• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

FanFic.........

Harushame Yusuke

IndoForum Beginner B
No. Urut
119
Sejak
26 Mar 2006
Pesan
929
Nilai reaksi
29
Poin
28
The Memorial of Love……

“Rasanya… segala sesuatu berjalan lambat disini… “

Dua jam yang lalu, Aku sangatlah sibuk. Tetapi sekarang tidak. Sedikit demi sedikit, kenanganku sewaktu SMU kembali. Waktu yang terasa terhenti kembali berjalan. Waktu yang kuhabiskan bersama mereka terus berlalu. Waktu bersama teman terbaikku di dunia menjadi bagian dari masalalu ku. Tetapi aku tahu tidak ada yang berubah disini. Udara disini. Dan kenangan indah kami. Hampir saatnya untuk reuni kami. Tanpa kusadari, aku terus memanggil kenanganku yang kabur.

“Sudah setahun lamanya ya… semenjak hari itu… “

Sesungguhnya, belum sampai setahun, untuk lebih tepatnya. Tes untuk ujian masuk perguruan tinggi diadakan pada musim semi nanti, dan aku belum mengikutinya. Masih kurang empat bulan saat waktu itu kami berjanji untuk bertemu kembali.

Aku menunggu di tengah udara dingin ini. Mendadak dia memutuskan untuk pulang dan dia ingin bertemu denganku sekarang juga. Itulah kenapa aku harus menunggu dia di tengah-tengah udara yang dingin ini. Tomoe dan Marumu tidak akan datang hari ini. Ini adalah reuni kami berdua. Aku merindukannya. Dan akhirnya, aku bisa bertemu dengannya lagi hari ini. Tetapi, rasanya aku terlalu bersemangat dan datang ke tempat ini terlalu cepat. Aku membaca jadwal bus tiba di halte ini.

“Bis berikutnya akan tiba satu jam berikutnya…. “

Sayangnya, Aku tidak membawa sesuatu yang bisa digunakan untuk menghabiskan waktu. Biasanya Aku selalu membawa kamus, bahkan ketika Aku pergi untuk makan. Tetapi Aku tidak membawanya sekarang. Jadi sepertinya aku harus menghabiskan waktu selama satu jam tidak melakukan apapun.

“Hmm... aku rasa tidak apa-apa untuk relax seperti ini sekali-kali.. “
Itu benar. Aku cuma harus menunggu selama satu jam. Lalu kemudian Aku akan mendapatkan bayarannya, yang telah lama Aku nanti selama ini.

--------------------
Aku yang sedang duduk melamun dan memandangi langit tiba-tiba tersadar, ketika seseorang berdiri di depan dan terus memandangku.

“AH! “

“Kenapa kau terkejut Yusuke..? kamu daritadi terlihat melamun saja…“

“....“
Aku memperhatikan gadis yang telah lama kunantikan itu.

“Apa kamu sudah lupa dengan wajahku? “

“Nggak kok… tapi… “

“Tapi apa?“

“Kamu tahu, Aku baru saja berpikir kalau kamu terlihat sangat menawan.”

“Kedengarannya seperti kamu sudah mengetahui cara untuk memperlakukan seorang wanita.”

“Nggak kok… Aku nggak ada maksud berusaha untuk memujimu… “

“Yah, Kupikir juga begitu…“

Aku cuma ingin dia senang dengan kata-kataku tanpa harus terdengar sarkastik. Aku cuma mengatakan apa yang Aku benar-benar rasakan. Dibandingkan delapan bulan yang lalu, Asumi terlihat lebih dewasa. Sebaliknya, Aku tidak banyak berubah. Aku berpikir kalau Aku telah mengingkari janji kami. ‘Aku akan menjadi Laki-laki yang sesungguhnya sebelum bertemu dilain waktu’. Tiba-tiba saja dia langsung mendekat dan memegang pundakku.

“Kelihatannya kamu sudah terlihat lebih dewasa dibandingkan sebelumnya “

“Kamu pikir begitu? Yaa.. mungkin karena Aku sangat memikirkan tentang ujian masuk perguruan tinggi yang sebentar lagi akan kuikuti… “

“kedengarannya seperti kamu melewati waktu yang berat.”

“Yep! Dan Aku berani bertaruh kamu nggak tahu betapa repotnya diriku “

“Aku harap tidak.”
Entah kenapa, Asumi terlihat sedikit murung sekarang. Aku tidak tahu kenapa dia melihatku seperti itu, tetapi ketika dia menunjukkan senyumnya yang manis, Aku pasti akan melupakan semua masalahku. Kemudian dia menggenggam tanganku.

“Sebaiknya kamu lupakan dulu masalah ujian dan mari kita bersenang-senang, ok?”

“Oke aja.. tapi apa yang akan kita lakukan?”

“ Kita akan nge-date sungguhan. Bagaimana?”
Sepertinya Asumi berusaha menghibur dirinya sendiri. Lalu kemudian dia menarik tanganku dan langsung berlari.


-------------------

bersambung..........
gw lanjutin nanti..... tunggu aja
 
Salah Tempat Nih KK...:P

Ini Lebih Tepat Di Forum Heart 2 Heart...:)
 
koq penggemar fanfic dikit sih..... /sob
/sob
padahal gw dah lanjutin critanya...... /sob
tinggal di postingin.... /sob
 
kurang panjang bro ... jadi lebih ngantuk lagi pas baca yang ke 3 udah bobo deh

:D
 
lanjutannya

Kami mengikuti jalan ke tempat-tempat yang biasanya kami menghabiskan waktu bersama disana. Tempat dimana terjadi kenangan manis, kenangan pahit, dan tempat-tempat yang tidak terlupakan. Kami bernostalgia dengan semua yang ada di kota ini. Aku sangat bersyukur kota ini tidak berubah banyak. Dan Aku sangat berterima-kasih kepada Tuhan yang memberikan kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama Asumi, sekali lagi di kota ini.

Setelah itu kami berjalan menuju tempat yang sangat berarti bagi kami. Itu adalah pantai di kota ini, dimana kami kencan untuk pertama kalinya. Tidak sekali saja Aku kembali ke pantai ini setelah kencan terakhir. Itulah kenapa Aku sangat merindukan tempat ini. Ketika Aku kesini bersama Asumi tahun lalu, saat itu musim panas. Berhubung sekarang musim dingin, pantai itu terlihat sedikit berbeda.
Aku melihat wajahnya, dan Aku sekali lagi menyadari kalau dia benar-benar terlihat semakin dewasa.
“ Sudah lama Aku tidak jalan-jalan seperti ini! “

“Tentu saja. Kamu pasti selalu di rumah, belajar untuk ujian nanti.”

“Sebenarnya, Aku mengikuti kelas bimbingan belajar untuk ujian. Tapi tetap saja, Aku nggak pernah jalan-jalan sesenang ini walaupun cuma sebentar.”

“Aku senang, Aku bisa memberi sedikit perubahan pada dirimu Yusuke..”

“Aku merasa santai sekarang...”
Asumi benar. Sekarang adalah saat yang paling tepat untuk mengeluarkan semua tekanan pada diriku. Tapi dibandingkan itu semua, Aku sangat bersyukur bisa melihat dia. Aku sudah menunggu untuk bertemu dengan dirinya lagi semenjak dia pergi. Karena permintaanku terkabul, kupikir Aku akan lebih bisa berkonsentrasi pada pola belajarku, dimulai besok.

“Kamu harus berterima-kasih padaku dong berarti…”

“Aku tahu, Aku tahu… Aku sangat bersyukur bisa ketemu kamu lagi, Asumi.”

“Sebenarnya, Aku yang berterima-kasih”

“Hah?”
Aku memandangnya, dan dia menatap langsung ke mataku. Dan dia mengatakan sesuatu yang tidak biasanya. Mendengar suaranya yang serius, aku bisa bilang kalau dia tidak sedang bercanda.

“ Walaupun kamu selalu komplain, kamu selalu mendengarkanku yang mengutamakan diri sendiri ini sampai selesai. Seperti sekarang, Aku tahu kalau kamu harus belajar untuk ujian nanti, tetapi kamu tetap datang untuk bertemu denganku.”

“Oh… nggak usah dipikirin, Aku sendiri memang ingin bertemu denganmu kok…”

“Aku memang selalu ingin menang sendiri, terima-kasih ya… kamu selalu berusaha bertahan ketika bersamaku”

“Asumi….”
Entah kenapa, Aku merasa aneh mendengar Asumi berterimakasih ke diriku. Sejujurnya, Aku sangat senang mendengar itu. Tapi Aku kira dia akan mengatakan sesuatu yang lebih berbeda. Kurasa mungkin ada sesuatu yang terjadi dan memaksa dirinya untuk berubah. Bagaimanapun juga, dia tetap orang yang sama yang aku tahu. Setidaknya suara dan wajahnya tetap sama. Aku begitu merindukannya.

“Aku sangat beruntung bisa bertemu Moe-Moe dan Marutan.”
Asumi kemudian memandang Matahari yang sedang tenggelam.
“Yang paling baik adalah bisa bertemu denganmu, Yusuke. Aku pikir, Aku bersyukur kamu bisa tahu kelemahanku.

“Sama denganmu, kalau saja Aku nggak ketemu kamu waktu itu, Aku mungkin sudah….”

“Apa?” Asumi melihat langsung ke mataku.

“Aku mungkin sudah mati kedinginan dan kelaparan”

“Kupikir kita memang sudah ditakdirkan untuk bertemu…”
Lagi dan tidak seperti yang biasanya, dia berkata sesuatu yang menakjubkan.
“Karena ada kamu dan yang lainnya, Aku telah melewati waktu yang begitu menyenangkan.“

“Kau tahu, kamu juga membuat hari-hariku terasa begitu menyenangkan” Aku lalu memegang pundaknya. “Aku yakin Moe-Moe dan Marutan merasakan hal yang sama denganku.”

“Kalau itu benar… aku sangat senang mendengarnya…” Kemudian dia tersenyum, senyum yang mempesona. Senyum kali ini terlihat lebih dewasa, dan kelihatan senyum penuh kebahagiaan.

“Aku sangat senang bisa kembali dan bertemu denganmu lagi Yusuke, dan mengobrol tentang masa lalu kita yang menyenangkan itu.. aku sangat bersyukur pulang kesini”

“Kalau begitu tinggallah disini… jangan kembali ke Greenland” aku bercanda tentang hal itu. Kemudian dia kembali senyum kepadaku.

“Aku nggak akan pergi kemanapun…”

“Benarkah?”

“Aku ingin bersamamu, makanya aku pulang kesini”

“Asumi…”

Aku sangat terkejut. Saking terkejutnya, Aku bisa saja nge-fly. Aku sudah lama menunggu untuk bersama dia. Jika bisa, Aku ingin terus bersamanya selamanya. Dan dia merasakan hal yang sama denganku. Dia benar-benar pulang hanya untuk bersamaku!. Langsung saja emosiku meluap-luap. Jantungku berdegup sangat keras, Aku yakin orang yang berada 1 kilometer jauhnya bisa mendengarnya. Cintaku berada disisiku, dan Aku bisa menyentuh dia kapan saja. Lalu dia membaringkan kepalanya ke pundakku. Rasanya nikmat sekali saat dia tidur di pundakku. Kemudian dia berbisik.

“Karena Aku…”

“….”

“Aku sangat mencintaimu…”

“Kamu mengatakan dengan berbisik seperti itu, membuatku jadi sedikit malu”

“….”

“….”

“….”

“Asumi….?”

“….”

“Hey, apa kamu tidur?”

“….”

“Ha ha ha….”
Dia membaringkan kepalanya di pundakku dan menutup matanya. Dia terlihat damai sekali. Angin laut yang lembut berhembus disekitar kami. Kapan Aku pernah sesenang ini?. Sepertinya Asumi selalu membuatku senang. Dan ketika Aku bersamanya, rasanya selalu ada kedamaian. Aku tahu dialah satu-satunya untukku. Dia berada disampingku, dengan matanya yang tertutup.

Sungguh suatu momen yang penuh kedamaian. Itu membuat diriku terasa nyaman, seperti laut yang begitu tenang sebelum terjadi Badai. Ternyata Asumi tidaklah lagi seorang gadis yang kukenal dulu. Kejadian di dalam ambulan beberapa menit kemudain membuatku menyadarinya.


Dalam perjalanan darurat menuju rumah sakit...

Asumi tidak bangun juga. Angin laut yang dingin berhembus. Aku berusaha membangunkan dirinya, tapi dia tidak bangun-bangun. Aku memegang dahinya, dan terasa panas. Aku tidak tahu harus berbuat apa, lalu aku menelepon 911 untuk mendapatkan bantuan dari paramedics.

Lalu…. Sekarang aku berada di dalam ambulan, duduk persis di sebelah Asumi yang terbaring. Suara sirene menggema di pantai . Akhirnya dia tersadar, dan kemudian dia memanggilku dengan suara yang lemah.

“Syukurlah… akhirnya aku bisa menemukanmu”

“Asumi!”
Bisakah dia mendengarku? Dia terus memandangku dan berbicara. Dia terlihat menderita, dan menggunakan semua tenaganya untuk berbicara denganku.

“Aku mencarimu… Aku hanya nggak mau semua ini berakhir begitu saja tanpa bisa melihatmu untuk yang terakhir kalinya…“

“Apa maksudmu?”

“Setiap malam, aku selalu takut untuk tidur. Aku takut kalau tidak bisa bangun lagi” Air mata membasahi matanya. “Karena itu Aku sangat bahagia bisa melihatmu dan yang lain pagi ini...”

“Kenapa kamu berkata seperti itu?” Aku semakin panik melihat keadaannya. “Kamu kan selalu terlihat penuh senyum dan keceriaan, kamu ingat kan?”

“Aku nggak bisa menyia-nyiakan waktu, bahkan seharipun... karena aku berjanji pada Asuka untuk melakukan yang terbaik.”

“Asuka?”
Nama itu terdengar familiar. Tetapi Aku tidak ada waktu untuk memikirkan hal tersebut. Dan Aku tetap mendengarkan sambil terus memperhatikan Asumi. Karena aku tahu hanya ini yang bisa kulakukan untuknya sekarang.

“....”
Asumi menggerakkan tangannya, berusaha untuk mencari sesuatu.

