• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Hari Raya Hindu

goesdun

IndoForum Junior A
No. Urut
32661
Sejak
7 Feb 2008
Pesan
3.022
Nilai reaksi
66
Poin
48
Berdasarkan Surat Keputusan Mentri Agama R.I. No. 14 Tahun 1983, telah ditetapkan hari Raya Nyepi (peralihan tahun Çaka) sebagai Hari Raya Hindu/Hari Libur Nasional.

Hari Raya Nyepi

Hari Raya Nyepi merupakan hari pergantian hatun Çaka bagi umat Hindu di Indonesia, dimana diperinci secara mendalam dengan malaksanakan beberapa (pantangan) / hal-hal yang tidak boleh dilakukan.

Adapun rangkaian Hari Raya Nyepi terdiri yaitu: Melasti (Mekiis), Tawur, Sipeng, dan Ngembak Geni.

Melasti atau Mekiis dilaksanakan 2 hari sebelum tilem kesanga dengan upacara mengambil tempat di pantai bagi masyarakat yang dekat dengan laut, di tepi danau bagi masyarakat yang dekat dengan danau atau di sumber mata air yang disucikan bagi mereka yang jauh dari laut atau danau.

Tujuan melasti menurut lontar Sundari Gama adalah:
angamet sarining bhuana anglebur malaning bhumi
Artinya : mengambil sari-sari dari dunia dan melebur/membersihkankekotoran bumi.

Pada saat itu semua simbul-simbul keagamaan dibawa kelokasi Melasti yaitu pantai, danau, mata air dan diupacarai secara ritual, dan setelah itu kembali distanakan di Bale Agung. Pada malam harinya setelah upacara ngerupuk dan tawur, symbol-simbol keagamaan dibawa kembali ke pura masing-masing.

Tawur, merupakan upacara yang dilaksanakan di perempatan jalan di pusat kota propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa.
Pada umumnya dipropinsi, kabupaten, dan kecamatan upacara ini dilaksanakan pada siang hari jam 12:00, sedangkan di desa-desa dilaksanakan sore hari jam 5 atau 6 yang mengambil tempat di perempatan desa.

Tawur yang lebih kecil disebut caru.

Tingkat caru ini dilaksanakan di desa-desa dan di kecamatan.

Tujuan tawur atau caru ini dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan bhuwana agung dan bhuwana alit.

Yang disebut bhuana agung adalah alam sekitarnya (alam semesta), sedangkan bhuwana alit adalah manusia itu sendiri (umat manusia).

Selama setahun, dari sejak Nyepi yang lampau manusia terlalu banyak mengambil isi dunia berupa air, minyak, gas bumi, bahan makanan, bahan pakaian, perlengkapan, dan sebagainya, maka terjadilah ketidakseimbangan / tidak harmoni lagi.

Isi dunia terlalu banyak yang terambil dari yang terkembalikan. Lebih-lebih jika pengambilan didasarkan atas keserakahan, maka pincanglah geraknya alam, tidak harmoni lagi.

Tawur yang berarti mengembalikan, mengandung pengertian agar kita mengembalikan apa yang terlalu banyak kita ambil dan nikmati di dunia dengan jalan mengorbankan harta milik serta kesenangan berwujud sarana upacara yadnya agar pikiran kita tidak karatan oleh harta benda duniawi.

Nyepi (sipeng) merupakan kelanjutan daripada tawur, maksudnya Nyepi (sipeng) dilaksanakan keesokan harinya setelah tawur.

Jika pelaksanaan Tawur merupakan perlambang keikhlasan berkorban agar hidup kita seimbang, maka pada hari Nyepi (sipeng) pikiran kita dikendalikan terwujud dalam beberapa pantangan yang wajib dilakukan yaitu:
1.Amati Geni, secara nyata diwujudkan dengan tidak menyalakan api, sedangkan makna sesungguhnya adalah mematikan sifat marah, benci, loba, dan tamak yang berkorbar di tubuh, pikiran kita.
2.Amati Gawe, secara nyata diwujudkan dengan tidak bekerja, sedangkan makna sesungguhnya adalah menghentikan kegiatan jasmani dengan tujuan dipusatkan dalam kegiatan rohani.
3.Amati Lelunganan, secara nyata orang tidak dibenarkan untuk bepergian kemana-mana kecuali bagi mereka yang sakit atau melaksanakan tugas yang tidak bisa dihindari. Makna sesungguhnya adalah dengan mengendalikan atau menghentikan kegiatan pisik akan memantapkan kegiatan rohani.
4.Amati Lelangunan, secara nyata tidak dibenarkan menikmati hiburan hiburan, artinya sesungguhnya merupakan pengendalian pikiran terhadap tarikan-tarikan kama atau keinginan.

Berata penyepian dilaksanakan selama 24 jam berlangsung mulai pagi hari Nyepi jam 06:00 sampai pagi esok harinya jam 06:00. Ini merupakan betuk Tapa tertinggi dalam Hindu Dharma. Bandara International pun ditutup karena aktivitas ini.

Pada saat inilah saat yang paling baik untuk merenungkan kebesaran dan anugrah Tuhan yang telah diberikan kepada manusia dan selanjutnya mengadakan introspeksi tentang perbuatan baik atau buruk, dosa atau jasa yang telah kita laksanakan dalam jangka waktu satu tahun. Dengan menginstropeksi ini kita akan mendapat pelajaran untuk kita bisa berbuat lebih baik pada tahun yang akan datang.

Bagi para Yoga hari ini digunakan untuk bersemadi.

