Secara kolektif, sebagai bangsa, kita dipersatukan oleh Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa.
Sebagai pribadi setiap orang memiliki Pandangan Hidup-nya sendiri-sendiri. Apakah yang kita jadikan Pandangan Hidup kita?
Apakah Agama yang kita anut?
Idealnya memang demikian. Namun dalam kenyataannya, itu tidak terjadi secara otomatis. Oleh karena itu pertanyaan kita menjadi: Apa kita bisa menjadikan Agama yang kita anut juga sebagai Pandangan Hidup kita secara pribadi?
Jawabannya bisa jadi hanya kita yang tahu, mengingat itu merupakan isu yang amat pribadi.
Manusia sesungguhnya membawa 'kehendak bebas' (free-will) dalam kelahirannya. 'Kehendak bebas' memberi manusia keleluasaan untuk menentukan sikap, memilih apa yang ia sukai atau menolak yang tak disukai.
Manusia juga mempunyai kebebasan sepenuhnya untuk memilih Pandangan Hidup-nya.
Dalam memilih Pandangan Hidup pribadi tidak perlu terjadi benturan eksternal, seperti: isu keturunan, etnis, bangsa, ras dan berbagai implikasinya yang terkait dengan semua itu. Kitapun tak perlu formalitas, yang seringkali justru melahirkan konflik internal, yang sesungguhnya tak perlu. Pandangan Hidup pribadi bisa saja tak persis sama dengan Agama atau Kepercayaan yang dianut secara formal; ia bisa berupa kombinasi lebih dari satu Agama atau Kepercayaan, tanpa perlu berbenturan secara eksternal.
Ada yang mengatakan bahwa, ia yang mengaku dirinya paling atheis sekalipun —tanpa disadarinya dan secara tidak langsung— juga mempercayai Tuhan. Memang; berbicara tentang manusia sebagai pribadi adalah membicarakan sesuatu yang amat unik, kompleks, tak mudah diprediksi, tak mudah dijenderalisasi, karena berubah-ubah.
Bagi pihak luar, dan demi kepentingan pengamatan atau penelitian ilmiah, mereka yang 'berhasil' menjadikan Agama-nya juga sebagai Pandangan Hidup-nya, menjadi lebih terukur dan lebih mudah diamati; walaupun idealisasi ini mungkin sulit ditemukan pada diri seseorang, dalam paradigma yang benar-benar utuh. Kenapa?
Di dalam kehidupan formal dan sosial kemasyarakatan, Agama disandangkan pada seseorang. Orang Bali, misalnya, seringkali secara langsung dikaitkan dengan Hindu; orang Aceh, hampir selalu dikaitkan dengan Islam; dan lain sebagainya.
Pada sisi lain, Pandangan Hidup bukanlah sesuatu yang disandangkan pada diri seseorang. Ia 'terbentuk' bersamaan dengan pemahamannya tentang hidup dalam keseluruhan pengalaman hidupnya, selama ia hidup di muka bumi ini.
Jadi, 'kehendak-bebas'-nya menjadikannya amat dinamis dan bisa amat bervariasi. Inilah yang menyebabkan mengapa ia sulit ditemukan pada seseorang dalam paradigma yang benar-benar utuh.
Tri Kerukunan umat beragama hendaknya tetap dijaga yakni kerukunan interumat beragama, antarumat beragama dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah.
Sebagai tujuan tertinggi yang dicitacitakan oleh umatnya yaitu Moksa / Nirwana (kebebasan abadi) dan Hukum Karma sebagai hukum tertinggi.
Untuk mencapainya Hindu melaksanakan dengan Empat jalan yang bisa ditempuh yaitu Catur Marga Yoga.
CATUR MARGA YOGA
Catur marga adalah empat buah jalan yang bisa ditempuh untuk mencapai tujuan moksartamjagathita. Keempat ini sama utamanya.
Yang disebut Catur Marga Yoga itu adalah :
1. Bhakti Marga Yoga
2. Karma Marga Yoga
3. Jnana Marga Yoga
4. Raja Marga Yoga.
Setiap orang bebas memilih salah satu dari keempat jalan ini, sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing, tidaklah mesti orang harus berpegangan pada satu marga Yoga saja, bahkan keempatnya itu hendaknya digerakkan secara harmonis seperti halnya seekor burung.
Kalau diumpamakan bahwa sayap kiri dari burung adalah Jnana Marga, maka sayap kanannya adalah Bhakti Marga. Seekor burung akan bisa melayang dengan baik kalau sayap kiri dan akannya seimbang.
Burung tidak akan bisa mencapai tujuanya yang dikehendaki walaupun memiliki daya dorong yang kuat.
Kemudian sayap ekor yang berfungsi sebagai kemudi mengarahkan sebaik-baiknya supaya jangan terbangnya menyimpang dari tujuan.
Bhakti Marga Yoga, mengutamakan penyerahan diri dan mencurahkan rasa;
Karma Marga Yoga, mengutamakan kerja tanpa pamerih untuk kepentingan diri sendiri, dengan mengutamakan pengabdian sebagai motivator dari geraknya;
Jnana Marga Yoga, mengutamakan akal yang membangkitkan kesadaran;
Raja Marga Yoga mengajarkan pengendalian diri dan konsetrasi.
Manusia yang akalnya hebat tetapi tanpa rasa adalah sama dengan Komputer atau Mesin, sebaliknya orang yang rasa (emosinya) tinggi tanpa diimbangi dengan akal, akan menjadi “kedewan-dewan”, bhakti dan jnana sangat perlu hebat tetapi harus seimbang.
Akal yang hebat dan rasa yang kuat akan sangat berguna kalau dapat diarahkan ke suatu tujuan yang baik, sebab itu diperlukan konsentrasi supaya jangan menyimpang dari arah (Raja Marga Yoga).
Kalau akal dan rasa sudah seimbang arah sudah terpusat maka orang akan bisa mencapai prestasi yang sangat tinggi.
Prestasi yang tinggi kalau digunakan untuk kepentingan diri sendiri akan membahayakan, oleh sebab itu perlu kehebatan yang dimiliki oleh manusia itu diabdikan untuk kepentingan orang banyak (Karma Marga).
Demikianlah akal dan rasa dipadukan secara seimbang, tekad yang kuat dan terkendalikan serta terarah ditujukan untuk pengabdian.