Aku menyadari tangannya seperti hendak mencari sesuatu. Tangannya merayap disekitar pinggangnya dan mengeluarkan sesuatu dari kantung jaketnya. Kehabisan tenaga, dia menjatuhkan benda itu ke lantai. Aku mengambilnya dan memberikan benda itu ke Asumi. Aku yakin pernah melihat benda itu sebelumnya. Asumi pernah kehilangan itu, dan dia terlihat sangat marah seharian. Benda itu selalu dibawa Asumi kemanapun, bahkan saat mengunjungi kuburan. Dia memegang benda itu sangat erat, sehingga dia tidak akan kehilangan benda itu.

“Karena itu Aku berusaha yang terbaik untuk Asuka.” “Dia sangat ingin belajar di Greenland, makanya Aku juga pergi kesana.”

“...”
Aku tidak menangkap maksud dari cerita tersebut. Aku benar-benar bingung, walau begitu tetap saja Aku mendengarkan. Dengan kondisi setengah sadar, dia berusaha untuk memberitahukan Aku sesuatu hal. Sesuatu yang sangat penting baginya. Tetapi sedikit demi sedikit, matanya yang menatapku terlihat semakin kabur. Suaranya juga melemah.

“Orangtuaku… tahu kalau hal ini akan terjadi pada diriku.” “Karena itu mereka menderita, tetapi ibuku bersikeras untuk membawaku lahir ke dunia ini.” “mereka menamakanku ‘Asumi’, berharap agar masa depanku cerah dan indah. “Aku begitu mencintai mereka..”

“....”
Bukan kata-katanya, tetapi aku merasakan hal lainnya yang ingin diceritakan Asumi. Cerita tentang kehidupannya. Kalau saja kondisinya tidak seperti ini, mungkin dia akan menceritakannya selamanya kepadaku. Tiba-tiba dia terlihat mencari sesuatu di udara. Sepertinya dia hendak memelukku. Aku langsung menggengam tangannya. Dia memegang erat tanganku, seperti takut kalau akan segera hilang, kemudian menghela nafas lega..

“Dan..... Moe-Moe, Marutan, dan kamu telah memberikan harta karun terbaik yang pernah aku miliki. Aku mencintai kalian… Aku… men... cintai... mu Yusuke…”

“Asumi... Asumi... ASUMI!!!”
Dia menutup matanya dengan penuh kedamaian, begitu ambulan sampai di rumah sakit. Dan Aku berteriak dalam kesunyian.

----------------------

bersambung.....
 
Haru., mana lanjutannya?
 
Heart de Roomate itu bukannya game hentai? hehehe udah tamat gw ada2 aja lo....
 
Asumi dirawat inap di rumah sakit, tak lama kemudian orangtuanya datang. Mereka terlihat sedih, tetapi mereka tidak tampak terkejut. Orangtuanya tahu kalau hari ini bisa saja terjadi kapan saja. Orangtuanya menyuruhku tetap bersama mereka ketika mendengar keterangan dokter yang memeriksa keadaan Asumi. Mereka juga menceritakan kenangan-kenangan yang dialami mereka bersama Asumi. Bahkan Apa yang dilakukan Asumi ketika masih anak-anak. Dia tidak pernah takut kalau hidupnya bisa berakhir kapan saja, dan dia memutuskan untuk berusaha sebaik mungkin di setiap harinya. Orangtuanya merasa bangga. Tahu kalau hidupnya tidak akan lama, Asumi tidak merasa kasihan dan marah terhadap dirinya, justru dia merasa bersyukur bisa berada di dunia ini.

Kamu selalu memberikan inspirasi pada dirinya setiap hari.
Air mata membasahi mata mereka.

Tapi aku tidak tahu apapun. Rasanya kejadian ini akan menghancurkan hatiku berkeping-keping. Ketakutan membuat mata dan telingaku tertutup rapat. Jika tidak, Aku yakin Aku akan berteriak sekeras mungkin Aku bisa. Aku terpaku akan pikiran akan kehilangan dirinya. Aku tidak berpikir bisa tabah menerimanya. Apalagi ketika dokter yang menanganinya berbisik ke orangtuanya, kata-kata yang menyayat telingaku. Kebenaran bahwa dokter dan tim medisnya tidak tahu berapa lama lagi Asumi bisa hidup.


--------------------------


Aku merasakan ujung jarinya bergerak. Aku menggenggam tangannya sejak tadi. Lalu aku mengeraskan genggamanku, jadi dia akan tahu kalau Aku ada disini bersamanya. Aku merasakan Tangannya kini menggenggamku juga. Sangat lemah, tetapi seperti dia berusaha untuk tidak melepaskannya. Setelah beberapa saat, perlahan-lahan dia membuka matanya.

“mmmm....”

“.....”

“... Yu...suke?”

“Yeah?”
Dia memandangiku untuk sesaat dan kemudian meremas tanganku. Tetapi dia sangat lemah. Lalu dia melihat langsung kea rah mataku dan mulai berbicara.

“Aku...”

“....”

“....”
Dia ingin mengatakan sesuatu kepadaku. Tetapi entah kenapa, dia tidak bisa mengucapkan kata-katanya. Aku bisa merasakannya dari tatapan matanya.

Orangtuanya mengatakan kalau Asumi tahu keadaan dirinya lebih baik daripada orang lain. Tentu saja, tentang penyakit dan kondisinya secara pasti. Dia juga khawatir karena dia tidak tahu berapa lama dia bisa bertahan. Dalam suasana seperti sekarang, Aku bisa mengasumsikan betapa beratnya untuk membicarakan hal itu. Jika aku adalah dia, mungkin saja aku akan terbaring di sana menangis. Itulah kenapa sekarang Aku yang harus berbicara, bukan dia. Supaya dia tahu apa yang ada dalam pikiranku.

“Sekarang giliranku yang bicara, ok?

“Yu...suke?

“Kau benar-benar gadis yang cengeng.”

“A.... aku tahu...”
Dia mengangguk perlahan.

“Kalau begitu sekarang waktunya Aku untuk sedikit mau menang sendiri, tidak apa-apa kan?”
Aku meremas tangannya. Aku telah memikirkan tentang ini berkali-kali, dan akhirnya, Aku memutuskan untuk mengatakan apa yang ada dalam pikiranku.

“Mulai sekarang, kita akan melakukan semua yang Aku mau. Sampai Aku merasa puas, kamu tidak boleh menghindarinya, ok?”

“Tapi... Aku... Aku...”
Dia terlihat murung. Karena dia tahu kalau dia tidak akan bisa menepati janjinya. Tetapi aku membentaknya karena kurangnya kemauan hatinya.

“Aku nggak akan pernah memaafkanmu kalau kau begitu saja menghilang.” “Sampai sekarang, aku yakin kamu sudah memiliki semua untuk memenuhi impianmu.” “Jika begitu, Hiduplah untukku mulai sekarang!”

“Hi… dup?”

Dia terlihat menyadari sesuatu. Mungkin ketika dia menyadari dan mengetahui akan penyakitnya, dia berusaha tetap berkata pada dirinya untuk berusaha tetap hidup sebisa mungkin. Karena itulah dia selalu berusaha sebaik mungkin. Bagaimanapun, ketika terror kematian menghantuinya, itu membuat dia buta. Aku tidak bisa membiarkan dia seperti itu, belum saatnya. Tanpa menyadarinya, air mata membasahi mataku. Aku berusaha keras untuk menahannya.

“Aku nggak akan memaafkanmu kalau kamu pergi ketempat yang aku tidak bisa kesana. Aku nggak akan membiarkanmu melakukan itu.”

“Tapi Aku... Aku... Aku tidak....”

“Apapun yang terjadi, Aku akan tetap bersamamu.”
Aku menggenggam tangannya lebih erat. Aku tidak akan membiarkan dia pergi. Walaupun Asumi berkata kalau dia harus pergi ke suatu tempat, aku tidak akan meninggalkannya. Aku bersumpah kepada Tuhan, Aku akan terus bersama dirinya, Apapun yang terjadi.

“Berjanjilah padaku, Asumi. Kamu akan terus berusaha hidup dan tetap bersamaku selama kamu bisa.”

“Kamu.. kamu memang benar-benar ingin menang sendiri, kamu tahu itu?”
Air mata mengalir jatuh melewati wajahnya. Wajahnya setengah menangis dan tersenyum, Aku bercanda dengannya.

“ Mungkin… ini gara-gara aku ketularan sifat Egois mu.”

“.....”

Dia menggenggam balik tanganku. Aku merasakan sesuatu berubah di dalam dirinya. Aku benar benar melihat tanda sebuah keinginan di matanya. Keinginan untuk tetap hidup. Ini bukanlah akhir dari semuanya. Kami akan tetap hidup bersama sampai ajal memisahkan kami. Aku merasakan kemauan yang kuat di tangannya yang hangat.

“Aku akan tetap bersamamu Yusuke.... selamanya!”

“Asumi....”

Kami saling bertatapan dan tersenyum. Sebenarnya, kami tidak tahu berapa lama kami bisa tetap bersama seperti ini. Tapi saatnya tiba, Aku akan terus berusaha membuatnya tersenyum. Apapun yang terjadi, Aku bersumpah Aku tidak akan meninggalkan cintaku.



FIN


tokoh utamanya Yusuke /gg /gg
 
wah , panjang banget /swt/swt
Good Story /gg/gg/gg
kalo bisa buatin cerita Hentai Ragnarok /gg/gg/gg
 
sorry.....gw ga suka yg hentai2.....

gw lagi bikin crita baru nih...... /gg /gg
lagi mengarang....nantikan yah...... /gg /gg
 
gw kira cuma gw yg lg nulis FanFic /heh .....

eniwei, good story

ayo lanjutin /go /go /go
 
yg ini sedikit dipengaruhi oleh RO.... /heh /heh

To See You SUNFLOWER

Chapter1 > Segelas Jus Apel dan Tuak Manis

Angin yang berhembus di Midgard tidak pernah lepas dari aroma darah. Rumput dan pepohonan menari mengikuti irama takdir, menceritakan berbagai kisah kepahlawanan dari setiap pelosok tanah Midgard. Namun Prontera di pagi hari itu terasa begitu sejuk dan tenang, seolah tidak pernah tersentuh kerasnya peperangan. Dua tahun telah berlalu sejak disepakatinya perjanjian damai antara empat guild raksasa yang menguasai Valkyrie, Britoniah, Greenwood, dan Luina. Untuk sesaat para ksatria Midgard dapat meletakkan senjata dan tidur nyenyak; melupakan perang yang selama bertahun-tahun menguras habis keringat dan darah mereka.

Namun manusia, tetaplah manusia. Selama insan fana itu ada, perang tidak pernah terhenti.

Itulah yang dipikirkan oleh Kai ketika membuka jendela kamarnya. Pemuda berusia dua puluh satu tahun itu adalah seorang Knight muda yang mengabdikan diri pada Guild Grantgale, penguasa Valkyrie di Prontera. Pemimpinnya bernama Heath Savrille, seorang Wizard yang menghabiskan setengah abad hidupnya dalam Perang Emperium. Talenta dan dedikasi Kai menarik perhatian Heath; sehingga di usia semuda itu, Kai diberi kepercayaan untuk menjadi pengawal keluarga Savrille. Kini Kai adalah orang nomor satu yang paling dekat dengan Heath dan keluarganya.

Hari itu, Heath menugaskan Kai untuk menemani dia dan Cattleya, putrinya yang sebaya dengan Kai, untuk pergi ke Istana Greenwood di Payon. Tetua Su, pemimpin guild Minerva, akan merayakan ulangtahunnya yang ke tujuh puluh. Demi menjaga hubungan baik, perjalanan panjang pun harus ditempuh.

Ketika matahari sudah agak tinggi, Kai memulai perjalanan menuju Payon sambil memimpin rombongan kecil yang mengiringi tandu Heath dan Cattleya. Selama beberapa hari mereka harus melewati desa-desa kecil dan hutan yang mengitari Payon sebelum akhirnya tiba di Greenwood. Heath dan Cattleya dijamu dengan sangat baik oleh para petinggi Guild Minerva sehingga Kai merasa tenang.

“Kau boleh bersantai, Kai. Masih ada waktu beberapa jam sebelum pesta dimulai.” sahut Cattleya sebelum dia pergi beristirahat. “Kau harus mengunjungi bar di Payon. Minumannya terkenal enak, lho. Terutama jus buah-buahan.”

“Tidak apa, saya akan menemani Tuan dan Nona di sini.” kata Kai. “Lagipula saya tidak suka pergi ke bar.”

Ternyata bukan hanya Cattleya yang menyuruh Kai pergi beristirahat atau bersenang-senang. Heath pun menyarankan hal yang sama.

“Kamu masih muda, coba carilah hal-hal yang umum disukai anak muda. Di Payon kau bukan pengawal lagi, tapi pemuda biasa” begitulah kata Heath. Senyum jahil yang diwariskannya kepada Cattleya nampak di wajahnya yang sudah banyak kerutan. “Sekali-kali kau harus punya kekasih.”

Kai mengernyitkan kening mendengarnya. Dulu dia pernah bersumpah tidak akan mencari kekasih, apalagi sampai menikah. Bukannya antipati terhadap wanita, tapi dia ingin mengabdi pada Guild Grantgale seumur hidup; keberadaan kekasih hanya akan mengganggu keteguhan hatinya. Tapi itu adalah sumpahnya sewaktu berusia dua belas tahun, tanpa mengerti arti sebenarnya dari mencintai seseorang. Namun sampai detik itu, Kai masih bersikukuh pada sumpahnya.

Walaupun demikian, Kai tetap pergi ke bar. Dia hanya ingin beristirahat, tidak lebih. Lagipula dia ingin mencoba jus buah-buahan Payon yang konon dapat membantu pemulihan cedera. Bar yang didatangi Kai bernama Sunflower. Kai duduk di salah satu bangku, kemudian seorang gadis novice bertopeng yang menggunakan celemek bermotif bunga matahari datang menghampirinya.

“Mau pesan apa, Tuan ?”

Kai memperhatikan gadis itu dengan seksama, terutama pada topengnya. Tidak seluruh wajah tertutup topeng, hanya sebelah kiri saja.

“Anda hendak memesan minuman atau ingin melihat topengku ?” tanya gadis itu lagi. Rupanya dia sadar kalau Kai memperhatikannya. Meski terkesan sinis, tapi gadis itu berbicara dengan nada ramah.