Semua pantangan itu tujuannya tidak lain agar kita dapat memetik dan belajar dari renungan terhadap pengalaman-pengalaman pada tahun yang lalu, dan dapat lebih waspada serta lebih banyak berbuat kebaikan pada tahun yang akan datang.

Setiap perubahan status atau tingkat, umat Hindu selalu merayakannya seperti:
Ketika seseorang baru meningkat dewasa sepatutnya melakukan upacara pagedong-gedongan. Orang yang akan melangsungkan perkawinan, orang yang akan medwi jati (mejadi pendeta) semuanya menempuh upacara sipeng berwujud upacara pagedong-gedongan, yaitu menyepi satu malam, di dalam kamar tidak boleh ke luar.

Kalau diambil kias pada ulat, sebelum ulat berubah tingkat menjadi kupu-kupu (wujud yang lebih sempurna) maka telebih dahulu dia mengurung diri di dalam kepompong, dan berpuasa serta tidak bergerak beberapa hari, untuk selanjutnya bisa lahir menjadi kupu-kupu terbang dengan megah menikmati sari-sarinya bunga.
Begitulah manusia untuk menghadapi tahun baru, hari esok yang lebih cerah dan lebih baik.

Jika pada tahun Masehi peralihan tahun jatuh pada bulan ke 12 masehi.
Untuk peralihan tahun Caka jatuh pada bulan ke 9 (bulan sanga tahun CAKA) , karena angka 9 merupakan angka yang tertinggi, sedangkan angka 10 merupakan angka ulangan dari angka 1 dan 0.

Di samping itu angka 9 memiliki keunikan, angka sembilan jika dikalikan berapa saja, kecuali angka pecahan maka angka hasilnya bila dijumlahkan akan berjumlah 9.
Contoh:
9 x 3 = 27 è 2 + 7 = 9
9 x 6 = 54 è 5 + 4 = 9

Pada bulan ke 9 tahun Caka ini, posisi matahari tepat di atas katulistiwa dan untuk selanjutnya menggelincir menuju belahan bumi bagian utara.

Bagi umat Hindu jika matahari ada di bagian utara katulistiwa dianggap merupakan bulan-bulan yang baik untuk melaksanakan upacara-upacara keagamaan seperti Dewa Yadnya, Manusa Yadnya, dan Pitra Yadnya.

Karena dalam Agama Hindu sudah ditentukan Utara adalah arah menuju alam yang lebih tinggi, artinya arah atas yang sesungguhnya adalah arah yang menuju kutub utara dari alam semesta jagat raya yang maha luas, (bukan atas-bawah berdasarkan grafitasi bumi sehingga atas itu langit dan bawah itu bumi).

Dengan demikian tahun baru disambut dengan cerah disertai alam yang terang.

Ke esokan harinya disebut Ngembak Geni, pada saat ini dilaksanakan sima karma atau dharma santi, yaitu maaf-memaafkan dengan seluruh keluarga, teman dan sahabat.

Apa bila menjelang Ngembak Geni, umat Hindu melaksanakan Panca Dharma, yaitu:
1. Dharma Santi, yaitu temu wirasa, maaf memaafkan;
2. Darma Tula , yaitu berdiskusi tentang arti / makna merayakan hari Penyepian;
3. Dharma Sedana, yaitu bersedekah kepada fakir miskin atau yang patut diberikan sedekah;
4. Dharma Gita, yaitu membaca / melantunkan lagu-lagu (kidung suci).
5. Dharma Yatra, yaitu mengunjungi tempat-tempat suci.

Hari-hari libur yang lain untuk umat Hindu ditetapkan atas dasar Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali tertanggal 16 Februari 1983 No. 00311/2454/Binsos Mental, sebagai berikut:
  • Hari Raya Sivaratri dan Saraswati
  • Hari Raya Pagerwesi
  • Hari Raya Ngembak Geni
  • Hari Raya Penampahan Galungan
  • Hari Raya Galungan
  • Hari Raya Umanis Galungan
  • Hari Raya Kuningan
-oOo-​
 
Hari Raya Sivaratri dan Saraswati

MAKNA UPACARA SIVARÀTRI

“Atyantàdhika ning bratanya taya kàjar denikang ràt kabeh,manggeh ling nikang àdisastra Sivaràtri puóya tan popama”
Sivaràtrikalpa. 12.1.

“Sungguh sangat utama makna brata Sivaràtri dibicarakan di seluruh dunia,
disebutkan dalam kitab-kitab susastra utama, pahala pelaksanaan Sivaràtri
tidak ada yang menandinginya”

Pendahuluan
Setiap tahun kita merayakan Sivaràtri, setiap tahun pula kita diharapkan mampu merenungkan dan mengevaluasi setiap perbuatan yang telah kita lakukan. Perayaan-perayaan hari keagamaan tidaklah berlalu demikian rupa, tetapi lebih dari hal tersebut, kita diingatkan untuk senantiasa lebih mendekatkan diri kepada-Nya, mengikuti ajaran-Nya dan tentunya menghindarkan diri dari larangan-Nya.

Perayaan Sivaràtri dengan beraneka kegiatan ritual dimanatkan kepada kita untuk senantiasa “jagra”, memiliki kesadaran, yakni kesadaran ketuhanan yang dilandasi oleh kesucian hati, ketulusan, kejujuran dan cinta kasih yang sejati, dengan demikian, makna perayaan akan melekat dan menjadi pedoman pada diri pribadi kita dan menjadi panggilan hati, menjadi kebiasaan untuk senantiasa mengamalkan ajaran-Nya.

