roughtorer
IndoForum Senior A
- No. Urut
- 44416
- Sejak
- 24 Mei 2008
- Pesan
- 6.755
- Nilai reaksi
- 174
- Poin
- 63
Belajar Bahasa Indonesia di perguruan tinggi Jepang ternyata menyimpan beragam cerita yang menarik di kalangan mahasiswa Negeri Sakura itu, mulai dari hilangnya prasangka buruk tentang Indonesia hingga melahirkan kebiasaan tersenyum bagi para mahasiswa.
Berbagai cerita lucu dan kenangan manis yang keluar dari bibir para mahasiswa Jepang tersebut mengemuka dalam lomba pidato Bahasa Indonesia yang berlangsung di kampus Universitas Nanzan, Nagoya, Minggu (12/10).
Acara yang digelar bersama KBRI Tokyo dalam rangka memperingati 50 tahun hubungan persahabatan kedua negara diikuti oleh 26 peserta dari sejumlah perguruan tinggi mulai dari Tokyo, Nagoya, Osaka hingga Kyoto.
Para peserta yang ikut lomba pidato merupakan hasil seleksi yang dilakukan pihak Universitas bersama Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Nagoya dan KBRI Tokyo. Hal unik yang terjadi dalam lomba pidato kali ini, menurut panitia, diperkenankannya warga umum Jepang mengikuti lomba pidato bahasa Indonesia yang biasanya hanya diperuntukkan bagi kalangan kampus semata.
Kalangan warga biasa ini ternyata tidak kalah dengan pesaingnya para mahasiswa, baik dalam hal materi pidato maupun kemampuannya bercerita di hadapan publik.
Berbagai topik menarik terlihat dari berbagai judul yang diajukan, misalnya "Kenangan terhadap Seorang Nenek Indonesia", "Pelajaran dari Ban Bocor", "Bantuan Hati", "Daya Tarik Bahasa Indonesia", "Angin dari Indonesia", "Terlepasnya Katak dari Dalam Tempurung", "Pesantren di Yogyakarta" dan "Sekolah Untuk Muslim".
Dalam acara yang berlangsung selama lima jam itu, juara pertama diraih oleh Nishioka Ikue, mahasiswi Universitas Osaka yang membawakan pidato berjudul "Bantuan Hati". Juara kedua ditempati Mayumi Matsukidaira, ibu rumah tangga di Nagoya, dengan pidato ’Kenangan Saya terhadap Seorang Nenek Indonesia". Sedangkan juara ketiga diraih dua peserta lomba, yakni Kayo Takami (Angin dari Indonesia) dan Chisato Aimu (Terlepasnya Katak dari Dalam Tempurung).
Wakil Dubes RI untuk Jepang, Ronny P Yuliantoro, mengatakan, pengajaran bahasa Indonesia dapat lebih meningkatkan pemahaman yang lebih dalam mengenai hubungan kedua negara, terlebih dalam memperingati tahun persahabatan kedua negara.
"Pemahaman yang mendalam dapat diraih dengan mempelajari bahasa yang merupakan jembatan emas bagi hubungan 50 tahun berikutnya, sehingga meluasnya penggunaan bahasa Indonesia akan menghilangkan prasangka buruk mengenai suatu negara," kata Ronny lagi.
Hilangnya prasangka
Prasangka yang kurang mengenakkan mengenai Indonesia memang banyak tertanam di benak kalangan generasi muda Jepang, seperti yang disampaikan sejumlah peserta lomba. Hal itu menurut mereka terjadi akibat tidak dipahaminya keberadaan Indonesia secara menyeluruh, di samping kurangnya kegiatan yang mempromosikan bahasa Indonesia.
Menurut mahasiswi Miho Yamasaki, berlanjutnya ketidaktahuan itu akibat sistem pendidikan Jepang yang tidak mementingkan posisi kebudayaan Asia Tenggara sejak zaman pemerintahan Meiji.
Dalam pandangan Chisato Aimu, yang mengaku pernah memiliki prasangka kurang menyenangkan tentang Indonesia, kegiataan lomba pidato menjadi salah satu cara yang cepat dan mudah untuk mengenal Indonesia secara benar, disamping tentunya berkunjungi ke Indonesia.
Sementara kenangan manis yang tidak terlupakan diungkapkan Miki Okuda yang sempat mengunjungi Bali pada liburan musim panas lalu. Kebiasaan warga Bali yang ramah memaksanya membuang jauh-jauh sikap pendiam dan jarang tersenyum.
"Kini saya suka berbicara dan tersenyum, seperti Bunga matahari," kata Okuda menerangkan hasilnya selama tinggal di Bali. Ia pun memakai judul "Seperti Bunga Matahari" dalam pidatonya.