“Oh, maaf…” ujar Kai kikuk. Dia mendehem, kemudian berpikir sebentar. “Ermm, aku ingin jus. Jus apel.”

“Dicampur tuak atau tidak ?”

“Eh ?”

“Anda bukan orang Payon, ya ?” kata gadis itu lagi. Kai mengangguk. “Di sini, orang gemar mencampur jus apel dengan tuak manis untuk memperkuat rasa. Kalau Anda pendatang, maka Anda harus mencobanya. Bar ini terkenal dengan jus apelnya yang dicampur tuak.”

Kai pun mengangguk. “Baiklah. Kau pilihkan saja yang paling enak untukku.”

“Yang paling enak, tentu saja yang paling memabukkan. Tapi kalau Anda mabuk sampai mengamuk, harga jusnya ditambah biaya reparasi barang yang Anda rusak, loh.” sahut gadis itu sambil berlalu dengan senyum lebar.

Gadis yang kocak, pikir Kai. Kai sudah terbiasa dengan sifat Cattleya yang senang bercanda, tapi gaya gadis ini berbeda sekali. Mungkin karena dia mengenakan topeng sehingga muncul kesan misterius, berlawanan dengan sifatnya yang periang.

Tak lama kemudian, seorang wanita gemuk yang juga menggunakan celemek bermotif bunga matahari datang sambil membawa pesanan. “Ini jusnya, Tuan. Selamat menikmati.” ujarnya sambil meletakkan segelas besar jus apel di meja Kai.

“Loh, ke mana gadis pelayan yang tadi ?” tanya Kai.

“Gadis pelayan ?” wanita gemuk itu mengerutkan kening.

“Iya, gadis yang tadi. Ermm, yang bertopeng itu…”

“Maksudmu Vio, ya ? Dia bukan pelayan, tapi tetanggaku. Dia sering membantuku di sini.” kata wanita gemuk itu. Sepertinya dia adalah pemilik bar itu. “Tadi Vio pergi ke pasar untuk membeli apel.”

“Oh, jadi namanya Vio…”

Wanita itu mengangguk. “Namanya Violetta, tapi lebih sering dipanggil Vio.” Wanita itu segera pergi karena tak lama kemudian datang tamu lain yang harus dilayani.

Kai menghabiskan minumannya dengan cepat, dan ternyata rasanya lumayan enak. Aroma tuak tidak merusak rasa jus, tapi justru memberikan kesegaran yang melegakan tenggorokan. Benar-benar minuman yang cocok untuk sore sepanas itu. Sebenarnya Kai ingin mengucapkan terima kasih pada Vio atas sarannya untuk mencoba minuman yang lezat itu, tapi gadis itu tidak kunjung kembali. Tapi ketika baru saja Kai hendak membayar, tiba-tiba Vio muncul di ambang pintu.

“Lho, Anda sudah mau pulang ? Padahal aku baru saja membeli apel, kupikir Anda akan ketagihan dan memesan segelas lagi.” kata Vio sambil menunjukkan sekeranjang apel di tangan kanannya.

Kai tertawa. “Ada-ada saja, kau …Dasar pelayan palsu.” sindirnya sambil tersenyum.

“Ketahuan, ya ?” Vio tersenyum. Dia menyerahkan belanjaannya pada wanita gemuk yang tadi, yang kemudian diketahui bernama Adela, kemudian duduk di samping Kai yang mengurungkan niat untuk pergi. “Namaku Vio. Anda adalah Knight dari Valkyrie, ya ?” tanyanya.

“Kok tahu ?”

Vio menunjuk emblem di dada Kai yang menggambarkan simbol Guild Grantgale. “Sejak berakhirnya Perang Emperium, hampir tidak pernah kulihat prajurit Valkyrie yang berkunjung ke Payon.” kata Vio lagi. “Anda datang ke sini karena ulangtahun Tetua Su, ya ?”

Kai membenarkan. “Tapi aku hanya pengawal.” tambahnya. “Oh ya, namaku Kai Riverwine. Panggil saja aku Kai.”

“Meskipun Anda orang Prontera dan aku adalah orang Payon, kuharap kita bisa berteman.” kata Vio.

“Tentu saja.” kata Kai. “Selama perjanjian damai tidak dikhianati, tidak ada alasan untuk tidak bersahabat.”

Vio mengangguk. “Sudahlah, sebaiknya kita tidak membicarakan hal-hal sulit. Bagaimana kalau kita minum saja ?”

“Boleh.” kata Kai semangat. “Bibi, aku pesan satu gelas lagi!” serunya pada Bibi Adela. “Eh tidak, DUA gelas lagi!”

“Aku juga, Bibi!” Vio ikut-ikutan menimpali.

“Segera!” jawab Bibi Adela.

Sore itu, Kai ngobrol dan minum-minum sampai mabuk. Pembicaraannya dengan Vio melantur sana-sini, tapi mereka nampak sangat menikmati saat-saat itu. Kai banyak bercerita tentang Prontera, sedangkan Vio menceritakan banyak hal tentang Payon. Selama ini Kai tidak pernah berbicara sesantai itu dengan wanita. Meskipun Cattleya sering mengajaknya bercanda, tapi dia terlalu segan untuk menimpali. Vio juga nampak sangat menikmati cerita Kai tentang masa pelatihannya di Valkyrie bersama Guild Grantgale. Kai lupa sampai mana dia bercerita karena tahu-tahu dia mabuk dan ketiduran karena minum terlalu banyak!

……

Esoknya, Kai kembali ke bar itu, tapi Vio tidak ada di sana. Dia bermaksud menyampailkan ucapan selamat tinggal karena dia akan segera pulang ke Prontera. Kai pun menitipkan pesan pada Bibi Adela sang pemilik bar, kemudian kembali Greenwood untuk mempersiapkan perjalanan pulang.

“Kemarin malam kau ke mana saja ?” tanya Cattleya sebelum menaiki tandunya. “Kupikir kau akan datang ke pesta, ternyata kau tidak muncul.”

Tapi sebelum Kai menjawab, Heath muncul dari belakangnya. Dia menepuk bahu Kai, kemudian tertawa. “Kudengar kemarin kau mabuk sampai ketiduran di bar, ya ?”

“M, maafkan saya…” sahut Kai sambil menundukkan kepala.

“Benarkah ?” tanya Cattleya tidak percaya. Dia tertawa. “Ternyata kau yang keras kepala ini bisa mabuk-mabukan juga ya ?”

“Saya tidak sengaja.”

“Tak apa, lagipula aku ‘kan sudah mengizinkan. Lagipula, pesta ulangtahun kakek-kakek berumur tujuh puluh tahun tidak lebih menyenangkan daripada bar.” canda Heath dengan suara setengah berbisik. Wajah Kai memerah karena malu. Tapi kemudian Heath memasang wajah serius dan berbicara dengan lebih tegas. “Tapi sekarang, kau kembali lagi menjadi pengawal. Mulai sekarang kau harus hati-hati.”

“Baik!”

Dengan diiringi ucapan terima kasih dari Tetua Su dan keluarganya, rombongan dari Guild Grantgale pun pulang ke Prontera. Sebenarnya Kai merasa agak kikuk, meskipun Heath tidak marah, tetap saja dia merasa malu pada dirinya sendiri. Tapi Kai tidak menyesal pergi ke bar itu, karena di sana dia mengenal seorang teman yang menyenangkan.

Sama seperti saat pergi, perjalanan pulang pun terasa jauh dan lama. Saat menjelang malam, Kai dan rombongannya tiba di tepi hutan, tiba suasana berubah menjadi mencekam. Kai merasakan ada bahaya, tapi yang ditangkap mata dan telinganya hanyalah kegelapan dan suara angin yang mendesir di antara pepohonan.

“Waaaaa…!!!” tiba-tiba terdengar erangan seorang prajurit pengiring di barisan belakang.

Kai segera menoleh, tiba-tiba dirasakan kehadiran seseorang mendekati. Seorang Assassin! Assassin yang menggunakan jubah ungu itu melesat sambil menghubuskan katar di kedua tangannya, begitu cepat hingga Kai tidak bisa menghindar. Dia menangkis dengan pedang yang masih tersarung. Sarung pedang itu terbelah dua dan jatuh ke lantai hutan. Assassin itu melompat, kemudian melesat pergi dari hadapan Kai. Insting mendorong Kai untuk menoleh ke belakang, dan ternyata Assassin itu benar-benar muncul di sana. Gerakannya yang cepat membuat Kai kesulitan untuk memperkirakan di mana dia akan diserang. Selain itu, Kai juga kesulitan membalas serangan karena Assassin itu dengan mudahnya menghindari tebasan pedang Kai.

“Ah…” erang Kai. Akhirnya katar assassin itu berhasil melukai pangkal lengan kiri Kai, menembus pelindung bahunya.

Assassin itu menyerang ke arah luka itu lagi, namun Kai memanfaatkan hal itu untuk menangkap tangan sang assassin. Assassin itu mencoba meloloskan diri, tapi dengan cepat dan tanpa ragu, Kai menusuk perut assassin yang meronta itu dengan pedangnya. Assassin itu mengerang kesakitan dan tewas seketika.

“Cih, sial…” desis Kai. Dia mendorong tubuh assassin itu, kemudian mencabut lagi pedangnya. Darah menyembur, membasahi tangan Kai.

Tapi Kai terlalu cepat menghembuskan nafas, karena detik berikutnya, jeritan terdengar lagi. Di antara pengiring yang terluka atau mencoba membela diri, nampak seorang Blacksmith sedang memutar-mutar palu raksasa di atas kepalanya.

“Hammer Fall…!!!”

Blacksmith itu memukulkan palunya ke tanah, dan tiba-tiba bumi bergetar hebat seperti terjadi gempa. Tandu Heath dan Cattleya terjatuh, serta seluruh pengiring yang berada di sana. Kai pun terhuyung-huyung karena kuatnya getaran yang ditimbulkan Blacksmith itu.

Heath menarik putrinya ke balik punggungnya, lalu berdri. Dia mengangkat tangan sambil membaca spell magic. “Fire Bolt…!!!” serunya.

Mendadak langit menjadi merah dan berapi-api seperti lava; dan detik berikutnya, jatuhlah hujan api yang terfokus kepada Blacksmith di hadapan Heath. Tubuh blacksmith itu kejang-kejang, tubuhnya nampak terbakar karenanya. Tapi ketika api sihir itu lenyap dan menyisakan kepulan asap, nampak blacksmith itu berdiri dengan bertumpu pada palu raksasanya. Sebuah senyum licik nampak di wajahnya yang puas.

“Dia masih hidup!” ujar Cattleya.

“Tak mungkin! Jangan-jangan, armornya…” gumam Heath tak percaya.

Blacksmith itu tertawa. “Heath Savrille, penguasa Valkyrie, ternyata Anda memang hebat. Kau benar, armor ini telah dirasuki roh Pasana.”

“Baiklah, kalau begitu…” Heath memejamkan mata dan membaca spell lagi. “Frost…”

Sebelum dia menyelesaikannya spellnya, dari tengah rimbunnya hutan, melesat sebatang anak panah, berkilau di bawah cahaya lembayung. Anak panah mendesis melawan angin dan menembus perut Heath. Spell terhenti, Heath mengerang, lalu batuk darah.

“Papa…!!!” jerit Cattleya.

“Nona Cattleya, awas!” Kai melompat ke arah Cattleya dan Heath, dan tiba-tiba anak panah kedua melesat menyerempet kaki Kai. “Uh!” Kai tidak terluka, tapi cukup sakit.

“Kai!”

“Nona, bersembunyilah! Bawa Tuan Heath ke balik tandu!” ujar Kai. ”Biar aku yang mengalihkan perhatian mereka!”

Ternyata masih ada seorang Hunter di pihak musuh. Kai mulai terjepit. Satu orang pengawal telah tewas karena serangan pertama, beberapa terluka dan sisanya pingsan karena serangan blacksmith. Kedaan Heath pun buruk sekali. Wajahnya mulai pucat dan bibirnya membiru. Sepertinya anak panah itu dilumuri racun. Kai yang bersikeras melawan blacksmith tadi pun tidak dapat berbuat banyak, apalagi hunter di tengah hutan tidak henti-hentinya melepaskan anak panah. Kai benar-benar kesulitan karena harus bertarung sambil menghindari anak panah. Akhirnya Kai terpojok, lalu jatuh terjerembab.

“Si, siapa kalian ?” tanya Kai.

Blacksmith itu menghampirinya, kemudian berjongkok. “Kami adalah utusan Greenwood.” katanya.

“Apa, Greenwood ?! Mustahil!”

“Mustahil ? Dalam politik tidak ada yang mustahil. Tapi kau boleh tenang, prajurit muda, kau tidak berarti apa-apa untuk dibunuh.” Blacksmith menoleh ke arah Heath, lalu mengangkat palu raksasanya. “Kaulah yang harus mati, Heath Savrille!”

“TIDAK!” seru Kai dan Cattleya bersamaan.

Tiba-tiba, angin berhembus. Kai dan Cattleya tidak tahu apa yang terjadi karena tiba-tiba saja, blacksmith itu terpelanting dan jatuh ke tanah. Seseorang memukulnya. Kemudian Kai menyadari kalau ‘pihak ketiga’ yang menolongnya adalah seorang monk wanita! Rambutnya yang panjang berkibar dipermainkan angin. Monk itu menoleh, dan hal pertama yang terlihat di mata Kai adalah topeng yang menutup setengah wajahnya.

“V, Vio ?!” Kai berseru keheranan.

Tapi monk yang tidak lain adalah Vio itu tidak bergeming ketika Kai memanggilnya karena saat itu, sang blacksmith sudah bangkit lagi. Blacksmith itu mendengus, kemudian berteriak dengan keras seperti orang gila. Tiba-tiba saja otot-otot tangan dan dadanya mengeras, wajahnya memerah karena peningkatan adrenalin. Dengan setengah mengamuk, blacksmith itu menyerang Vio.

“Awas Vio!”

Vio tidak membalas, dia malah menghindar dengan kecepatan yang luar biasa, jauh lebih cepat daripada Assassin tadi. Dia seperti menghilang dan muncul lagi di tempat lain, benar-benar bagaikan sihir. Konon itu adalah salah satu jurus relokasi monk yang sangat sulit dipelajari. Tapi Vio nampak melakukannya dengan mudah seperti membalikkan telapak tangan. Blacksmith itu kembali menyerang, tapi Vio hanya menghindar. Dia seperti sedang mengumpulkan tenaga.

