• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Kewajiban Anak Terhadap Orang Tua

singthung

IndoForum Junior E
No. Urut
7164
Sejak
21 Sep 2006
Pesan
1.634
Nilai reaksi
27
Poin
48
KEWAJIBAN ANAK TERHADAP ORANG TUA



Menurut Sang Buddha terdapat empat lapangan yang utama untuk menanam jasa kebajikan, yang pertama adalah para Buddha, yang kedua adalah para Arahat, yang ketiga adalah ibu dan terakhir adalah ayah.

(Anguttara Nikaya II, 4)

Para Buddha jarang sekali muncul di alam dunia ini, demikian pula para Arahat. Akan tetapi ibu dan ayah yang baik dan tercinta adalah biasa terdapat dalam setiap rumah tangga. Mereka benar-benar merupakan tanah ladang yang subur untuk menanam kebajikan bagi anak yang berbakti dan tahu balas budi. Sungguh beruntung, bagi anak laki-laki atau anak perempuan yang masih memiliki ibu dan ayahnya yang terkasih, sehingga mereka dapat setiap saat mempersembahkan kasih sayang dan ungkapan terima kasih kepada orangtuanya.

Barang siapa yang memperlakukan dengan buruk,
ibu, ayah dan Sammasambuddha,
Sang Tathagata serta para pengikutnya,
sebenarnya telah menimbun banyak bibit penderitaan,
Karena siapapun yang mengabaikan orang tuanya dalam hidup ini,
Akan dicela oleh para bijaksana,
Dan dalam kelahiran-kelahiran selanjutnya
Ia akan menderita sengsara di alam neraka.

Barang siapa yang telah memperlakukan dengan baik,
Ibu, ayah dan Sammasambuddha,
Sang Tathagata serta para pengikutnya,
sebenarnya telah menimbun banyak bibit kebajikan,
Karena siapapun yang berbuat bajik kepada orang tuanya dalam hidup ini,
Akan dipuji oleh para bijaksana,
dan dalam kelahiran-kelahiran selanjutnya
Ia akan hidup berbahagia di alam-alam surga.

(Anguttara Nikaya II, 4)

Hanyalah orang yang bodoh, jahat, rendah dan tidak tahu membalas budi yang akan memperlakukan ibu dan ayahnya dengan buruk; sedangkan mereka yang bijaksana, bajik, mulia dan tahu balas budi akan memperlakukan ibu dan ayahnya dengan baik. Di dalam budaya timur, adalah suatu hal yang wajib bagi seorang anak untuk berbakti kepada orang tuanya, juga kepada mertuanya. Seorang anak masih tetap berhubungan erat dengan kedua orang tuanya meskipun ia telah dewasa, kawin dan mempunyai keturunan. Berbakti kepada orang tua sendiri mungkin tidak ada masalah, akan tetapi banyak menantu yang sulit untuk berbakti kepada mertuanya. Meskipun agama Buddha lahir dalam budaya India lebih dari 2500 tahun yang lalu, akan tetapi apa yang telah diajarkan oleh Sang Buddha kiranya masih relevan untuk disimak dan dilaksanakan oleh umat Buddha.

Di dalam Sigalovada Sutta tertera: "Dengan lima cara seorang memperlakukan orang tuanya sebagai arah timur :

1. Dahulu aku telah dipelihara/dibesarkan oleh mereka, sekarang aku akan menyokong mereka
2. Aku akan melakukan tugas-tugas kewajibanku terhadap mereka
3. Aku akan menjaga baik-baik garis keturunan dan tradisi keluarga.
4. Aku akan membuat diriku pantas untuk menerima warisan.
5. Aku akan mengurus persembahyangan kepada sanak keluargaku yang telah meninggal dunia."
(Digha Nikaya III, 189)