Kitab suci Veda, Bhagavadgìtà dan suasatra Hindu lainnya memberi petunjuk kepada umat manusia untuk senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya. Siapa saja yang mampu mendekatkan diri kepada-Nya, mengikuti ajaran-Nya, berjalan di jalan Dharma, maka orang tersebut akan memperoleh keselamatan, kemakmuran dan kebahagiaan. Sri Krsna dalam Bhagavadgìtà menyatakan:

“AnanyàS cintayanto màý ye janàá paryupàsate,
teûàý nityàbhyuktànàý yoga kûemaý vahàmy aham”.

Bhagavadgìtà IX. 22.

(Siapa saja yang senantiasa berbhakti kepada Aku, menyembah Aku dan ingat kepada Aku, akan Aku bawakan yang mereka perlukan dan Aku lindungi yang mereka miliki)

Memperhatikan terjemahan Sloka Bhagavadgìtà tersebut, jelas bagi kita bahwa dengan senantiasa berbhakti dan ingat kepada-Nya, Tuhan Yang Maha Agung akan senantiasa menganugrahkan kesejahtraan dan kebahagiaan kepada kita. Menyimak perayaan Sivaràtri saat ini, pada siatuasi dan kondisi cuaca yang hampir setiap hari turun hujan dan suasana krisis ekonomi dan kepercayaan (moralitas) membelenggu bangsa kita, apakah relevan perayaan Sivaràtri dirayakan dewasa ini? Pertanyaan ini mesti direnungkan dengan jernih, untuk apakah perayaan Sivaràtri sesungguhnya bila di dalam diri maupun di luar lingkungan kita kondisinya sangat memprihatinkan? Untuk itu, kami akan mengetengahkan betapa utama makna perayaan Sivaràtri dan senantiasa relevan di dalam menghadapi tantangan global saat ini.

Keutamaan Brata Sivaràtri
Walaupun sudah setiap tahun, pada hari suci Sivaràtri, umat Hindu selalu merayakan hari suci ini dengan berbagai kegiatan agama seperti puasa, melakukan sambang samadhi (tidak tidur) semalam suntuk dan menyucikan diri, diskusi-diskusi atau Dharmatula tentang Sivaràtri selalu dilaksanakan. Namun demikian, dalam tulisan ini dicoba pula untuk mengetengahkan keutamaan brata (berpuasa) pada hari Sivaràtri sebagai berikut :

Kitab Siva Puràna menyatakan bahwa seorang bernama Bhilla yang pekerjaan- nya sebagai pemburu (suka membunuh binatang) mendapatkan anugrah dari Sang Hyang Siva, tidak hanya berupa sorga, tetapi juga Moksha dalam tingkatan Sayujya, yakni bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya kitab Siva Purana menyatakan:

“Di antara berbagai Brata, mengunjungi tempat suci, memberi dana puóya yang mahal seperti batu mulia (emas dan permata), melakukan berbagai jenis upacara Yajña, berbagai jenis tapa (pertapaan) dan melakukan berbagai kegiatan Japa (mengucapkan berulang-ulang nama-nama-Nya atau mantra untuk memuja keagungan-Nya), semuanya itu tidak ada yang melebih keutamaan brata Sivaràtri. Demikian keutamaan Brata Sivaràtri, hendaknya Brata ini selalu dilaksanakan oleh mereka yang menginginkan keselamatan dan keberutungan. Brata Sivaràtri adalah Brata yang sangat mulia, agung yang dapat memberikan kesejahtraan dan kebahagiaan lahir dan bathin”(Shastri, Siva Purana, Kotirudrasaýhità, XL. 99-101,Vol.3, Part III, p. 1438).

Sejalan dengan pernyataan di atas, kakawin Sivaràtrikalpa menyatakan keutamaan Brata Sivaràtri seperti diwedarkan oleh Sang Hyang Siva sebagai berikut :
“Setelah seseorang mampu melaksanakan Brata sebagai yang telah Aku ajarkan, kalahlah pahala dari semua upacara Yajña, melakukan tapa dan dana puóya demikian pula menyucikan diri ke tempat-tempat suci (patìrthan), pada awal penjelmaan, walaupun seribu bahkan sejuta kali menikmati Pataka (pahala dosa dan papa), tetapi dengan pahala Brata Sivaràtri ini, semua Pataka itu lenyap”.

“Walaupun benar-benar sangat jahat, melakukan perbuatan kotor, menyakiti kebaikan hati orang lain, membunuh pandita (orang suci) juga membunuh orang yang tidak bersalah, congkak dan tidak hormat kepada guru, membunuh bayi dalam kandungan, seluruh kepapaan itu akan lenyap dengan melakukan BrataSivaràtri yang utama, demikianlah keutamaan dan ketinggian Brata (Sivaràtri ) yang Aku sabdakan ini”
( Sivaratrikalpa, 37, 7-8).

Memperhatikan keutamaan Brata Sivaràtri seperti tersebut di atas, maka hakekat perayaan Sivaràtri adalah menguak kegelapan pikiran manusia, untuk menumbuhkan kesadaran ketuhanan yang sejati, mampu mengembangkan cinta kasih yang tulus.