“Apa-apaan kau ?!” tanya blacksmith itu murka. “Lawan aku, perempuan! Jangan kabur!”

Vio tersenyum tipis. “Kau tahu, mengapa manusia menjadi kuat ?”

“Tentu saja dengan senjata dan armor terbaik! Itulah sebabnya aku akan menghabisimu, karena akulah yang terkuat!” balas si Blacksmith.

“Kau salah.” Kemudian Vio memejamkan mata, tapi tetap berbicara. “Manusia seperti alam yang menyimpan kekuatan besar. Tubuhnya adalah tanah, yang fana namun wujud bagi yang tak tersentuh.” Dari tanah, muncullah bola roh dan bergerak mengelilingi Vio. “Darah dan nafas manusia adalah air dan angin – mengalir, berhembus, dan memberi kehidupan. Jiwa manusia adalah api, membara dan melahirkan emosi.” tiga bola roh muncul, dan bergerak lagi. “Hati manusia adalah logam, emas yang berharga, atau menjadi besi yang berkarat dan layak untuk dimusnahkan.”

“Berisik!”

“Kekuatan lahir karena adanya kesatuan dalam diri manusia. Kau adalah manusia yang kuat, tapi hatimu berkarat. Oleh karena itu, sekuat apapun dirimu, pada akhirnya kau ada untuk dimusnahkan.” Kemudian Vio membuka matanya, nampak bola matanya memerah. Dia seperti dilingkupi kekuatan yang luar biasa.

“Cih! Seenaknya saja bicara! Matilah kau!” teriak Blacksmith itu sambil maju menyerang Vio.

Tapi Blacksmith itu melakukan kesalahan. Saat itu, lima bola roh terkumpul mengelilingi Vio. Bersamaan dengan ayunan palu sang Blacksmith, Vio pun menerjang sambil mengerahkan seluruh bola roh yang mengelilingi dirinya. Detik berikutnya, Kai dan Cattleya tidak dapat melihat apa-apa, selain cahaya terang yang melingkupi Vio dan blacksmith tersebut. Kai sempat mendengar blacksmith itu berteriak, dan detik berikutnya, nampak pecahan palunya terlempar ke sana-sini. Cahaya menghilang, dan yang tersisa hanyalah Vio sendiri. Blacksmith itu menghilang seperti tidak pernah ada. Tidak ada darah, tidak ada tubuh, yang tersisa hanyalah debu yang terbawa angin malam.

“A, apa yang terjadi ?” tanya Cattleya.

“Ashura. Blacksmith itu dikalahkan... ah bukan... dimusnahkan. Jurus yang sangat mengerikan!” kata Kai. Dia pernah mendengar rumor tentang jurus itu, tapi baru sekali ini dia melihatnya langsung. “Blacksmith itu kembali menjadi debu…”

“Mengerikan…” gumam Cattleya. “…tapi hebat!”

Namun Vio pun nampak sangat kelelahan. Dia terjatuh, kemudian menghela nafas panjang. Sepertinya dia kehabisan tenaga. Tapi tak lama, dia segera pulih. Vio pun cepat-cepat menghampiri Kai.

“Kai, kau tidak apa-apa ?” kata Vio sambil memeriksa luka-luka di tubuh Kai.

“Vio, kenapa kau…” Kai tidak percaya. Dia mengira Vio hanyalah novice biasa. Tapi kini yang berdiri di hadapannya bukan seorang gadis biasa yang ceria, melainkan seorang monk yang hebat dan mengerikan.

“Sudahlah, akan kujelaskan nanti. Yang penting keadaanmu dulu!” kata Vio.

“Hati-hati, masih ada seorang hunter yang bersembunyi di dalam hutan!” kata Cattleya memperingatkan. “Papa terpanah dan kondisinya benar-benar gawat!”

“Aku sudah membunuh pecundang itu terlebih dahulu. Dia bahkan tidak berani memunculkan diri, dan hanya bisa menyerang diam-diam.” kata Vio. Dia kemudian berpaling ke arah Heath. “Tuan Heath!” serunya sambil memeriksa gejala keracunan di wajah Heath. “Dia terkena racun argiope!”

“Apa ?!”

Vio melihat sekelilingnya, kemudian mengambil daun green herb dan menghancurkan dengan tangannya. Kai dan Cattleya melakukan hal yang sama, kemudian membeberkan daun green plant itu pada luka di tubuh Heath. Atas petunjuk Vio, Cattleya juga meramunya dan mencampurnya dengan air. Ampas daun dibuang, sedangkan airnya diminumkan pada Tuan Heath.

“Racunnya sudah menyebar, kuharap daun-daunan ini dapat menolongnya.” kata Vio.

Tidak lama kemudian, Heath terbatuk dan muntah darah yang bercampur potion buatan Cattleya. Namun menurut Vio, itu adalah pertanda baik karena racunnya pun ikut keluar. Wajah Tuan Heath berangsur-angsur normal dan tidak pucat lagi. Tidak lama kemudian, Heath sadarkan diri. Kai dan Cattleya segera menceritakan apa yang terjadi, termasuk pengakuan blacksmith tersebut bahwa dia adalah utusan Greenwood.

“Bukan!” bantah Vio. “Orang-orang ini bukan utusan Greenwood.”

“Bagaimana kau tahu ?” tanya Heath.

“Sayalah utusan Greenwood.” kata Vio. Dia pun segera menunduk hormat pada Heath. “Nama saya Violetta Kirran, prajurit rahasia Greenwood. Penyamaran ini terpaksa kubongkar karena Kai mengenalku sebagai sahabat, dan penghargaanku pada Tuan Heath.” katanya memperkenalkan diri. “Sebenarnya sudah sejak lama Tetua Su mencurigai adanya pihak yang berusaha mengadu domba guild-guild besar untuk menyulut kembali Perang Emperium. Untuk itulah dia mengutus saya dan beberapa monk lain untuk meyakinkan bahwa setiap tamu yang datang ke Greenwood tidak diserang oleh orang-orang macam mereka.”

“Aku tidak mengerti. Mengapa orang-orang ini menginginkan perang ? Apa untungnya bagi mereka ?” tanya Cattleya.

“Kurasa mereka hanya pembunuh bayaran. Orang di balik penyerangan ini bisa saja pengusaha senjata atau obat-obatan. Sulit untuk melacaknya.” kata Heath. Dia memandang Vio, lalu berterima kasih. “Kau telah menyelamatkan kami. Nampaknya aku juga harus berterima kasih pada Tetua Su.”

“Saya hanya menjalankan tugas. Lagipula hal ini penting untuk menjaga nama baik Greenwood.” kata Vio.

“Jangan begitu, Vio.” kata Kai. Dia memegang tangan Vio, lalu tersenyum. Itu adalah senyum pertamanya setelah semua keributan terjadi. “Kau menyelamatkanku. Juga Tuan Heath dan Nona Cattleya. Aku berhutang banyak padamu.”
Kemudian, Vio dan Cattleya pun menolong pengawal-pengawal lain yang masih bisa diselamatkan. Sebenarnya mereka tidak luka parah, tapi mengalami kelumpuhan sementara akibat jurus hammer fall blacksmith itu. Beberapa orang yang terkena racun pun berhasil diselamatkan dengan ramuan green plant.

bersambung chapter 2
 
Chapter 2 > Young and Fragile



“Kai! Kai! Gawat!”

Suara Cattleya membangunkan Kai yang masih setengah tidur. Saat itu dia dan yang lainnya sudah tiba di Valkyrie dengan selamat. Luka-lukanya sudah membaik, tapi Priest istana masih membalut tubuhnya dengan perban karena khawatir luka-luka itu akan infeksi atau terbuka lagi.

“Nona Cattleya! Ada apa ?” tanya Kai. Sebenarnya dia agak malu ketika Cattleya masuk ke kamarnya karena dia masih mengenakan piyama. Tapi kelihatannya Cattleya sama sekali tidak mempedulikannya.

“Shiva akan mengadakan mengadakan sidang dewan! Kelihatannya dia mempermasalahkan soal penyerangan tempo hari!” kata Cattleya.

Kai tidak mengerti. “Maksud Nona...?”

“Sudah, sekarang cepatlah kau berpakaian dan pergi ke ruang pertemuan! Kau harus hadir untuk mengklarifikasi masalah!” kata Cattleya.

Shiva yang dimaksud Cattleya adalah pengawal dua keluarga Savrille, sama seperti Kai. Posisinya setingkat dengan Kai, usianya pun sebaya Kai. Shiva mendapatkan jabatan itu atas rekomendasi salah satu pentinggi guild. Selama belajar di akademi militer Valkyrie, kemampuan Shiva sangat menonjol. Memang Kai masih setingkat di atasnya, tapi kemampuan Shiva pun tidak perlu dipertanyakan. Walaupun demikian, Cattleya sangat membencinya karena Shiva sering bersikap sinis pada Kai. Mungkin dia iri pada kemampuan dan posisi Kai. Kai sendiri tidak mau ambil pusing dengan pemuda yang sering membual itu.

Ketika Kai tiba di ruang sidang, keterlambatannya membuat beberapa petinggi memandang sinis padanya. Di tengah ruangan, Shiva berdiri di antara para petinggi. Nampaknya dia sedang membuat tuntutan di hadapan Heath dan petinggi-petinggi lain.

“Penyerangan terhadap Tuan Heath dan Nona Cattleya yang tempo hari dilakukan oleh perampok adalah bukti ketidakmampuan Kai Riverwine dalam menjalankan tugasnya. Dia tidak berhati-hati hingga mencelakai Tuan Heath.” kata Shiva. “Prajurit yang kalah pada perampok harus dipertanyakan kemampuannya.”

“Orang-orang itu bukan perampok, tapi pembunuh bayaran. Mereka professional.” kata Kai.

“Apakah itu alasan untuk kalah ? Apakah itu alasan untuk membiarkan Tuan Heath dicelakai ?” tanya Shiva. “Dia bahkan ditolong oleh utusan Greenwood. Bayangkan! Grantgale adalah guild terbesar di Midgard. Betapa memalukannya prajurit Grantgale yang harus dibantu oleh seorang wanita! Sungguh memalukan! Mau kau simpan di mana nama baik Guild Grantgale ?!”

“Benar!” seorang petinggi setuju dengan argumen Shiva. “Kai Riverwine gagal dalam melindungi Tuan Heath.”

Yang lain menimpali. “Bayangkan, Tuan Heath saja terluka parah; sedangkan dia hanya lecet-lecet saja. Aku yakin dia tidak bertarung, tapi mencoba melarikan diri.”

“Kai tidak melarikan diri!” seru Cattleya membela Kai. “Dia melindungi kami!”

“Sepertinya Nona Cattleya sudah terpengaruh oleh Kai. Lagipula kalian cukup akrab, aku yakin Kai telah meyakinkan Nona Cattleya untuk tidak membocorkan kelemahannya.” kata Shiva. “Nona Cattleya terlanjur dimabuk cinta pada prajurit biasa ini!”

“Kurang ajar!” desis Kai. Dia memandang Shiva dengan marah. “Jangan berkata lancang mengenai Nona Cattleya!”

“Kau marah ? Kesal ? Takut ketahuan, ya ?” Shiva mencibir.

“Itu tidak benar!” jerit Cattleya. Dia memandang Heath dengan mata memohon. “ Papa, katakanlah sesuatu! Kau tahu ‘kan, Kai tidak bersalah...”

Tapi Shiva segera memotong ucapan Cattleya. “Nona, tolong jangan mempengaruhi Tuan Heath. Lagipula, bukankah pada saat itu Tuan Heath pingsan karena racun ? Beliau tentu saja tidak melihat ketidakberdayaan pengawalnya ini.” katanya.

“Kau brengsek, Shiva! Dasar licik!” ujar Cattleya.

“Sudah, sudah!” ujar Heath menengahi. “Memang benar, saat itu aku tidak sadarkan diri. Dan yang kuingat, aku ditolong oleh monk dari Greenwood itu. Tapi kurasa Kai tidak seburuk yang kita duga. Sampai saat-saat terakhir pun dia tetap bersamaku dan Cattleya.”

Shiva tersenyum sinis. “Tuan Heath, juga petinggi-petinggi Guild Grantgale sekalian, untuk mengklarifikasi hal ini, aku telah menemui seorang yang tahu persis kejadiannya. Kemarilah, Reno dan Meida!” seru Shiva. Kemudian, berdirilah dua orang pelayan yang ikut pergi ke Greenwood sebagai pembawa barang. Mereka menghampiri Shiva dengan kepala sedikit menunduk. “Silahkan tuan-tuan bertanya pada mereka, saksi hidup dari kejadian itu!”

Melihat dua orang pelayan itu, Kai dan Cattleya menjadi sedikit cemas. Reno terkenal mata duitan, Shiva bisa saja menyogoknya untuk menceritakan kebohongan. Selama ini Reno dipertahankan dalam guild karena dilindungi oleh Shiva. Sedangkan Meida adalah pelayan Cattleya yang dulu pernah dimarahi habis-habisan oleh Kai karena pernah memberi susu basi pada Cattleya akibat kecerobohannya. Mungkin saja Meida dendam pada Kai, apalagi dia juga akrab dengan Reno. Jika Shiva menawakan Zeny, mereka akan melakukan apa untuk menjatuhkan Kai.

“Benarkah Kai dikalahkan oleh penyerang-penyerang itu ?” tanya seorang petinggi.

“Benar, Tuan!” kata Reno dan Meida bersamaan.

“Benarkah Kai berniat melarikan diri dari pertempuran ?” tanya yang lain.

“Hamba tidak yakin Tuan, tapi sepertinya begitu. Gelagat Tuan Kai mencurigakan.” kata Reno.

“Kau…” desis Kai marah. Dasar brengsek, maki Kai dalam hati.

“Benarkah Kai juga hendak melarikan dari tanggung jawab setelah penyerangan berakhir ?”

Meida mengiayakan. “Sepertinya Tuan Kai pergi cukup lama setelah penyerangan itu. Tapi kemudian dia kembali dengan Nona Cattleya. Kurasa dia hendak melarikan diri, tapi digagalkan oleh Nona.”

