Pecalang
IndoForum Newbie A
- No. Urut
- 3089
- Sejak
- 11 Jul 2006
- Pesan
- 271
- Nilai reaksi
- 23
- Poin
- 18
Siang itu temanku tiba-tiba nelpon. Makan siang yuk, ajaknya. Oke, jawabku.
Selepas SCBD, kami masih belum ada ide mau makan dimana. Ide ke soto pak Sadi segera terpatahkan begitu melihat bahwa yang parkir sudah sampai sebrang-sebrang.
Akhirnya kami memutuskan makan gado-gado .Bisa makan di mobil soalnya sampai di sana masih sepi. Baru ada beberapa mobil. Kami masih bisa milih parkir yang enak. Mungkin karena masih pada jumatan. Begitu parkir,seperti biasa, joki gado-gado sudah menanyakan mau makan apa, minum apa.
Kami pesan dua porsi gado-gado + teh botol. Sambil menunggu pesanan,kami pun ngobrol. So, ketika tiba2 ada seorang pemuda lusuh nongol di jendela mobil kami, kami agak kaget. "Semir om?" tanyanya. Aku lirik sepatuku. Ugh, kapan ya terakhir aku nyemir sepatuku sendiri? Aku sendiri lupa. Saking lamanya. Maklum, aku kan karyawan sok sibuk...Tanpa sadar tangan ku membuka sepatu dan memberikannya pada dia.Dia menerimanya lalu membawanya ke emperan sebuah rumah. Tempat yang terlihat dari tempat kami parkir. Tempat yang cukup teduh. Mungkin supaya nyemirnya nyaman.
Pesanan kami pun datang. Kami makan sambil ngobrol. Sambil memperhatikan pemuda tadi nyemir sepatu ku. Pembicaraan pun bergeser ke pemuda itu.
Umur sekitar 20-an. Terlalu tua untuk jadi penyemir sepatu. Biasanya pemuda umur segitu kalo tidak jadi tukang parkir or jadi kernet,ya jadi pak ogah.Pandangan matanya kosong. Absent minded. Seperti orang sedih. Sepertiada yang dipikirkan. Tangannya seperti menyemir secara otomatis. Kadang2 matanya melayang ke arah mobil-mobil yang hendak parkir (sudah mulai ramai).
Lalu pandangannya kembali kosong. Perbincangan kami mulai ngelantur kemana-mana. Tentang kira2 umur dia berapa, pagi tadi dia mandi apa enggak,kenapa dia jadi penyemir dll. Kami masih makan saat dia selesai menyemir. Dia menyerahkan sepatunya pada ku. Belum lagi dia kubayar, dia bergerak menjauh, menuju mobil-mobil yang parkir sesudah kami.
Mata kami lekat padanya. Kami melihatnya mendekati sebuah mobil. Menawarkan jasa. Ditolak. Nyengir. Kelihatannya dia memendam kesedihan. Pergi ke mobil satunya. Ditolak lagi. Melangkah lagi dengan gontai ke mobil lainnya. Menawarkan lagi. Ditolak lagi. Dan setiap kali dia ditolak, sepertinya kamijuga merasakan penolakan itu.
Sepertinya sekarang kami jadi ikut menyelami apa yang dia rasakan. Tiba-tiba kami tersadar. Konyol ah. Who said life would be fair anyway. Kenapa jadi kita yang mengharapkan bahwa semua orang harus menyemir? Hihihi...
Perbincangan pun bergeser ke topik lain. Di kejauhan aku masih bisa melihat pemuda tadi, masih menenteng kotak semirnya di satu tangan,mendapatkan penolakan dari satu mobil ke mobil lainnya. Bahkan, selain penolakan,di beberapa mobil, dia juga mendapat pandangan curiga.
Akhirnya dia kembali ke bawah pohon. Duduk di atas kotak semirnya. Tertunduk lesu...Kami pun selesai makan. Ah, iya. Penyemir tadi belum aku bayar. Kulambai dia. Kutarik 2 buah lembaran ribuan dari kantong kemejaku. Uang sisa parkir. Lalu kuberikan kepadanya. Soalnya setahu ku jasa nyemir biasanya 2 ribu rupiah
Dia berkata kalem "Kebanyakan om. Seribu aja".
BOOM. Jawaban itu tiba-tiba serasa petir di hatiku.
It-does-not-compute-with-my-logic!
Bayangkan, orang seperti dia masih berani menolak uang yang bukan hak-nya.
Aku masih terbengong-bengong waktu nerima uang seribu rupiah yang dia kembalikan. Se-ri-bu Ru-pi-ah. Bisa buat apa sih sekarang? But, dia merasa cukup dibayar segitu. Pikiranku tiba-tiba melayang. Tiba-tiba aku merasa ngeri. Betapa aku masih sedemikian kerdil. Betapa aku masih suka merasa kurang dengan penghasilan ku. Padahal keadaanku sudah sangat jauh lebih baik dari dia.
Tuhan sudah sedemikian baik bagiku, tapi perilaku-ku belum seberapa dibandingkan dengan pemuda itu, yang dalam kekurangannya, masih mau memberi, kepada aku, yang sudah berkelebihan.
Siang ini aku merasa mendapat pelajaran berharga.