Pelaksanaan Brata Sivaràtri di India dan di Indonesia
Pelaksanaan Brata Sivaràtri di India pada paro petang ke-14 bulan Phlaguna (Februari-Maret) hampir sama dengan di Indonesia yang dilakukan pada paro petang ke-14 bulan Magha (Januari-Februari), yakni mereka tidak tidur selama 36 jam, sembahyang ke pura-oura Sang Hyang Siva dan pura-pura ini para Pùjari (semacam pandita atau pemangku di Bali) melakukan upacara Abhiseka Lióga, mempersembahkan Naivedya (sesajen yang umumnya terbuat dari tepung gandum ,susu, buah-buah dan sari buah), dilanjutkan dengan mengucapkan/membaca doa-mantra seperti Siva Saýhità, Sivamahimastotra, Sivasahasranàma (seribu nama Sang Hyang Siva) dan umat pada umumnya mengucapkan Japa Pañcàkûara Siva (Sivamahàmantra): OÝ NAMA SIVÀYA sejak pagi hingga keesokan harinya menjelang mata hari terbenam. Umat Hindu di samping melakukan UpavaSa (puasa) juga melakukan Bhajan (mengidungkan lagu-lagu suci memuji keagungan Tuhan Yang Maha Esa sepanjang siang dan malam hari. Bhajan yang tiada hentinya dilakukan oleh banyak orang secara serempak dan atau bergiliran disebut Akhandabhajan dan keesokan harinya umat Hindu berduyun-duyun mandi di sungai suci seperti Gaóga, Yamuna atau Patìrthan-Patìrthan terdekat.

Sebagai informasi yang akurat, kami kutipkan di sini pelaksanaan Sivaràtri yang dilaksanakan di Sivananda Asram, Rishikesh, Uttar Pradesh, sebagai berikut :

1. Seluruh siswa dan Sanyasin melakukan puasa sepanjang siang dan malam hari tanpa minum setetes airpun.
2. Sebuah Havan (Agnihotra) yang besar dilaksanakan untuk memohon kedamaian dan kesejahtraan seluruh umat manusia.
3. Sepanjang hari dan malam , semua siswa dan Sanyasin melakukan Japa mengucapkan Sivamahàmantra Oý Nama Sivàya.
4. Sepanjang malam semu berkumpul di pura milik Asram dan melakukan Japa tersebut diiringi dengan Bhajan atau meditasi.
5. Setiap tiga perempat malam dilaksanakan pemujaan (Abhiseka) Lióga secara khusuk. (Semalam 4 kali pemujaan).
6. Dikûa kepada Sanyasin baru, juga diberikan oleh Sanyasin Guru pada hari yang suci ini.

Terdapat sedikit variasi dalam perayaan Sivaràtri di India adalah hal yang wajar karena kondisi umat Hindu yang berbeda-beda. Di Indonesia, dalam rangka standardisasi Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat telah menetapkan keputusan Seminar tentang Sivaratri yang pelaksanaannya adalah sebagai berikut :

l. Brata Sivaràtri, terdiri dari :

a. Uttama, dengan melaksanakan :
1). Monabrata (berdiam diri dan tidak berbicara).
2). UpavaSa (tidak makan dan minum).
3). Jagra (berjaga/melek,tidak tidur).

b. Madhyama (menengah) dengan melaksanakan :
1). Upavasa (tidak makan dan minum).
2). Jagra (berjaga/melek,tidak tidur).

c. Kanistama (sederhana) dengan melaksanakan :
Hanya Jagra (berjaga/melek,tidak tidur).

2. Tatacara melaksanakan Upacara Sivaratri :
a. Untuk Sang Sadhaka sesuai dengan Dharmaning Kawikon.
b. Untuk Valaka (umat pada umumnya) didahului dengan asuci laksana (menyucikan diri). Upacara dimulai dengan urutan sebagai berikut :
1). Maprayascitta, sebagai penyucian pikiran.
2). Mapajati , mempersembahkan sesajen ke Sanggar Surya untuk memohon persaksian kehadapan sang Hyang Sùrya.
3). Sembahyang kehadapan leluhur yang telah mencapai Siddhadevatà, untuk memohon bantuan dan tuntunanya.
4). Mempersembahkan sesajen kepada Sang Hyang Siva. Banten ditempatkan pada palinggih, padmasana atau dapat pula pada piyasan di Sanggah Pamarajan. Bila semua palinggih tidak tersedia (misalnya di halam atau ruangan terbuka) dapat membuat semacam altar, yang dipandang wajar untuk melakukan sembahyang yang ditujukan kepada Sang Hyang Siva dan dewata Samoddhaya. Setelah sembahyang dilanjutkan dengan nunas Tirtha sebagai biasa.
5). Sementara melakukan sembahyang Brata, baik Mona (Mauna), Upavasa dan Jagra tetap dilaksanakan.
Demikian antara lain brata dan pelaksanaan Sivaratri baik yang dilakukan di India maupun di Indonesia, semoga hikmah pelaksanaan brata yang utama ini dapat lebih meningkatkan keimanan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Makna perayaan dan Upacara Sivaràtri
Memperhatikan keutamaan keutamaan Brata Sivaràtri dan bentuk perayaan Sivaràtri di India dan di Indonesia, maka relevansi perayaan Sivaràtri saat ini adalah untuk meningkatkan kesadaran ketuhanan yang bersthana dalam sanubari kita masing-masing. Kesadaran suci (Cetana) yang terbelenggu oleh badan dan terikat oleh karma dan reinkarnasi menyebabkan Sang Diri (Atman) seakan-akan terlupakan dalam kehidupan kita. Membangkitkan kesadaran Àtman atau kesadaran diri adalah proses pemburuan seperti yang dilukiskan oleh kitab-kitab Purana, termasuk juga karya kakawin Sivaràtrikalpa oleh Mpu tanakung. Di dalam teks (kitab-kitab Purana yang berbahasa Sanskerta maupun kakawin Sivaràtrikalpa yang berbahasa Jawa Kuno senantiasa dilukiskan kehidupan seorang pemburu atau seorang yang hidpnya melakukan perbuatan hina, seperti pencuri dan sejenisnya). Di malam Siva (Sivaràtri) mereka memperoleh pahala, karena tidak sengaja hanya melek semalam suntuk. Melek karena menunggu bintang yang akan diburu atau melek karena takut diterkam bintang dan melek karena tumbuh kesadaran ketuhanan dan cinta kasih dalam dirinya.

