• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Diskusi tentang Banten

@Divka HD

Kitab suci agama Hindu bukan Weda..tetapi Catur Weda.
Weda bentuknya gak hanya kitab..tapi pertunjukan wayang (Ramayana, Mahabarata,dll), Calonarang, tari topeng pun termasuk Weda..dan banten adalah salah satu bentuk Weda..

Yang menjadi masalah dalam masyarakat Hindu Bali bukanlah banten tapi "memaksakan kemampuan" ...masyarakat yg ekonominya lemah terlalu memaksakan diri saat melaksanakan upakara..padahal dgn kemampuan ekonomi yg pas-pasan aj upakara masih bisa jalan...makanya dlm upakara ad tingkatan2 seperti Nista, Madya, Utama...

Saya belum pernah nonton di TV kalo ada orang Bali yg mati kelaparan di Bali...
semiskin-miskinnya orang Bali masih bisa melaksanakan upakara...
apa yg kita persembahkan dgn tulus ikhlas kpd Hyang Widhi akan dibalas juga oleh Beliau dgn kesejahteraan...sekali lagi yg menjadi masalah bukanlah banten tetapi "ikhlaskah kita ?", "sadarkah kita ?", "mampukah kita ?"...
kalo anda ingin melepas banten sebaiknya anda juga melepas nama "Wayan, Made, Nyoman, Ketut" karena nama2 tsb adalah simbol bahwa kita memeluk Hindu Bali....

Saya yakin kalo kita melepas banten lama2 akan masuk berita kalo "orang Bali mati kelaparan..."

Konsep banten itu dianugerahkan oleh Leluhur kita yg mempelajari Catur Weda..dan dari Catur Weda banten itu dikonsepsikan...jadi banten sama sekali tidak melenceng dari Catur Weda....
Saat upakara kita mengorbankan binatang...kejamkah? mungkin ketika anda melihat kurban tersebut mereka berteriak kesakitan..tetapi ketika mereka mati, roh mereka akan berkata : "Thanks bro udah make gue untuk upakara..karang derajat roh gue udah meningkat..karang gw bisa menjema jadi makhluk yg lebih tinggi derajatnya!" >>>>> inilah yg disebut penyupatan!

emangnya ketika kamu makan sayur tuch sayur gak kesakitan??mereka tuch kesakitan..hanya saja mereka gak bisa teriak!!!bahkan kamu jadi vegetarian pun tidak luput dari yang namanya membunuh....
ketika ada nyamuk aedes agyepti(demam berdarah) hinggap di lenganmu dan menyedot darahmu apa yg akan kamu lakukan ?mengusir nyamuk itu ato kasihan trus kamu biarin ampe akhirnya kamu kena demam berdarah ?
 
kecewa

tau kah anda bagaimana leluhur hindu bali mempertahankan agama hindu di Bali???
pernahkah anda memikirkan kenapa bisa hindu bali bisa bertahan sampai sekarang....?????
semua yang instan tak semuanya baik..... sapa yang brani jamin bila banten diganti dengan mantra saja hindu akan berkembang...????
BALI terkenal ke seluruh dunia akan keunikannya, bahkan orang asing terkagum kagum melihat hasil seni orang bali....bahkan mau belajar buat banten....
kita yang pemalas berfikir banten ribet & mahal ?? pernahkah berfikir apa tujuan dan manfaat banten...
1.kita berlatih sabar dalam membuat banten.....(org bali terkenal akan kesabarannya)
2.orang bali terlalu seni buat hanya mengucapkan mantra saja dalam menyembah tuhan, ORANG INDIa bisa saja hanya mengaturkan bunga tapi orang bali bisa membuat canang yang merupakan seni yang luar biasa....hingga sekarang tak ada yang menyamai kesenian org bali
3.karena banten roda ekonomi berputar, dari mulai bungga hingga daun semua bisa dijadikan barang dagangan.... bila dikatakan banten itu mahal karena org bali gengsi.....(leluhur kita sudah membuat tingkat2 nista madia mandala)
saya sangat kecewa bila banten dijadikan alasan kenapa hindu ga bisa berkembang????
saya meragukan yang mengatakan itu menyelami hindu di bali ato ga????
saya menghargai maksud baik dari teman2 tapi menuju suatu tempat tidak hanya satu jalan
ada yang lewat kapal terbang.... cepat sampai tapi dia ditanya bagaimana keadaan pengalaman dalam perjalan dia ga tau
ada yang jalan kaki... lambat tapi dia tau bagaimana pengalaman dalam hidup
YANG DIBUTUHKAN UMAT KITA ADALAH MENGHILANGKAN GENGSI....
BELUM TENTU PUNYA ORANG LAIN ITU BENAR DAN BAIK UNTUK KITA>:D<
 
duhhh.... bingung wak
primitif ,modern keto gen orangne.....
amen sink dot premitif anggon jas mebakti cocok, adi banten orng premitif...

sory raos kutang2, gus sangut anak premitif tapi sink durhaka ajak leluhur
 
@gus_sangut

setuju bli...luungan primitif daripada sing berbakti ring leluhur..
anggo jas waktu mebakti?? hehehehe....bani?
 
saryan dravyamayad yajnaj
jnananayajnah parantapa
sarvam karma 'khilam parta
jnane perisamapate


Persembahan berupa ilmu-pengetahuan, parantapa lebih
bermutu daripada persembahan materi; dalam keseluruhannya semua kerja ini berpusat pada ilmu-pengetahuan, oh parta=Arjuna.
(bhagavadgita, IV.33)

Command saya;
Hindu di Bali memang sangat terkait dgn banten. kalau menurut saya, itu memang warisan dari nenek moyang kita. Dijaman itu Weda hanya boleh dibaca oleh org2 bangsawan, karena mereka takut jika martabat bangsawannya akan jatuh. Karena Weda mengajarkan "kesamaan kodrat manusia." hanya dibedakan berdasarkan Karma untuk mencapai Brahman. Seni&budaya memang tiada duanya di dunia ini.
Saya bukan bermaksud melupakan hal ini, tetapi kita kan harus cerdas, setidaknya bisa membedakan Hindu&Budaya Bali. jangan ada Hindu Bali/india/jawa,dsbg.