“Aku tidak melarikan diri! Saat itu aku mengumpulkan green herb!” Kai membela diri.

“Kau adalah Knight, kau tidak pernah belajar membuat potion. Dari mana kau tahu kalau kau mengumpulkan daun-daunan yang benar ? Atau jangan-jangan kau berpura-pura mencari obat, padahal memberi racun untuk memperparah luka Tuan Heath ?” tanya Shiva.

“Itu tidak benar! Monk itu, memberitahuku tumbuhan apa yang harus kupetik!” seru Kai.

Shiva mengalihkan pandangannya dari Kai menuju para petingi yang duduk menjejer di bilik kiri. “Anda dengar sendiri, tuan-tuan ?! Dia sangat tidak berhati-hati! Dia melakukan apa yang disuruh oleh 'orang asing' tanpa bersikap kritis! Dia tidak berpikir apa yang akan terjadi jika orang asing itu berniat mencelakai Tuan Heath!” kata Shiva. Kemudian menatap Kai lagi dengan ekor matanya. “Ya... kecuali jika dia dan monk itu memang sudah bersekongkol, untuk suatu tujuan…”

“Vio tidak mencelakai Tuan Heath!” teriak Kai.

“Vio, katanya ? Mesra sekali! Sepertinya kau sudah menjalin hubungan dengan orang Greenwood itu, ya ? Apa yang kalian rencanakan ? Menyerbu kedua belah pihak ? Atau mengkhianati salah satunya ?!” tanya Shiva.

“Tutup mulutmu, brengsek!” teriak Kai lepas kendali.

“Kasar sekali ucapanmu! Kau lebih suka membela orang asing dan menyepelekan nilai-nilai kekeluargaan dengan sesama anggota guild! Kai Riverwine, jika aku adalah pemimpin guild ini, kaulah orang pertama yang kuasingkan dari guild! Kau tidak pantas menjadi bagian dari Guild Grantgale!” serang Shiva lagi. Lagi-lagi Shiva memandang para petinggi dengan sikap angkuh. "Apakah saya salah, Tuan-Tuan ?"

Celakanya, para petinggi nampak setuju dengan argumen Shiva. Mereka manggut-manggut, di antaranya malahan langsung memaki Kai meskipun tidak dengar suara keras. Tapi Kai mengetahuinya. Dia marah sekali.

“Shiva, kau…!"

Karena hilang kesabaran Kai menerjang maju dan menonjok Shiva. Sebenarnya tidak terlalu keras, tapi Shiva bersikap seolah Kai memukulnya dengan godam raksasa. Dia melebih-lebihkan cara jatuhnya sehingga terlihat seperti sangat kesakitan.

“Aghhhhh...! Dia memukulku! Dia melakukan kekerasan di ruang pertemuan yang suci!” teriak Shiva.

“Hentikan, Kai!” teriak Tuan Heath.

Tapi saat itu emosi Kai benar-benar tak terkendali. Ucapan Heath tidak didengarnya. Yang dirasakan oleh indra Kai hanyalah amarah. Sekali lagi dia memukul Shiva yang terduduk di lantai ruang pertemuan. Sikapnya membuat Heath murka. Fresen, wakil Heath, segera menarik pakaian Kai, kemudian mendorongnya menjauhi Shiva.

“Kai Riverwine, kau tidak mengindahkan perintah ketua dan melukai teman satu guild. Kau diskors dalam jangka waktu yang tidak ditentukan!” kata Fresen, tidak keras tapi tegas.

"Apa ?! Aku tidak bersalah!" Kai mencoba membela diri. "Dia, dia memfitnahku! Bajingan itu yang mencari gara-gara denganku!" kata Kai sambil menunjuk Shiva.

"Kai!" Fresen menatap Kai dengan serius. "Hentikan sikap kekanak-kanakanmu!"

Kai terpana. Kini dia sadar kalau dia jatuh ke dalam jebakan Shiva. Kai tahu, inilah yang diinginkan Shiva - dia kehilangan kontrol dan melakukan tindakan bodoh di depan para petinggi! Habislah sudah... Kai memandang Heath lurus-lurus, dalam matanya terkandung permintaan maaf dan penyesalan, tapi amarah terhadap Shiva masih mengaburkannya.

“Papa! Kai tidak bersalah! Jangan hukum dia!” seru Cattleya.

Heath mendesah, kemudian berpaling. “Hukuman segera dilakukan. Pergilah dan instropksi diri, Kai. Kau masih muda. Masih harus banyak belajar.” kata Heath. Kemudian Heath pun memandang Shiva. "Kau juga Shiva, kau harus berhati-hati dengan ucapanmu."

"Aku mengerti, Tuan. Akan kuingat nasehat Anda baik-baik." kata Shiva dengan sikap patuh.

"Bagus."

Ucapan Heath adalah kemenangan bagi Shiva. Kai tidak sanggup berkata-kata lagi. Menyadari kelemahannya, Kai menundukkan kepala. Dia berlutut tanda menerima perintah, berdiri, kemudian beringsut-ingsut pergi dari ruangan itu dengan wajah terpukul.

“Kai!” seru Cattleya. Dia hendak mengejar Kai, tapi Heath menggeleng. “Papa…”

“Biarkah dia pergi, Cattleya. Kepalanya harus didinginkan.” kata Heath.

Cattleya memandang Kai sedang sedih. Dia tahu, betapa besar dedikasi Kai terhadap guild. Dia tahu, seberapa besar rasa hormat dan kekaguman Kai pada ayahnya. Hukuman itu tentunya menyakiti hati Kai. Apalagi Cattleya tahu kalau Kai tidak bersalah. Cattleya pun merasakan kepedihan yang sama. Dia merasa lemah karena tidak bisa melindungi Kai dari fitnah Shiva. Melihat sosok Kai yang melenggang keluar ruang sidang dengan kepala terkulai membuat hatinya terasa teriris.

.......

Sejak hari itu, Kai menghilang dari Valkyrie. Cattleya berusaha mencarinya di setiap pelosok Prontera, tapi sampai menjelang hari ketiga, dia belum menemukan Kai. Seorang pedagang buah-buahan mengaku melihat orang dengan ciri-ciri yang sama seperti Kai sedang mabuk-mabukan di sebuah bar. Cattleya sedikit tidak percaya, dia tahu benar sifat Kai. Tapi mengingat kondisi Kai yang tertekan, mungkin saja dia terjebak dengan minuman beralkohol.

Tapi orang yang dilihat tukang daging itu memang Kai. Suatu malam, Kai minum-minum sampai mabuk. Sekelompok berandalan mengganggunya dan dalam keadaan setengah sadar, Kai melayani mereka. Kai adalah seorang prajurit, dia tidak bisa dikalahkan dengan mudah. Tapi kalau lawannya banyak, apalagi dalam keadaan mabuk, Kai menjadi bulan-bulanan para berandalan itu. Kai dipukuli, kemudian dilemparkan ke jalan. Mungkin mereka mengira Kai sudah tewas.

Kai memang hampir mati. Tubuhnya, hatinya, semangatnya, semuanya runtuh seperti durian busuk. Tapi malam itu, ketika Kai dibuang ke pinggir jalan dalam keadaan mengenaskan dan diguyur hujan, seorang wanita datang menolongnya. Bukan Cattleya, tapi orang asing yang menggunakan topeng setengah wajah. Wanita itu membawa Kai ke sebuah penginapan, membersihkan tubuhnya, dan merawat luka-lukanya. Tubuh Kai panas, pipinya memerah, dan bibirnya kering. Dalam tidurnya Kai terus mengigau, sepertinya dia demam.

Besoknya, Kai terbangun ketika matahari sudah agak tinggi. Dia melihat sekelilingnya, nampak seorang wanita berpakaian novice sedang mengatur letak setangkai bunga matahari dalam vas di dekat jendela. Kai harus menyipitkan matanya karena silau akan sinar matahari.

“Cattleya…?” ujar Kai dengan suara serak.

Wanita itu menoleh, nampak setengah topeng menutupi wajahnya. Rupanya Vio yang menolong Kai. “Bukan Kai. Ini aku, Violetta.” sahutnya.

“Kau…”

“Aku mencarimu, Kai. Tak kusangka kutemukan kau di jalan. Kemarin kau mabuk.” kata Vio menjelaskan. “Bagaimana perasaanmu sekarang ? Sudah baikan ?”

“Pergi kamu!” ujar Kai dengan suara serak. “Aku tidak mau melihatmu!”

“Eh ?”

“Kau adalah monk yang sangat hebat. Kau pasti senang melihat laki-laki lemah seperti aku, kan ? Kau ingin mengolok-olok aku, ‘kan ?” sahut Kai dengan wajah kesal.

“Kai, bicaramu aneh. Apa kepalamu terbentur sesuatu ?”

“Semua ini gara-gara kamu! Kenapa saat itu kau menolongku ? Aku bisa melakukannya sendiri! Kamu menghancurkan aku! Kamu merebut apa yang berharga bagiku! Hidupku, guild, nama baik… Kamu menghancurkan semua milikku!” teriak Kai. “Sekarang kamu puas, hah ?!”

Vio mengernyitkan kening. “Hey Kai, ada apa sih ? Kamu gila, ya ?”

“Apa pedulimu, hah ?! Perempuan sial! Pergi kamu!”

Vio mengernyitkan kening dengan kesal. “Perempuan sial, kau bilang ? Ya, ya, aku memang perempuan sial! Tapi aku lebih sial lagi karena menolongmu!”

“Aku tidak mau ditolong olehmu! Pergi!”

Teriakan dan hinaan itu membuat Vio benar-benar berang. Vio berdiri, ditatapnya Kai lurus-lurus. Dia bisa saja marah, menghajarnya, atau bahkan membunuhnya. Tapi dia tidak melakukannya.

“Kau ingin aku pergi ? Baiklah, aku pergi. Lagipula sepertinya aku salah mencari orang. Aku mencari sahabatku Kai, bukan pemarah yang kasar!” kata Vio.

“Pergi kataku! PERGI!”

Lalu Vio pun berjalan pergi. Kai mengerang keras, kemudian membenamkan kepalanya di balik bantal sambil menggertakkan gigi. Dia berteriak marah, memukul ranjang dengan kepalan tangannya yang membatu. Berbagai perasaan berkecamuk dalam dirinya – rasa sedih, kecewa, marah, bersatu dalam luka-lukanya yang belum sembuh. Setelah beberapa lama, Kai mulai agak tenang. Sesaat dia terdiam, memandang langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Sampai minggu lalu, hidupnya masih begitu menyenangkan. Tapi dalam sekejap, semua berubah.

Sepanjang hari Kai melamun; makanan yang disediakan oleh pelayan penginapan tidak disentuhnya sama sekali. Ketika hari mulai sore, Kai memutuskan untuk pergi dari penginapan itu. Namun saat dia baru saja hendak keluar dari kamar, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Betapa terkejutnya Kai ketika melihat Cattleya muncul dari ambang pintu. Cattleya pun tidak kalah kagetnya. Begitu melihat Cattleya, raut wajahnya yang cemas berubah menjadi lega. Setengah berlari, dia maju memeluk Kai.

“Kai, aku sungguh khawatir! Kemana saja kamu ?!” tanya Cattleya sambil menitikkan air matas. “Berhari-hari aku mencarimu, tadi seseorang mengirimkan pesan ke Valkyrie bahwa kau ada di sini.” katanya. Mungkin Vio yang memberitahu Cattleya.

“Nona…”

“Mari kita pulang, Kai. Kita bicarakan masalahmu pada Papa.” kata Cattleya. “Kali ini aku akan menolongmu, Kai. Takkan kubiarkan Shiva bertindak lebih jauh lagi.”

“Aku tidak akan kembali, Nona.” kata Kai lirih.

“Apa maksudmu ?” tanya Cattleya.

“Aku akan berkelana. Aku tidak akan kembali ke Valkyrie lagi.” Kai menegaskan.

“Ayolah Kai, jangan menyerah. Papa tidak menyalahkanmu. Semua ini hanya akal-akalan Shiva saja.”

Kai tersenyum getir. “Hanya karena cacing bernama Shiva itu saja aku hancur seperti ini. Sepertinya aku memang laki-laki gagal yang lemah.”

“Itu tidak benar. Ayolah, kita pulang!” Cattleya memohon. “Aku sudah mempersiapkan tandu untukmu, sekarang berada di depan menunggumu.”

“Terima kasih, Nona. Tapi aku menolak.” kata Kai. “Pulanglah Nona, aku bukan prajurit Valkyrie lagi. Namaku sudah tercoreng, tidak ada gunanya noda seperti aku berada di sana. Aku tidak ingin menjadi ikan busuk yang mempermalukan nama Guild Grantgale.”

“Kai! Jangan berkata begitu! Aku akan menolongmu! Aku berjanji!”

“Nona tidak perlu mengasihaniku. Aku tidak mau direndahkan lagi.” ujar Kai tegas.

“Aku peduli padamu, Kai. Aku tidak merendahkanmu!”

“Sudah cukup, Nona. Kita berpisah sekarang. Silahkan Nona Cattleya pergi terlebih dahulu.” kata Kai.

“Kai, kumohon dengarkan aku…”

“Jika Nona tidak pergi, aku akan pergi sekarang. Selamat tinggal, Nona. Jaga dirimu.” kata Kai sambil berlalu dari hadapan Cattleya.

“Kai!”

Tapi Kai tidak menoleh lagi. Dia tidak akan kembali pada mimpi-mimpi lamanya untuk menjadi abdi Guild Grantgale seumur hidup. Dia telah membuang semuanya. Berat, memang terlalu berat baginya yang masih sangat muda dan rapuh, tapi kenangan akan Valkyrie hanya akan mengingatkannya pada luka-lukanya.
 
Chapter 3 > Berkembang di Musim Gugur Part I

Seorang pujangga berkata bahwa dunia dan segalanya isinya dikendalikan oleh takdir. Seringkali takdir mempermainkan manusia, tidak peduli siapapun itu – tidak terkecuali Kai.

Setelah kepergiannya dari Prontera, posisi pengawal keluarga Heath jatuh ke tangah Shiva. Heath pun kembali jatuh sakit, luka-lukanya mengharuskan pemimpin besar Guild Grantgale itu berbaring di kamarnya sepanjang hari. Kepemimpinan guild dipegang oleh wakilnya Fresen. Cattleya sebenarnya ingin pergi mencari Kai, namun dia tidak bisa meninggalkan ayahnya yang sakit seorang sendiri.