Bila kita kaitkaan dengan kakawin Arjuna Wiwàha, maka yang diburu adalah babi yang disebut sebagai lambang dari sifat tamas dan binatang buas umumnya adalah penggambaran sifat rajas. Memburu binatang di hutan, bila kta reflkesikan dengan ajaran Yoga, sesungguhnya berbuaru untuk melenyapkan atau mengendalikan sifat Rajas dan Tamas, yang dilambangkan dengan warna merah (kemarahan/emosional)) dan hitan atau gelap (sebagai lambang kebodohan atau kemalasan), sedang Sattvam dilambangkan dengan warna putih. Untuk menemukan warna putih sebagai wujud kesucian, maka kegelapan dan keangkaraan mesti dihapuskan dan bila hal ini terjadi, maka cinta kasih Tuhan Yang Maha Agung akan dapat kita wujudkan.

Dengan ilustrasi seperti yang disebutkan dalam kitab-kitab Purana maupundalam kakawin Sivaràtrikalpa, kita dituntut untuk menyucikan diri untuk menemukan hakekat atau kesejatian kita. Kehidupan bagaikan segelas air yang jernih, karma-karma buruk telah menodainya, yang dapat kita umpamakan setetes tinta yang jatuh ke dalam gelas yang berisi air yang jernih tersebut, maka merupakan kewajiban yang mesti kita lakukan untuk menjernihkan kembali air dalam gelas yang telah ternoda tersebut. Adapun jalan yang terbaik adalah mencarikan atau menggantikan gelas tersebut dengan wadah yang lebih besar dan menuangkan air jernih sebanyak-banyaknya ke dalam gelas tersebut, maka pada saatnya air itu akan menjadi jernih kembali. Untuk itu sangat relevan petuah mahàrûi Vararuci atau Katàyana dalam Sàrasamuccaya yang menyatakan: “apan ikang Subhakarma juga angentasaken ikang aSubhakarma”, hanya dengan jalan berbuat baik (sebanyak-banyaknya) dapat melenyapkan pahala dari karma-karma buruk di masa yang lalu”.

Demikianlah relevansi perayaan Sivaràtri saat ini, sesungguhnya mengandung makna reformasi, yakni melalui perayaan Sivaràtri umat Hindu kembali di arahkan untuk mengikuti kembali ajaran agama, guna menumbuhkan kesadaran ketuhanan di dalam diri setiap individu. Perayaan Sivaràtri saat ini sangat tepat bila dikaitkan dengan suasana kehidupan di sekitar kita, yang menurut kitab-kitab Purana ada dalam jaman kaliyuga. Kata “kali” berarti pertengkaran, kali juga berarti kegelapan, karena kegelapan, menimbulkan kerakusan, keangkaraan, arogansi dan sebagainya¸yang menjadikan sifat-sifat kebinatangan menginjak-injak nilai-nilai kemanuisaan yang luhur, dampaknya adalah terjadi berbagai kerusuhan dalam skala yang besar dan kecil, memudarnya nilai-nilai moralitas, karena kesucian Sang Hyang Atman, tidak memancar lagi dalam sebagian diri umat manusia.

Selanjutnya bila kita amati makna upacara melalui sarana persembahan (sesajen) maka tampak sebagai usaha menyucikan diri dan memantapkan tekad dalam menghadapi tantangan alam maupun mentalitas pribadi di dalam usaha menuju penyatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa untuk mewujudkan kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan yang sejati bila berhasil diwujudkan dalam kehidupan ini disebut bhukti atau Jivanmukta, sedang bila setelah kematian nanti disebut Moksha. Dengan demikian makna upacara Sivaràtri sesungguhnya merupakan pelaksanaan Yoga (meditasi) yang dibungkus dengan pendidikan dan pengendalian diri.

Sivaràtri dan rekonsiliasi intern dan antar umat beragama
Rekonsiliasi berarti kerukunan atau toleransi yang sejati! Kenapa saat ini kita membahas rekonsiliasi? Pertanyaan ini dapat dicermati bahwa di sekitar kita telah terjadi situasi yang mencemaskan yang dapat mengancam tali persaudaraan dan kekeluargaan kita. Dengan memaknai perayaan Sivaràtri intern umat Hindu hendaknya mampu mengkonsolidasikan dirinya guna menghadapi berbagai tantangan, baik tantangn intern maupun ekstern yang dapat mendangkalkan Sraddhà dan Bhakti umat. Tantangan atau permasalah intern umat Hindu hendaknya segera dituntaskan dan satu-satunya jalan pamungkasnya adalah dengan memajukan pendidikan agama Hindu, khususnya nilai-nilai moralitas dan spiritualitas, sehingga agama tidak hanya bersifat verbal, tetapi saudah mampu mentransformasikan umatnya dari Manava-Manava menuju dan menjadi Madhava-Madhava, bukan sebaliknya jatuh menjadi Danava-Danava, raksasa-raksas yang menghancurkan keperibadian Hindu yang sejati.

Tantang eksternal adalah usaha pihal-pihak tertentu, langsung atau tidak langsung mengarah kepada konversi atau beralihnya umat Hindu menganut agama yang lain. Tantangan ini dapat ditangkal dengan menanamkan militansi generasi muda Hindu dengan membuka wawasan serta memberikan pendalaman Sraddha dan pengamalan Bhakti, dengan Sraddha yang teguh, umat akan mampu mengatasi tentangan tersebut, untuk itu keluarga adalah benih pesemaian tumbuh-kembangnya Sraddhà seorang anak yang pada saatnya nanti tangguh menghadapi tantangan.