Beranjak dari warisan itu, dikaitkan pula mitos2 di Bali. Kurangnya pemahaman membuat pemeluk Hindu di Bali selalu takut akan hal itu.(terutama yg minim ttg pemahaman kitabnya). Warisan itu bahkan masih dipahami saat ini. padahal bangsa sudah mengutamakan pendidikan.

Sudah saatnya kita sebagai Hindu harus cerdas memahami apa tingkatan Bhakti yg harus kita pilih, bagaimana ajaran dari kitab kita, Seperti yg dijelaskan diatas intinya adalah "Ilmu Pengetahuan".
Jika dulu nenek moyang kita memilih bhakti dengan banten ya wajar&benar sekali, karena mereka belum mengenyam pendidikan.
Bahkan, Saya pernah mendpat mitos begini&menjadi pertanyaan besar saya;
Kebetulan Bapak saya meninggal skitar 3 bln yg lalu, ketika ditanya ke dasaran, katanya kakek dari kakenya bapak saya(udah gak kenal) pernah berhutang senilai telor, karena tdk dibayar ningkatlah jadi ayam, guling, lalu nyawa bapak saya yg diambil. Beginikah kualitas Umat kita??? atau bagaimana menurut anda, masa seh leluhur kita sekejam itu?? saya yakin inilah yg banyak dipahami oleh sebagian besar Umat kita. terutama yg minim pendidikan hindu.

Lalu apakah kita akan ikut seperti mereka dijaman ini? saya rasa kita tidak harus tega membiarkan generasi pemeluk Hindu tidak cerdas.
Beragama tidak cukup hanya dengan;
Buat banten, Pakaian adat, Datang ke Pura, mebakti, selesai lalu pulang. Bahkan Judi di Pura (tajen)
Inilah yang banyak saya temui pada Hindu di Bali saat ini.

Lalu mengapa kita tidak berfikir andai saja dana jutaan untuk upakara itu diperuntukan membuat terjemahan dari kitab kita, menyebarkannya kepd msyarakat di pedesaan, mempelajari, mengambil filosofinya yg benar, lalu mulai mengamalkannya kepada masyarakat sekitar,seluruh desa, kecamatan, kabupaten, kodya, provinsi, negara dan dunia bukankah ini akan lebih bagus?. Bukankah belajar itu adalah ibadah/bhakti?? (saya rasa sloka diatas mengarah kesana dech bro..)

Jangan cuman pura yg dipercantik, upakara yg megah,habiskan ratusan juta, sedangkan umat Hindu minim dengan pendidikan,pengetahuan kitabnya, bahkan gak ada kitab dirumah kita, dan ketika bergaul dengan masyarakat yg plural, ketika ditanya masalah agamanya, maka terkadang dijawab "emang gitu" atau dengan emosional, atau bahkan berpaling ke agama lain. Dan ini banyak terjadi pada masyarakat disekitar saya di daerah saya di Sul-Bar. sayang kan...

Selama saya merantau di Makassar, saya sangat kagum dengan seorang tukang tambal ban di pinggir jalan(non hindu). Sekalipun dia sebagai seorang tambal ban, namun dia juga memiliki sebuah kitab Suci, dan pada saat dia menambal ban dia pun sempat mengajarkan isi kitabnya kepada anaknya yg masih berumur sekitar 4 tahunan.
Begitu pula ketika saya jalan2 kerumah teman saya, disetiap KK (kepala keluarga) pasti memiliki kitabnya.(begitulah umat lain mendidik umatnya)

Lalu apakah umat kita sudah memiliki kitab kita? saya rasa belum. anda boleh cross check di Bali, jika anda tinggal di bali. terutama dipedesaan tuh bro..
Oya, di pelosok2 daerah transmigrasi juga, kebetulan dulu saya ikut trans sama bapak saya(alm) di Mamuju.
Harusnya, ini menjadi hal yg perlu difikirkan olleh pemeluk hindu.
Kan buanyaaak tuh org2 hindu yg kaya di bali. Dibandingkan sumbang dana untuk ritual yg mewah/pura yg mewah, kan lebih baik dananya dialihkan untuk pendidikan/mencerdaskan Hindu berdasarkan ajaran Weda. Bukan adat bali. ingat Weda/Hindu yg sesungguhnya.
Sehingga Hindu dapat diterima oleh semua suku di indonesia/dunia, dengan berprinsip yaitu Weda. Tidak harus seragam seperti umat lain, tetapi benar2 mengetahui bagaimana Hindu&kitabnya, jadi tidak akan mudah di rekrut oleh umat lain. tetapi malah sebaliknya. Ini terbukti. mantan dosen saya juga demikian. So mart about Hinduism.

Ini bukan kecaman, tetapi adalah sebuah keresahan saya tyerhadap Hindu yg semakin minim, kurangnya pengetahuan Agamanya, semakin mudah berpindah ke agama lain, yg dirasa lebih praktis..
Mohon ditanggapi secara dingin, jangan marah2 dech.., I think you're a smart Hinduism.
Saya juga bukan ahli Hindu, tetapi cinta Hindu, & ingin tau Buanyaaaaak tentang Hindu, semoga anda membantu saya.

Mari Mencerdaskan Hindu...
 