Sedangkan Kai pergi ke selatan, dan langkah kakinya menghantarkan tubuh lunglainya ke Morroc. Morroc adalah kota yang sangat besar, tidak kalah besarnya dari Prontera. Di sana terdapat semacam tanah lapang yang sangat luas, di mana banyak sekali orang berkerumun untuk berdagang. Berbagai hasil alam dan barang-barang diperjualbelikan, dari yang paling murah hingga yang harganya mencapai sepuluh digit. Di Morroc waktu terasa bergerak dengan cepat. Di sana Kai dapat melupakan hal-hal buruk yang tidak ingin diingatnya.

Namun takdir belum selesai berurusan dengannya.

Ketika Kai berjalan di tengah kerumunan pasar, tiba-tiba seorang gadis Thief berlari melewatinya dengan cepat. Kai tidak sempat melihat wajahnya, karena tak lama kemudian, seorang Blacksmith berlari mengejarnya. Di belakangnya, masih ada beberapa orang lain yang mengikuti dan tidak sempat Kai perhatikan. Thief itu berbelok pada gang kecil di antara rumah-rumah, tapi orang-orang itu masih tetap mengikuti. Awalnya Kai tidak mempedulikannya; mungkin Thief itu mencuri sesuatu. Tapi kemudian Kai menyadari adanya tetesan darah di tanah, bercampur dengan debu padang pasir yang menyelimuti Morroc. Tidak sedikit – sepertinya Thief itu terluka parah. Merasa kasihan, Kai pun segera berlari mengejar orang-orang itu, menyusuri bercak darah yang menetes di sepanjang jalan. Ketika dia berbelok di gang, dilihatnya Thief itu sedang dipukuli. Melihat tindakan anarkis itu, Kai tidak bisa menahan diri untuk tidak melerai.

“Hentikan!” seru Kai. Blacksmith dan orang-orang lain yang mengikutinya menoleh. “Sudahlah, dia cuma pencuri kecil. Jangan dipedulikan!” kata Kai.

“Siapa kamu ?!” tanya Blacksmith itu. Dia keluar dari kerumunan, kemudian menghampiri Kai dengan sikap menantang. “Kamu juga mau melawanku, ya ?” tanyanya sambil mendorong bahu Kai.

Tapi Kai tidak bergeming. Dia tetap berdiri tegak. Tentu saja! Untuk apa latihannya di Valkyrie selama lebih dari sepuluh tahun kalau hanya didorong saja dia sudah terjatuh ? Kai memegang pergelangan Blacksmith itu, kemudian mencengkramnya dengan sekuat tenaga hingga Blacksmith itu menyeringai kesakitan.

“Le, lepaskan…” erang Blacksmith itu memohon.

“Kau lepaskan Thief itu dulu!” kata Kai. Blacksmith itu menyuruh para pengikutnya pergi, barulah Kai membebaskan tangannya. “Sekarang pergilah!” kata Kai kemudian.

“Tapi Thief itu mengambil tasku!” kata Blacksmith itu sambil menunjuk tas yang tergeletak tak jauh dari sana.

Kai mengambil tas yang menjadi sumber permasalahan, kemudian melemparkannya pada Blacksmith itu. “Ambil, dan pergi sana!” seru Kai. Blacksmith itu mengambil tasnya, kemudian cepat-cepat menyingkir dari hadapan Kai dengan wajah ketakutan. Setelah semua orang di gang itu pergi, kini tinggallah Kai dan Thief tersebut. Kai menghampirinya, kemudian berjongkok di dekatnya. “Kamu tidak apa-apa ?”

“Ya.” Thief itu mengiyakan, kemudian duduk. Betapa terkejutnya Kai ketika dia melihat wajah Thief itu – gadis itu mengenakan topeng setengah wajah itu. Rupanya dia adalah Vio! Vio pun nampak terkejut ketika melihat Kai di hadapannya.

“Apa yang kau lakukan di sin, Vio ?” tanya Kai serta merta.

Vio nampak kikuk. Tapi setelah memastikan tidak seorangpun di sana, dia pun angkat bicara. “Aku… sedang menyamar.” ujarnya.

“Aku bisa lihat itu.” kata Kai. Tentu saja, Vio adalah seorang monk, bukan Thief. “Mengapa kamu ada di Morroc ? Lagipula, buat apa kamu mencuri tas blacksmith itu ?”

“Tugas dari Greenwood.” jawab Vio dengan suara pelan. “Blacksmith tadi adalah kurir yang bertugas mengantarkan pesan dari Organisasi Elang Hitam Morroc. Tetua Su mencurigai adanya campur tangan organisasi itu dalam penyerangan terhadap Tuan Heath tempo hari. Aku ke sini untuk menyelidikinya, sekaligus mencari bukti bahwa mereka terlibat.”

Elang Hitam Morroc adalah adalah organisasi blacksmith forging terbesar di Midgard. Konon mereka adalah penyuplai senjata terbesar pada masa Perang Emperium. Sejak Perang Emperium berakhir, kegiatan mereka terhambat. Tapi akhir-akhir ini, ada berita yang menyebutkan bahwa mereka menjadi dalang berbagai pertikaian antar kelompok, keluarga, atau guild kecil. Bagi mereka, konflik merupakan keuntungan bagi bisnis senjata mereka.

“Organisasi Elang Hitam Morroc ?” gumam Kai. “Kalau begitu, jangan-jangan bukti itu berada di tas tadi ?”

Vio mengangguk. “Tapi jangan khawatir. Aku sudah mengambil ini.” katanya sambil menunjukkan gulungan kertas yang diikat oleh tali emas dari balik pakaiannya.

“Oh, syukurlah.” gumam Kai lega. “Tapi mengapa kau membiarkan dirimu dipukuli seperti ini ?”

“Kalau aku melawan, tentu saja akan terlihat mencolok! Aku ‘kan bukan Thief. Tapi luka-luka ini lumayan sakit. Untung saja kau menolongku.” sahut Vio sambil tersenyum tanda terima kasih. Kai hanya mengangguk.

Vio kemudian membuka gulungan kertas itu, tanpa diduga, ternyata isinya adalah surat dari Lendall, wakil ketua Guild Charioth, penguasa Britoniah. Pada surat itu ada cap lambang Elang Hitam Morroc. Entah apa tujuan Lendall, yang jelas dia memiliki sangkut paut dengan Elang Hitam Morroc.

“Sekarang bagaimana ? Apa kau harus mengantarkan surat ini ke Greenwood ?” tanya Kai.

“Ya.” kata Vio. “Mungkin besok aku akan kembali. Tapi sebelumnya, aku harus mengobati tanganku ini.” katanya sambil menunjukkan tangannya yang biru-ungu dan berdarah.

“Aku akan mengantarmu.” kata Kai.

“Thanks.”

Kemudian dia pun mengantarkan Vio ke kamar sewaan tempat Vio tinggal selama menyamar menjadi Thief. Di sana, Kai membantu Vio membersihkan luka-lukanya dan memplesternya dengan perban. Saat Kai meletakkan sisa perban di kotak obat, matanya tertuju pada sebatang bunga matahari yang diletakkan di gelas kecil.

“Kau suka sekali bunga matahari, ya ?” komentar Kai.

Vio mengiyakan. “Bunga matahari selalu mengingatkanku pada orang-orang yang ingin kutemui.”

“Saat itu juga kau membawakannya untukku.” gumam Kai pelan.

“Eh ?”

“Di penginapan Prontera, beberapa bulan yang lalu. Saat kau menemukanku pingsan di jalan.” kata Kai.

“Oh…”

“Soal itu, Vio…” Kai mendesah, kemudian memandang Vio lurus-lurus. “Maafkan aku, ya. Saat itu aku sedang kacau.”

“Aku tahu.”

“Aku tidak bermaksud berbicara sekasar itu padamu, apalagi sampai mengusirmu. Aku…” ucapan Kai terpotong. Sekali lagi dia menghela nafas, kemudain memegang tangan Vio. “Aku kesal pada kelemahanku sendiri. Aku tidak bermaksud menyalahkanmu.”

“Sudahlah Kai, aku juga mengerti. Lagipula saat itu aku malah terbawa emosi, padahal seharusnya tidak.” kata Vio. Kemudian dia pun mengalihkan pembicaraan. “Oh ya, bagaimana kabarmu ? Bagaimana keadaan Tuan Heath dan… siapa itu nama putrinya… ah ya, Cattleya! Apakah mereka baik-baik saja ?”

Kai menggeleng. “Aku tidak tahu. Sebenarnya, aku bukan prajurit Valkyrie lagi.”

“Apa maksudmu ?”

Secara singkat Kai menceritakan apa yang terjadi padanya, keributan yang ditimbulkan Shiva, termasuk penyebab dia sempat merasa kesal pada Vio. Vio menyimak dengan baik-baik, tapi tidak berkomentar apa-apa. Dia hanya menepuk bahu Kai, lalu mengambil minum.

“Apa kau berencana tinggal di Morroc ?” tanya Vio sambil menyerahkan segelas air pada Kai.

Kai menerima gelas itu sambil menggeleng. “Aku tidak tahu. Mungkin sebaiknya aku mengantarkanmu ke Payon saja. Kau membawa barang penting, kau tidak tahu kapan kau akan diserang.”

“Baiklah kalau begitu. Terima kasih, ya. Lagipula Bibi Adela merindukanmu, apalagi setelah kuceritakan bahwa kau terluka saat pulang ke Prontera.”

“Bibi Adela ?”

“Pemilik bar itu, loh.” kata Vio. Kai pun mengangguk tanda ingat. Bibi Adela adalah wanita gemuk yang mengelola Bar SunFlower, tempat Kai dan Vio pertama bertemu. “Sudahlah, sekarang mari kita beristirahat. Perjalanan dari Morroc ke Payon jauh sekali, loh.”

“Ya.”

…….


Besoknya, pagi-pagi sekali, Vio memulai perjalanan kembali ke Greenwood bersama Kai. Tidak banyak yang terjadi dalam perjalanan pulang, tapi setidaknya Kai berhasil merekonsiliasi hubungannya dengan Vio yang pernah rusak karena kesalahannya. Vio pun kembali pada Vio yang pertama dikenalnya – gadis yang periang, penuh perhatian, namun tetap memancarkan aura misterius di balik topengnya.

“Vio, sebenarnya sudah lama aku ingin menanyakan suatu hal padamu…” ujar Kai ketika mereka singgah di sebuah kedai untuk beristirahat.

“Oh ya ? Apa itu ? Jangan-jangan, soal topengku ?” tebak Vio.

Kai mengiyakan. “Tapi kau tidak usah menjawab kalau tidak mau. Aku…” ujarnya. “…aku hanya penasaran saja kok.”

“Tak apa.” Vio tersenyum. “Sebenarnya aku menyembunyikan luka di balik topeng ini. Luka itu kudapatkan kira-kira lima tahun yang lalu, di tengah Perang Emperium. Saat itu usiaku tujuh belas tahun. Karena kecerobohanku, aku terlibat perang. Padahal saat itu aku masih menjadi seorang Acolyte. Aku belum bisa apa-apa.” katanya sambil tertawa.

“Pertama kalinya aku ikut Perang Emperium pun saat aku masih Swordman, kok. Aku juga tidak bisa apa-apa, hanya menjadi beban bagi Tuan Heath.” Kai turut tertawa.

Vio bergumam. “Perang Emperium… perang yang sangat mengerikan. Aku bersumpah akan menjaga perjanjian damai agar perang itu tidak pecah lagi. Itulah sebabnya aku berlatih keras menjadi seorang Monk. Apapun akan kulakukan untuk menjaga perdamaian.”

Kai terdiam. Nampaknya Vio masih memiliki mimpi – menjadi penjaga perdamaian. Dulu Kai pun memiliki mimpi, menjadi abdi bagi Guild Grantgale dan menjaga Valkyrie seumur hidupnya. Namun sekarang mimpi itu telah sirna. Penyesalan kembali muncul, tapi Kai tak bisa berbuat apa-apa untuk itu.

“Oh ya, Vio…” kata Kai, melepaskan diri pikirannya yang kerap terjebak dengan penyesalan. “Tadi kau bilang lima tahun yang lalu kau berusia tujuh belas tahun ? Artinya sekarang kau sudah berusia dua puluh dua ?”

Vio mengiyakan. “Hampir dua puluh tiga.”

“Mengapa kau tidak menikah ?” tanya Kai. Pada masa itu, seorang gadis umumnya menikah di usia sembilan belas atau dua puluh tahun.

“Dengan luka di wajah ini ? Suamiku akan takut padaku jika melihat luka di balik topeng ini. Ha…ha…ha…” Vio tertawa. Dia menganggap hal itu lucu, meskipun Kai sama sekali tidak berpikir begitu. Tapi kemudian Vio menghentikan tawanya. “Sebenarnya sejak dulu aku sudah dijodohkan. Kau tahu Su Ren ?”

Kai berpikir sebentar. “Su Ren… Su Ren… hmm… Apakah cucu Tetua Su, ketua guild Minerva ?”

“Ya.” Vio mengangguk. “Sampai lima tahun yang lalu, Ren adalah calon suamiku.”

“Masa sih ?!” Kai cukup terkejut, setengah tidak percaya dengan ucapan Vio.

Vio hanya tersenyum. “Tapi memang betul, kok. Kami dijodohkan sejak kecil. Almarhum ayahku adalah salah seorang penasehat Guild Minerva; Tetua Su sendiri ingin cucunya menikah dengan ‘orang dalam’. Ayahku adalah orang yang dipercayainya, itulah sebabnya beliau memilih aku.” katanya. “Tapi karena kemudian wajahku terluka, perjodohan itu dibatalkan. Tetua Su tidak ingin Su Ren yang kelak mewarisi Guild Minerva memiliki istri dengan wajah yang cacat.”

“Benarkah ? Kejam sekali!”

“Tidak juga.” kata Vio. “Lagipula aku juga tidak ingin membuat Ren malu dengan keadaanku. Jika Tetua Su tidak membatalkan perjodohan itu, maka aku sendiri yang akan mundur.”