Dalam rangka mewujudkan stabilitas daerah, regional dan nasional kerukunan umat beragama hendaknya ditumbuhkembangkan. Kerukunan tidak berarti membangun tempat peribadatan sebanyak-banyaknya, tetapi hendaknya setiap umat beragama menghargai kekhasan daerah masing-masing, misalnya kita mengenal Aceh sebagai Serambi mekah, silakan di sana membangun mesjid dan sejenisnya yang besar-besar dan megah, tetapi Bali yang dikenal ke manca negara sebagai pulau Dewata, hendaknya umat beragama lain menahan diri untuk jangan membangun tempat beribadat secara menjolok yang di sadari atau tidak akan berdampak munculnya kasus SARA di daerah Bali.

Penutup
Demikian Makna Upacara Sivaràtri yang mengamanatkan umat-Nya kembali kepada ajaran agama yang termuat dalam berbagai kitab-kitab Veda dan susastra Hindu lainnya.

Dengan pelaksanaan perayaan Sivaràtri, umat Hindu dapat meningkatkan kualitas spiritual untuk lebih mendekatkan diri kepada sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Agung, sekaligus menumbuhkan rekonsiliasi intern dan kerukunan antar umat beragama di daerah Bali. *Prof. Dr. I Made Titib, Ph.



Hari Raya Saraswati


Adalah Hari raya memperingati turunnya Dewi Saraswati sebagai shakti Dewa Brahma (manifestasi Hyang Widhi sebagai pencipta) yang memberikan kemampuan berpikir kepada umat manusia.

Para ahli Weda menyatakan bahwa bersamaan dengan kemampuan manusia berpikir, di wahyukanlah Weda sebagai jalan hidup umat manusia sepanjang zaman, sehingga Hari Saraswati juga dianggap sebagai tonggak sejarah awal dari Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang kemudian berkembang pesat mewujudkan kesejahteraan bagi umat manusia.

Umat Hindu melaksanakan persembahyangan memuja Devi Saraswati.

Pada hari ini ada harapan semoga kemampuan berpikir manusia dapat terbebas dari keinginan untuk menghancurkan semesta.


Selamat Hari Sarawatai
1 Agustus 2009
 
Hari Raya Pagerwesi

Adalah puncak rangkaian hari raya sejak Sarasvati, merupakan hari kita memuja Hyang Paramesti Guru, dan menjaga dengan sebaik-baiknya (ibarat memagari dengan besi) agar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan umat manusia dan semesta, tidak menggunakan untuk hal-hal yang destruktif.

Umat Hindu melakukan persembahyangan memuja kebesaran Hyang Widhi dan mensyukuri wara nugraha-Nya sehingga kita umat manusia dapat mencapai mokshartam jagaditha.

Hari Raya Pagerwesi Jatuh pada Buda Kliwon Shinta.

Pada hari suci ini diharapkan berkumpul di rumahnya masing-masing. Mereka selanjutnya mengadakan persembahyangan di tempat suci keluarga yang ada pada masing-masing rumah masyarakat Bali (Kamulan).

Pada hari ini, umat berharap Tuhan senantiasa memberikan kasihnya pada umat manusia, sehingga umat bisa melangsungkan kehidupannya dengan baik.
 
@Goesdun

Ada info tentang hari Kajeng Kliwon gak bro?
Kalo ada postingin di sini sekalian apa bedanya Kajeng Kliwon Uwudan dan Enyitan?
Thx b4..
 
Kajeng Kliwon

@Goesdun

Ada info tentang hari Kajeng Kliwon gak bro?
Kalo ada postingin di sini sekalian apa bedanya Kajeng Kliwon Uwudan dan Enyitan?
Thx b4..

Disamping Hari Raya Besar Hindu yang telah ditetapkan di atas, terdapat rangkaian yadnya yang dilakukan pada hari-hari khusus, seperti pada Hari Kajeng Kliwon.

Siklus Kajeng Kliwon jatuh setiap lima belas hari pada kalender Bali yang terjadi karena terdapat siklus tiga hari yaitu (Pasah, Galang Tegeh/Beteng, dan Kajeng) dan suklus lima hari yaitu (Umanis, Paing, Pon, Wage dan Kliwon), pertemuan akhir kedua siklus ini disebut sebagai hari Kajeng Kliwon.

Ada dua jenis Kajeng Kliwons:
1. Kajeng Kliwon Uwudan
2. Kajeng Kliwon Enyitan

Kajeng Kliwon Uwudan yaitu Kajeng Kliwon yang jatuh setelah Bulan Purnama, dan pada hari ini lebih menekankan pada menetralkan kekuasaan negative.

Kajeng Kliwon Enyitan yaitu Kajeng Kliwon yang jatuh setelah Bulan Mati adalah untuk meningkatkan kekuasaan/kekuatan positif.

Pada kedua Kajeng Kliwon ini dilakukan ritual yang selalui dilandasi oleh rasa ketulusan dan kejujuran. Hari yang mempunyai pengaruh baik dan buruk ini sebagai hari khusus di Bali, dengan adanya persembahan yadnya di kompleks rumah dan lingkungan keluarga.

Hari Kajeng Kliwon juga penuh harapan untuk pamasupati untuk objek sakral seperti Barong, Rangda, Topeng, Keris dll.

Beberapa orang yang mempunyai penyakit non-medis, pada hari Kajeng Kliwon Uwudan dapat mulai berlatih pemurnian jiwa (peralihan mental dan lingkungan yaitu dengan memulai kesadaran untuk menetralisir segala kekuatan negative).