@Divka HD

Command saya;
Hindu di Bali memang sangat terkait dgn banten. kalau menurut saya, itu memang warisan dari nenek moyang kita. Dijaman itu Weda hanya boleh dibaca oleh org2 bangsawan, karena mereka takut jika martabat bangsawannya akan jatuh. Karena Weda mengajarkan "kesamaan kodrat manusia." hanya dibedakan berdasarkan Karma untuk mencapai Brahman. Seni&budaya memang tiada duanya di dunia ini.
Saya bukan bermaksud melupakan hal ini, tetapi kita kan harus cerdas, setidaknya bisa membedakan Hindu&Budaya Bali. jangan ada Hindu Bali/india/jawa,dsbg.
Agama Hindu Dharma yang ada di Indonesia boleh dibilang lahirnya di Bali demikian juga tempat suci yang disebut Pura lahir di Bali. Sehingga bila ada pembangunan Pura / Padmasana di luar bali harus mengikuti tata upacara yang ada di Bali baca HIndu Dharma = Siwa Budha

Beranjak dari warisan itu, dikaitkan pula mitos2 di Bali. Kurangnya pemahaman membuat pemeluk Hindu di Bali selalu takut akan hal itu.(terutama yg minim ttg pemahaman kitabnya). Warisan itu bahkan masih dipahami saat ini. padahal bangsa sudah mengutamakan pendidikan.
Hindu Dharma yang ada sekarang ini adalah sama dengan Agama Siwa Budha yang ada pada jaman Majapahit dan satu-satunya yang masih bertahan di Nusantara adalah di Tanah Bali.

Justru Hindu Dharma seperti Bali bagi saya adalah suatu yang sangat sempurna, dari pada hanya menekankan jalan “Ilmu Pengetahuan”.

Karena Hindu Dharma seperti yang ada di Bali sudah melebur Konsep Catur Marga menjadi sesuai yang dengan kesadaran sendiri untuk melakukan Panca Yadnya atau Panca Maha Yadnya dan tidak melupakan untuk menjalankan Panca Sradanya yaitu meningkatkan Ilmu Pengetahuannya.

Catur Marga Yoga

  1. Bhakti Marga Yoga ; Menyatukan diri kepada Tuhan berdasarkan cinta kasih yang mendalam dengan mekakai sarana. Bhakti kepada Tuhan dalam wujud yang abstrak dengan mengandalkan fikiran dan Bhakti kepada Tuhan dalam wujud nyata, misalnya mempergunakan nyasa atau pratima berupa arca atau mantra , akan lebih mudah untuk mewujudkan rasa bahktinya (tetapi itu belum nyata).
  2. Karma Marga Yoga; Mengatukan diri kepada Tuhan melalui perbuatan mulia dan bermanfaat tanpa pamerih. Karma atau tindakan terdapat tiga macam bentuk sikap yaitu : (1) Karma yaitu perbuatan baik, (2) Akarma yaitu perbuatan tidak berbuat, (3) Wikarma yaitu perbuatan yang keliru. Apa yang diharapkan dari Karma Marga Yoga adalah tercapainya tujuan yang merupakan semua benua yaitu moksa atau siddhi (kesempurnaan). Karma dalam hal ini yang dimaksud adalah Karma dalam arti ritual atau Yadnya dan Karma dalam arti tingkah laku perbuatan.
  3. Jnana Marga Yoga; Mengatukan diri dengan Tuhan dengan mengamalkan Ilmu suci. Melalau jalan ini kita akan mengetahui ada dua hakekat, yaitu Purusa sebagai aspek transcendental (asal semua ciptaan) dan Prakrti (pradhana) sebagai aspek numena atau materi atau sifat empiris. Pada hakekatnya Prakrti dalam proses menjadinya sampai pada benda bateri dengan sifat dasarnya Bhumi (Prthiwi), Apah, Teja (Agni, Anala), Bayu, Khan (Akasa). Disamping itu Manah, Buddhi dan Ahamkara. Semua makhluk adanya berasal dari garba Tuhan. Tuhan adalah asal mula dan peleburnya alam semesta ini. Tuhan mengejawantah di dalam hukum-hukum alam, Hukum RTA yang mengatur alam dan Hukum KARMAPALA yang mengatur perbuatan manusia.
  4. Raja Marga Yoga; Berusaha menyatu dengan Tuhan dengan melakukan Brata, Tapa, Yoga dan Semadi.
Dari semua Yoga diatas Tuhan sebagai poros dari semua ciptaan dan kebhaktian.

Setiap orang bebas memilih salah satu dari keempat jalan ini, sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing, tidaklah mesti orang harus berpegangan pada satu marga Yoga saja, bahkan keempatnya itu hendaknya digerakkan secara harmonis seperti halnya seekor burung.

Kalau diumpamakan bahwa sayap kiri dari burung adalah Jnana Marga, maka sayap kanannya adalah Bhakti Marga. Seekor burung akan bisa melayang dengan baik kalau sayap kiri dan akannya seimbang.

Burung tidak akan bisa mencapai tujuanya yang dikehendaki walaupun memiliki daya dorong yang kuat.

Kemudian sayap ekor yang berfungsi sebagai kemudi mengarahkan sebaik-baiknya supaya jangan terbangnya menyimpang dari tujuan.

  1. Bhakti Marga Yoga, mengutamakan penyerahan diri dan mencurahkan rasa;
  2. Karma Marga Yoga, mengutamakan kerja tanpa pamerih untuk kepentingan diri sendiri, dengan mengutamakan pengabdian sebagai motivator dari geraknya;
  3. Jnana Marga Yoga, mengutamakan akal yang membangkitkan kesadaran;
  4. Raja Marga Yoga mengajarkan pengendalian diri dan konsetrasi.
Manusia yang akalnya hebat tetapi tanpa rasa adalah sama dengan Komputer atau Mesin, sebaliknya orang yang rasa (emosinya) tinggi tanpa diimbangi dengan akal, akan menjadi “kedewan-dewan”, bhakti dan jnana sangat perlu hebat tetapi harus seimbang.

Akal yang hebat dan rasa yang kuat akan sangat berguna kalau dapat diarahkan ke suatu tujuan yang baik, sebab itu diperlukan konsentrasi supaya jangan menyimpang dari arah (Raja Marga Yoga).

