Definisi dan Akar Terorisme
Rabu, 29 Juli 2009 11:27
Terorisme sebenarnya merupakan istilah yang kabur dan bermakna ganda (ambiguous). Di kalangan akademisi atau ilmuan sosial-politik pun tidak ada kesepakatan tentang batasan pengertian (definisi) istilah yang kesannya mengerikan itu.
SEBELUM kita membahas tentang akar terorisme atau sumber, faktor, atau penyebab lahirnya aksi-aksi teror, kita harus menyepakati dulu tentang definisi terorisme.
Terorisme sebenarnya merupakan istilah yang kabur dan bermakna ganda (ambiguous). Di kalangan akademisi atau ilmuan sosial-politik pun tidak ada kesepakatan tentang batasan pengertian (definisi) istilah yang kesannya mengerikan itu.
Tidak ada satu pun definisi terorisme yang diterima secara universal. Yang jelas, dan ini pastinya disepakati, terorisme merupakan sebuah aksi atau tindak kekerasan (violence) yang merusak (destructive).
Secara etimologis, terorisme (terrorism) berasal dari kata terror. Menurut Oxford Paperback Dictionary[1], terror artinya extreme fear (rasa takut yang luar biasa), a terrifying person or thing (seseorang atau sesuatu yang mengerikan). Terrorism diartikan sebagai use of violence and intimidation, especially for political purposes (penggunaan kekerasan dan intimidasi, utamanya bagi tujuan-tujuan politik).
Terorisme memiliki karakter khas, yaitu penggunaan kekerasan secara sistematis untuk mencapai tujuan politik. Metodanya adalah pengeboman, pembajakan, pembunuhan, penyanderaan, atau singkatnya: “aksi kekerasan bersenjata”.
Dr. Knet Lyne Oot, seperti dikutip M. Riza Sihbudi[2], mendefinisikan terorisme sebagai :
(a) Sebuah aksi militer atau psikologis yang dirancang untuk menciptakan ketakutan, atau membuat kehancuran ekonomi atau material;
(b) Sebuah pemaksaan tingkah laku lain;
(c) Sebuah tindakan kriminal yang bertendensi mencari publisitas;
(d) Tindakan kriminal bertujuan politis;
(e) Kekerasan bermotifkan politis; dan
(f) Sebuah aksi kriminal guna memperoleh tujuan politis atau ekonomis.
Jika definisi tersebut dipakai, menurut Riza, maka perang atau usaha memproduksi senjata pemusnah umat manusia dapat dikategorikan sebagai terorisme. Para pemimpin negara industri maju (Barat) dapat dijuluki "biang teroris" karena memproduksi senjata pemusnah massal seperti peluru kendali.
Sementara Encyclopedia Americana[3] menyebutkan, terorisme adalah penggunaan atau ancaman kekerasan yang terbatas pada kerusakan fisik namun berdampak psikologis tinggi karena ia menciptakan ketakutan dan kejutan. Keefektifan terorisme lebih bersifat politik ketimbang militer. Dengan demikian, aksi teroris dimaksudkan untuk mengkomunikasikan sebuah pesan. Di sini, terorisme bisa dipahami sebagai salah satu bentuk komunikasi dengan kandungan “pesan politik”.
Secara konvensional, “terorisme” ditujukan pada aksi-aksi kaum revolusioner atau kaum nasionalis yang menentang pemerintah, sedangkan "teror" merujuk pada aksi-aksi pemerintah untuk menumpas pemberontakan. Pada prakteknya, pembedaan antara "terorisme" dan "teror" tidak selalu jelas.
Istilah terorisme, menurut Noam Chomsky[4], mulai digunakan pada abad ke-18 akhir, terutama untuk menunjuk aksi-aksi kekerasan pemerintah yang dimaksudkan untuk menjamin ketaatan rakyat. Istilah ini diterapkan terutama untuk "terorisme pembalasan" oleh individu atau kelompok-kelompok.
