel DIBASMI DENGAN PEDANG, sedangkan yang mau tobat dipersilakan hidup di atas bumi ciptaan Alloh Swt. Itulah fakta sejarah.

Wallahu A’lam bis shawab. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
 
Bagaimana kalo kita bersikap lebih toleran, atas dasar :

Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku (QS. 109:6)

Tidak ada paksaan untuk agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS 2:256)


kalo mereka tersesat biarlah itu menjadi tanggung jawab mereka sendiri, bukankah kita tidak bisa merubah apa yang sudah menjadi keyakinan orang, dan Allah tidak memberikan wewenang kepada manusia untuk menjadi hakim ?
 
Bagaimana kalo kita bersikap lebih toleran, atas dasar :

Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku (QS. 109:6)

Tidak ada paksaan untuk agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS 2:256)


kalo mereka tersesat biarlah itu menjadi tanggung jawab mereka sendiri, bukankah kita tidak bisa merubah apa yang sudah menjadi keyakinan orang, dan Allah tidak memberikan wewenang kepada manusia untuk menjadi hakim ?

Kalau itu bukan atas nama Islam, ya itu terserah mereka kan masalahnya adalah mereka mengatasnamakan Islam.

solusi : misalnya mereka mendirikan agama baru yakni agama Aslim.
 
Khawarij, kelompok sesat pertama dalam islam

Laa hukma illa lillah (tiada hukum kecuali untuk Allah SWT). Kata-kata ini haq adanya, karena merupakan kandungan ayat yang mulia. Namun jika kemudian ditafsirkan menyimpang dari pemahaman salafush shalih, kebatilanlah yang kemudian muncul. Bertamengkan kata-kata inilah, Khawarij, kelompok sempalan pertama dalam Islam, dengan mudahnya mengkafirkan bahkan menumpahkan darah kaum muslimin.


SIAPAKAH KHAWARIJ?

Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata: "Mereka adalah orang-orang yang memberontak terhadap pemerintah di akhir masa kepemimpinan Utsman bin Affan ra. yang mengakibatkan terbunuhnya Utsman bin Affan ra. Kemudian di masa kepemimpinan Ali bin Abu Thalib ra., keadaan mereka semakin buruk. Mereka keluar dari ketaatan terhadap Ali bin Abu Thalib ra., mengkafirkannya, dan mengkafirkan para shahabat. Ini disebabkan para shahabat tidak menyetujui madzhab mereka. Dan mereka menghukumi siapa saja yang menyelisihi madzhab mereka dengan hukuman kafir. Akhirnya mereka pun mengkafirkan makhluk-makhluk pilihan yaitu para shahabat Rasulullah radhiyallahu ‘anhum." (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 31)

Cikal bakal mereka telah ada sejak jaman Rasulullah SAW. Diriwayatkan dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri ra., ia berkata: Ketika kami berada di sisi Rasulullah SAW dan beliau sedang membagi-bagi (harta), datanglah Dzul Khuwaisirah dari Bani Tamim, kepada beliau. Ia berkata: "Wahai Rasulullah, berbuat adillah!" Rasulullah SAW pun bersabda: "Celakalah engkau! Siapa lagi yang berbuat adil jika aku tidak berbuat adil? Benar-benar merugi jika aku tidak berbuat adil."

Maka Umar bin Al-Khaththab ra. berkata: "Wahai Rasulullah, ijinkanlah aku untuk memenggal lehernya!" Rasulullah SAW berkata: "Biarkanlah ia, sesungguhnya ia akan mempunyai pengikut yang salah seorang dari kalian merasa bahwa shalat dan puasanya tidak ada apa-apanya dibandingkan shalat dan puasa mereka, mereka selalu membaca Al Qur’an namun tidaklah melewati kerongkongan mereka, mereka keluar dari Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari ar-ramiyyah, dilihat nashl-nya (besi pada ujung anak panah) maka tidak didapati bekasnya. Kemudian dilihat rishaf-nya (tempat masuknya nashl pada anak panah) maka tidak didapati bekasnya, kemudian dilihat nadhiy-nya (batang anak panah) maka tidak didapati bekasnya, kemudian dilihat qudzadz-nya (bulu-bulu yang ada pada anak panah) maka tidak didapati pula bekasnya. Anak panah itu benar-benar dengan cepat melewati lambung dan darah (hewan buruan itu). Ciri-cirinya, (di tengah-tengah mereka) ada seorang laki-laki hitam, salah satu lengannya seperti payudara wanita atau seperti potongan daging yang bergoyang-goyang, mereka akan muncul di saat terjadi perpecahan di antara kaum muslimin".

Abu Sa’id Al-Khudri ra. berkata: "Aku bersaksi bahwa aku mendengarnya dari Rasulullah SAW dan aku bersaksi pula bahwa Ali bin Abu Thalib ra. yang memerangi mereka dan aku bersamanya. Maka Ali ra. memerintahkan untuk mencari seorang laki-laki (yang disifati oleh Rasulullah SAW, di antara mayat-mayat mereka) dan ditemukanlah ia lalu dibawa (ke hadapan Ali), dan aku benar-benar melihatnya sesuai dengan ciri-ciri yang disifati oleh Rasulullah SAW". (Shahih, HR. Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitabuz Zakat, bab Dzikrul Khawarij wa Shifaatihim, 2/744)


Asy-Syihristani rahimahullah berkata: "Siapa saja yang keluar dari ketaatan terhadap pemimpin yang sah, yang telah disepakati, maka ia dinamakan Khariji (seorang Khawarij), baik keluarnya di masa shahabat terhadap Al-Khulafa Ar-Rasyidin atau terhadap pemimpin setelah mereka di masa tabi’in, dan juga terhadap pemimpin kaum muslimin di setiap masa". (Al-Milal wan Nihal, hal. 114)


MENGAPA DISEBUT KHAWARIJ?

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: "Dinamakan Khawarij dikarenakan keluarnya mereka dari jamaah kaum muslimin. Dikatakan pula karena keluarnya mereka dari jalan (manhaj) jamaah kaum muslimin, dan dikatakan pula karena sabda Rasulullah SAW :

"Akan keluar dari diri orang ini…"
(Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, 7/145)

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah berkata: "Dinamakan dengan itu (Khawarij) dikarenakan keluarnya mereka dari din (agama) dan keluarnya mereka dari ketaatan terhadap orang-orang terbaik dari kaum muslimin". (Fathul Bari Bisyarhi Shahihil Bukhari, 12/296)

Mereka juga biasa disebut dengan Al-Haruriyyah karena mereka (dahulu) tinggal di Harura yaitu sebuah daerah di Iraq dekat kota Kufah, dan menjadikannya sebagai markas dalam memerangi Ahlul ‘Adl (para shahabat Rasulullah radhiyallahu ‘anhum). (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, 7/145)

Disebut pula dengan Al-Maariqah (yang keluar), karena banyaknya hadits-hadits yang menjelaskan tentang muruq-nya (keluarnya) mereka dari din (agama). Disebut pula dengan Al-Muhakkimah, karena mereka selalu mengulang kata-kata Laa Hukma Illa Lillah (tiada hukum kecuali untuk Allah SWT), suatu kalimat yang haq namun dimaukan dengannya kebatilan. Disebut pula dengan An-Nawashib, dikarenakan berlebihannya mereka dalam menyatakan permusuhan terhadap Ali bin Abu Thalib ra. (Firaq Mu’ashirah, 1/68-69, Dr. Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji, secara ringkas)


BAGAIMANAKAH MADZHAB MEREKA?


Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata, madzhab mereka adalah tidak berpegang dengan As Sunnah wal Jamaah, tidak mentaati pemimpin (pemerintah kaum muslimin), berkeyakinan bahwa memberontak terhadap pemerintah dan memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin merupakan bagian dari agama. Hal ini menyelisihi apa yang diwasiatkan oleh Rasulullah SAW agar senantiasa mentaati pemerintah (dalam hal yang ma’ruf/ yang tidak bertentangan dengan syariat), dan menyelisihi apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

"Taatilah Allah, dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri (pemimpin) di antara kalian". (An-Nisa: 59)

Allah SWT dan Nabi-Nya SAW menjadikan ketaatan kepada pemimpin sebagai bagian dari agama… Mereka (Khawarij) menyatakan bahwa pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) telah kafir, tidak diampuni dosa-dosanya, kekal di neraka. Dan ini bertentangan dengan apa yang terdapat di dalam Kitabullah (Al Qur’an). (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 31-33)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Mereka berkeyakinan atas kafirnya Utsman bin Affan ra. dan orang-orang yang bersamanya. Mereka juga berkeyakinan sahnya kepemimpinan Ali (sebelum kemudian dikafirkan oleh mereka) dan kafirnya orang-orang yang memerangi Ali ra. dari Ahlul Jamal". (Fathul Bari, 12/296)

Al-Hafidz rahimahullah juga berkata: "Kemudian mereka berpendapat bahwa siapa saja yang tidak berkeyakinan dengan aqidah mereka, maka ia kafir, halal darah, harta dan keluarganya". (Fathul Bari, 12/297)


PEPERANGAN ANTARA KHAWARIJ DAN KHALIFAH ‘ALI BIN ABU THALIB

Setelah Khalifah Utsman bin Affan terbunuh, maka orang-orang Khawarij ini bergabung dengan pasukan Khalifah Ali bin Abu Thalib. Dalam setiap pertempuran pun mereka selalu bersamanya. Ketika terjadi pertempuran Shiffin (tahun 38 H) antara pasukan Khalifah Ali bin Abu Thalib dengan pasukan shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan dari penduduk Syam yang terjadi selama berbulan-bulan -dikarenakan ijtihad mereka masing-masing, ditempuhlah proses tahkim (pengiriman seorang utusan dari kedua pihak guna membicarakan solusi terbaik bagi masalah yang sedang mereka alami).

Orang-orang Khawarij tidak menyetujuinya, dengan alasan bahwa hukum itu hanya milik Allah dan tidak boleh berhukum kepada manusia. Demikian pula tatkala dalam naskah ajakan tahkim dari Ali bin Abu Thalib termaktub: "Inilah yang diputuskan oleh Amirul Mukminin Ali atas Mu’awiyah…", lalu penduduk Syam tidak setuju dengan mengatakan, "Tulislah namanya dan nama ayahnya", (tanpa ada penyebutan Amirul Mukminin). Ali pun menyetujuinya, namun orang-orang Khawarij pun mengingkari persetujuan itu.

Setelah disepakati utusan masing-masing pihak yaitu Abu Musa Al-Asy’ari dari pihak Ali dan Amr bin Al-Ash dari pihak Mu’awiyah, dan disepakati pula waktu dan tempatnya (Dumatul Jandal), maka berpisahlah dua pasukan tersebut. Mu’awiyah kembali ke Syam dan Ali kembali ke Kufah, sedangkan kelompok Khawarij dengan jumlah 8.000 orang atau lebih dari 10.000 orang, atau 6.000 orang, memisahkan diri dari Ali dan bermarkas di daerah Harura yang tidak jauh dari Kufah.

Pimpinan mereka saat itu adalah Abdullah bin Kawwa’ Al-Yasykuri dan Syabats At-Tamimi. Maka Ali ra. mengutus shahabat Abdullah bin Abbas ra. untuk berdialog dengan mereka dan banyak dari mereka yang rujuk. Lalu Ali ra. keluar menemui mereka, maka mereka pun akhirnya menaati Ali ra., dan ikut bersamanya ke Kufah, bersama dua orang pimpinan mereka. Kemudian mereka membuat isu bahwa Ali ra. telah bertaubat dari masalah tahkim, karena itulah mereka kembali bersamanya. Sampailah isu ini kepada Ali ra., lalu ia berkhutbah dan mengingkarinya. Maka mereka pun saling berteriak dari bagian samping masjid (dengan mengatakan): "Tiada hukum kecuali untuk Allah". Ali ra. pun menjawab: "Kalimat yang haq (benar) namun yang dimaukan dengannya adalah kebatilan!"

Kemudian Ali ra. berkata kepada mereka: "Hak kalian yang harus kami penuhi ada tiga: Kami tidak akan melarang kalian masuk masjid, tidak akan melarang kalian dari rizki fai’, dan tidak akan pula memulai penyerangan selama kalian tidak berbuat kerusakan".

Secara berangsur-angsur pengikut Khawarij akhirnya keluar dari Kufah dan berkumpul di daerah Al-Madain. Ali ra. senantiasa mengirim utusan agar mereka rujuk. Namun mereka tetap bersikeras menolaknya hingga Ali ra. mau bersaksi atas kekafiran dirinya dikarenakan masalah tahkim atau bertaubat. Lalu Ali ra. mengirim utusan lagi (untuk mengingatkan mereka) namun justru utusan tersebut hendak mereka bunuh dan mereka bersepakat bahwa yang tidak berkeyakinan dengan aqidah mereka maka dia kafir, halal darah dan keluarganya.

Aksi mereka kemudian berlanjut dalam bentuk fisik, yaitu menghadang dan membunuh siapa saja dari kaum muslimin yang melewati daerah mereka. Ketika Abdullah bin Khabbab bin Al-Art -yang saat itu menjabat sebagai salah seorang gubernur Ali bin Abu Thalib ra. - berjalan melewati daerah kekuasaan Khawarij bersama budak wanitanya yang tengah hamil, maka mereka membunuhnya dan merobek perut budak wanitanya untuk mengeluarkan anak dari perutnya.

Sampailah berita ini kepada Ali ra., maka ia pun keluar untuk memerangi mereka bersama pasukan yang sebelumnya dipersiapkan ke Syam. Dan akhirnya mereka berhasil ditumpas di daerah Nahrawan beserta para gembong mereka seperti Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi, Zaid bin Hishn At-Tha’i, dan Harqush bin Zuhair As-Sa’di. Tidak selamat dari mereka kecuali kurang dari 10 orang dan tidaklah terbunuh dari pasukan Ali kecuali sekitar 10 orang.

Sisa-sisa Khawarij ini akhirnya bergabung dengan simpatisan madzhab mereka dan sembunyi-sembunyi semasa kepemimpinan Ali ra., hingga salah seorang dari mereka yang bernama Abdurrahman bin Muljim berhasil membunuh Ali ra. yang saat itu sedang melakukan shalat Shubuh. (diringkas dari Fathul Bari karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, 12/296-298, dengan beberapa tambahan dari Al-Bidayah wan Nihayah, karya Al-Hafidz Ibnu Katsir, 7/281)


KAFIRKAH KHAWARIJ?