1. Setiap anak pasti mempunyai orang tua, sejak berada didalam kandungan telah menerima kasih sayang dari kedua orang tua. Sungguh beruntung seorang anak yang lahir di tengah-tengah keluarga yang harmonis, memiliki ibu yang penuh kasih sayang, memiliki ayah yang penuh tanggung jawab, memiliki saudara kandung yang rukun dan memiliki sanak keluarga yang penuh simpati. Ibu dan ayah merupakan, orang-orang yang sangat berjasa bagi anak, yang telah melindungi anaknya dari segala mara bahaya pada saat anaknya tidak berdaya, memberi makan, minum dan tempat berteduh kepada anak yang belum dapat mencari nafkahnya sendiri, mengajarkan anak untuk melakukan hal-hal yang baik dan menjauhi hal-hal yang buruk, mendidik dan menyekolahkan anak agar mempunyai kepandaian dan ketrampilan sehingga kelak bisa mandiri dalam mencari nafkah, memberikan hiburan dan dorongan pada saat anak berputus asa, dan lain sebagainya. Orang tua yang telah membesarkan anaknya dengan sebaik-baiknya menurut ukuran mereka, adalah sangat pantas untuk disokong oleh anak-anaknya, sebagai balas jasa; meskipun sebenarnya jasa orang tua itu tidak akan pernah dapat terbalas oleh anak-anaknya.

Ayah dan ibu mertua juga harus dipandang sebagai orang tua sendiri, harus dipandang sebagai dewata keluarga yang layak dihormati. Memang sejak zaman dahulu telah menjadi bahan pembicaraan bahwa mertua dan menantu lebih sering bertengkar daripada rukun, apalagi mertua perempuan dan menantu perempuan. Diharap dalam keluarga Buddhis hal seperti itu tidak terjadi, karena masing-masing pihak berusaha untuk menahan diri, memiliki tenggang rasa dan menaruh simpati, tidak mengembangkan rasa benci dan iri hati kepada pihak lainnya.

2. Melakukan tugas-tugas kewajiban terhadap orang tua adalah hal yang sangat penting untuk dilaksanakan oleh anak atau menantu. Setiap anak atau menantu seharusnya mengerti apa yang diharapkan dari mereka dan melaksanakan hal-hal tersebut dengan sebaik-baiknya untuk memuaskan orang tua atau mertuanya.

Adalah kewajiban bagi anak untuk menyenangkan dan membahagiakan orang tua mereka, bila perlu mengorbankan, kesenangan atau kepentingan sendiri demi orang tua.

"Mereka yang patuh pada Dhamma dan merawat orang tuanya yang sedang menderita, Kebaikannya akan diperhatikan oleh para dewa, dan para dewa tersebut akan datang untuk mengobati penyakitnya.

Mereka yang patuh pada Dhamma dan merawat orang tuanya yang sedang menderita, Kebaikannya akan dipuji oleh para dewa di dunia ini, Dalam kelahiran berikut ia akan memperoleh kebahagiaan di surga."

(Temiya Jataka)

Anak dan menantu seharusnya tidak hanya memperhatikan kebutuhan materi dari orang tua atau mertuanya saja, namun wajib memperhatikan kebahagiaan batin mereka. Doronglah agar mereka mengembangkan kemurahan hati, moral etik, kebajikan, kebijaksanaan dan lain sebagainya. Kalau mampu dan keadaan memungkinkan, ajaklah mereka berziarah ke tempat-tempat suci (Buddha Gaya, Taman Isipatana, Taman Lumbini dan Kusinara), dan doronglah agar mereka banyak melakukan perbuatan jasa yang kelak akan menguntungkan bagi mereka sendiri dalam kehidupan selanjutnya.

3. Menjaga baik-baik garis keturunan dan tradisi keluarga merupakan kewajiban seorang anak untuk melakukannya. Kalau bukan anak yang memelihara garis keturunan (silsilah) dan tradisi keluarga, lalu siapa lagi? Tradisi keluarga yang baik, tidak bertentangan dengan Dhamma, sebaiknya dipelihara secara seksama. Memperhatikan sanak keluarga dan membantu mereka yang perlu ditolong adalah hal yang membawa berkah. Memelihara garis silsilah dan tradisi keluarga juga berarti tidak menghamburkan harta benda keluarga, memulihkan atau memperbaiki integritas dan kehormatan keluarga, serta tetap mempersembahkan dana untuk kepentingan keagamaan. Mempersembahkan dana secara rutin, menyokong institusi keagamaan, menyokong dunia pendidikan, membantu yayasan sosial, menolong para fakir miskin dan korban bencana alam, yang telah dilakukan oleh orang tua, wajib untuk dilanjutkan terutama setelah mereka meninggal dunia.

