• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Benarkah Quran tdk melalui suntingan manusia?

donkeykong

IndoForum Newbie F
No. Urut
4831
Sejak
14 Agt 2006
Pesan
6
Nilai reaksi
0
Poin
1
Di kalangan kaum muslim awam, teks dan bacaan yang ada dewasa ini di dalam mushaf Alquran diyakini sebagai rekaman lengkap dan otentik wahyu-wahyu Nabi Muhammad yang dikodifikasi Zayd ibn Tsabit berdasarkan otoritas Khalifah Utsman ibn Affan. Pernyataan Alquran dalam 15:9, dipandang sebagai garansi ilahi atas kemurnian mushaf tersebut dari berbagai perubahan dan penyimpangan, bahkan --menurut suatu pendapat yang ahistoris-- dalam titik serta barisnya.

Di kalangan kaum muslim awam, teks dan bacaan yang ada dewasa ini di dalam mushaf Alquran diyakini sebagai rekaman lengkap dan otentik wahyu-wahyu Nabi Muhammad yang dikodifikasi Zayd ibn Tsabit berdasarkan otoritas Khalifah Utsman ibn Affan. Pernyataan Alquran dalam 15:9, dipandang sebagai garansi ilahi atas kemurnian mushaf tersebut dari berbagai perubahan dan penyimpangan, bahkan --menurut suatu pendapat yang ahistoris-- dalam titik serta barisnya.

Tetapi, orang-orang yang mengetahui perjalanan historis Alquran menyadari bahwa keadaan sebenarnya tidaklah sesederhana itu. Fenomena kesejarahan Alquran yang awal justeru menunjukkan eksisnya keragaman tradisi teks dan bacaan kitab suci itu, yang kemudian menjadi alasan utama dilakukannya standardisasi Alquran oleh Utsman untuk kepentingan kohesi sosio-politik umat Islam.

Sementara bentuk teks Alquran dewasa ini, sebagaimana ditunjukkan sejumlah manuskrip utsmani, pada faktanya telah melalui serangkaian penyempurnaan tulisan, melalui perubahan-perubahan yang bersifat eksperimental, seirama dengan penyempurnaan aksara Arab yang mencapai puncaknya pada penghujung abad ke-9/3H. Sekalipun demikian, sejumlah inkonsistensi penulisan masih tetap tampak di dalamnya, akibat dari introduksi "setengah hati" ragam tulis Arab yang telah disempurnakan (scriptio plena) dalam penyalinan teks utsmani yang telah disepakati (textus receptus).

Demikian pula, bacaan (qiraã’ah) Alquran yang digunakan saat ini adalah dua dari empat belas versi bacaan tujuh (al-qirã’ãt al-sab‘) yang mendapat sanksi ortodoksi Islam pada abad ke10/4H. Masing-masing dari bacaan tujuh yang dihimpun Ibn Mujahid itu memiliki dua versi (riwayat), dan bacaan yang digunakan untuk teks Alquran dewasa ini adalah kiraah Ashim yang diriwayatkan Hafsh (Hafsh ‘an Ashim) dan kiraah Nafi‘ yang diriwayatkan Warsy (Warsy ‘an Nafi‘). Bacaan pertama digunakan dalam edisi standar Alquran Mesir (1923), yang menjadi panutan mayoritas umat Islam, dan bacaan kedua digunakan sejumlah kecil kaum Muslimin di barat dan barat laut Afrika, serta di Yaman, khususnya di kalangan sekte Zaydiyah.

Keempatbelas versi bacaan tujuh memang dipandang sebagai bacaan otentik Alquran yang bersumber dari Nabi. Tetapi, doktrin yang dikembangkan secara kaku oleh ortodoksi Islam telah menabukan penggabungan versi-versi itu untuk menciptakan bacaan yang lebih baik, ditinjau dari berbagai sudut pandang. Ibn Mujahid, otoritas paling berpengaruh dalam hal ini, tidak memperkenankan penggabungan antara ragam bacaan yang memiliki asal-usul berbeda, dan menuntut setiap sistem bacaan mesti disampaikan dalam keseluruhan bentuknya tanpa perubahan. Padahal, dalam kenyataannya, sistem-sistem bacaan itu dibentuk para imam kiraah dengan menggabungkan dan menyeleksi --istilah teknisnya ikhtiyãr ("seleksi")-- berbagai bacaan yang mereka terima berdasarkan prinsip mayoritas (ijma‘).

Imam Nafi‘, misalnya, menegaskan telah membaca Alquran di depan 70 orang tabi‘in, dan mengambil bacaan yang disepakati --minimal dua orang di antaranya-- serta meninggalkan bacaan menyimpang, hingga berhasil menyusun kiraahnya. Senada dengan ini, al-Kisa’i dikabarkan berujar telah menyeleksi dari kiraah Hamzah dan lainnya suatu bacaan moderat (mutawassithah) yang tidak menyimpang dari jejak imam-imam kiraah sebelumnya.