...demikian dan semoga @JakaLoco dapat melengkapi.
 
@Goesdun

Wah terima kasih bro,..sebenarnya di hari Kajeng Kliwon ini Dewa Siwa menyediakan "sangihan" yaitu alat utk mengasah "pisau", pisau yg saya maksud adl kekuatan batin/spiritual manusia, di hari inilah kita mesti mengasah pisau itu..sekarang masalahnya apakah "pisau" itu kita gunakan utk "ngupas mangga (sesuatu yg positif) atau membunuh orang(negatif)..tapi di masyarakat Bali beredar anggapan bahwa Kajeng Kliwon adl harinya penganut ilmu hitam, itu wajar karena orang yg "pisaunya" utk membunuh orang jg mengasah "pisaunya" di hari yg sakral ini..
 
Galungan dan Kuningan

Di India dikenal Hari Raya Sraddha Wijaya Dasani yang memiliki makna filosofi yang sama sebagai hari kemenangan dharma melawan adharma, digambarkan sebagai kemenangan Dewi Durga menghadapi Raksasa Raktawijaya atau kemenangan Rama melawan Rahwana. Selain itu digambarkan juga sebagai kemenangan Sri Krishna melawan raksasa Narakasura.

Sementara di Bali merupakan penggambaran hari kemenangan Dewa Indra melawan Mayadenawa. Dalam filosofinya Galungan bermakna sebagai kemenangan umat manusia mengalahkan sifat-sifat buruk yang ada pada diri masing-masing.

Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi.

Disebutkan: Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.

Artinya: Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bag

Sejak itu Setiap Rabu Kliwon Wuku Dungulan merayakan Hari Raya Galungan. Hari raya yang jatuhnya tiap 210 hari.

Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya.

LONTAR SUNDARIGAMA
Dalam Lontar Sunarigama, ada tertulis:
Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep
Artinya:
Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.

Adapun rangkaian pelaksanaan menjelang dan sesudah Hari Raya Besar Galungan:
1. Sugihan Jawa dan Sugihan Bali.
Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (di luar dari manusia), dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan.
Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci.

Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri.

2. Anyekung Jñana
Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan.
Dalam lontar itu juga disebutkan nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.

3. Penyajaan Galungan
Senin Pon Dungulan, pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi.

4. Penampahan Galungan
Anggara Wage wuku Dungulan, pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut pamyakala lara melaradan.
Pada umumnya masyarakat Hindu Bali pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban.

5. Galungan
Kamis Umanis wuku Dungulan disebut juga Manis Galungan.
Pada hari ini untuk memperingati kemenangan dharma atas adharma. masyarakat Hindu Bali pada umumnya melampiaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat wisata terutama yang berpanorama indah, juga mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.

6. Pemaridan Guru
Sabtu Pon Dungulan, pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirgahayuan yaitu hidup sehat panjang umur.
Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta gocara. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.

7. Penampahan Kuningan
Jumat Wage Kuningan, dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan, hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran).

8. Kuningan
Sabtu Kliwon, dalam lontar Sundarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksanakan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara "diceritakan" kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maring Swarga).


Intisari perayaan Galungan dan Kuningan adalah untuk menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma.

Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan kemenangan dharma melawan adharma.

Peringatan ini memberikan dorongan untuk selalu eling, sadar dalam menghadapi musuh dalam diri dan lingkungan, sehingga akan selalu bisa keluar sebagai pemenang.

Galungan merupakan penghormatan terhadap leluhur dan bakti terhadap Tuhan yang Maha Esa atas tegaknya dharma atau kebenaran itu sendiri.

Tetapi yang lebih penting lagi adalah umat mampu mengendalikan diri terhadap lingkungan. Tidak merusak alam dan atau mengeksploitasi alam secara membabi buta. Momen hari raya Galungan dijadikan sebagai upaya agar mampu memerangi sifat-sifat buruk yang ada dalam diri.


Untuk itu coba resapkanlah arti kata-kata yang diucapkan oleh Swami Vivekanda yang akan memberi keteguhan hati untuk memikul segala tanggungjawab dari perbuatan-perbuatan kita, untuk menjadi makin kuat mengalahkan sifat-sifat buruk/adharma.

TUHAN tak pernah menghukum atau memuji.
Berkah dan kasih sayangnnya terbuka bagi siapapun, kapan saja, di mana saja, dalam keadaan apapun. Kitalah yang menentukan bagaimana mempergunakannya.
Jangan menyalahkan manusia, Tuhan, atau siapapun di dunia ini.
Apabila anda menderita, salahkanlah diri anda sendiri, dan berusahalah diri anda sendiri, dan berusahalah berbuat lebih baik.

Inilah satu-satunya cara memecahkan masalah.
Mereka yang menyalahkan orang lain betul-betul menyedihkan; mereka jatuh dalam jurang kesengsaraan krena kesalahan-kesalahan sendiri, karena mencerca dan menyalahkan orang-orang lain. Ini tak akan merobah keadaaanya. Ini sama sekali tak akan menolongnnya.

Usaha mereka menyalahkan orang lain, hanya memperlemah mereka.
Oleh karena itu, jangan menyalahkan orang lain.

Bangkitlah sendiri, dan pikulllah seluruh tanggungjawab.
Katakanlah: “Kesengsaraan yang saya derita ini adalah karena perbuatanku sendiri, dan ini membuktikan bahwa kesengsaraan itu hanya aku pula yang bisa melenyapkan”.
Apa yang aku buat, akan bisa kulenyapkan lagi.