Kafirnya Khawarij masih diperselisihkan di kalangan ulama. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Sebagian besar ahli ushul dari Ahlus Sunnah berpendapat bahwasanya Khawarij adalah orang-orang fasiq, dan hukum Islam berlaku bagi mereka. Hal ini dikarenakan mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan selalu melaksanakan rukun-rukun Islam. Mereka dihukumi fasiq, karena pengkafiran mereka terhadap kaum muslimin berdasarkan takwil (penafsiran) yang salah, yang akhirnya menjerumuskan mereka kepada keyakinan akan halalnya darah, dan harta orang-orang yang bertentangan dengan mereka, serta persaksian atas mereka dengan kekufuran dan kesyirikan". (Fathul Bari, 12/314)

Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullah berkata: "Ulama kaum muslimin telah bersepakat bahwasanya Khawarij dengan segala kesesatannya tergolong firqah dari firqah-firqah muslimin, boleh menikahi mereka, dan memakan sembelihan mereka, dan mereka tidak dikafirkan selama masih berpegang dengan pokok keislaman". (Fathul Bari, 12/314)

Al-Imam Ibnu Baththal rahimahullah berkata: "Jumhur ulama berpendapat bahwasanya Khawarij tidak keluar dari kumpulan kaum muslimin". (Fathul Bari, 12/314)


SEBAB-SEBAB YANG MENGANTARKAN KHAWARIJ KEPADA KESESATAN

Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata: "Yang demikian itu disebabkan kebodohan mereka tentang agama Islam, bersamaan dengan wara’, ibadah dan kesungguhan mereka. Namun tatkala semua itu (wara’, ibadah, dan kesungguhan) tidak berdasarkan ilmu yang benar, akhirnya menjadi bencana bagi mereka". (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 35)

Demikan pula, mereka enggan untuk mengambil pemahaman para shahabat (As-Salafush Shalih) dalam memahami masalah-masalah din ini, sehingga terjerumuslah mereka ke dalam kesesatan.


ANJURAN MEMERANGI MEREKA

Rasulullah SAW bersabda:

"Maka jika kalian mendapati mereka (Khawarij-pen), perangilah mereka! Karena sesunggguhnya orang-orang yang memerangi mereka akan mendapat pahala di sisi Allah pada hari kiamat." (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 2/747, dari shahabat ‘Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu).

Beliau juga bersabda:

"Jika aku mendapati mereka (Khawarij), benar-benar aku akan perangi seperti memerangi kaum ‘Aad." (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 2/742, dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)

Dalam lafadz yang lain Rasulullah SAW bersabda:

"Jika aku mendapati mereka, benar-benar aku akan perangi seperti memerangi kaum Tsamud." (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 2/742, dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)

Al-Imam Ibnu Hubairah berkata: "Memerangi Khawarij lebih utama dari memerangi orang-orang musyrikin. Hikmahnya, memerangi mereka merupakan penjagaan terhadap 'modal' Islam (kemurnian Islam -pen), sedangkan memerangi orang-orang musyrikin merupakan 'pencarian laba', dan penjagaan modal tentu lebih utama". (Fathul Bari, 12/315)


SAMAKAH MUSUH-MUSUH ‘ALI BIN ABU THALIB DALAM PERANG JAMAL DAN SHIFFIN DENGAN KHAWARIJ?

Pendapat yang menyatakan bahwa musuh-musuh Ali bin Abu Thalib ra. sama dengan Khawarij ini tentunya tidak benar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Adapun jumhur ahli ilmu, mereka membedakan antara orang-orang Khawarij dengan Ahlul Jamal dan Shiffin, serta selain mereka yang terhitung sebagai penentang dengan berdasarkan ijtihad. Inilah yang ma’ruf dari para shahabat, keseluruhan ahlul hadits, fuqaha, dan mutakallimin. Di atas pemahaman inilah, nash-nash mayoritas para imam dan pengikut mereka dari murid-murid Malik, Asy-Syafi’i, dan selain mereka." (Majmu’ Fatawa, 35/54)


NASEHAT DAN PERINGATAN

Madzhab Khawarij ini sesungguhnya terus berkembang (di dalam merusak aqidah umat) seiring dengan bergulirnya waktu. Oleh karena itu Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menasehatkan: "Wajib bagi kaum muslimin di setiap masa, jika terbukti telah mendapati madzhab yang jahat ini untuk mengatasinya dengan dakwah dan penjelasan kepada umat tentangnya. Jika mereka (Khawarij) tidak mengindahkannya, hendaknya kaum muslimin memerangi mereka dalam rangka membentengi umat dari kesesatan mereka". (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 37)

(Penulis: Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-Atsari, Lc.)
 
Lalu bagaimana ketika pemerintah kita melindungi aliran sesat?
 
terus berpegang teguh pada al quran dan sunnah
 
Hal ini terjadi atas kehendak Allah untuk menguji siapa yang betul-betul ber iman ... ada hikmah atas penciptaan ahmadyah .... inilah yang harus dibaca ... bukan mendahulukan hawa nafsu atau emosi dalam menghadapi sesuatu .... inti semua ini adalah bahwa Allah mengajarkan kepada kita untuk memperbaiki iman setiap saat .... dengan demikian akan ada jalan keluar yang baik dan sebagai rahmat bagi manusia ....
 
ada rahasia di balik rahasia :D
 
Islam Liberal, bag I.

Akar Pemikiran Islam Liberal

Oleh: Khalif Muammar A. Harris (KDH)

Mukaddimah

Di akhir abad keduapuluh Masehi, Umat Islam dikejutkan dengan fenomena baru dalam pemikiran Islam. Golongan yang memperkenalkan diri dengan nama Islam Liberal telah menggemparkan dunia Islam dengan isu-isu yang kontroversial dan ide-ide yang berani. Gerakan Islam Liberal cukup populer di Indonesia, namun begitu tidak banyak yang menyadari sebenarnya gerakan ini memiliki jaringan yang luas bukan saja di dunia Islam bahkan juga hampir di seluruh dunia: Mesir, India, Pakistan, Bangladesh, Amerika, Perancis, Malaysia, Turki, Yordania, Sudan, Suriah, Moroko, Tunisia, Lebanon, Aljazair, Nigeria dll.

Pada dasarnya, Islam Liberal merupakan 'produk' baru untuk menjelmakan kembali modernisme di Abad ke-21. Modernisme Islam telah lama muncul di kalangan intelektual Muslim dan menjadi satu tren pemikiran yang berpengaruh dalam dunia Islam sejak Abad ke-19M. Tulisan ini bertujuan untuk melacak dan mencari penjelasan tentang akar ideologis gerakan Islam Liberal sekaligus menyorot perkembangan terbaru yang terjadi pada tren pemikiran ini yang cukup banyak diperdebatkan dalam pembahasan ilmiah dewasa ini. Hipotesis penelitian ini adalah bahwa adanya kesinambungan dan pengaruh yang kuat antara sekularisme, orientalisme, modernisme Islam dengan Islam Liberal.