Kalau akal dan rasa sudah seimbang arah sudah terpusat maka orang akan bisa mencapai prestasi yang sangat tinggi.

Prestasi yang tinggi kalau digunakan untuk kepentingan diri sendiri akan membahayakan, oleh sebab itu perlu kehebatan yang dimiliki oleh manusia itu diabdikan untuk kepentingan orang banyak (Karma Marga).

Demikianlah akal dan rasa dipadukan secara seimbang, tekad yang kuat dan terkendalikan serta terarah ditujukan untuk ‘Dharma’ (pengabdian).

Inilah tingkat kesucian, dia yang telah sampai ditingkat ini, walau maut tiga, tiada bingung lagi dan mencapai Nirwana bersatu dengan Brahman.


Sudah saatnya kita sebagai Hindu harus cerdas memahami apa tingkatan Bhakti yg harus kita pilih, bagaimana ajaran dari kitab kita, Seperti yg dijelaskan diatas intinya adalah "Ilmu Pengetahuan".
Justru Hindu Dharma sudah cerdas memberikan keleluasaan untuk umatnya melakukan jalan Bhaktinya sesuai kemampuannya.

Untuk mencapai maksud saudara semestinya lembaga umat atau dimulai dari lembaga masyarakat / ska taruna misalnya memberikan bingkisan Kitab Suci kepada generasi yang sudah memasukan berumah tanggal. Tentu harus didukung dengan penerbitan-penerbitan buku juga. Budaya membaca atau membentuk perpustakaan di Pura misalnya perlu dibangun.

Jika dulu nenek moyang kita memilih bhakti dengan banten ya wajar&benar sekali, karena mereka belum mengenyam pendidikan. Bahkan, Saya pernah mendpat mitos begini&menjadi pertanyaan besar saya;
Kebetulan Bapak saya meninggal skitar 3 bln yg lalu, ketika ditanya ke dasaran, katanya kakek dari kakenya bapak saya(udah gak kenal) pernah berhutang senilai telor, karena tdk dibayar ningkatlah jadi ayam, guling, lalu nyawa bapak saya yg diambil.
Beginikah kualitas Umat kita??? atau bagaimana menurut anda, masa seh leluhur kita sekejam itu??
saya yakin inilah yg banyak dipahami oleh sebagian besar Umat kita. terutama yg minim pendidikan hindu.
Banten / Yadnya tidak ada kaitan dengan mitos, itu adalah murni sebagai bentuk Yantra dan terkait erat dengan Panca Yadnya atau Panca Maha Yadnya yang semuanya berdasarkan Weda.
Saya yakin Banten akan mengikuti perkembangan jaman.

Contoh: Seperti misalnya saat terjadi Tawur Kesangat, itu merupakan bentuk yadnya terhadap keharmonisan alam. Jadi upacara itu tidak memandang agama apapun. Jadi doa Brahmana dan Banten / persembahan yang dilakukan bersifat universal untuk keharmonisan alam semesta. Semua mahluk akan secara tidak langsung menikmati hasilnya tidak memandang agama apapun, walaupun hanya umat Hindu yang melakukan. Jadi Banten bersifat universal.

Melakukan upacara-upacara / Nyadnya yang aneka ragam dan banyak dapat mengantarkan kearah kebahagiaan dan kekuatan.

Terkait Leluhur
Lontar Gayatri dinyatakan saat orang meninggal rohnya disebut Preta.
Setelah melalui prosesi upacara ngaben roh tersebut disebut Pitra.
Setelah melalui upacara Atma Wedana dengan Nyekah atau Mamukur roh itu disebut Dewa Pitara.
Upacara ngaben dan upacara Atma Wedana digolongkan upacara Pitra Yadnya.

Sedangkan upacara Ngalinggihang atau Nuntun Dewa Hyang dengan menstanakan Dewa Pitara di Pelinggih Kamulan sudah tergolong Dewa Yadnya.

Roh yang disebut Dewa Pitara itu adalah roh yang telah mencapai alam Dewa. Karena Hyang Atma yang sudah mencapai tingkatan Dewa Pitara diyakini setara dengan Dewa Sang .

Dewa Pitara yang distanakan di Pelinggih Kamulan itu disebut Batara Hyang Guru.

Atman menjadikan Hyang Guru adalah melalui proses upacara ngaben, mamukur dan Nuntun Dewa Pitara.

Proses upacara tersebut sebagai simbol untuk melepaskan Atman dari selubung Panca Maya Kosa.

Dengan demikian Atman yang pada hakikatnya Brahman itu langsung tanpa halangan Panca Maya Kosa dapat menjadi Guru dan umat sekeluarga.

Pentingnya pemujaan Batara Hyang Guru di Kamulan.
Pemujaan leluhur dalam tradisi Hindu Dharma di Bali, baik buruk, lebih kurang dari leluhur itu harus diterima sebagai warisan.

Baiknya harus diupayakan untuk terus dipertahankan bahkan dikembangkan eksistensinya supaya lebih berguna bagi kehidupan selanjutnya.

Sedangkan buruk dari berbagai kekurangan dari leluhur itu harus direduksi agar tidak berkembang merusak kehidupan selanjutnya, seperti yang dialami oleh Bapak saudara.

Karena Hindu Dharma percaya dengan Punarwaba / Hukum Karma (baca : http://indoforum.org/showthread.php?t=37330)


Lalu apakah kita akan ikut seperti mereka dijaman ini?
saya rasa kita tidak harus tega membiarkan generasi pemeluk Hindu tidak cerdas.
Saya kira orang Hindu Dharma di Bali akan mengikuti, karena itu jalan yang paling sempurna dan sesuai dengan ruang dan waktunya.

Hindu Dharma sudah memiliki proses Check In dan Check Out yang jelas dan Weda selalu melandasinya.