Dengan demikian, tidak ada alasan yang solid dan absah untuk menafikan upaya penyuntingan kembali suatu edisi kritis Alquran. Salah satu keberatan terhadap edisi Alquran yang meramu bacaan tujuh ini --dan mungkin juga melibatkan varian non-utsmani-- adalah ia mengganggu stabilitas teks dan bacaan yang telah diupayakan selama berabad-abad. Tetapi, kita hanya perlu menengok ke dalam manuskrip-manuskrip Alquran dan sejarah untuk menemukan bahwa teks Alquran telah mengalami berbagai bentuk penyempurnaan yang bersifat eksperimental, dan bahwa imam-imam besar kiraah pada faktanya juga telah melakukan ikhtiyãr ketika membangun sistem bacaannya.

Edisi kritis Alquran ini tentunya diarahkan untuk menghasilkan bentuk teks Alquran yang lebih memadai dan mudah dibaca. Sementara teks itu sendiri akan didendangkan dengan suatu bentuk bacaan yang merupakan ramuan "terpilih" dari berbagai warisan kesejarahan tradisi kiraah umat Islam.

Berbagai inkonsistensi dalam penulisan teks --seperti penggunaan tã’ mabsûthah sebagai pengganti tã’ marbûthah dalam kata rahmah, ni‘mah, dll., penggantian alif dengan waw dalam kata shalãh, zakãh, dll., penulisan mimmã atau allã yang terkadang disalin terpisah dan terkadang digabung, serta lainnya-- yang memperlihatkan upaya mengakomodasi berbagai perkembangan tradisi oral dan tulisan Alquran yang eksis di kalangan kaum Muslimin ketika itu, barangkali perlu dibenahi.

Pada titik ini, mesti disepakati bahwa ragam tulis adalah produk budaya manusia yang berkembang selaras dengan perkembangan manusia. Tulisan, seperti dinyatakan Abu Bakr al-Baqillani, hanyalah simbol-simbol yang berfungsi sebagai isyarat, lambang dan rumus yang digunakan untuk memudahkan pembacaan. Karena tujuan penulisan Alquran adalah untuk memudahkan pembacaannya secara tepat, maka penyempurnaan teksnya mesti mengabdi pada tujuan tersebut.

Selain butir-butir yang telah dikemukakan, peramuan ragam kiraah untuk menghasilkan bacaan yang lebih memadai juga menjadi signifikan karena beberapa hal: Pertama, dua bacaan yang digunakan dewasa ini terkadang tidak bersesuaian dengan textus receptus utsmani. Bentuk teks ãtãni atau ãtãnî-llãh dalam 27:36, misalnya, dibaca oleh Nafi‘ dan Hafsh ‘an Ashim sebagai ãtãniya-llãh.

Kedua, dalam kasus-kasus tertentu, kedua bacaan tersebut dapat dipermasalahkan dari sudut pandang linguistik. Para pakar bahasa, misalnya, secara bulat menyalahkan Nafi‘ ketika membaca kata nabîyîna dalam 2:58 sebagai nabî’îna, atau kata al-barîyah dalam 98:6 sebagai al-barî’ah, atau ‘asaytum dalam 2:246 sebagai ‘asîtum. Sementara bacaan Hafsh dari Ashim untuk 20:63, yakni hadzãni, secara gramatik keliru dan semestinya dibaca hadzayni, seperti bacaan Abu Amr dan Nafi‘.

Ketiga, dalam berbagai kasus, kedua bacaan resmi itu menampakkan bias --misalnya bias gender, seperti ditunjukkan Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender (1999). Disamping itu, keduanya terkadang tidak sejalan dengan konteks langsung Alquran dan nalar rasional manusia. Jadi, bacaan nusyran untuk 7:57, yang dibaca antara lain oleh Ibn Amr dan Ibn Katsir, misalnya, lebih sesuai dengan konteks dan nalar dibandingkan bacaan busyran dalam bacaan Hafsh dari Ashim.

Karena itu, seleksi ragam kiraah untuk edisi kritis Alquran, selain berpijak pada prinsip-prinsip klasik seperti keselarasan bacaan dengan teks dan kaidah-kaidah linguistik, mesti didasarkan pada pemerhatian cermat terhadap konteks langsung Alquran di mana suatu varian bacaan akan ditempatkan. Disamping mempertimbangkan implikasi makna terjemahan dan penyimpulan hukum suatu pilihan bacaan, seleksi tersebut juga harus mempertimbangkan nilai-nilai universal yang diyakini kebenarannya oleh manusia. Wa-llãhu a‘lam bi-l-shawãb.