Masa depan yang tiada hingga adalah di depan anda, dan selalulah ingat bahwa setiap kata, setiap pikiran, setiap perbuatan, tersedia bagi anda, dan bahwasanya pikiran jahat dan perbuatan jahat, siap-siap bagaikan harimau hendak menerkam anda, akan tetapi di samping itu, pikiran-pikiran baik dan perbuatan-perbuatan baik bersiap-siap pula dengan kekuatan seratus ribu malaikat untuk menyelamatkan anda, untuk selama-lamanya.

Mari mulai sekarang mengalahkan adharma!
 
Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.

Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.

Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:

Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.

Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.

Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi keti-ka Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.

Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau "bisikan religius" dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.

Makna Filosofis Galungan

Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.

Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.

Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:

Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep

Artinya:

Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.

Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan me-nangnya dharma melawan adharma.

Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara).

Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.

Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.

Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, "Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi." Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut pamyakala lara melaradan. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri.

Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melam-piaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.

Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirghayusaan yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta gocara. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.

Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan. Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran). Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksana-kan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara "diceritakan" kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maring Swarga).

Demikianlah makna Galungan dan Kuningan ditinjau dari sudut pelaksanaan upacaranya.

Macam-macam Galungan

Meskipun Galungan itu disebut "Rerahinan Gumi" artinya semua umat wajib melaksanakan, ada pula perbedaan dalam hal perayaannya. Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal adanya tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel), Galungan Nadi dan Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

Galungan

Adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan kemenangan dharma melawan adharma. Berdasarkan keterangan lontar Sundarigama disebutkan "Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan." Artinya, Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan itu dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat bertemunya ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan.

Galungan Nadi

Galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober.

Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan Indra Loka. Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu. Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi besarnya upacara dan kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa kalau upacara agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama maka mereka akan melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotonin atau upacara hari kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah. Disamping karena ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Ketu artinya terang (lawan katanya adalah Rau yang artinya gelap). Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama disebut Galungan Nadi. Galungan Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10 tahun sekali.

Galungan Nara Mangsa

Galungan Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga. Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut:

"Yan Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa ngaran."

Artinya:

Bila Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungannya dan bila bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa namanya.

Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir sama sebagai berikut:

Nihan Bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma haywa lali elingakna. Yan tekaning sasih Kapitu, anemu wuku Dungulan mwang tilem ring Galungan ika, tan wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yan mengkana. Tan kawasa mabanten tumpeng. Mwah yan anemu sasih Kesanga, rah 9 tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu, sigug ya mengaba gering ngaran. Wenang mecaru wong Baline pabanten caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yanya manurung, moga ta sira kapereg denira Balagadabah.

Artinya:

Inilah petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (hari buruk) bagi manusia, semoga tidak lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu bertepatan dengan wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan Galungan, Kala Rau namanya, bila demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen yang berisi tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9 sama artinya dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya. Seyogyanya orang mengadakan upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi cacahan dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam (maksudnya bila melanggar) kalian akan diserbu oleh Balagadabah.

Demikianlah dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan Nara Mangsa. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan "Dewa Mauneb bhuta turun" yang artinya, Dewa tertutup (tapi) Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan raksasa, pemakan daging manusia. Oleh karena itu pada hari Galungan Nara Mangsa tidak dilang-sungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak menghaturkan sesajen "tumpeng Galungan". Pada Galungan Nara Mangsa justru umat dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan bercampur keladi.

Demikian pengertian Galungan Nara Mangsa. Palaksanaan upacara Galungan di Bali biasanya diilustrasikan dengan cerita Mayadanawa yang diuraikan panjang lebar dalam lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan antara aharma melawan adharma. Dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma dilambangkan oleh Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan sebagai raja yang tidak percaya pada adanya Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara agama.

Galungan di India

Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarungan antara adharma melawan dharma dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India. Bahkan kemungkinan besar, parayaan hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi atau direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat dari kata "Wijaya" (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata "Galungan" dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua kata itu artinya "menang".

Hari Raya Wijaya Dasami di India disebut pula "Hari Raya Dasara". Inti perayaan Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan. Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan upacara yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam). Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat khusuk dipimpin oleh pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma. Pada hari kesepuluh berulah dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara. Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan, kemeriahan dan kesemarakan untuk masyarakat luas.

Perayaan Wijaya Dasami dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun Surya. Perayaan dilakukan pada bulan Kartika (Oktober) dan bulan Waisaka (April). Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri. Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati (Dewi Durgha) mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang, maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi yang amat cantik menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai dewi kasih sayang dan amat sakti. Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki kemampuan yang tinggi. Kasih sayang sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda dengan di Bali. Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan yang berkonotasi angker, seram, sangat menakutkan.

Perayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan. Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling tinggi nilainya. Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan adharma.

Sedangkan upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri. Pada Rama Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan yang lebih menekankan pada bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh atau hari Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami atau kemenangan hari kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi ramai. Di mana-mana, orang menjual panah sebagai lambang kenenangan. Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di mana sudah ada orang yang terpilih untuk memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Anoman.

Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu diatur sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu langsung terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira-ria. Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita, Laksmana dan Anoman mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma.

Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun yaitu pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah suatu "sakti" atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan pada Sri Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan filosofi dari hari raya Wijaya Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh menusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan dharma adalah terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir batin.

Kemenangan lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh setiap orang. Agar orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdemensi ritual dan spiritual.

(Sumber: Buku "Yadnya dan Bhakti" oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni)

Semoga peringatan hari Galungan dan Kuningan sebagai ritual sakral dapat memberikan kekuatan spiritual sehingga mampu membedakan daya hudup mana yang berasal dari adharma dan mana yang bersumber dari dharma.
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.