Kemunculan Modernisme Islam adalah akibat dari pertemuan yang tidak seimbang dari dua dunia: Islam dan Barat. Penjajahan yang terjadi lebih 400 tahun terhadap umat Islam sedikit sebanyak menyebabkan sikap rendah diri atau inferiority-complex apabila berhadapan dengan peradaban yang canggih dan hebat. Perlu digarisbawahi di sini bahwa modernisme Islam bukanlah aliran pemikiran yang tunggal dan jelas, tetapi ia mencakup beberapa aliran pemikiran sesuai dengan istilah modernisme yang kabu. Gerakan modernisme telah mengalami banyak perubahan setelah kemunculan Fazlur Rahman (1919-1988) yang telah mendirikan framework pemikiran neo-modenisme pada awal 80an. Usaha beliau namun telah 'dimanfaatkan' oleh orang-orang yang berkepentingan, untuk menjustifikasikan lahirnya pemikiran yang lebih radikal, liberal dan berani. Golongan ini kemudian diberi nama Islam Liberal.

Modernisme Islam mengambil semangat pembaharuan dan reformasi. Dengan melihat model pembaharuan (modernisasi) yang telah berhasil merubah masyarakat di Barat. Modernisme di Barat telah menghasilkan apa yang dinamakan enlightenment, revolusi industri dan akhirnya telah meletakkan Barat sebagai negara yang maju dan pemimpin dunia. Menyadari kemunduran dan keterbelakangan Umat Islam, dan setelah mengkaji faktor kemajuan Barat maka golongan modernis mengambil kesimpulan bahwa Umat Islam perlu bersikap terbuka terhadap peradaban Barat untuk menguasai sains Barat dan seterusnya mengikuti rentak kemajuan. Sikap keterbukaan ini didasari oleh pendirian bahwa ilmu itu bersifat bebas nilai atau netral tidak diwarnai oleh ideologi pembawanya dan terserah sepenuhnya kepada pengguna sains tersebut untuk dapat digunakan sesuai kehendaknya. Bila telah terbukti bahwa sains yang sama telah berhasil memberi kemajuan kepada masyarakat Barat, maka tentunya bila digunakan oleh Umat Islam ianya juga akan dapat menjanjikan kemajuan.

Modernisme Islam dan Modernisme Barat.

Karena modernisme Islam sangat berkaitan erat dengan modernisme Barat, maka sebelum membicarakan tentang modernisme Islam, sangat penting sekali untuk memahami konsep modernisme dan modernisasi dan kemunculannya di Barat. Perlu digaris bawahi di sini bahwa kemunculan modernisme Islam hanya berlaku sebagai satu konsekuensi dari interaksi dunia Islam dengan peradaban Barat. Satu fakta yang perlu diingat adalah bahwa Umat Islam sejak abad ke 16/17M telah dijajah dan diinfiltrasi oleh pemikiran dan budaya yang asing dari pemikiran, budaya dan agama mereka. Reaksi dari diri Umat pada ketika itu adalah di antara penolakan dan penerimaan. Golongan tradisionalis lebih cenderung untuk menentang dan memisahkan diri dari segala bentuk pembaratan (Westernization). Adapun kaum modernis yang pada waktu itu memiliki latar belakang pendidikan Barat, melihat segala kebaikan berada dalam peradaban Barat, dan adalah satu kerugian besar bahkan dianggap kekolotan berfikir apabila umat Islam tidak tampil untuk memperolehinya.

Modernisme di Barat digerakkan oleh falsafah enlightenment-humanism yang berhasil mempengaruhi pemikiran sebagian masyarakat Barat dan mayoritas intelektual. Kemunculan para filosof seperti Immanuel Kant, David Hume, Nietzsche dan lain-lain telah memberikan penekanan terhadap rasionalisme dan kebebasan (liberalisme) atau pembebasan manusia dari tradisi dan dogma. Gerakan keintelektualan ini semakin kuat dengan munculnya filsafat eksistensialisme oleh Sartre dan logikal-positifisme oleh kelompok yang dikenal dengan Wina Circle.

Pada hari ini gerakan humanisme dipelopori oleh Council for secular Humanism. Menurut mereka secular humanism bermaksud "cara berpikir dan cara hidup yang bertujuan untuk memberikan yang terbaik bagi manusia dengan menolak segala kepercayaan agama dan kuasa di luar tabi'i. Humanisme sekuler menekankan rasio manusia dan penelitian ilmiah, kebebasan individu dan pertanggung-jawaban, nilai-nilai kemanusiaan dan kasih sayang dan kebutuhan terhadap toleransi dan kerjasama".

Penjelasan tentang humanisme sekuler di atas memperlihatkan adanya dikotomi antara agama dan sains, antara moralitas dan kebebasan individu, antara Tuhan dan nilai-nilai kemanusiaan. Terlepas dari elemen-elemen yang tampak baik yang terdapat dalam pemikiran ini, konsentrasi ke rasionalitas, penolakan terhadap agama, dan kebebasan individu dalam menentukan segala sesuatu, pastinya memberi kesan negatif khususnya bagi seorang Muslim. Oleh karena itu, penilaian harus dilakukan secara menyeluruh dan sebaiknya penjelasan tentang modernisme dilakukan dari dua sudut pandang yang berbeda: Barat dan Islam. Seorang penulis Muslim yang berasal dari Perancis dan menetap di Mesir, Rene Guenon, menjelaskan bahwa modernisme pada intinya adalah penolakan terhadap segala apa yang berbentuk divine, transcendent dan supernatural. Ini adalah penolakan yang dilakukan oleh enlightment-humanist terhadap tradisi dan otoritas, demi kepentingan akal dan sains tabi'i. Ia dibuat atas dasar perkiraan bahwa kuasa individu yang menjadi satu-satunya sumber bagi makna dan kebenaran.

Demikianlah dapat disimpulkan bahwa pengaruh humanisme Barat sangat kuat dalam kerangka pemikiran modernisme Islam. Dalam menjelaskan hakikat liberalisme Islam, Leonard Binder menegaskan bahwa pembahasan rasional menjadi tonggak utama golongan Islam Liberal ini. Rasionalisme, dalam arti mendewakan akal pikiran dan menjadi tolok ukur dalam menilai segala sesuatu, yang menjadi dasar peradaban Barat juga dianut oleh kaum modernis dan liberal Muslim. Dalam mendefinisikan modernisme Islam, Charles Kurzman, seorang ideolog Islam Liberal, dalam bukunya "Modernist Islam" mengatakan bahwa seorang modernis tidak hanya menerima nilai-nilai modern dari Barat sebagai sesuatu yang benar melainkan juga usaha untuk memperjuangkan modernisme Barat (proponent of modernity) yang termasuk di dalamnya rasionalitas, ilmu, kedaulatan konstitusi (constitutionalism), dan persamaan manusia.

Bahkan peran seorang modernis menurut beliau tidak hanya dalam mencari persamaan di antara nilai-nilai modern dengan nilai-nilai atau ajaran Islam. Lebih dari itu, seorang modernis harus berusaha untuk memberdayakan dan mengembangkan teori yang kokoh yang dapat membuktikan adanya persamaan dan kesesuaian tersebut. Dari sini tampak jelas bahwa gerakan ini memiliki pra-konsepsi dalam memahami Islam. Penyatuan antara nilai modern ​​dan ajaran Islam pada realita-nya dilakukan dengan tidak adil yaitu dengan memilih sebagian tradisi dan teks-teks agama yang mampu mendukung nilai-nilai Barat. Sedangkan penelitian terhadap tradisi Barat sendiri dilakukan dengan penuh apresiasi dan tidak kritis.