Sekarang, pemakaian istilah terorisme dibatasi hanya untuk pengacau-pengacau yang mengusik pihak yang kuat. Inilah yang terjadi sekarang. Dalam Kamus Amerika Serikat (AS), terorisme adalah tindakan protes yang dilakukan negara-negara atau kelompok-kelompok “pemberontak”. Pembunuhan seorang tentara Israel oleh HAMAS, misalnya, disebut aksi terorisme. Namun, ketika tentara Israel membantai puluhan, ratusan, bahkan ribuan warga Palestina bukanlah aksi teror, melainkan aksi "pembalasan". :bingung:
Demikian pula ketika pesawat-pesawat tempur AU AS mengebom Irak, itu bukan terorisme, tetapi "pembalasan":bingung: (retaliation).
Atau ketika Israel berkali-kali menindas dan membantai rakyat Palestina, mengebom basis pejuang Hizbullah di Libanon, atau markas HAMAS dan Jihad Islam, bukanlah terorisme tetapi pembalasan[5], serangan untuk mendahului sebelum diserang (preemptive strike), atau tindakan hukuman (punitive action). Namun ketika PLO --atau salah satu faksinya-- melakukan aksi kekerasan dipandang AS dan Israel sebagai aksi "terorisme":bingung:, bahkan PLO pada awalnya dinilai sebagai "organisasi teroris" dan pemimpinnya, Yasser Arafat, sebagai "biang teroris".
Contoh lain, ketika pasukan India menembaki para pejuang Muslim Kashmir atau membantai penduduk Kashmir, bukanlah terorisme tetapi "mengatasi gerakan separatis". Demikian halnya ketika pasukan pemerintah Filipina menggempur para pejuang Muslim Moro di Filipina Selatan. Namun, adalah terorisme ketika para pejuang Kashmir menyerang tentara India dan pejuang Muslim Moro menyerang tentara Filipina.
Jadi, terorisme dapat dipandang sebagai alat perjuangan kemerdekaan atau alat merusak kemanusiaan dengan kezaliman. Yang jelas, sebuah aksi yang kemudian disebut "teror" dilontarkan satu pihak manakala kepentingannya dihancurkan.
Banyak kelompok pejuang terpaksa mengambil jalan kekerasan sebagai alternatif terakhir --dengan risiko dicap "teroris"-- untuk mencapai tujuan politisnya.:teliti: Penculikan, pembunuhan, dan serangan "bom bunuh diri" kelompok HAMAS terhadap tentara Israel, misalnya, merupakan bagian dari intifadhah untuk mengusir penjajah Israel dari tanah Palestina. Dengan cara itu juga mereka menunjukkan eksistensinya.
Para pejuang Kurdi juga terpaksa menempuh jalan kekerasan agar tuntutannya tentang sebuah negara merdeka bagi bangsa Kurdi (Kurdistan) dipenuhi. Ketika pada 1993 lalu mereka secara besar-besaran menyerang lembaga-lembaga pemerintah Turki (kedutaan besar, konsulat, bank) di 29 kota di seluruh Eropa, tidak lain untuk menekan Turki agar memenuhi tuntutan mereka diberi hak kemerdekaan di wilayah tenggara Turki.
AGENDA AMERIKA
Terorismeyang menjadi isu utama dunia saat ini adalah aksi kekerasan oleh kelompok tertentu untuk melawan dominasi Amerika Serikat di pentas politik-ekonomi internasional. Kelompok-kelompok yang merasa dizalimi oleh AS kemudian melakukan perlawanan dalam bentuk serangan-serangan terhadap berbagai fasilitas atau kepentingan AS di mancanegara.
Ketika kita sekarang berbicara tentang terorisme, sebenarnya kita sudah terjebak pada wacana yang dimunculkan AS. AS-lah yang menjadi agenda setter dalam wacana terorisme ini, ketika negara adidaya itu merekayasa peristiwa 11 September 2001 disusul dengan Kampanye Antiterorisme Internasional.