Pandangan optimistis mengenai bahasa Indonesia di Jepang dikemukakan staf pengajar Universitas Nazan, Nagoya, Profesor Mikihiro Moriyama. Menurutnya perguruan tinggi di Jepang sudah semakin banyak yang membuka jurusan bahasa Indonesia. "Di masa depan akan semakin banyak orang Jepang berbahasa Indonesia. Jadi ini hanya persoalan waktu saja," kata professor yang mendalami kebudayaan Sunda itu.
Berbagai cerita lucu dan kenangan manis yang keluar dari bibir para mahasiswa Jepang tersebut mengemuka dalam lomba pidato Bahasa Indonesia yang berlangsung di kampus Universitas Nanzan, Nagoya, Minggu (12/10).
Acara yang digelar bersama KBRI Tokyo dalam rangka memperingati 50 tahun hubungan persahabatan kedua negara diikuti oleh 26 peserta dari sejumlah perguruan tinggi mulai dari Tokyo, Nagoya, Osaka hingga Kyoto.
Para peserta yang ikut lomba pidato merupakan hasil seleksi yang dilakukan pihak Universitas bersama Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Nagoya dan KBRI Tokyo. Hal unik yang terjadi dalam lomba pidato kali ini, menurut panitia, diperkenankannya warga umum Jepang mengikuti lomba pidato bahasa Indonesia yang biasanya hanya diperuntukkan bagi kalangan kampus semata.
Kalangan warga biasa ini ternyata tidak kalah dengan pesaingnya para mahasiswa, baik dalam hal materi pidato maupun kemampuannya bercerita di hadapan publik.
Berbagai topik menarik terlihat dari berbagai judul yang diajukan, misalnya "Kenangan terhadap Seorang Nenek Indonesia", "Pelajaran dari Ban Bocor", "Bantuan Hati", "Daya Tarik Bahasa Indonesia", "Angin dari Indonesia", "Terlepasnya Katak dari Dalam Tempurung", "Pesantren di Yogyakarta" dan "Sekolah Untuk Muslim".
Dalam acara yang berlangsung selama lima jam itu, juara pertama diraih oleh Nishioka Ikue, mahasiswi Universitas Osaka yang membawakan pidato berjudul "Bantuan Hati". Juara kedua ditempati Mayumi Matsukidaira, ibu rumah tangga di Nagoya, dengan pidato ’Kenangan Saya terhadap Seorang Nenek Indonesia". Sedangkan juara ketiga diraih dua peserta lomba, yakni Kayo Takami (Angin dari Indonesia) dan Chisato Aimu (Terlepasnya Katak dari Dalam Tempurung).
Wakil Dubes RI untuk Jepang, Ronny P Yuliantoro, mengatakan, pengajaran bahasa Indonesia dapat lebih meningkatkan pemahaman yang lebih dalam mengenai hubungan kedua negara, terlebih dalam memperingati tahun persahabatan kedua negara.
"Pemahaman yang mendalam dapat diraih dengan mempelajari bahasa yang merupakan jembatan emas bagi hubungan 50 tahun berikutnya, sehingga meluasnya penggunaan bahasa Indonesia akan menghilangkan prasangka buruk mengenai suatu negara," kata Ronny lagi.
Hilangnya prasangka
Prasangka yang kurang mengenakkan mengenai Indonesia memang banyak tertanam di benak kalangan generasi muda Jepang, seperti yang disampaikan sejumlah peserta lomba. Hal itu menurut mereka terjadi akibat tidak dipahaminya keberadaan Indonesia secara menyeluruh, di samping kurangnya kegiatan yang mempromosikan bahasa Indonesia.
Menurut mahasiswi Miho Yamasaki, berlanjutnya ketidaktahuan itu akibat sistem pendidikan Jepang yang tidak mementingkan posisi kebudayaan Asia Tenggara sejak zaman pemerintahan Meiji.
Dalam pandangan Chisato Aimu, yang mengaku pernah memiliki prasangka kurang menyenangkan tentang Indonesia, kegiataan lomba pidato menjadi salah satu cara yang cepat dan mudah untuk mengenal Indonesia secara benar, disamping tentunya berkunjungi ke Indonesia.
Sementara kenangan manis yang tidak terlupakan diungkapkan Miki Okuda yang sempat mengunjungi Bali pada liburan musim panas lalu. Kebiasaan warga Bali yang ramah memaksanya membuang jauh-jauh sikap pendiam dan jarang tersenyum.
"Kini saya suka berbicara dan tersenyum, seperti Bunga matahari," kata Okuda menerangkan hasilnya selama tinggal di Bali. Ia pun memakai judul "Seperti Bunga Matahari" dalam pidatonya.
Pandangan optimistis mengenai bahasa Indonesia di Jepang dikemukakan staf pengajar Universitas Nazan, Nagoya, Profesor Mikihiro Moriyama. Menurutnya perguruan tinggi di Jepang sudah semakin banyak yang membuka jurusan bahasa Indonesia. "Di masa depan akan semakin banyak orang Jepang berbahasa Indonesia. Jadi ini hanya persoalan waktu saja," kata professor yang mendalami kebudayaan Sunda itu.