Alquran Edisi Kritis - Jaringan Islam Liberal (JIL)

yfd.png

ping.png

redirect_city.png
 
logika ringannya gini kk donkeykong
Negara ini dengan Bhs Indonya memiliki banyak suku, dan masing suku2 dengan bahasanya masing2.
dengan bawaan bahasa ini melahirkan dialek.
dialek inilah yang melahirkan corak unik saat membawakan bahasa Indonesia
tapi arti dan pemaknaan yang ingin disampaikan adalah sama.
contonya pada daerah sulawasi tengah-utara penyebutan kata Berkelahi adalah Bakalahi tapi coba ajak mereka menulis ucapannya dalam kata--> tetap ditulis Berkelahi.
jadi kalu dikatakan suntingan, perlu dipertanyakan suntinganya dalam bentuk apa.
jika dialek maka jawabannya logika orang palu trsbut.
jika kalimat ato kata Indonesia punya EYD
(perlu diingat dlm alquran ayat surat dan hurufnya dari zaman nabi tdk pernah berubah )
 
Ya makanya qur'an diturunkan di negeri arab, karena dari dulu sempai sekarang bahasa arab tidak pernah mengalami perubahan (penyempurnaan atau pengurangan) sedikit pun.
 
Yap...Lagipula Udah Ada Jaminannya Koq Dari Yang Menurunkan.../no1 Bahwa Kemurnian Al-Qur'an itu 'Dia' Yang Menjaganya...Ada Yang Bisa Kasih Ayatnya???

Jadi Jangan Pernah Ragu Pada Al-Qur'an...Seperti Pada Surat Al-Baqarah:2...Karena Kalau Kita Ragu...Wajib Dipertanyakan Ketaqwaan Serta Keimanan Kita (Karena Percaya Kepada Kitab2 Yang Diturunkan Allah Adalah Salah Satu Dari Rukun Iman)...Kalau Memang Kita Belum Paham Benar Akan Al-Qur'an...Bacalah...Pelajarilah...Pahamilah...Karena Sebenarnya Al-Qur'an itu merupakan petunjuk bagi orang yang bertakwa.../no1
 
dan dulu seinget gue qur`an sampai di seragamkan karena utsman khawatir karena pada perang sesudah masa rosul banyak penghapal qur`an yang meninggal
 
dan dulu seinget gue qur`an sampai di seragamkan karena utsman khawatir karena pada perang sesudah masa rosul banyak penghapal qur`an yang meninggal

bukannya itu pengumpulan mushaf2 yang kemudian disatuin jadi Al-Quran?

CMIIW....

masih butuh belajar lebih banyak lagi
 
AAA Pokoknya Jangan dengerin apa kata JIL mendingan Lo pada liat deh tuh ayat al-quran (lupa surat ama ayat brp /sob) disitu kan dah jelas bahwa AL-Quuran itu akan tetap asli, murni terjaga keasliannya sampai akhir Zaman.....
 
Al-Quran murni dari Allah SWT, ga kaya kitab2 agama lain yang banyak editannya(karena ga sempurna)
kepercayaan Islib (Islam Liberal :red) berbeda dengan kita,kalo menurut gue banyak sesatnya...karena dari awal mereka tidak merujuk Ke Al-Qur'an dan Hadist nabi, itu yang gue tahu lho..

Coba aja deh dibalik ISLIB (huruf S diganti B, dan huruf B diganti S)jadinya apa tuh??
 
waLah JIL kok di percaya , woNg itu magh ajaraNnya bener2 anegh eN sesaT , jD gak usah dipercaya !!!

ZzZZZZZZ
 
jelas-jelas qur'an dalam bahasa arab...supaya tetap utuh isinya... kaga pernah ada dalam qur'an ada tulisan "edited by...." la wong salah satu ayat bahkan satu huruf aja bisa di bredel...
 
Thread lama bgt ini...semoga gak terjadi Flame yah
 
Muslim tidak perlu khawatir, ya karena Al-Qur'an akan selalu "terjaga", kemurniannya.
Apa logikanya?

karena Qur'an bukanlah hanya mushaf (Qur'an yg berupa kitab tertulis), Alam Semesta dan semua isinya adalah juga perwujudan Qur'an (Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Ilmu Ekonomi dll), dan juga sudah "ditanamkan" dalam hati nurani tiap diri Muslim:

"Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya". (AL QIYAAMAH (HARI KIAMAT) ayat 17).
 
^
yup btul, klo ALLAH berkehendak menjaganya, maka tak satupun bisa menjebol penjagaan ALLAH.
 
Islib tuh = Iblis... kok didengerin?

Hanya sekumpulan kafir berkedok muslim... mengaku Islam tapi menganggap semua agama sama... kalo begitu kenapa musti pake embel2 "ISLAM"?... kenapa nggak "JARINGAN AGAMA LIBERAL" aja?

Al-QUR'AN TETAP TERJAGA DARI AWAL HINGGA KINI!!!


.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.