AS “menciptakan” dua aktor teroris sekaligus, yakni Al-Qoidah untuk tingkat internasional dan Jamaah Islamiyah (JI) untuk tingkat regional Asia Tenggara khususnya Indonesia.
Berkat dukungan media massa, AS berhasil menciptakan opini publik (public opinion) tentang bahaya terorisme, sehingga terorisme menjadi agenda publik (public agenda) yang memunculkan kebijakan publik (public policy) di seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Semua negara menyatakan perang terhadap terorisme. Indonesia, negeri Muslim terbesar di dunia, bahkan harus melahirkan UU Anti Terorisme.
Mengapa AS “menciptakan” wacana terorisme? Sudah pasti, demi melanggengkan dominasinya. AS tidak mau ada kekuatan sekecil apa pun yang merongrong dominasinya di pentas dunia. Sebagai satu-satunya negara adidaya, AS menjadi target utama kelompok-kelompok atau negara-negara yang ingin mengubah struktur internasional yang dikendalikan AS.
Jadi, sebenarnya kalau kita mencari akar terorisme, maka akan kita dapati dua hal, yakni adanya dominasi AS sebagai satu-satunya negara superpower dan perilaku politik (political behavior)-nya yang hipokrit serta ketidakadilan yang diakibatkannya.
Sudah bukan rahasia lagi, AS bisa semaunya menerapkan standar ganda. AS tidak suka Irak, Iran, dan Pakistan menjadi negara nuklir. Di pihak lain, AS membiarkan Israel dan India membangun kekuatan nuklirnya.
AS berteriak mendukung tegaknya demokrasi, namun ketika demokrasi itu melahirkan kekuatan yang cenderung “tidak bersahabat” seperti FIS di Aljazair, AS pun membiarkannya dilibas junta militer dukungan Prancis –sekutu AS di Eropa.
AS menerikkan penegakkan HAM, namun terus-menerus mendukung kebiadaban penjajah Israel di bumi Palestina.
Maka, ketika muncul berbagai kekuatan yang melakukan penyangkalan (denial), perlawanan (resistance), dan bahkan rasa kebencian (hatred) terhadap dominasi Amerika, AS mulai merasakan adanya gangguan terhadap dominasinya. Maka, di-setting-lah agenda tentang terorisme itu.
AS menjadikan kelompok-kelompok penentangnya itu sebagai musuh yang memudahkannya menggalang dukungan dari sekutunya. Sayangnya, yang menjadi target dan korbannya adalah umat Islam karena merekalah yang menunjukkan penyangkalan (denial), perlawanan (resistance), dan memiliki rasa kebencian (hatred) terhadap AS.
Wajar jika banyak kalangan menilai, teroris sejati adalah AS sendiri. Dialah yang menjadi sumber aksi-aksi kekerasan yang merebak di dunia sekarang. AS pula yang paling sering membuat warga dunia ketakutan dan mati. Serangan AS ke Irak adalah terorisme yang menakutkan rakyat Irak. Serangan AS ke Afghanistan adalah terorisme yang menakutkan rakyat Afghanistan. AS-lah pengacau dunia sesungguhnya.:action:
PENGACAU DUNIA
Tanggal 29 Oktober 2002 muncul sebuah dokumen CIA yang menyebutkan, bahwa akar terorisme adalah ketidakstabilan di Afganistan, usaha Iran dan Suriah untuk membangun persenjataan, memburuknya konflik Israel-Palestina, dan generasi muda yang menggeliat di negara-negara berkembang yang sistem ekonomi dan ideologi politiknya di bawah tekanan yang berat.
Mantan Menlu RI Ali Alatas pernah menyatakan, "Terorisme bisa berawal dari ketidakadilan, juga rasa ketidakadilan secara ekonomi dan politis."
Kita bertanya,
(1) siapa yang menciptakan ketidakstabilan di Afghanistan?