Berkenaan dengan tema-tema Islam Liberal, menurut tulisan mereka sendiri, dapat dilihat sebenarnya tidak jauh berbeda dengan modernist Islam. Di antaranya adalah demokrasi, pembelaan hak-hak perempuan, kebebasan berekspresi, dan masa depan kemajuan manusia. Tema-tema yang diangkat memberikan impresi bahwa siapapun yang rasional tidak mungkin menolak perjuangan mereka. Di balik itu ada keinginan untuk memonopoli perjuangan untuk kemanusiaan, sedangkan agama Islam sejak awal telah memperjuangkan kepentingan manusia. Tema-tema di atas tampak menarik dan segar, tetapi ini berbeda dengan tema-tema yang selalu menjadi perdebatan hangat di kalangan umat Islam. Isu-isu seperti penolakan Syari'at, pluralisme agama, kebebasan berijtihad, penolakan otoritas agama dan hermeneutik yang menjadi bahasan utama gerakan ini.

Pandangan bahwa perlunya penyesuaian di antara Islam dan nilai-nilai Barat, antara wahyu dan modernitas, dengan asumsi bahwa keduanya tidak bertentangan dan sesuai (compatible). Atas asumsi inilah maka peranan menyesuaikan di antara keduanya bukan hal yang rumit. Persoalannya apakah tidak ada tabrakan nilai/prinsip di antara sudut pandang Islam dan sudut pandang Barat.Pemikir Islam seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas menyatakan bahwa Islam memiliki pandangan hidup yang jauh berbeda dengan pandangan hidup Barat. Pandangan hidup Barat meletakkan falsafah humanisme, rasionalisme, sekularisme sebagai dasar peradaban mereka. Sedangkan filsafat-filsafat ini sangat asing dan tidak perlu dalam konteks umat yang beragama Islam. Isma'il al-Faruqi mengatakan bahwa humanisme Barat sekarang banyak dipengaruhi oleh humanisme Greco-Roman, yang terlalu mendewakan manusia dan sebagai reaksi kepada tradisi Kristen yang sebenarnya merendahkan nilai-nilai kemanusiaan. Sebaliknya Islam telah dengan secara tidak langsung meninggikan martabat manusia, maka dari itu, al-Faruqi menyimpulkan bahwa humanisme dalam Islam adalah satu-satunya yang asli dan terbaik. Dengan alasan kuatnya pengaruh sekularisme dan humanisme dalam peradaban Barat, al-Attas menekankan perlunya ilmu-ilmu Barat di-Islamisasikan sebelum diterima oleh umat Islam untuk menghindari terjadinya dikotomi dalam diri umat Islam dan wujudnya dilema atau krisis minda yang menjadikan umat Islam keliru, lemah dan kompak.

Untuk melihat sejauh mana efek dan pengaruh secular humanisme dan post-modenisme terhadap pemikiran Islam Liberal kita dapat lihat dalam tema-tema yang dibangkitkan oleh ideolog-ideolog Islam Liberal seperti Nasr Hamid Abu Zayd (lahir 1943), Muhammad Said al-Ashmawi (l. 1932), Muhammed Arkoun (l. 1928), Abdullahi Ahmed al-Nai'im (l. 1946) dan Asghar 'Ali Engineer (l. 1939). Abu Zayd misalnya mengatakan bahwa Islam adalah agama sekuler (al-din al-ilmani) dan hanya diskursus sekularisme ('ilma niyyah), yang menurut beliau berasal dari kata ilmu ('ilm), yang dapat membawa Umat Islam ke modernisasi dan kemajuan dan menyelamatkan mereka dari kekolotan berpikir.

Adapun Muhammad Arkoun, banyak terpengaruh dengan pemikiran post-modenisme khususnya Jacques Derrida. Sangat jelas terlihat metode deconstruct dan no truth-claim dalam pemikiran Arkoun. Robert D. Lee dalam kata pengantarnya terhadap buku Arkoun, Rethinking Islam, mengatakan: "In the world Arkoun proposes, there would be no Margins and no center, no marginalized groups and no dominant Ones, no inferior beliefs and no superior, truth-producing logic."

Muhammad Said Ashmawi
seperti pendahulunya 'Ali Abd al-Raziq, Wahid Ra'fat dan Faraj Fawdah menentang konsep Islam Syumul (way of life), baginya permasalahan politik terpisah dari agama. Ia juga menolak keras pelaksanaan Syari'at Islam dengan alasan bahwa ini akan memberikan kekuasaan politik kepada golongan agama dan mengakibatkan lahirnya negara teokrasi. Dalam bukunya The Islamic State, Bagi Asghar Ali, Hukum Islam adalah ciptaan fuqaha, pelaksanaan Syari'at Islam bermakna pemerintahan teokrasi. Dan beliau juga mendukung sepenuhnya pemerintahan sekular:

Secularism is highly necessary if India has to survive as a nation. But apart from survival of Indian nationalism and Indian unity, secularism is necessary for modern democratic polity. But Apart from survival of Indian nationalism and Indian unity, secularism is necessary for modern Democratic polity. And this need for secular polity becomes much greater if the country happens to be as diverse and plural as India. Secularism is a great need for democratic pluralism…. The most Orthodox Muslim 'Ulama of Deobandi school preferred secular India to Muslim Homeland or theocratic Pakistan. They outright rejected the idea of Pakistan ketika mooted by Jinnah. They denounced two nation theory on the basis of religion.​


Radwan Masmoudi, seorang presiden Center for the Study of Islam and Democracy (CSID) yang merupakan sebuah organisasi yang berpengaruh di Amerika dan baru-baru ini menjelaskan pendiriannya terhadap Islam Liberal. Ia menjelaskan bahwa Liberal Islam memperjuangkan kerajaan yang bertanggungjawab, kebebasan individu, dan hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu menurut beliau golongan ini merupakan Muslim majoritas di dunia Islam. Tentunya anggapan bahwa kaum Islam Liberal adalah golongan mayoritas umat Islam tidak berasas dan dapat diperdebatkan. Ini karena gambar liberal yang mereka ketengahkan berbesa dengan apa yang mereka maksudkan. Dalam hal ini istilah yang tepat untuk kaum yang mereka sebutkan adalah progressif, bukan liberal. Jelas sekali istilah Islam Liberal itu sendiri sangat kabur dan kontradiktif. Bahkan tokoh-tokoh yang disebutkan oleh Masmoudi, yang menurut kategorisasi Kurzman, seperti Muhammad Salim al-'Awwa, Anwar Ibrahim dan Fathi Osman tidak pernah dikategorikan sebagai Islam Liberal, tidak ada indikasi yang dapat mengaitkan pemikiran mereka dengan pemikiran Islam Liberal. Tokoh-tokoh yang lain yang juga disebutkan seperti Tariq al-Bishri, Abdul Karim Soroush, Abdulaziz Sachedina lebih dikenal sebagai modernis. Mungkin ada yang bertanya mengapa tokoh-tokoh seperti Muhammad Iqbal, Yusuf al-Qaradawi, Muhammad Natsir, Rashid Ghannouchi, Anwar Ibrahim disebut sebagai tokoh-tokoh dan pendukung Islam Liberal? Terlepas dari apakah ini adalah satu kesalahan yang disengaja atau tidak, tentunya ia bertujuan untuk menarik perhatian umat Islam agar mudah terpengaruh. Ironisnya, kenyataan Kurzman tersebut disangkal oleh kalangan Barat sendiri yang mayoritas mengkategorikan al-Qaradawi sebagai fundamentalis.