4. Seorang anak yang baik akan selalu berusaha untuk hidup sesuai dengan Dhamma, menghindari hal-hal yang buruk, tidak bergaul dengan orang jahat, bergaul dengan para bijaksana, bersikap dewasa dalam berpikir dan bertindak, sehingga kedua orang tuanya menilai bahwa anak tersebut layak menerima warisan dari mereka. Demikianlah, setelah warisan itu diterima oleh si anak, lalu dikelola dengan baik, tidak dihambur-hamburkan, digunakan untuk modal usaha, atau untuk mengembangkan usaha yang sudah ada, sehingga membawa manfaat bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, maupun bagi lingkungan masyarakatnya atau negaranya.

5. Seorang anak yang baik akan mengurus persembahyangan kepada sanak keluarga yang telah meninggal dunia. Yang dimaksud disini adalah melakukan pattidana. Anak yang baik akan banyak melakukan perbuatan jasa, misalnya

a. Mempersembahkan makanan, jubah, obat-obatan kepada anggota Sangha;
b. Banyak berdana kepada korban bencana alam, anak yatim piatu, para tuna netra atau orang jompo
c. Melepaskan binatang-binatang yang akan mati disembelih;
d. Mencetak buku-buku Dhamma yang kemudian dibagikan kepada mereka yang membutuhkan;
e. Berdana untuk pembangunan atau pemeliharaan vihara;
f. Bermeditasi dan lain sebagainya.

Setelah melakukan banyak perbuatan jasa, lalu berdoa atau bersembahyang semoga para leluhur atau sanak keluarga yang telah meninggal dunia turut berbahagia atau turut bersimpati mengetahui keturunannya gemar berbuat kebajikan. Diharapkan mudita citta (pikiran yang penuh simpati dan turut bergembira) muncul dalam batin leluhur atau sanak keluarga yang telah meninggal itu, dan mudah-mudahan hal tersebut akan membuat mereka meninggal di alam yang menyedihkan lalu terlahir kembali di alam-alam yang bahagia. Berdana secara rutin atas nama orang tua yang telah meninggal adalah sangat terpuji untuk dilakukan oleh anak yang berbakti, untuk mengenang jasa-jasa almarhum, dan juga untuk kebaikan almarhum.
Seorang anak atau menantu yang bersikap kurang baik terhadap orang tua atau mertuanya, tidak mau melaksanakan kewajiban dengan baik, akan mengalami kemerosotan di dalam hidupnya kelak ia juga akan mengalami hal yang sama, anak dan menantunya akan bersikap kurang baik terhadap dirinya. Seorang anak demikian tega sehingga membunuh kedua orang tuanya, akan terlahir di neraka sekian kali ratusan ribu tahun, kemudian setelah itu ratusan kali terlahir kembali sebagai mahluk manusia yang berumur pendek dan selalu tersiksa sebelum mati (Baca kisah Moggalana).

Memang ada orang tua dan mertua yang kurang baik, yang suka menyiksa atau menghina anak dan menantunya. Ada yang semakin tua semakin sukar dilayani, semakin cerewet dan semakin keras kepala. Anak harus bersikap sabar dan menahan diri, anggaplah hal tersebut sebagai buah dari perbuatan buruk yang telah dilakukan dalam masa yang lampau.

Anak yang baik wajib melayani orang tuanya dengan kasih dan telaten, sama seperti orang tuanya membesarkan dirinya dengan kasih sayang ketika ia masih kecil dan sukar diatur (nakal). Berkorban kepentingan untuk orang tua atau mertua adalah hal yang terpuji.