(2) Mengapa Suriah dan Iran membangun persenjataan?
(3) Kenapa konflik Israel-Palestina memburuk?
(4) Kenapa generasi muda menggeliat dalam situasi ekonomi dan ideologi yang tertekan?
Kita tahu jawabannya. Afghanistan tidak stabil karena AS tidak ingin ada rezim Islam yang kuat di sana. Suriah dan Iran membangun persenjataan karena merasa terancam oleh kehadiran Israel yang didukung penuh AS. Konflik Israel-Palestina memburuk karena AS selalu berada di belakang Israel. Kaum muda di negara-negara berkembang, khususnya negara Muslim, melakukan perlawanan karena mereka menyadari kuatnya kendali AS terhadap penguasa.
Singkatnya, dari arah mana pun kita mencari akar terorisme, kita akan menemukan penyebab utamanya adalah Amerika Serikat. Wajar, jika dunia akan aman-damai jika kekuatan AS lemah, bahkan hancur, dan Islam yang rahmatan lil ‘alamin menjadi acuan peradaban dunia, bukan materialisme-kapitalisme yang selama ini dicekokkan AS kepada warga dunia. Wallahu a’lam. (www.romeltea.com).*
[1] Terbitan Oxford University Press, 1979.
[2] M. Riza Sihbudi, Bara Timur Tengah, Mizan Bandung, 1991, hlm. 94.
[3] Terbitan Glorier Incorporated, USA, 1993.
[4] Noam Chomsky, Menguak Tabir Terorisme Internasional, Mizan Bandung, 1991, hlm. 19-20.
[5] Ketika Israel mengusir ratusan pejuang Muslim Palestina ke “wilayah tak bertuan” di Libanon (Desember 1992), PM Yitzhak Rabin malah menyebut tindakannya itu sebagai sebagai “perjuangan melawan teror Islam”.:bingung:
http://www.warnaislam.com/blog/jurnalistik/2009/7/29/41220/Definisi_dan_Akar_Terorisme.htm
Rabu, 29 Juli 2009 11:27
Terorisme sebenarnya merupakan istilah yang kabur dan bermakna ganda (ambiguous). Di kalangan akademisi atau ilmuan sosial-politik pun tidak ada kesepakatan tentang batasan pengertian (definisi) istilah yang kesannya mengerikan itu.
SEBELUM kita membahas tentang akar terorisme atau sumber, faktor, atau penyebab lahirnya aksi-aksi teror, kita harus menyepakati dulu tentang definisi terorisme.
Terorisme sebenarnya merupakan istilah yang kabur dan bermakna ganda (ambiguous). Di kalangan akademisi atau ilmuan sosial-politik pun tidak ada kesepakatan tentang batasan pengertian (definisi) istilah yang kesannya mengerikan itu.
Tidak ada satu pun definisi terorisme yang diterima secara universal. Yang jelas, dan ini pastinya disepakati, terorisme merupakan sebuah aksi atau tindak kekerasan (violence) yang merusak (destructive).
Secara etimologis, terorisme (terrorism) berasal dari kata terror. Menurut Oxford Paperback Dictionary[1], terror artinya extreme fear (rasa takut yang luar biasa), a terrifying person or thing (seseorang atau sesuatu yang mengerikan). Terrorism diartikan sebagai use of violence and intimidation, especially for political purposes (penggunaan kekerasan dan intimidasi, utamanya bagi tujuan-tujuan politik).
Terorisme memiliki karakter khas, yaitu penggunaan kekerasan secara sistematis untuk mencapai tujuan politik. Metodanya adalah pengeboman, pembajakan, pembunuhan, penyanderaan, atau singkatnya: “aksi kekerasan bersenjata”.