Agama dan Akal

Islam Liberal beranggapan bahwa gerakan yang mereka lakukan adalah satu-satunya alternatif yang melakukan usaha penyatuan di antara agama (faith) dan akal pikiran (reason). Mereka melihat mayoritas umat Islam menurut aliran tradisionalis konservatif yang jumud dan tidak memberi ruang kepada akal pikiran untuk berperan dan berijtihad. Lebih dari itu, kaum fundamentalis dikatakan telah berusaha untuk memonopoli pemahaman Islam, sehingga apa saja pandangan yang tidak sesuai dengan kerangka berpikir mereka akan dicap sebagai tidak Islamik.

Kalau dilihat dari sejarah pemikiran dan hukum Islam, penyatuan agama dan akal bukan hal yang baru, ia memang telah ada dalam tradisi Islam. Terlalu banyak ayat al-Qur'an dan Hadits yang memberikan perhatian kepada petunjuk akal pikiran. Bahkan melihat ke pelaksanaan Rasulullah saw terhadap text, dan pemahaman dan pelaksanaan para Sahabat tidak pernah membelakangi akal fikiran. Akal berfungsi dengan baik sebagai penerjemah dan memikirkan cara terbaik dalam melaksanakan tuntutan agama. Imam-imam mazhab mengenal dan menciptakan istilah-istilah seperti qiyas, istihsan, masalih al-Mursalah dan maqasid al-shari'ah yang merupakan sumber hukum Islam yang diakui dalam tradisi Islam.

Bila adanya kecenderungan ulama masa kini yang kolot dan jumud dalam berpikir, ini tidak berarti tradisi atau Islam sendiri yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Justru, ajaran Islam mendorong penggunaan optimal akal pikiran dalam kerangka resmi syari'ah itu sendiri. Karena itu sebenarnya tidak perlu timbul istilah literal Islam versus liberal Islam dalam memahami agama.

Di sini dapat terdeteksi kecenderungan Islam Liberal dalam melihat agama dan akal sebagai dua entitas yang otonom dan independen. Agama atau Shari'ah, karena dilihat sangat terbatas jumlah teksnya, bergerak dalam ruang lingkupnya yang tersendiri dan akal memiliki peran dalam kerangka yang lebih luas yang dapat memastikan kerelevanan agama dalam dunia masa kini. Oleh karena itu kontradiksi berlaku di antara dua aliran pemikiran modernis atau Islam Liberal dan ramai ulama dan pemikir Islam yang meletakkan syarat penggunaan akal pikiran agar tidak bertentangan dengan teks al-Qur'an dan al-Sunnah.

Bagi Islam Liberal saat pertentangan di antara keduanya terjadi, maka teks al-Qur'an ini perlu ditafsirkan dalam metode hermeneutik atau dalam pemahaman substantif agar tidak lagi terpaku kepada pemahaman literal terhadap Shari'ah, akan tetapi pemahaman yang Liberal. Berangkat dari metodologi dan cara berpikir inilah, tidak sedikit dari mereka yang hanya melihat Shari'ah itu nilai-nilai universal yang juga ada dalam peradaban Barat bahkan juga dikongsi bersama oleh mana-mana agama di dunia ini.

Penolakan Terhadap Otoritas Agama.

Liberalisme dan modernisme Islam menolak otoritas agama. Dalam wacana Islam Liberal banyak penekanan diberikan kepada kebebasan berpendapat oleh siapa saja pada apapun permasalahan agama. Metodologi yang digunakan adalah relativisme, yaitu dengan mengatakan bahwa kebenaran itu relatif tidak dapat dinyatakan pihak. Penolakan otoritas agama ini penting agar kebebasan berpendapat/ijtihad dapat dilakukan dan hanya dengan inilah liberalisasi Islam akan berhasil. Atas dasar kebebasan berpendapat dan berijtihad inilah maka Islam Liberal banyak merujuk kepada karya-karya orientalis-kristian karena melihat mereka adalah otoritas yang cukup kritis dan telah dapat mengemukakan pendekatan yang lebih rasional dan berlainan.

Islam mengatur bahwa otoritas dalam ilmu pengetahuan sangat penting. Cukup banyak ayat dan hadis yang menuntut umatnya menghormati ilmuwan dan berpegang kepada disiplin ilmu. Disiplin ilmu apapun memerlukan otoritas. Islam adalah subjek ilmu yang cukup ketat dalam menentukan siapa yang layak dijadikan guru. Tanpa adanya kriteria-kriteria tertentu dalam pemilihan guru maka penyelewengan terhadap agama sangat mudah sekali terjadi. Setiap disiplin ilmu ada otoritas masing-masing. Kalau dalam bidang medis, teknik dll. seseorang itu perlu merujuk kepada otoritas dan pakar-pakarnya maka sebenarnya tidak ada bedanya dengan agama Islam: shari'ah, aqidah, tafsir, hadith, masing-masing cabang ilmu ini memerlukan keahlian yang juga memakan energi dan waktu yang tidak kurang dari kebutuhan seseorang menguasai bidang medis dan sains. Bahkan dari ribuan orang yang berusaha menguasai cabang keilmuan Islam hanya segelintir saja yang diakui sebagai pakar dan otoritas yang menjadi referensi.

Golongan Islam Liberal melihat bahwa otoritas agama hanya akan memberi dampak negatif. Ini karena ulama akan memonopoli kebenaran dan menghukum pandangan selain ulama sebagai tidak islami, sesat dan sebagainya. Kekeliruan ini timbul akibat kesalahpahaman atau distorsi yang disengaja. Adanya otoritas ilmu ini tidak mengisyaratkan wujudnya hirarki dalam Islam. Islam sama sekali tidak pernah meletakkan ulama sebagai wakil Tuhan atau pemegang kuasa menggantikan Tuhan sepertimana berlaku dalam tradisi Nasrani dan pemerintahan gereja di zaman kegelapan (Dark Ages). Dalam Islam ijtihad ulama tidak mutlak kebenarannya. Pandangan ulama hanya dapat diterima jika terbukti sesuai dengan kehendak syari'ah dan disetujui kebenarannya. Di sinilah dalam tradisi Islam kita mengenal konsep Qawl al-jumhur (pandangan mayoritas), dan ijma' (kesepakatan ilmuwan) dan konsep ini sangat penting dalam tradisi keilmuan Islam.

Penolakan terhadap otoritas agama memberi ruang yang luas kepada golongan Islam Liberal untuk berijtihad dengan bebas. Kurzman menggunakan istilah yang berbeda agar tampak sophisticated yaitu, "freedom of thought" dan "freedom of religious interpretation". Bertolak dari premis inilah golongan ini melihat perlunya umat Islam mempertimbangkan hermeneutika al-Qur'an di samping tafsir al-Qur'an yang dianggap tidak sesuai lagi pada zaman modern ini. Nasr Hamid Abu Zaid disebut sebagai tokoh hermeneutik Islam Liberal saat ini. Namun bukunya, Mafhum al-Nas mendapat tentangan yang keras dari para sarjana Muslim.