“Kau aneh, Vio…”

Vio tertawa lagi. “Bibi Adela juga mengatakan hal yang sama. Tak apa. Bagiku, berjuang demi perdamaian dan Guild Minerva yang suatu saat nanti akan dipegang Ren – sudah cukup. Aku tidak mengharapkan lebih.”

“Kau bohong!” tukas Kai. “Kau mencintai Su Ren, bukan ? Tentang bunga matahari yang pernah kau bilang padaku – mengingatkanmu pada seseorang yang ingin kau temui – jangan-jangan orang itu adalah Su Ren ?”

Vio tertawa. “Tidak juga. Aku juga merindukan Bibi Adela. Tentu saja aku juga merindukanmu. Apa kau tidak merasakannya ?”

Wajah Kai merah padam karenanya. Dia langsung salah tingkah karenanya. “Kau bercanda!” katanya.

“Tentu saja.” jawab Vio pendek. Senyum jahilnya masih tersisa di wajahnya yang tertawa.

“Eh ?”

“Kai, Kai… kau manis sekali. Kau masih seperti anak berusia dua belas tahun yang baru puber.” kata Vio sambil menekan ujung hidung Kai. “Jangan-jangan kamu masih anak-anak…”

“Enak saja! Aku sudah dua puluh satu tahun!” bantah Kai. Wajahnya masih bersemu, sampai-sampai telinganya pun ikut memerah.

“Bagiku masih seperti dua belas.”

“Kau…!”

“Sudahlah, ayo kita jalan lagi! Kita tidak bisa berlama-lama di sini.” kata Vio sambil berdiri. Dia membayar semua minum dan makanan kepada pemilik kedai, kemudian beranjak. “Ayo Kai, kita pergi! Hati-hati, jalannya licin dan berbatu. Cini, cini, kakak pegang tanganmu…” lagi-lagi Vio menggoda Kai.

“Vio, jangan perlakukan aku seperti anak kecil!” Kai mengerutkan wajahnya. Tapi tetap saja wajahnya merah seperti tomat busuk.

“Aduduh… Jangan marah dik, kakak minta maaf ya…”

“VIO!!! Aku marah nih!”

“Ha…ha…ha…” Vio tertawa lepas. “Kau lucu, Kai! Sungguh lucu!”

Vio pun melanjutkan perjalanan pulang ke Payon bersama Kai. Saat itu musim gugur sudah hampir tiba, udara pun semakin dingin. Namun sejak meninggalkan Valkyrie, untuk pertama kalinya Kai merasa ada sedikit kehangatan yang menyapa batinnya. Ketika Kai mendongak dan melihat langit yang bisu, dalam hatinya dia berbisik, “hidupku belum berakhir.”
Setiba di Payon, Vio langsung menuju Greenwood. Kai menunggu di Bar Sunflower karena dia bukan anggota Guild Minerva. Bibi Adela masih mengingatnya, dan karena saat itu hari masih siang dan kebetulan bar sedang sepi, beliau menemani Kai minum sambil mengobrol.

“Terima kasih Kai, kau mau bersahabat dengan Vio.” kata Bibi Adela di sela-sela pembicaraan.

“Lho, kenapa Bibi bilang begitu ?” tanya Kai.

Bibi Adela mendesah. “Vio adalah tetanggaku, tapi dia sudah kuanggap seperti putriku sendiri. Dia adalah gadis yang baik. Tidak seharusnya dia menderita.” gumamnya. “Apa Vio sudah menceritakan padamu soal Tuan Su Ren ?”

“Ah, iya… soal perjodohan itu…?” ujar Kai.

Bibi Adela mengiyakan. “Saat itu usia masih tujuh belas tahun. Dia masih sangat muda, dan terpukul.” ujar Bibi Adela. “Sejak kecil, Vio tinggal di Greenwood sehingga dia tidak punya banyak teman. Dia hidup dalam keyakinan bahwa dia akan menikah dengan satu-satunya teman kecilnya, yakni Tuan Su Ren. Tapi sejak perjodohan itu dibatalkan, Vio memutuskan untuk pergi dari Greenwood. Itulah pertama kalinya aku bertemu dengan Vio. Dia mengurung diri di dalam rumah, dan tidak seorangpun mau menemuinya karena ngeri melihat luka di wajahnya. Aku tahu Vio sangat kesepian. Setiap malam pun aku dapat mendengar suara tangisnya.”

“Benarkah…? Tidak dapat kubayangkan Vio yang periang seperti sekarang ternyata pernah mengalami masa sulit seperti itu.” gumam Kai.

“Ya.” Bibi Adela mengangguk. Lalu dia kembali bercerita. “Suatu hari, kuputuskan untuk menjenguk Vio, tapi dia tidak mau menemuiku. Aku terus-menerus datang, hingga akhirnya Vio pun mau berbicara denganku. Saat itu aku kaget sekali melihat wajahnya, pantas saja Vio enggan menemui siapapun.” Sesaat Bibi Adela berhenti berbicara untuk minum, kemudian melanjutkan ceritanya lagi. “Suatu ketika, Vio datang padaku dengan mengenakan topeng yang menutupi lukanya. Dia pamit, katanya ingin kembali ke Greenwood. Aku tidak pernah menanyakan padanya, tapi sepertinya dia menjadi prajurit Guild Minerva. Saat dia kembali ke sini, kira-kira setahun yang lalu, Vio nampak seperti terlahir baru. Penuh semangat, periang, dan kuat. Kurasa Vio telah menjadi seorang prajurit yang hebat.” katanya sambil tersenyum.


Bersambung..........--------------------------------------------
thx banget udah ada yg baca......... ^^
 
Chapter 3 > Berkembang di Musim Gugur Part II

Dalam hati Kai membenarkan. Rupanya Bibi Adela tidak tahu kalau Vio telah menjadi seorang Monk yang sangat luar biasa.

“Walaupun demikian, aku tetap merasa banyak orang yang menjaga jarak dengan Vio, mungkin karena topengnya. Vio pun tidak punya banyak pilihan karena bagaimanapun, dia tidak mungkin melepaskan topeng itu. Tapi ketika kulihat kalian ngobrol sambil minum-minum di sini tempo hari, aku bahagia sekali. Kurasa kau adalah teman pertamanya yang pernah mabuk dengannya. Tidak seorangpun yang mau bersenang-senang dengannya seperti kau.” lanjut Bibi Adela lagi.

Kai menghela nafas. Rupanya, bukan hanya dia yang pernah menemui kegagalan. Vio juga pernah mengalami masa-masa sulit seperti itu. Tapi dia adalah gadis yang kuat, kini dia telah berhasil melewati semuanya. Terdorong oleh kisah masa lalu Vio, Kai ingin bangkit lagi. Meskipun ada sedikit keraguan untuk kembali ke Valkyrie, tapi dia memang ingin menjadi prajurit Guild Grantgale lagi.

“KAI!!!”

Teriakan itu membuat Kai dan Bibi Adela terkejut. Saat itu Vio ada di ambang pintu bar, wajahnya nampak tegang.

“Ada apa, Vio ?” tanya Kai bingung.

“Kau harus segera kembali ke Valkyrie, Kai! Keadaan gawat!” ujar Vio setengah berseru. Dia duduk di samping Kai, kemudian mengeluarkan selembar kertas surat yang dijejalkan dalam kantong kulit. “Selain aku, Tetua Su mengirimkan beberapa prajurit lain untuk menyelidiki Organisasi Elang Hitam Morroc. Selain gulungan yang kudapatkan, kami juga mendapatkan surat perintah ini!”

“Apa ini ?”

Kai membaca tulisan di kertas surat perintah itu dengan seksama. Dari sana, Kai dan Vio dapat menyimpulkan bahwa Lendall, wakil ketua Guild Charioth dari Britonniah, adalah pemimpin tertinggi Elang Hitam Morroc! Sepertinya dia menyusup ke dalam Guild Charioth untuk mengawasi perpolitikan Midgard, namun karena guild-guild besar sangat konsisten pada perjanjian damai, perang tidak kunjung pecah. Hal ini sangat merugikan Elang Hitam Morroc sebagai penyuplai senjata, itulah sebabnya Lendall bermaksud mengobarkan perang dengan tangannya sendiri.

Cara mereka sederhana saja, yaitu membunuh para ketua guild yang mencanangkan perjanjian damai, yaitu Heath Savrille dari Guild Grantgale di Valkyrie, Su Kouzu ( nama asli Tetua Su ) dari Guild Minerva di Greenwood, Dave Clementine dari Guild Odeus di Luina, dan Ark Raiden dari Guild Charioth di Britonniah. Setelah mereka mati, organisasi Elang Hitam Morroc hanya perlu mengadu domba para penggantinya hingga Perang Emperium akan pecah lagi!

Sekarang Kai mengerti mengapa saat rombongan Tuan Heath diserang, para pembunuh bayaran itu tidak membunuh Kai. Bukan karena Kai tidak berarti untuk dibunuh, tapi untuk menjadi saksi. Bukankah pembunuh-pembunuh bayaran itu berpura-pura menjadi utusan dari Greenwood ? Rupanya mereka sudah mencoba mengadu domba Guild Grantgale dan Guild Minerva.

“Tuan Heath harus tahu hal ini.” kata Vio. “Namun yang paling penting adalah ini!” sahutnya lagi sambil mengeluarkan kertas perintah kedua.

Dalam kertas perintah kedua, disebutkan bahwa target pertama untuk dibunuh adalah Heath Savrille dari Valkyrie. Namun yang membuat Kai bergidik adalah bahwa surat perintah kedua itu ditandatangani oleh Shiva! Rupanya Shiva juga adalah anggota Elang Hitam Morroc. Di akhir suratnya, Shiva menulis : “Saat ini Heath Savrille sedang sakit-sakitan, dan yang menjaganya hanyalah putrinya, Cattleya. Sedangkan pengawal utamanya, Kai Riverwine, sudah berhasil disingkirkan. Saya menunggu perintah untuk membunuh Heath Savrille secepatnya. Tertanda, wakil II Elang Hitam Morroc – Shiva Loquez.”

Kai merasakan tangannya yang dingin. Rupanya selama ini dia salah sangka. Shiva memfitnahnya bukan karena rasa cemburu, tapi mungkin karena rencana awal membunuh Heath gagal.

“Agaknya orang bernama Shiva ini bermaksud mencelakakan Tuan Heath dengan mengatur ‘drama’ seolah ada penyusup dari guild lain yang menyerang Heath saat dia sakit. Tentu saja, yang pertama-tama harus disingkirkan adalah pengawal utama Heath, yaitu kau, Kai.” Vio menuturkan hipotesanya. “Shiva tahu kalau dia tidak bisa mengalahkanmu dalam pertarungan, karena itulah kau harus pergi dari Valkyrie sebelum rencana ini dilakukan!”

“Benar juga…”

“Kau harus pulang ke Valkyrie, Kai. Shiva akan segera membunuh Tuan Heath! Kurasa nyawa Nona Cattleya pun terancam!” kata Vio lagi.

“Tapi Vio, sudah kutakan… aku bukan lagi prajurit Grantgale…”

“Kai!” seru Vio. “Apakah kau ingin Tuan Heath tewas di tangan organisasi itu ?! Nona Cattleya juga! Apa kau tidak peduli pada orang-orang yang selama ini kau hormati ?!”

Kai menggeleng. “Tidak.” katanya. “Tapi sekarang, aku hanyalah orang asing bagi Tuan Heath…”

“Kalau kau bukan lagi pengawalnya, atau anggota guildnya, setidaknya selamatkan nyawanya sebagai seorang manusia yang ingin melindungi sesamanya!” seru Vio keras. “Nyawa Tuan Heath dan Nona Cattleya ada di tanganmu!”

Kai terpana. Ya, benar… meskipun dia bukan lagi prajurit Grantgale, tapi keinginan untuk melindungi Heath dan keluarganya tidak pernah pupus. Saat itu Kai baru menyadari kalau dia benar-benar tidak ingin Tuan Heath tewas di tangan penjahat seperti Shiva!

“Bagaimana Kai ? Kau masih ingin membuang-buang waktu di sini ?” tanya Vio.

Kai menghela nafas dalam-dalam. “Tidak. Aku akan segera pergi.”

Vio mengangguk puas meskipun wajahnya masih khawatir. Bagaimana pun, bukan hanya Heath yang terancam, tapi Tetua Su juga, serta kedua ketua guild lain. Mereka adalah orang-orang yang bekerja keras untuk menciptakan perdamaian – tanpa mereka, perdamaian yang baru dua tahun ini akan segera musnah. Tanpa mereka, perang Emperium akan terjadi lagi!

Kemudian, tanpa banyak bicara lagi, Kai pun melesat pergi ke Valkyrie. Vio sendiri tidak tinggal diam. Dia harus segera menuju Britonniah dan Luina untuk membeberkan semua fakta yang telah didapatkannya kepada para pemimpin guild itu.

…….

Kedatangan Kai di Valkyrie mengejutkan banyak orang. Begitu tiba di gerbang, Kai segera bertanya pada penjaga yang bertugas. “Di mana Shiva ?” tanyanya.

“Ku, kurasa ada di Gedung Timur.” jawab prajurit penjaga itu agak gugup. Dia masih mengingat Kai, juga masih menghormatinya. Tapi dia tidak segera mempersilahkan Kai masuk. “Tuan muda Kai, Anda tidak bermaksud membunuh Tuan Shiva kan ? Anda bisa mendapatkan masalah besar jika…”

Kai menepuk bahu penjaga itu sambil mengangguk. “Tenanglah. Aku tahu apa yang kulakukan.”

Kai pun menerobos masuk. Gedung Timur adalah tempat pribadi keluarga Savrille. Selain petinggi guild, pengawal utama, dan pelayan, tidak boleh ada orang lain yang masuk. Ketika Kai baru saja tiba di taman di halaman Gedung Timur, nampak Shiva sedang berjalan menuju kamar tidur Heath sambil membawa segelas obat di atas nampan. Nampaknya obat itu hendak diberikan kepada Heath.

“Shiva!” teriak Kai nyaring.

Shiva nampak kaget karena teriakan itu. Dia menoleh, dilihatnya Kai sedang menghampirinya. “Wah, wah, wah, rupanya mantan pengawal utama datang berkunjung. Apa kau bermaksud menjenguk Tuan Heath ?” tanyanya.

“Bukan, Shiva. Aku tidak datang untuk mencari Tuan Heath. Aku datang untuk mencarimu.” kata Kai.