Dr. Knet Lyne Oot, seperti dikutip M. Riza Sihbudi[2], mendefinisikan terorisme sebagai :
(a) Sebuah aksi militer atau psikologis yang dirancang untuk menciptakan ketakutan, atau membuat kehancuran ekonomi atau material;
(b) Sebuah pemaksaan tingkah laku lain;
(c) Sebuah tindakan kriminal yang bertendensi mencari publisitas;
(d) Tindakan kriminal bertujuan politis;
(e) Kekerasan bermotifkan politis; dan
(f) Sebuah aksi kriminal guna memperoleh tujuan politis atau ekonomis.
Jika definisi tersebut dipakai, menurut Riza, maka perang atau usaha memproduksi senjata pemusnah umat manusia dapat dikategorikan sebagai terorisme. Para pemimpin negara industri maju (Barat) dapat dijuluki "biang teroris" karena memproduksi senjata pemusnah massal seperti peluru kendali.
Sementara Encyclopedia Americana[3] menyebutkan, terorisme adalah penggunaan atau ancaman kekerasan yang terbatas pada kerusakan fisik namun berdampak psikologis tinggi karena ia menciptakan ketakutan dan kejutan. Keefektifan terorisme lebih bersifat politik ketimbang militer. Dengan demikian, aksi teroris dimaksudkan untuk mengkomunikasikan sebuah pesan. Di sini, terorisme bisa dipahami sebagai salah satu bentuk komunikasi dengan kandungan “pesan politik”.
Secara konvensional, “terorisme” ditujukan pada aksi-aksi kaum revolusioner atau kaum nasionalis yang menentang pemerintah, sedangkan "teror" merujuk pada aksi-aksi pemerintah untuk menumpas pemberontakan. Pada prakteknya, pembedaan antara "terorisme" dan "teror" tidak selalu jelas.
Istilah terorisme, menurut Noam Chomsky[4], mulai digunakan pada abad ke-18 akhir, terutama untuk menunjuk aksi-aksi kekerasan pemerintah yang dimaksudkan untuk menjamin ketaatan rakyat. Istilah ini diterapkan terutama untuk "terorisme pembalasan" oleh individu atau kelompok-kelompok.
Sekarang, pemakaian istilah terorisme dibatasi hanya untuk pengacau-pengacau yang mengusik pihak yang kuat. Inilah yang terjadi sekarang. Dalam Kamus Amerika Serikat (AS), terorisme adalah tindakan protes yang dilakukan negara-negara atau kelompok-kelompok “pemberontak”. Pembunuhan seorang tentara Israel oleh HAMAS, misalnya, disebut aksi terorisme. Namun, ketika tentara Israel membantai puluhan, ratusan, bahkan ribuan warga Palestina bukanlah aksi teror, melainkan aksi "pembalasan". :bingung:
Demikian pula ketika pesawat-pesawat tempur AU AS mengebom Irak, itu bukan terorisme, tetapi "pembalasan":bingung: (retaliation).
Atau ketika Israel berkali-kali menindas dan membantai rakyat Palestina, mengebom basis pejuang Hizbullah di Libanon, atau markas HAMAS dan Jihad Islam, bukanlah terorisme tetapi pembalasan[5], serangan untuk mendahului sebelum diserang (preemptive strike), atau tindakan hukuman (punitive action). Namun ketika PLO --atau salah satu faksinya-- melakukan aksi kekerasan dipandang AS dan Israel sebagai aksi "terorisme":bingung:, bahkan PLO pada awalnya dinilai sebagai "organisasi teroris" dan pemimpinnya, Yasser Arafat, sebagai "biang teroris".
Contoh lain, ketika pasukan India menembaki para pejuang Muslim Kashmir atau membantai penduduk Kashmir, bukanlah terorisme tetapi "mengatasi gerakan separatis". Demikian halnya ketika pasukan pemerintah Filipina menggempur para pejuang Muslim Moro di Filipina Selatan. Namun, adalah terorisme ketika para pejuang Kashmir menyerang tentara India dan pejuang Muslim Moro menyerang tentara Filipina.