Siang ini aku seperti diingatkan.
Bahwa kejujuran itu langka.
Bahwa kepuasan itu ada pada rasa syukur
Selepas SCBD, kami masih belum ada ide mau makan dimana. Ide ke soto pak Sadi segera terpatahkan begitu melihat bahwa yang parkir sudah sampai sebrang-sebrang.
Akhirnya kami memutuskan makan gado-gado .Bisa makan di mobil soalnya sampai di sana masih sepi. Baru ada beberapa mobil. Kami masih bisa milih parkir yang enak. Mungkin karena masih pada jumatan. Begitu parkir,seperti biasa, joki gado-gado sudah menanyakan mau makan apa, minum apa.
Kami pesan dua porsi gado-gado + teh botol. Sambil menunggu pesanan,kami pun ngobrol. So, ketika tiba2 ada seorang pemuda lusuh nongol di jendela mobil kami, kami agak kaget. "Semir om?" tanyanya. Aku lirik sepatuku. Ugh, kapan ya terakhir aku nyemir sepatuku sendiri? Aku sendiri lupa. Saking lamanya. Maklum, aku kan karyawan sok sibuk...Tanpa sadar tangan ku membuka sepatu dan memberikannya pada dia.Dia menerimanya lalu membawanya ke emperan sebuah rumah. Tempat yang terlihat dari tempat kami parkir. Tempat yang cukup teduh. Mungkin supaya nyemirnya nyaman.
Pesanan kami pun datang. Kami makan sambil ngobrol. Sambil memperhatikan pemuda tadi nyemir sepatu ku. Pembicaraan pun bergeser ke pemuda itu.
Umur sekitar 20-an. Terlalu tua untuk jadi penyemir sepatu. Biasanya pemuda umur segitu kalo tidak jadi tukang parkir or jadi kernet,ya jadi pak ogah.Pandangan matanya kosong. Absent minded. Seperti orang sedih. Sepertiada yang dipikirkan. Tangannya seperti menyemir secara otomatis. Kadang2 matanya melayang ke arah mobil-mobil yang hendak parkir (sudah mulai ramai).
Lalu pandangannya kembali kosong. Perbincangan kami mulai ngelantur kemana-mana. Tentang kira2 umur dia berapa, pagi tadi dia mandi apa enggak,kenapa dia jadi penyemir dll. Kami masih makan saat dia selesai menyemir. Dia menyerahkan sepatunya pada ku. Belum lagi dia kubayar, dia bergerak menjauh, menuju mobil-mobil yang parkir sesudah kami.
Mata kami lekat padanya. Kami melihatnya mendekati sebuah mobil. Menawarkan jasa. Ditolak. Nyengir. Kelihatannya dia memendam kesedihan. Pergi ke mobil satunya. Ditolak lagi. Melangkah lagi dengan gontai ke mobil lainnya. Menawarkan lagi. Ditolak lagi. Dan setiap kali dia ditolak, sepertinya kamijuga merasakan penolakan itu.
Sepertinya sekarang kami jadi ikut menyelami apa yang dia rasakan. Tiba-tiba kami tersadar. Konyol ah. Who said life would be fair anyway. Kenapa jadi kita yang mengharapkan bahwa semua orang harus menyemir? Hihihi...
Perbincangan pun bergeser ke topik lain. Di kejauhan aku masih bisa melihat pemuda tadi, masih menenteng kotak semirnya di satu tangan,mendapatkan penolakan dari satu mobil ke mobil lainnya. Bahkan, selain penolakan,di beberapa mobil, dia juga mendapat pandangan curiga.
Akhirnya dia kembali ke bawah pohon. Duduk di atas kotak semirnya. Tertunduk lesu...Kami pun selesai makan. Ah, iya. Penyemir tadi belum aku bayar. Kulambai dia. Kutarik 2 buah lembaran ribuan dari kantong kemejaku. Uang sisa parkir. Lalu kuberikan kepadanya. Soalnya setahu ku jasa nyemir biasanya 2 ribu rupiah
Dia berkata kalem "Kebanyakan om. Seribu aja".
BOOM. Jawaban itu tiba-tiba serasa petir di hatiku.
It-does-not-compute-with-my-logic!
Bayangkan, orang seperti dia masih berani menolak uang yang bukan hak-nya.
Aku masih terbengong-bengong waktu nerima uang seribu rupiah yang dia kembalikan. Se-ri-bu Ru-pi-ah. Bisa buat apa sih sekarang? But, dia merasa cukup dibayar segitu. Pikiranku tiba-tiba melayang. Tiba-tiba aku merasa ngeri. Betapa aku masih sedemikian kerdil. Betapa aku masih suka merasa kurang dengan penghasilan ku. Padahal keadaanku sudah sangat jauh lebih baik dari dia.
Tuhan sudah sedemikian baik bagiku, tapi perilaku-ku belum seberapa dibandingkan dengan pemuda itu, yang dalam kekurangannya, masih mau memberi, kepada aku, yang sudah berkelebihan.
Siang ini aku merasa mendapat pelajaran berharga.
Siang ini aku seperti diingatkan.
Bahwa kejujuran itu langka.
Bahwa kepuasan itu ada pada rasa syukur