Beragama tidak cukup hanya dengan;
Buat banten, Pakaian adat, Datang ke Pura, mebakti, selesai lalu pulang. Bahkan Judi di Pura (tajen) Inilah yang banyak saya temui pada Hindu di Bali saat ini.
Hindu Dharma di Bali sudah melakukan semua jalan yang ditentukan oleh Weda (Catur Marga), karena Panca Srada, Panca Yadnya dan Panca Maha Yadnya mereka jalankan.

Sementara kalau jalan ‘Ilmu Pengetahuan’ saja yang ditempuh tentu baru 1/2 saja yang dijalankan dari petunjuk Weda.

Lalu mengapa kita tidak berfikir andai saja dana jutaan untuk upakara itu diperuntukan membuat terjemahan dari kitab kita, menyebarkannya kepd msyarakat di pedesaan, mempelajari, mengambil filosofinya yg benar, lalu mulai mengamalkannya kepada masyarakat sekitar,seluruh desa, kecamatan, kabupaten, kodya, provinsi, negara dan dunia bukankah ini akan lebih bagus?. Bukankah belajar itu adalah ibadah/bhakti?? (saya rasa sloka diatas mengarah kesana dech bro..)
Jangan cuman pura yg dipercantik, upakara yg megah,habiskan ratusan juta, sedangkan umat Hindu minim dengan pendidikan,pengetahuan kitabnya, bahkan gak ada kitab dirumah kita, dan ketika bergaul dengan masyarakat yg plural, ketika ditanya masalah agamanya, maka terkadang dijawab "emang gitu" atau dengan emosional, atau bahkan berpaling ke agama lain. Dan ini banyak terjadi pada masyarakat disekitar saya di daerah saya di Sul-Bar. sayang kan...
Hal ini saya setuju, karena konsep yadnya untuk alam / lingkungan yang porsinya sangat besar, sudah semestinya mulai melakukan menjalankan rasa bhaksi / cita kasih dengan melakukan Yadnya untuk masalah social.


Selama saya merantau di Makassar, saya sangat kagum dengan seorang tukang tambal ban di pinggir jalan(non hindu). Sekalipun dia sebagai seorang tambal ban, namun dia juga memiliki sebuah kitab Suci, dan pada saat dia menambal ban dia pun sempat mengajarkan isi kitabnya kepada anaknya yg masih berumur sekitar 4 tahunan. Begitu pula ketika saya jalan2 kerumah teman saya, disetiap KK (kepala keluarga) pasti memiliki kitabnya.(begitulah umat lain mendidik umatnya)
Saya akui kegundahan saudara kita yang diluar Bali, bagaimana lingkungan/social dan jalan ‘Ilmu Pengetahuan’ bersaing ketat.

Untuk perkembangan selanjutnya masyarakat Hindu Dharma di Bali pun sudah mulai meningkatkan ‘Jalan Pengetahuan’, karena Bali sudah ‘bopeng’ akibat gempuran pengaruh asing. Tapi saya yakin masyarakat Hindu Dharma di Bali akan mampu menyesuaikan diri terhadap perkembangan jaman.

Lalu apakah umat kita sudah memiliki kitab kita?
saya rasa belum. anda boleh cross check di Bali, jika anda tinggal di bali. terutama dipedesaan tuh bro..
Maka solusi seperti membentuk perpustakaan Pura dan mulai membangun budaya membaca, serta memberi bingkisan-bingkisan kitab/buku saat teman melangsungkan pernikahan misalnya adalah sebagin bentuk membudayakan untuk pada akhirnya setiap keluarga akan memiliki kitab suci / buku agama.

Oya, di pelosok2 daerah transmigrasi juga, kebetulan dulu saya ikut trans sama bapak saya(alm) di Mamuju.
Harusnya, ini menjadi hal yg perlu difikirkan olleh pemeluk hindu.
Kan buanyaaak tuh org2 hindu yg kaya di bali. Dibandingkan sumbang dana untuk ritual yg mewah/pura yg mewah, kan lebih baik dananya dialihkan untuk pendidikan / mencerdaskan Hindu berdasarkan ajaran Weda. Bukan adat bali. ingat Weda/Hindu yg sesungguhnya.
Sehingga Hindu dapat diterima oleh semua suku di indonesia/dunia, dengan berprinsip yaitu Weda. Tidak harus seragam seperti umat lain, tetapi benar2 mengetahui bagaimana Hindu&kitabnya, jadi tidak akan mudah di rekrut oleh umat lain. tetapi malah sebaliknya. Ini terbukti. mantan dosen saya juga demikian. So mart about Hinduism.
Hindu Dharma sudah memiliki Majelis Lembaga Umat yang tentunya sudah saatnya memprogram dan mengalokasikan biaya untuk hal-hal seperti ini, kira-kira gitu ya bro.

Ini bukan kecaman, tetapi adalah sebuah keresahan saya tyerhadap Hindu yg semakin minim, kurangnya pengetahuan Agamanya, semakin mudah berpindah ke agama lain, yg dirasa lebih praktis..
Saya rasa semua orang Hindu akan merasakan seperti ini, manakala mereka sudah asing dari system Hindu Dharma seperti yang ada di Bali. Maka jalan Jnana dan Yoga merupakan jalan yang harus ditempus.
Karena ruang dan waktu untuk melakukan proses Panca Yadnya dan Panca Maha Yadnya tidak memungkinkan.

Jadi Hindu Dharma sangat cerdas terhadap umatnya untuk melakukan Bhaktinya.

semoga pikiran baik datang dari segala arah
 
@Divka HD
Terserah apa pun pemikiran anda tentang banten ataupun tentang Hindu Bali...
Yg jelas Sesuhunan sudah mapica ketelan bahwa "banten mulihnia ring sajeroning Weda..."
Saya tidak akan pernah melepas bebantenan!
Anda tidak menyetujui banten karena anda belum mengenal banten dan filosofinya...
seperti kata pepatah "Tak kenal maka tak sayang..."
Saran saya utk anda kenali dahulu bebantenan..karena saya yakin anda belum mengenal banten...dan bahkan anda pernah menyebutkan banten itu tidak berlandaskan kitab Catur Weda...padahal kenyataan yg sebenarnya justru sebaliknya...