Jadi, terorisme dapat dipandang sebagai alat perjuangan kemerdekaan atau alat merusak kemanusiaan dengan kezaliman. Yang jelas, sebuah aksi yang kemudian disebut "teror" dilontarkan satu pihak manakala kepentingannya dihancurkan.
Banyak kelompok pejuang terpaksa mengambil jalan kekerasan sebagai alternatif terakhir --dengan risiko dicap "teroris"-- untuk mencapai tujuan politisnya.:teliti: Penculikan, pembunuhan, dan serangan "bom bunuh diri" kelompok HAMAS terhadap tentara Israel, misalnya, merupakan bagian dari intifadhah untuk mengusir penjajah Israel dari tanah Palestina. Dengan cara itu juga mereka menunjukkan eksistensinya.
Para pejuang Kurdi juga terpaksa menempuh jalan kekerasan agar tuntutannya tentang sebuah negara merdeka bagi bangsa Kurdi (Kurdistan) dipenuhi. Ketika pada 1993 lalu mereka secara besar-besaran menyerang lembaga-lembaga pemerintah Turki (kedutaan besar, konsulat, bank) di 29 kota di seluruh Eropa, tidak lain untuk menekan Turki agar memenuhi tuntutan mereka diberi hak kemerdekaan di wilayah tenggara Turki.
AGENDA AMERIKA
Terorismeyang menjadi isu utama dunia saat ini adalah aksi kekerasan oleh kelompok tertentu untuk melawan dominasi Amerika Serikat di pentas politik-ekonomi internasional. Kelompok-kelompok yang merasa dizalimi oleh AS kemudian melakukan perlawanan dalam bentuk serangan-serangan terhadap berbagai fasilitas atau kepentingan AS di mancanegara.
Ketika kita sekarang berbicara tentang terorisme, sebenarnya kita sudah terjebak pada wacana yang dimunculkan AS. AS-lah yang menjadi agenda setter dalam wacana terorisme ini, ketika negara adidaya itu merekayasa peristiwa 11 September 2001 disusul dengan Kampanye Antiterorisme Internasional.
AS “menciptakan” dua aktor teroris sekaligus, yakni Al-Qoidah untuk tingkat internasional dan Jamaah Islamiyah (JI) untuk tingkat regional Asia Tenggara khususnya Indonesia.
Berkat dukungan media massa, AS berhasil menciptakan opini publik (public opinion) tentang bahaya terorisme, sehingga terorisme menjadi agenda publik (public agenda) yang memunculkan kebijakan publik (public policy) di seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Semua negara menyatakan perang terhadap terorisme. Indonesia, negeri Muslim terbesar di dunia, bahkan harus melahirkan UU Anti Terorisme.
Mengapa AS “menciptakan” wacana terorisme? Sudah pasti, demi melanggengkan dominasinya. AS tidak mau ada kekuatan sekecil apa pun yang merongrong dominasinya di pentas dunia. Sebagai satu-satunya negara adidaya, AS menjadi target utama kelompok-kelompok atau negara-negara yang ingin mengubah struktur internasional yang dikendalikan AS.
Jadi, sebenarnya kalau kita mencari akar terorisme, maka akan kita dapati dua hal, yakni adanya dominasi AS sebagai satu-satunya negara superpower dan perilaku politik (political behavior)-nya yang hipokrit serta ketidakadilan yang diakibatkannya.
Sudah bukan rahasia lagi, AS bisa semaunya menerapkan standar ganda. AS tidak suka Irak, Iran, dan Pakistan menjadi negara nuklir. Di pihak lain, AS membiarkan Israel dan India membangun kekuatan nuklirnya.
AS berteriak mendukung tegaknya demokrasi, namun ketika demokrasi itu melahirkan kekuatan yang cenderung “tidak bersahabat” seperti FIS di Aljazair, AS pun membiarkannya dilibas junta militer dukungan Prancis –sekutu AS di Eropa.
AS menerikkan penegakkan HAM, namun terus-menerus mendukung kebiadaban penjajah Israel di bumi Palestina.