Memang ada seorang ibu yang kebetulan hanya memiliki seorang putera, menganggap menantunya sebagai saingan dalam rangka merebut perhatian anaknya; apalagi kalau ia sudah menjadi janda. Ia selalu mencampuri keluarga anaknya, selalu ikut mengatur apa yang baik untuk anaknya, tanpa mekikirkan bahwa anaknya itu sudah dewasa dan telah menikah. Si menantu harus siap untuk bersabar dan bersabar lagi, karena apabila ia juga "melayani" sikap negatif dari ibu mertuanya, yang akan susah adalah suami dan dirinya sendiri. Banyak suami yang sukar untuk menentukan sikap, apabila terjadi masalah di antara ibu dan isterinya. Adalah bijaksana untuk semua pihak mengendalikan diri dengan baik, selalu memegang teguh ajaran Sang Buddha dalam hidup sehari-hari.

Menurut Sang Buddha di dalam dunia ini terdapat dua orang yang tidak dapat dibayar lunas jasa-jasa baiknya, yaitu ibu dan ayah. Meskipun seseorang memanggul ibu dan ayahnya diatas kedua bahunya sampai 100 tahun lamanya, memberikan tunjangan kepada ibu dan ayahnya, membalur tubuh mereka, dengan obat gosok, memijit, membersihkan dan mengurut kaki mereka, dan kadang-kadang mereka mengotorinya dengan air seni dan tinja, ia tetap tidak dapat membayar lunas jasa-jasa kebaikan orang tuanya. Selanjutnya, meskipun ia menempatkan orang tuanya menjadi pejabat tinggi, menjadi orang yang sangat kaya dan berkuasa, ia tetap belum dapat membayar lunas jasa-jasa kebaikan orang tuanya. Karena orang tua telah berbuat banyak sekali kepada anak, yaitu membesarkan, memberi makan, mendidik dan memperkenalkan dunia luar kepada anak mereka.

Apabila ada anak yang dapat mendorong orang tuanya yang tidak memiliki keyakinan, agar memiliki dan mengembangkan keyakinannya terhadap Dhamma; apabila ada anak yang dapat mendorong orang tuanya yang tidak bermoral, agar memiliki dan mengembangkan moral sesuai dengan Dhamma; apabila ada anak yang dapat mempengaruhi orang tuanya yang sangat kikir, agar memiliki dan mengembangkan sikap murah hati; apabila ada anak yang dapat mendorong orang tuanya yang bodoh atau dungu, agar memiliki dan mengembangkan kebijaksanaan, dengan berbuat demikian, barulah ia dapat membayar lunas jasa-jasa kebaikan orang tuanya, bahkan lebih daripada, itu.

(Anguttara Nikaya I, 61)
 
ceritanya sedih /sob,pengabdian seorg ibu terhadap anaknya /sob
emang pantas surga itu ditelapak kaki ibu /kis
 
@SingThung,
Mengharukan sekali....ceritanya...
Nice Post Friend..

Sampai hari ini pun saya masih tetap tak mengerti kenapa ada anak yang tega menaroh orang tua yang sudah membesarkan dan merawatnyake panti jompo. Alasan klasiknya agar punya teman. Padahal alasan utama tidak mau direpotkan olehnya. X(

@All,
Bagaimana pandangan buddhist terhadap euthanasia ? Mohon pencerahannya :)

Untuk link diatas, menurut saya untuk ibu yang nekad melawan buaya saya saluut. Untuk story tentang ibu yang merawat anaknya yang diabetes. Ada 2 pandangan buat saya, bila saya yang menjadi ibu itu, saya akan berbuat yang sama. Namun bila saya adalah yang dirawat, saya lebih baik minta di euthanasia saja !
 
@SingThung,
Mengharukan sekali....ceritanya...
Nice Post Friend..

Sampai hari ini pun saya masih tetap tak mengerti kenapa ada anak yang tega menaroh orang tua yang sudah membesarkan dan merawatnyake panti jompo. Alasan klasiknya agar punya teman. Padahal alasan utama tidak mau direpotkan olehnya. X(

@All,
Bagaimana pandangan buddhist terhadap euthanasia ? Mohon pencerahannya :)

Untuk link diatas, menurut saya untuk ibu yang nekad melawan buaya saya saluut. Untuk story tentang ibu yang merawat anaknya yang diabetes. Ada 2 pandangan buat saya, bila saya yang menjadi ibu itu, saya akan berbuat yang sama. Namun bila saya adalah yang dirawat, saya lebih baik minta di euthanasia saja !