Konsep Pluralisme Agama Konsep Pluralisme Agama

Perdebatan tentang pluralime agama baru-baru ini cukup hangat di Indonesia. Aliran modernisme dan Islam Liberal mendukung kuat ide ini dan promosi besar-besaran telah dilakukan. Banyak buku-buku telah diterbitkan dan diseminarkan. Di antara tokoh utama dalam hal ini adalah Alwi Shihab yang telah menulis buku yang berjudul: Islam inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Alwi mengatakan bahwa pluralisme agama adalah klaim penting untuk mencapai kerukunan hidup beragama. Atas dasar ini seorang pluralis berusaha untuk tidak bersikap eksklusif dan tidak mengklaim kebenaran hanya terletak pada agama yang dianutnya. Setelah itu barulah dialog dan toleransi beragama dapat dilaksanakan dengan sukses. Penulis melihat adanya pra-asumsi bahwa yang menyebabkan permusuhan antara agama berlaku adalah semata-mata karena adanya sikap ekslusif dalam beragama.

Alwi menafikan bahwa syari'at yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw adalah penghapus bagi syari'at-syari'at yang telah diturunkan sebelumnya. Alwi juga mengatakan bahwa ayat al-Qur'an yang selalu digunakan untuk mengklaim eksklusivisme Islam yang bermaksud: "Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama (din) mereka maka tidak akan diterima (oleh Allah) daripadanya". dalam penjelasan terhadap ayat ini beliau mengatakan bahwa: hal itu (Islam) tidak hanya diperuntukkan bagi Muslim saja, tetapi untuk segenap mereka yang percaya kepada Tuhan sepanjang sejarah umat manusia.Alasan Alwi adalah bahwa Islam berarti berserah diri, maka siapa saja yang dapat melaksanakan tuntutan iman ini dengan menyerahkan diri terhadap kehendak Tuhan adalah termasuk orang yang bertawakal.

Kekeliruan timbul akibat dari pemikiran bahwa kebenaran tidak bersifat mutlak, kebenaran tidak dapat dimiliki oleh pihak lalu menafikan hak orang lain. Pemikiran relativisme ini yang menjadi dasar filsafat pluralisme beragama. Ada beberapa tokoh filsafat Barat dan Islam yang bertanggung jawab atas ide ini antaranya adalah Frithjof Schuon dan Syed Husein Nasr. Apa yang mereka ketengahkan adalah lebih kepada ide kesatuan agama pada hakikatnya (the transcendent unity of religions) dan penekanan kepada agama Ibrahimiyyah. Akan tetapi, pendekatan yang digunakan oleh Alwi Shihab cukup berani dan radikal. Karena ia tidak hanya berbicara dari segi pemikiran dan filsafat akan tetapi mencoba untuk mengambil pendekatan dari dalam, dengan mempergunakan tradisi Islam khususnya teks-teks al-Qur'an dan mentafsirkannya dengan sewenang-wenang.

Alasan yang dianggap oleh pluralis cukup kuat dan dapat mendukung pandangannya bahwa al-Qur'an mengakui keimanan komunitas beragama selain umat Islam bahkan amalan mereka juga akan diterima sebagaimana umat Islam. Dengan mengandalkan ayat al-Qur'an (al-Baqarah: 62 dan al-Ma'idah: 69), Alwi menterjemahkan ayat tersebut sebagai berikut: "Sesungguhnya mereka telah beriman, Yahudi, Kristen, dan Kaum Shabiin; Mereka yang percaya pada tuhan dan hari akhir dan berbuat baik, akan menerima pahala dari Tuhan mereka. Mereka tidak akan merugi dan tidak akan berduka cita". Sekilas ayat ini seolah menjustifikasikan pandangan beliau, akan tetapi siapa yang paham bahasa Arab akan sedar adanya kalimat yang sengaja ditambahkan dan tidak sesuai dengan kehendak ayat. Ayat tersebut diawali dengan Innallazi na'amanu wallazi nahadu wannasara wassabi'i naman amana billah, jelas sekali ayat ini tidak mengatakan bahwa semua golongan yang dinyatakan adalah dianggap beriman, ayat tersebut hanya menyatakan bahwa ada kemungkinan di antara penganut agama tersebut ada orang-orang yang memiliki keimanan (yang belum tercemari oleh kesesatan) terhadap Allah dan hari akhirat. Al-Qurtubi menjelaskan bahwa pendapat yang kuat berdasarkan pendapat Ibn Abbas mengatakan bahwa ayat ini telah dihapus dengan ayat waman yabtaghi ghayr al-Isla mi dinan... Adapun pendapat yang mengatakan ia tidak dimansuhkan mengatakan bahwa ada syarat implisit bagi ayat tersebut yaitu beriman kepada kerasulan Muhammad Bahkan ulama dan banyak mufassir mengatakan bahwa ayat ini harus dipahami sebagai satu seruan agar ahlul Kitab yang masih memiliki keimanan tersebut hendaklah menyempurnakannya dengan beriman kepada nabi Muhammad saw karena keimanan terhadap Allah tidak sempurna dan tidak akan diterima tanpa keimanan terhadap Rasulullah begitu juga amalan mereka tidak akan diterima sebagai amal saleh apabila mereka enggan mengikuti syari'at Rasulullah saw penafsiran seperti inilah yang sesuai dengan pesan keseluruhan dan objektif al-Qur'an. Ini karena seorang mufassir dikehendaki melihat satu-satu ayat paralel dengan ayat-ayat yang lain bukan mengisolasinya dan menutup mata dari melihat kepada nas-nas (teks) yang justru bertentangan dengan pemahamannya. Tentang posisi orang kafir baik Ahlul Kitab maupun Musyrikin terdapat banyak ayat-ayat al-Qur'an yang menjelaskan tentang kesesatan dan kekufuran mereka.

Konsep pluralisme agama adalah sejalan dengan misi sekularisasi dan liberalisasi. Di Barat, masyarakat pada umumnya sudah hilang kepercayaan pada agama. Agama Kristen tidak lagi menjadi referensi dalam masalah moral apalagi masalah politik, dan sosial. Filsafat eksistensialisme dan pragmatisme telah mengambil alih peran dalam menentukan nilai-nilai moral masyarakat Barat. Ini karena agama secara umum telah disepakati merupakan produk manusia tidak luput dari silap dan salah. Bahkan banyak ajaran Injil hanya dianggap mitos yang tidak rasional dan perlu ditinggalkan oleh orang yang telah bertamadun dan maju. Bila telah menjadi kesepakatan umum bahwa 'all religions are human Inventions' maka tidak ada lagi kebenaran mutlak, yang ada adalah kebenaran yang relatif, terserah kepada masing-masing individu untuk memilih sesuai dengan 'selera'nya.
 
Islam Liberal, bag II.