Leluhur kita yg telah mewariskan Hindu Bali kepada kita adl orang2 jenius dan suci...
Mereka mewariskan konsep-konsep yg matang!
kita gak perlu lagi ngutak-atik konsep ini..ntar konsep yg matang ini malah hangus!
Mendingan kita pelajari dan hayati!

Sesuhunan mapica ketelan >>
Meagama punika : "Cening jagi keparikosa Titiang mangda cening prasida dados manusa sane mawiguna, manusa sane nginutin sesana siku sepat uger-uger..."
artinya "beragama itu artinya kita dipaksa oleh Tuhan agar bisa menjadi manusia yg berguna dan mengikuti aturan2 Beliau dan aturan2 dlm masyarakat berlandaskan atas moral dan etika."
Kalo kita takut keluar duit mendingan jgn beragama..jadi agnostic aj!
Kalo takut mati mendingan gak usah hidup..
Kalo kita menginginkan yg terbaik maka usahakan yg terbaik...


HORMATILAH DAN LESTARIKAN WARISAN LUHUR PARA LELUHUR KITA...

Bukankah jagat Bali Dwipa saat ini kerta rahayu dibandingkan dengan daerah2 lain di Indonesia??
 
@goesdun

KITA GAK BOLEH MENINGGALKAN BANTEN....

MARI KITA JAGA DAN LESTARIKAN BEBANTENAN.....
 
sorry nih kok isa double ya......... ?????
pake yang dibawah aja ah............ :D :D
 
saryan dravyamayad yajnaj
jnananayajnah parantapa
sarvam karma 'khilam parta
jnane perisamapate

Persembahan berupa ilmu-pengetahuan, parantapa lebih
bermutu daripada persembahan materi; dalam keseluruhannya semua kerja ini berpusat pada ilmu-pengetahuan, oh parta=Arjuna.
(bhagavadgita, IV.33)

Benar banget broo Divka...... tapi ingat
Ilmu Pengetahuan tanpa dipraktekkan/ diterapkan itu juga suatu dosa, karena persembahan berupa ilmu pengetahuan mempunyai implikasi bahwa “ yadnya dilandasi oleh Tattwa “
Bila kita kaitkan dengan upacara dan banten, sepatutnya kita tau makna/arti kegiatan sebuah/suatu upacara dan banten , jadi ga asal buat atau sekedar melaksanakan ritual upacara tanpa tau apa maksud dan tujuannya ditinjau dari tatwa ( ilmu pengetahuan )
Perlu diingat pameo yg bijak ini :
” Teori tanpa praktek itu lumpuh, Praktek tanpa teori itu Buta ”
Jadi Yadnya ( lewat Upacara dan Banten ) dengan Tatwa ( ilmu Pengetahuan ) itu harus bergandengan, ga bisa jalan sendiri2.

Bukankah dalan Bhagavadgita Shri Krshna bersabda :
Bekerjalah engkau, namun jangan terikat oleh hasil
Karena sekali Aku tidak bekerja maka dunia ini akan Hancur

Bukankah Sabda Beliau merupakan konsep Karma Marga yang diwujudkan oleh umat Hindu khususnya di Bali melalui Upacara dan Banten

Command saya;
Hindu di Bali memang sangat terkait dgn banten. kalau menurut saya, itu memang warisan dari nenek moyang kita. Dijaman itu Weda hanya boleh dibaca oleh org2 bangsawan, karena mereka takut jika martabat bangsawannya akan jatuh. Karena Weda mengajarkan "kesamaan kodrat manusia." hanya dibedakan berdasarkan Karma untuk mencapai Brahman. Seni&budaya memang tiada duanya di dunia ini.
Saya bukan bermaksud melupakan hal ini, tetapi kita kan harus cerdas, setidaknya bisa membedakan Hindu&Budaya Bali. jangan ada Hindu Bali/india/jawa,dsbg.

Wah.....rupanya pemikiran bro Divka di pengaruhi oleh opini dari non Hindu dalam usahanya mendiskreditkan Hindu “ Weda hanya boleh dibaca oleh Orang2 Bangsawan, karena mereka takut jika martabat bangsawannya akan jatuh “
Saya yakin anda telah belajar sejarah, sehingga anda bisa tau bagaimana kehidupan jaman itu dimana ekonomi dan kekuasaan (politik) dikuasai oleh Raja / pejabat kerajaan beserta keluarga ( kaum Ksatria) secara otomatis kehidupan mereka sangat mapan dan makmur. Disamping mereka para Brahmana juga mempunyai status yang istimewa ( mereka menjadi guru, penasehat ,pembimbing bagi Raja&pejabat sekaligus Rakyat kebanyakan )
Sedangkan Rakyat kebanyakan berprofesi sebagai petani dan beberapa menjadi pengusaha/pedagang. Terbayang kan bagaimana ekonomi mereka ?
Apakah cara mempelajari Weda hanya dengan membacanya ?
Sempatkah orang membaca Weda saat perut mereka lapar atau ekonomi morat-marit ? :-/
Kita mengenal konsep Tri Pramana.
Dari sana kita tau bahwa dalam mendalami Dharma banyak alternatifnya, apakah membaca langsung atau mendengar dari orang yang telah menguasai
Weda itu ga seperti novel dimana setiap orang bisa membaca dan mudah memahaminya, Weda penuh dengan kodefikasi
Sebelum membaca Weda ( catur Weda ; Sruti ) seseorang disarankan mempelajari kitab2 pendukung ( smerti ) terlebih dahulu semacam Vedangga, upaveda,Dharmasatra, itihasa , purana dsbnya dan melalui bimbingan Guru2 suci, setelah mapan secara spritual barulah mereka dipersilahkan membaca Weda ( catur Weda ; Sruti )
Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadi interprestasi yang keliru oleh orang awam/ kebanyakan.