Jaman sudah berubah,anak sekarang mungkin menganggap orang tua sebagai beban.

@euthanasia
Melanggar Sila I dalam Pancasila Buddhis.
 
@SingThung, and @all buddhist,
Bahas dikit masalah euthanasia ya...:)

Ada satu kejadian dilema, ceritanya ada orang tua yang terkena penyakit gagal ginjal, dimana tiap bulan dia harus cuci darah terus menerus. Yang mana tiap periode waktu jarak untuk cuci darah semakin lama semakin pendek, shg akhirnya dia harus menjalani cuci darah tiap minggu.

Pertanyaan saya, bagaimana seorang buddhist menghadapi kondisi seperti diatas? Bila tidak diteruskan, maka orang tua akan meninggal, namun bila diteruskan, akan habis semua harta benda, dimana setelah semua harta benda habis, akhirnya orang tua meninggal juga karena tiada lagi biaya berobat.
Pa dalam kondisi ini, sebagai seorang buddhist menyetujui euthanasia ?

Mohon pencerahannya....
 
@SingThung, and @all buddhist,
Bahas dikit masalah euthanasia ya...:)

Ada satu kejadian dilema, ceritanya ada orang tua yang terkena penyakit gagal ginjal, dimana tiap bulan dia harus cuci darah terus menerus. Yang mana tiap periode waktu jarak untuk cuci darah semakin lama semakin pendek, shg akhirnya dia harus menjalani cuci darah tiap minggu.

Pertanyaan saya, bagaimana seorang buddhist menghadapi kondisi seperti diatas? Bila tidak diteruskan, maka orang tua akan meninggal, namun bila diteruskan, akan habis semua harta benda, dimana setelah semua harta benda habis, akhirnya orang tua meninggal juga karena tiada lagi biaya berobat.
Pa dalam kondisi ini, sebagai seorang buddhist menyetujui euthanasia ?

Mohon pencerahannya....

PENGERTIAN

Euthanasia berasal dari bahasa yunani, yaitu dari kata ‘eu’ yg berarti baik dan ‘thanatos’ yang berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia berarti mati secara baik.euthanasia kadang-kadang disebut mercy killing, yang berarti “membunuh dengan alasan kasih sayang”.

Masalah euthanasia masih sering dibicarakan oleh berbagai kalangan masyarakat baik oleh para dokter, para ahli hukum, maupun oleh para ulama. Ada kelompok yang setuju, namun lebih banyak yang tidak setuju. Masalah euthanasia ini tak luput pula dari perhatian umat Buddha. Mereka berusaha memecahkan masalah ini, tetapi tentunya dengan berpedoman kepada kitab suci Tripitaka.

Euthanasia dapat dibagi atas dua macam:
1. euthanasia aktif, yang berarti tindakan medis yang dilakukan secara aktif dengan harapan dapat mempercepat kematian pasien, dengan cara memberikan obat penenang, obat tidur, atau jenis lain. Jadi disini ada tindakan yang sengaja mengakhiri hidup pasien. Misalnya, orang yang sakit kanker diberi obat tertentu sehingga ia meninggal dunia.
2. euthanasia pasif, yang berarti mebiarkan pasien itu meninggal dengan menghentikan terapi atau tindakan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, misalnya dengan mencabut alat-alat bantu yang menunjang kehidupannya.

PANDANGAN AGAMA BUDDHA TERHADAP EUTHANASIA

Euthanasia atau mercy killing baik yang aktif atau pasif tidak dibenarkan dalam agama Buddha karena perbuatan membunuh atau mengakhiri kehidupan seseorang ini, walaupun dengan alasan kasih sayang, tetap melanggar sila pertama dari Pancasila Buddhis.
Perbuatan membunuh atau mengakhiri hidup seseorang ini sesungguhnya tidak mungkin dapat dilakukan dengan kasih sayang atau karuna. Orang yang memiliki kasih sayang tidak mungkin akan melakukan perbuatan mengakhiri hidup seseorang karena ia menyadari bahwa sesungguhnya hidup merupakan milik yang paling berharga bagi setiap makhluk.
Ia yang memiliki kasih sayang tentu akan menghargai kehidupan setiap makhluk. Ia yang memiliki kasih sayang tentu selalu ingin berusaha untuk menghilangkan penderitaan makhluk lain, tetapi tentunya niat yang luhur ini diwujudkan dengan cara yang benar dan tepat. Terhadap orang yang sedang sakit parah, ia akan mengusahakan secara maksimal agar orang tersebut dapat sembuh.