Penolakan terhadap syari'at Islam

Islam Liberal menolak pelaksanaan syari'at Islam, di Amerika al-Na'im pengikut setia tokoh kontroversial Mahmud Muhammad Taha dari Sudan, menulis buku beliau pada tahun 1990 berjudul Toward an Islamic Reformation yang intinya adalah merombak pemahaman orang Islam terhadap syari'at Islam. Menurut beliau syari'at Islam itu tidak suci (divine). Ia menyuarakan perlunya syari'at Islam khususnya Islamic public law dirubah karena teks agama tidak perlu diikuti secara literal. Bahkan beliau mengatakan bahwa pelaksanaan hukum Islam pada saat ini hanya akan mempengaruhi counter-productive. Karena pelaksanaannya sangat bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Al-Na'im menjelaskan:

I have shown that Shari'a was in fact constructed by Muslim jurists over the first three centuries of Islam. Although derived from the fundamental divine sources of Islam, the Qur'an and Sunna, Shari'a is not divine because it is the product of human interpretation of those sources. Moreover, this process of construction through human interpretation took place within a specific historical context which is drastically different from our own. It should therefore be possible for contemporary Muslims to undertake a similar process of interpretation and application of the Qur'an and Sunna in the present historical context to develop an alternative public law of Islam which is appropriate for implementation today.

Di sini dapat dilihat pengaruh kajian Orientalist terhadap al-Na'im.Berdasarkan penelitian orientalis seperti Goldziher, Schacht dan Coulson yang mengatakan bahwa Syari'at Islam adalah hasil ciptaan ulama 'dan fuqaha selama tiga ratus tahun. Sayangnya jarang tulisan-tulisan ilmiah yang dapat mendongkrak idea-idea seperti ini, kecuali beberapa tulisan yang masih perlu dilanjutkan seperti M. Mustafa al-Azami yang telah membatalkan premis-premis Schacht tentang Shari'ah. Kajian mendalam orientalis terhadap hukum Islam membuahkan hasil dengan diterimanya premis-premis mereka sebagai cadangan untuk menolak hukum Islam.

Penolakan hukum Islam sebenarnya berakar dari keengganan meletakkan agama sebagai dasar kehidupan masyarakat. Oleh karena itu penolakan syari'at Islam sebenarnya merupakan kesinambungan dari pemikiran sekularisme dan bahkan juga diakui oleh al-Naim sendiri. Di Indonesia pesan penolakan Shari'at dikemukakan Jaringan Islam Liberal.

Anggapan bahwa syari'at Islam tidak divine disandarkan kepada kajian-kajian orientalis yang mengatakan bahwa formulasi syari'at Islam berlaku selama 300 tahun setelah beberapa hari Rasulullah saw Oleh itu mereka menyimpulkan bahwa syari'ah adalah produk ulama dan pemerintah yang tentunya bernuansa politik dan kekuasaan. Di sini sangat jelas kekeliruan mereka karena tidak membedakan Syari'ah dengan Fiqh, di antara thawabit dan Mutaghayyirat, di antara hal-hal yang disepakati atau qat'iyyat dan hal-hal ijtihadi. Tanpa melihat hal-hal seperti ini maka tentunya kekeliruan tersebut timbul.

Kesimpulan

Ada perbedaan yang signifikan antara teori yang dikemukakan oleh Kurzman dan Binder dengan kenyataan lapangan. Teori Kurzman membawa pesan untuk mempopulerkan gerakan ini dan memberi justifikasi atas setiap ide dan pemikiran Islam Liberal. Untuk tujuan ini, Kurzman telah berhasil mengelabui orang banyak dengan petunjuk istilah dan terminologi yang diterima ramai seperti: progress, freedom of thought, democracy dsb. Konsentrasi pada hal-hal tersebut akan mempengaruhi ketidakrelevenan kaum yang menolak Islam Liberal. Dan menutup mata orang ramai terhadap banyak lagi ide-ide yang justru menjadi fitur utama pemikiran Islam Liberal seperti: penolakan otoritas agama, pluralisme agama, penolakan Syari'ah dll.

Hubungan dan pengaruh pemikiran Barat: sekularisme, orientalisme dan postmodernisme, terhadap pemikiran Islam Liberal adalah berdasarkan bukti yang nyata dan tidak dapat disangkal. Ini jelas dalam buku Kurzman Liberal Islam yang menjadikan tema-tema sekuler sebagai elemen penting dalam gerakan ini. Karena itu, ada benarnya pernyataan Islamis bahwa Islam Liberal sebenarnya merupakan 'produk' Barat, lahir dan dibentuk bukan di dalam paradigma Islam akan tetapi di dalam paradigma pemikiran Barat. Walaupun para ideolog dan promotor mereka mencoba untuk memberikan legitimasi dari teks-teks agama untuk setiap ide yang dilontarkan, ia hanyalah sebagai satu strategi dan hanya digunakan dengan tujuan validasi.

Adalah tidak benar jika dikatakan bahwa Islam Liberal tidak memiliki metodologi dalam pemikirannya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ideolog-ideolog Islam Liberal memakai metodologi yang telah tersedia dan disadur dari pemikiran Barat. Sebuah framework pemikiran adalah hasil paradigma yang dibentuk oleh pemikir yang berpengaruh dan tentunya ia tidak kelihatan, dalam bentuknya yang asli, pada gerakan ini. Kalau dalam diskursus Islamis banyak menyebut tentang serangan pemikiran (al-Ghazw al-Fikri) dan menjadikan Orientalisme, sekularisme dan modernisme sebagian darinya, tentunya gerakan Islam Liberal ini merupakan satu jelmaan baru serangan Barat terhadap Islam.

Pemikir Islam seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas telah memberikan penjelasan tentang worldview Islam dan worldview Barat, dengan tujuan bahwa umat Islam tidak keliru dan terpengaruh dengan pemikiran Barat yang pada intinya tidak mesra agama kalau bukan anti-agama. Anggapan bahwa tidak adanya kontradiksi antara keduanya memberikan sinyal bahwa Islam tidak memiliki identitas tersendiri dan tidak memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan manusia, dan anggapan ini tentunya tidak benar sama sekali.
 
kalau bisa pemerintah mensponsori kedua belah pihak, pilih wakil juru bicara yang terbaik, terus didialogkan bersama-sama. tapi, pemerintahan sekarang njegikek aja. moga aja aku yang jadi presidennya.
 
pluralisme dalam beragama harus dilindungi baik lewat undang2 maupun regulasi yang lain,,namun setiap keyakinan yang dianggap sesat mungkin hanya dilihat dari salah satu sisi ajaran yang dianut sebagai dogma sehingga reaksinya dalam memandang masalah selalu hitam putih
 
Keberagaman dalam unsur penciptaan (yang datangnya dari Allah), saya sangat sepakat. Karena ini tandanya orang beriman, yakni yakin terhadap Allah. Namun keberagaman yang sengaja diciptakan manusia dengan maksud memperkeruh hubungan kemanusiaan, saya sangatlah tidak sepakat! Pluralisme yang berlaku sekarang lebih menajamkan perbedaan daripada menyatukan persamaan. Manusia terlahir atas laki-laki dan perempuan, dibikin samar-samar dengan 'menciptakan' jenis lain. Binatang saja tahu mana itu jantan dan mana betina, sederhananya nggak ada ayam jago kawin ama ayam jago lagi, eh manusia malah (lancang) mengubah ciptaan Allah dengan alih-alih keberagaman dan melegalkan perkawinan sejenis.

Kalau berdiskusi masalah ini akan panjang dan menguras waktu dan energi. Sederhananya, harus ada perbedaan mana itu pluralitas (keberagamaan alamiah) dan mana itu pluralisme (keberagaman manipulatif). Jazakumullah khair.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.