Beranjak dari warisan itu, dikaitkan pula mitos2 di Bali. Kurangnya pemahaman membuat pemeluk Hindu di Bali selalu takut akan hal itu.(terutama yg minim ttg pemahaman kitabnya). Warisan itu bahkan masih dipahami saat ini. padahal bangsa sudah mengutamakan pendidikan.

Ingat Bro..... Weda lebih takut sama orang bodoh (Awidya) ;;)

Sudah saatnya kita sebagai Hindu harus cerdas memahami apa tingkatan Bhakti yg harus kita pilih, bagaimana ajaran dari kitab kita, Seperti yg dijelaskan diatas intinya adalah "Ilmu Pengetahuan".
Jika dulu nenek moyang kita memilih bhakti dengan banten ya wajar&benar sekali, karena mereka belum mengenyam pendidikan.

Betul banget bro kita semua harus cerdas, namun ingat Weda sendiri memberikan pilihan jalan mana yang ditempuh untuk menuju ke arah Beliau ( Tuhan ) sesuai dengan kemampuan, memang Jnana menduduki posisi Utama, tapi apakah semua orang bisa melakukannya ?
Ente mengatakan Weda mengajarkan "kesamaan kodrat manusia." Itu benar, tapi apakah kemampuan otak manusia semua itu sama, tidak bukan ? :D

Bahkan, Saya pernah mendpat mitos begini&menjadi pertanyaan besar saya;
Kebetulan Bapak saya meninggal skitar 3 bln yg lalu, ketika ditanya ke dasaran, katanya kakek dari kakenya bapak saya(udah gak kenal) pernah berhutang senilai telor, karena tdk dibayar ningkatlah jadi ayam, guling, lalu nyawa bapak saya yg diambil. Beginikah kualitas Umat kita??? atau bagaimana menurut anda, masa seh leluhur kita sekejam itu?? saya yakin inilah yg banyak dipahami oleh sebagian besar Umat kita. terutama yg minim pendidikan hindu.

Dasaran itu bukan ahli Agama tapi penekun Supranatural, kita mau percaya ato ga kembali ama pribadi masing2 kok bawa-bawa Agama ??? :-O

Lalu apakah kita akan ikut seperti mereka dijaman ini? saya rasa kita tidak harus tega membiarkan generasi pemeluk Hindu tidak cerdas.
Beragama tidak cukup hanya dengan;
Buat banten, Pakaian adat, Datang ke Pura, mebakti, selesai lalu pulang. Bahkan Judi di Pura (tajen)
Inilah yang banyak saya temui pada Hindu di Bali saat ini.

Kita ga harus ikut kok, yang perlu dilakukan adalah meningkatkan Jnana sehingga tidak terjadi penyimpangan pelaksanaan dan pemahaman terhadap pelaksanaan Upacara dan Banten, bukan meninggalkan begitu saja praktek2 keagamaan yang telah dilakukan dari dulu,teruskan tradisi yang baik tinggalkan yang buruk ( kita bisa menilai jika Jnana kita sudah mapan ) bukan berarti semua tradisi harus dihapus.......

Lalu mengapa kita tidak berfikir andai saja dana jutaan untuk upakara itu diperuntukan membuat terjemahan dari kitab kita, menyebarkannya kepd msyarakat di pedesaan, mempelajari, mengambil filosofinya yg benar, lalu mulai mengamalkannya kepada masyarakat sekitar,seluruh desa, kecamatan, kabupaten, kodya, provinsi, negara dan dunia bukankah ini akan lebih bagus?. Bukankah belajar itu adalah ibadah/bhakti?? (saya rasa sloka diatas mengarah kesana dech bro..)


Bro Divka tahu Catur Purusha Artha kan ? Dharma Artha Kama Moksa
Jika hal itu telah dikuasai dan dipahami maka semua orang akan tau bagaimana mereka harus mengalokasikan Dana mereka

Jangan cuman pura yg dipercantik, upakara yg megah,habiskan ratusan juta, sedangkan umat Hindu minim dengan pendidikan,pengetahuan kitabnya, bahkan gak ada kitab dirumah kita, dan ketika bergaul dengan masyarakat yg plural, ketika ditanya masalah agamanya, maka terkadang dijawab "emang gitu" atau dengan emosional, atau bahkan berpaling ke agama lain. Dan ini banyak terjadi pada masyarakat disekitar saya di daerah saya di Sul-Bar. sayang kan...

Untuk yang satu ini Gw setuju ma ente...... :x

Selama saya merantau di Makassar, saya sangat kagum dengan seorang tukang tambal ban di pinggir jalan(non hindu). Sekalipun dia sebagai seorang tambal ban, namun dia juga memiliki sebuah kitab Suci, dan pada saat dia menambal ban dia pun sempat mengajarkan isi kitabnya kepada anaknya yg masih berumur sekitar 4 tahunan.
Begitu pula ketika saya jalan2 kerumah teman saya, disetiap KK (kepala keluarga) pasti memiliki kitabnya.(begitulah umat lain mendidik umatnya)
Lalu apakah umat kita sudah memiliki kitab kita? saya rasa belum. anda boleh cross check di Bali, jika anda tinggal di bali. terutama dipedesaan tuh bro..
Oya, di pelosok2 daerah transmigrasi juga, kebetulan dulu saya ikut trans sama bapak saya(alm) di Mamuju.