Sesungguhnya orang yang ‘membunuh karena kasih sayang’ mempunyai ‘dosa citta’ atau pikiran kebencian karena ia sesungguhnya tidak senang melihat keadaan orang yang sedang menderita sakit itu. Ia tentu kesal dengan keadaan orangtuanya yang tidak kunjung sembuh dari penyakitnya. Ia kesal karena ia harus mengeluarkan biaya yang besar untuk pengorbanan orangtuanya itu. Mungkin untuk itu, ia harus meminjam uang ke sana ke mari yang nantinya harus dikembalikan. Ia merasa direpotkan dengan hal-hal semacam itu.

PIKIRAN TERAKHIR

Sang Buddha pernah bersabda sebagai berikut:
“Orang itu, jika meninggal dunia pada saat itu, pasti tumimbal lahir di alam dewa, sebab batin orang itu tenang. Orang itu, jika meninggal dunia pada saat itu, pasti tumimbal lahir di alam neraka, sebab batin orang itu gelisah”.

Dari sabda Sang Buddha tersebut di atas, jelas bahwa batin atau pikiran seseorang pada saat ia akan meninggal dunia sangat menentukan keadaan kehidupannya yang akan datang. Jika seseorang yang akan meninggal dunia itu mempunyai pikiran yang tenang dan penuh cinta kasih, maka ia akan terlahir kembali di alam yang menyenangkan. Namun, sebaliknya jika mempunyai pikiran yang tidak tenang dan penuh dengan kebencian, maka ia akan terlahir kembali di alam yang menyedihkan.
Dalam hal ini, batin seseorang dapat tenang atau tidak menjelang saat kematiannya tentu tidak terlepas dari perbuatan yang pernah dilakukannya pada masa kehidupan lampau.
Ada orang yang sakit parah itu meninggal dengan pikiran yang tenang. Namun, pada umumnya orang yang sedang menderita sakit itu mempunyai pikiran yang tidak tenang, kacau, gelisah, dan takut. Jadi kalau kita mengakhiri hidup orang yang sedang sakit itu, maka ini berarti kita menjerumuskannya ke alam yang menyedihkan.

KARMA YANG HARUS DITERIMA

Sang Buddha pun pernah mengatakan bahwa manusia dilahirkan berulang-ulang sesuai dengan perbuatannya. Ketika seseorang akan meninggal dunia, kesadaran ajal mendekati kepadaman dan di dorong oleh kekuatan-kekuatan karma. Kemudian, kesadaran ajal padam dan langsung menimbulkan kesadaran penerusan untuk timbul pada salah satu dari tiga puluh satu alam kehidupan sesuai dengan karmanya. Hal ini secara umum disebut pula suatu permulaan dari bentuk kehidupan baru.

Pada saat seseorang yang belum mencapai kesucian arahat itu menghembuskan nafas terakhirnya, ia langsung bertumimbal lahir. Ia bertumimbal lahir di salah satu dari tiga puluh satu alam kehidupan sesuai dengan karmanya. Jadi, ada kehidupan setelah kematiannya. Dalam kehidupan berikutnya, ia akan menerima akibat-akibat karma yang belum berbuah. Dengan demikian, jika akibat karma itu belum diterimanya dalam kehidupan sekarang ini, maka ia akan menerimanya pada kehidupan berikutnya.

Oleh sebab itu, kita hendaknya tidak memutuskan karma yang sedang dijalani oleh si sakit tersebut. Kita hendaknya membiarkan ia melunasi karma buruknya pada kehidupan sekarang ini, sehingga akibat karma buruk yang berupa penderitaan itu tidak akan diterimanya lagi pada kehidupan yang akan datang.
 
Oooh... I see
Artinya dalam pandangan buddhist apapun alasannya baik pasif maupun aktif di larang. begitu kan ya ?
Thanks ya :)
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.