“Aku ?” Shiva tersenyum sinis. “Kalau begitu sebaiknya kau tunggu di ruang pertemuan. Aku harus mengantarkan obat ini kepada Tuan Heath dulu.” katanya sambil berpaling.

“Selangkah lagi kau maju, aku akan membunuhmu, Shiva! Buang gelas itu!” teriak Kai sambil menghunuskan pedangnya. Kai tidak yakin kalau gelas yang dibawa Shiva adalah obat. Mungkin saja racun.

“Kau ingin membunuh Tuan Heath ? Beliau membutuhkan obat ini. Selain itu, cepat pergi dari sini. Sejak kau pergi, akulah yang bertanggung jawab atas keluarga Tuan Heath.” kata Shiva sambil tetap berlalu. “Oh ya, sebaiknya kau jangan menginjakkan kaki di gedung ini lagi. Gedung Timur adalah tempat terlarang bagi orang luar.” tambahnya.

Kai melompat menghampiri Shiva, kemudian menebaskan pedangnya ke arah gelas obat di tangan Shiva. Gelas itu pecah dan isinya tumpah ke mana-mana.

“Dengar Shiva, aku tidak peduli apakah aku harus mati di sini karena melanggar peraturan Guild Grantgale, tapi aku ingin kau menjelaskan apa ini!” seru Kai sambil membeberkan surat perintah yang dikirimkan Shiva pada Elang Hitam Morroc, tepat di depan wajah Shiva. “Jawab Shiva, apa arti dari semua ini ?!”

“Aku tidak mengerti apa yang kaukatakan, Kai.”

“Jangan pura-pura! Kau tahu apa ini.” kata Kai. “Ini adalah tulisanmu dan tandatanganmu!”

Tiba-tiba Shiva mengulurkan tangan hendak merebut surat perintah itu, tapi Kai lebih sigap. Dengan cepat, Kai melompat mundur dan menghunuskan pedang. Shiva pun segera mengambil pedang yang tergantung di pinggangnya. Sesaat keduanya membeku dengan pedang saling terhunus. Tapi sebelum mereka sempat bertarung, Fresen sang wakil ketua, muncul dari belakang Kai. Rupanya beliau mendengar suara gelas yang pecah.

“Ada apa ini ?” tanya Fresen. Ketika dia melihat Kai, keningnya berkerut. “Kai! Apa yang kau lakukan di tempat ini ? Kau bukan lagi pengawal pribadi Tuan Heath!”

“Aku tahu. Aku datang bukan untuk menuntut posisi itu. Aku datang untuk meminta penjelasan Shiva tentang Elang Hitam Morroc!” jawab Kai.

“Elang Hitam Morroc ? Apa maksudmu ?” tanya Fresen.

“Maafkan kelancanganku, Tuan Fresen. Tapi apakah Anda bersumpah bahwa Anda adalah abdi setia Guild Grantgale dan tidak akan pernah mengkhianati Tuan Heath sebagai pemimpin ?” tanya Kai.

“Apa-apaan pertanyaanmu itu, Kai ?” Fresen nampak tersinggung, tapi dari air wajahnya, dia seperti penasaran apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Kai. “Tentu saja, seumur hidup aku adalah abdi setia Guild Grantgale. Sampai mati pun sumpahku akan tetap abadi!”

“Maaf aku meragukan Anda, Tuan Fresen. Tapi dalam guild ini memang ada penyusup yang harus dicurigai.” kata Kai sambil melemparkan surat di tangannya kepada Fresen. Dia terpaksa melakukan hal tidak sopan itu karena dia tidak bisa melepaskan pandangan dan konsentrasinya dari Shiva. “Kurasa Anda cukup bijaksana untuk menilai apa arti dari semua ini.” katanya.

Shiva mendesis pelan ketika Fresen mulai membaca isi surat perintah itu. Dia berusaha bersikap tenang meski perlahan, keringat dingin keluar dari keningnya.

Fresen membaca surat itu dengan teliti. Dia pernah mendengar perihal Organisasi Elang Hitam Morroc, terutama pada masa Perang Emperium. Organisasi itu masih tergolong baru, tapi perkembangannya sangat mengerikan. Dia tidak menyangka bahwa Shiva yang masih sedemikian muda sudah menjadi Wakil II, benar-benar sulit dipercaya. Tapi Fresen juga tahu kalau hal itu mungkin adalah trik psikologis – tidak seorangpun akan mencurigai penyusup yang dipersiapkan sejak masih muda, apalagi jika karirnya dimulai dari akademi guild.

“Sebenarnya aku tidak begitu mengerti. Tapi aku mendapat kesan, jangan-jangan hal ini berkaitan juga dengan penyerangan terhadap Tuan Heath tempo hari ?” tanya Fresen sambil melipat surat itu, kemudian memandang Kai dan Shiva secara bergantian.

“Benar.” jawab Kai. Kemudian Kai pun menceritakan dugaan Vio mengenai tentang rencana B organisasi Elang Hitam Morroc setelah penyerangan itu gagal. “Kurasa orang ini harus diperiksa.” Kai menyimpulkan.

“Aku tidak bersalah!” teriak Shiva.

Fresen berfikir sebentar, tanpa sengaja matanya tertuju pada tumpahan obat yang sebagian mengenai rumput di taman. Meskipun tidak begitu jelas terlihat, tapi rerumputan itu agak layu. Bukan karena panasnya obat, tapi karena obat itu. Fresen mengerutkan kening, kemudian menghela nafas. “Kai, apakah kau ada dugaan bagaimana Shiva mengirimkan surat ini keluar Valkyrie ? Selama ini dia selalu berada di sini.” katanya.

“Kurir. Aku tidak yakin, tapi sebaiknya Anda memeriksa juga Reno dan Meida.” jawab Kai. Reno dan Meida adalah pelayan rendahan yang dulu memberikan saksi palsu untuk mendukung tuntutan Shiva terhadap Kai. Mereka juga adalah pengikut setia Shiva.

“Baiklah kalau begitu. Penjaga!” teriak Fresen. Tak lama kemudian, empat orang Knight penjaga datang ke tempat itu. “Tangkap Shiva.” katanya.

“Tunggu! Apa yang Anda lakukan, Tuan Fresen ? Anda lebih mempercayai pengkhianat ini daripada aku ?” tanya Shiva ketika keempat Knight itu mengitarinya sambil menghunuskan pedang dan tombak.

“Yang berkhianat itu adalah kamu, Shiva.” kata Fresen dengan wajah kesal, sekaligus kecewa.

“Tidak!”

“Tangkap orang itu dan seret dia ke ruang pengadilan!” perintah Shiva lagi.

Tapi Shiva tidak mau membiarkan dirinya tertangkap. Merasa kejahatannya telah terungkap, dia harus segera melarikan diri. Shiva melompat melewati keempat Knight yang mengelilinginya, kemudian melarikan diri. Tapi Shiva tidak dapat keluar lewat gerbang karena di sana banyak sekali penjaga yang bertugas. Shiva menuju arah berlawanan, yakni ke arah kamar Tuan Heath. Cattleya berada di sana, sedang menunggui ayahnya. Betapa terkejutnya gadis itu ketika Shiva tiba-tiba masuk ke kamar dengan menghancurkan pintu, lalu menangkap tubuhya sambil menempelkan mata pedang pada lehernya. Fresen dan Kai sangat kaget melihat perbuatan Shiva, mereka tidak dapat bergerak sedikitpun khawatir Shiva akan menyakiti Cattleya.

“Berhenti! Berhenti di sana atau kutusuk leher gadis ini!” teriak Shiva sambil

Cattleya nampak gemetar karena ketakutan. “Kai…” gumamnya.

“Tenang Nona Cattleya, tenang. Kau baik-baik saja…” ujar Kai. Kemudian pandangannya tertuju pada Shiva. “Lepaskan dia, Shiva.”

“Dia akan mengantarkanku keluar dari Valkyrie!” kata Shiva. “Semua minggir!”

“Brengsek…” desis Fresen kesal. Rupanya selama ini dia memelihara serigala. “Kau benar-benar manusia rendah!”

“Kubilang, MINGGIR!!! Kalian ingin leher gadis ini berlubang ?!” teriak Shiva.

“Kau…tidak akan meninggalkan tempat ini…” tiba-tiba dari belakang Shiva, terdengar suara gumaman pelan, tapi jelas dan tegas.

Shiva menoleh karena terkejut, begitu pula Cattleya dan yang lainnya. Ternyata Heath telah tersadar. Dia berdiri, mengumpulkan energinya untuk membaca spell. Saat itu, tiba-tiba tanah terasa bergetar dan muncul tiang api yang menyergap kaki Shiva. Fire Pilar itu membuat kaki Shiva terasa sangat panas karena terbakar, bukan itu saja, dia pun seolah tidak bisa melangkah pergi. Kesempatan itu digunakan Kai untuk menerjang ke arah Shiva, merebut pedang dari tangan Shiva, dan menarik Cattleya lepas dari cengkramannya. Sesaat keduanya bergulat di atas Fire Pilar; bukan hanya Shiva, tapi Kai pun kepanasan karenanya. Melihat hal itu, Fresen tidak tinggal diam. Dia segera membantu Kai keluar dari pergumulan, sementara para penjaga menodongkan pedang ke arah Shiva agar tidak berkutik lagi. Dalam waktu singkat, Shiva pun berhasil dibekuk.

“Sudah aman.” kata Fresen sambil menepuk bahu Kai. “Kau tidak apa-apa ?” tanyanya lagi setelah menyuruh para penjaga mengikat tangan Shiva dan menyeretnya keluar dari tempat itu.

Kai mengangguk. Walaupun demikian, lengannya nampak memerah karena luka bakar. “Terima kasih Tuan Fresen.”

“Terima kasih ? Harusnya aku yang berterima kasih.” kata Fresen. Dia merasa agak malu karena dulu pernah termakan hasutan Shiva dan menghukum Kai, padahal sebenarnya Kai tidak bersalah.

“Tidak, aku memang harus berterima kasih.” kata Kai bersikeras. “Anda mempercayai saya. Padahal Shiva pernah memfitnah saya.”

Fresen mendesah. “Sebenarnya tadi pun aku bimbang.” katanya. “Sampai kulihat tumpahan obat yang dibawa Fresen, saya baru tahu kalau orang itu memang berbahaya.”

“Huh ?”

“Rumput yang terkena tumpahan obat itu menunjukkan tanda-tanda layu. Rumput yang tumbuh di taman adalah jenis rumput yang bisa hidup di berbagai cuaca, tidak mungkin layu secepat itu hanya karena air panas.” kata Fresen menjelaskan. “Aku teringat, rumput itu adalah makanan kesukaan argiope. Argiope menghasilkan racun ringan dalam air liurnya untuk mencerna rumput itu.”

“Jangan-jangan Shiva membubuhi air liur argiope dalam obat untuk papa ?” ujar Cattleya.

Fresen mengiyakan. “Mungkin. Sepertinya Shiva ingin agar Tuan Heath tetap tinggal di kamarnya agar dia dapat leluasa bergerak di sini. Atau karena dia ingin membunuh Tuan Heath tanpa harus bertarung. Jika dia terus-menerus memberi Tuan Heath obat yang sudah dicampur sedikit air liur argiope, kondisi kesehatan Tuan Heath akan terus menurun. Semua orang akan mengira hal itu disebabkan oleh penyakitnya setelah terkena racun ketika diserang di perbatasan Payon tempo hari. Dan Shiva pun bebas dari kecurigaan.”

“Tapi selama ini, akulah yang selalu memberi obat untuk papa. Aku tidak pernah mengizinkan Shiva masuk ke kamar ini.” kata Cattleya. “Yang membawakan obat dari dapur ke sini pun selalu berganti-ganti.”

“Karena itulah aku berniat memeriksa seluruh pelayan di gedung ini. Tidak, di seluruh Valkyrie. Dengan jabatannya sekarang, dia bisa memerintah siapa saja. Menyogok siapapun bukan hal yang mustahil baginya.” kata Fresen.

Kai mengangguk setuju.

“Oh ya Kai, kelihatannya sekarang posisi pengawal sedang kosong. Sebaiknya kau membantuku mencari penggantinya.” tanya Fresen sambil mendesah. “Dan selama pengganti itu belum kutemukan, kau boleh tinggal di sini. Ermm…untuk membantuku menjaga Tuan Heath. Kita tidak tahu kapan dia akan diserang lagi.”

“Eh ?”

“Tuan Fresen! Mengapa Anda tidak berkata jujur saja kalau Anda menginginkan Kai kembali ke posisinya ?” seru Cattleya sambil menahan tawa.

Fresen tersenyum. “Ya, sebenarnya aku ingin berkata begitu.”

Tiba-tiba matahari seolah bersinar lagi dalam hati Kai. Matanya berbinar, ditatapnya Fresen dengan tidak percaya. “Be, benarkah…?” ujarnya tergagap.

“Tentu saja. Kurasa Tuan Heath pun setuju.” kata Fresen sambil memandang Tuan Heath yang masih terbaring di ranjangnya.

Tuan Heath nampak begitu lemah, apalagi dia menggunakan sihirnya saat tubuhnya masih terlalu lemah. Tapi di wajahnya terlihat sebuah senyuman, kemudian dia menggangguk. “Ya…”

“Terima kasih, Tuan! Saya akan bekerja dengan sebaik-baiknya!”

Kai berlutut di hadapan Fresen dan Tuan Heath, kemudian memberi hormat sedalam-dalamnya. Waktu beberapa bulan saat awan mendung membayangi jiwanya kini telah musnah. Entah mengapa, dalam kesekejap dia menjadi pahlawan dan mendapatkan kembali hidupnya. Dalam hati dia berterima kasih pada Tuan Heath, Tuan Fresen, dan Vio yang memberinya kesempatan untuk merebut sesuatu yang diambil Shiva darinya.
.


Bersambung......ke Chapter 4
 
oi...ric....lu crita pa dongeng tuh????kurang panjang tuh...gw bacanya ja mpe skip scene tuh...yang bacanya ja dikit gt...kerajinan ngetik nih...kl mo latihin jari loe untuk cpt ketik gt...mndngan main o2 jam je....wkwkwkwkwwk
 
*duduk di pojok ruangan + background suram.......merenung* kapan ya gw bisa bikin cerita sebagus gini /sob /sob
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.