Maka, ketika muncul berbagai kekuatan yang melakukan penyangkalan (denial), perlawanan (resistance), dan bahkan rasa kebencian (hatred) terhadap dominasi Amerika, AS mulai merasakan adanya gangguan terhadap dominasinya. Maka, di-setting-lah agenda tentang terorisme itu.
AS menjadikan kelompok-kelompok penentangnya itu sebagai musuh yang memudahkannya menggalang dukungan dari sekutunya. Sayangnya, yang menjadi target dan korbannya adalah umat Islam karena merekalah yang menunjukkan penyangkalan (denial), perlawanan (resistance), dan memiliki rasa kebencian (hatred) terhadap AS.
Wajar jika banyak kalangan menilai, teroris sejati adalah AS sendiri. Dialah yang menjadi sumber aksi-aksi kekerasan yang merebak di dunia sekarang. AS pula yang paling sering membuat warga dunia ketakutan dan mati. Serangan AS ke Irak adalah terorisme yang menakutkan rakyat Irak. Serangan AS ke Afghanistan adalah terorisme yang menakutkan rakyat Afghanistan. AS-lah pengacau dunia sesungguhnya.:action:
PENGACAU DUNIA
Tanggal 29 Oktober 2002 muncul sebuah dokumen CIA yang menyebutkan, bahwa akar terorisme adalah ketidakstabilan di Afganistan, usaha Iran dan Suriah untuk membangun persenjataan, memburuknya konflik Israel-Palestina, dan generasi muda yang menggeliat di negara-negara berkembang yang sistem ekonomi dan ideologi politiknya di bawah tekanan yang berat.
Mantan Menlu RI Ali Alatas pernah menyatakan, "Terorisme bisa berawal dari ketidakadilan, juga rasa ketidakadilan secara ekonomi dan politis."
Kita bertanya,
(1) siapa yang menciptakan ketidakstabilan di Afghanistan?
(2) Mengapa Suriah dan Iran membangun persenjataan?
(3) Kenapa konflik Israel-Palestina memburuk?
(4) Kenapa generasi muda menggeliat dalam situasi ekonomi dan ideologi yang tertekan?
Kita tahu jawabannya. Afghanistan tidak stabil karena AS tidak ingin ada rezim Islam yang kuat di sana. Suriah dan Iran membangun persenjataan karena merasa terancam oleh kehadiran Israel yang didukung penuh AS. Konflik Israel-Palestina memburuk karena AS selalu berada di belakang Israel. Kaum muda di negara-negara berkembang, khususnya negara Muslim, melakukan perlawanan karena mereka menyadari kuatnya kendali AS terhadap penguasa.
Singkatnya, dari arah mana pun kita mencari akar terorisme, kita akan menemukan penyebab utamanya adalah Amerika Serikat. Wajar, jika dunia akan aman-damai jika kekuatan AS lemah, bahkan hancur, dan Islam yang rahmatan lil ‘alamin menjadi acuan peradaban dunia, bukan materialisme-kapitalisme yang selama ini dicekokkan AS kepada warga dunia. Wallahu a’lam. (www.romeltea.com).*
[1] Terbitan Oxford University Press, 1979.
[2] M. Riza Sihbudi, Bara Timur Tengah, Mizan Bandung, 1991, hlm. 94.
[3] Terbitan Glorier Incorporated, USA, 1993.
[4] Noam Chomsky, Menguak Tabir Terorisme Internasional, Mizan Bandung, 1991, hlm. 19-20.
[5] Ketika Israel mengusir ratusan pejuang Muslim Palestina ke “wilayah tak bertuan” di Libanon (Desember 1992), PM Yitzhak Rabin malah menyebut tindakannya itu sebagai sebagai “perjuangan melawan teror Islam”.:bingung:
http://www.warnaislam.com/blog/jurnalistik/2009/7/29/41220/Definisi_dan_Akar_Terorisme.htm