Kitab yang mana maksudnya broo ?? Weda kan tidak hanya satu kitab
Mungkin yang ente maksud adalah semacam Bhagavadgita atau saramuscaya dan buku2 agama seperti Upadesa, niti sastra ??? :-/
Ya memang harus kita akui minat baca/ belajar di kalangan umat kita masih rendah naum gw optimis generasi muda macam kita2 di forum ini punya keinginan kuat tuk belajar sastra Agama.
Namun gw kurang setuju jika pembelajaran Agama terutama oleh orang tua kepada anaknya harus dilakukan dengan mengutip isi Kitab secara tekstual, lebih bagus jika si Ortu memahami lebih dahulu lalu dijelaskan dengan bahasa sehari2 yg mudah dimengerti oleh si anak

Harusnya, ini menjadi hal yg perlu difikirkan olleh pemeluk hindu.
Kan buanyaaak tuh org2 hindu yg kaya di bali. Dibandingkan sumbang dana untuk ritual yg mewah/pura yg mewah, kan lebih baik dananya dialihkan untuk pendidikan/mencerdaskan Hindu berdasarkan ajaran Weda. Bukan adat bali. ingat Weda/Hindu yg sesungguhnya.


Yang mewajibkan semua umat Hindu untuk menjalani kehidupan beragama secara adat Bali siapa Ya.............
Apakah selama ini Umat Hindu di Bali memaksakan adat istiadat mereka kepada umat Hindu yang non Bali ga kan ?? :-O :-O :-O

Sehingga Hindu dapat diterima oleh semua suku di indonesia/dunia, dengan berprinsip yaitu Weda. Tidak harus seragam seperti umat lain, tetapi benar2 mengetahui bagaimana Hindu&kitabnya, jadi tidak akan mudah di rekrut oleh umat lain. tetapi malah sebaliknya. Ini terbukti. mantan dosen saya juga demikian. So mart about Hinduism.

Broo Divka klo Hindu ga dapat diterima oleh semua suku di Indonesia/ Dunia, bukankah saat ini Hindu seharusnya Cuma ada di India saja ??? :D

Ini bukan kecaman, tetapi adalah sebuah keresahan saya tyerhadap Hindu yg semakin minim, kurangnya pengetahuan Agamanya, semakin mudah berpindah ke agama lain, yg dirasa lebih praktis..
Mohon ditanggapi secara dingin, jangan marah2 dech.., I think you're a smart Hinduism.
Saya juga bukan ahli Hindu, tetapi cinta Hindu, & ingin tau Buanyaaaaak tentang Hindu, semoga anda membantu saya.
Mari Mencerdaskan Hindu...

Gw senang kok ada generasi muda Hindu yang punya pemikiran kritis
Yuuuk marilah kita menjadi Hindu yang cerdas >:D< >:D< >:D<
 
@goesdun

KITA GAK BOLEH MENINGGALKAN BANTEN....

MARI KITA JAGA DAN LESTARIKAN BEBANTENAN.....

Banten merupakan ciri keaslian dan kekhasan daerah Bali tanpa adanya pengaruh atau unsur campuran dari daerah lainnya.
Secara umum seperti objek-objek budaya, warisan budaya bersejarah dan kegiatan keagamaanya.

Pelestarian yang dinamis yang mengikuti perkembangan zaman dan perubahan, Namun nilai atau makna dari banten atau kegiatan yadnya masih terpelihara dengan baik sampai dengan generasi yang akan datang.
 
@sakradeva

Hahahahahaha....gw tadi juga double post!
kayaknya kita sama2 bersemangat...
tu wa tu wa tu wa....hos hos hos...maju jalan...
 
Menuju Hidup Sukses dengan Banten

BANTEN peras adalah salah satu simbol sakral dalam kehidupan beragama Hindu di Bali. Banten peras itu umumnya menjadi bagian dari banten soroan alit yang berfungsi sebagai banten tataban alit. Banten tataban alit terdiri atas Peras, Penyeneng, Tulung dan Sesayut. Dalam banten tersebut terkandung nilai-nilai universal yang dikemas dalam wujudnya yang sangat lokal Bali. Dalam Lontar Yadnya Prakerti dinyatakan: Peras ngarania prasidha Tri Guna Sakti. Artinya: Peras namanya sukses dengan kekuatan (kesaktian) Tri Guna. Tri Guna Sakti artinya dengan kekuatan atau dengan kemampuan Tri Guna. Kata Sakti dalam bahasa Sansekerta artinya mampu atau kuat. Sedangkan dalam Wrehaspati Tattwa, sakti itu artinya banyak ilmu dan banyak kerja.

Dalam Wrehaspati Tattwa dinyatakan, sakti ngarania sarwa jnyana muang sarwa karya. Dari penjelasan singkat lontar Yadnya Prakterti tersebut dapat kita pahami bahwa makna banten peras tersebut secara lebih luas. Makna banten peras tersebut adalah sebagai lambang kesuksesan. Artinya dalam banten peras tersebut terkemas nilai-nilai berupa konsep hidup sukses. Konsep hidup sukses itulah yang ditanamkan ke dalam lubuk hati sanubari umat lewat natab banten peras. Dalam banten peras itu sudah terkemas suatu pernyataan dan permohonan untuk hidup sukses serta konsep untuk mencapainya.

Tri Guna adalah tiga unsur dasar yang berada dalam alam pikiran manusia. Tiga unsur dasar tersebut sebagai dasar membentuk tiga sifat manusia.

Dalam lontar Tattwa Jnyana dinyatakan bahwa kalau Guna Sattwam dan Guna Rajah yang menguasai Citta atau alam pikiran manusia, maka manusia itu akan didorong sangat kuat untuk berniat baik dan juga berbuat baik. Guna Sattwam mendorong orang berniat baik dan Guna Rajah mendorong manusia untuk berbuat baik. Keadaan seperti itulah yang akan membawa Atman masuk sorga. Kalau alam pikiran itu dikuasai oleh Tri Guna secara seimbang, hal itulah yang menyebabkan orang menjelma ke dunia.

Keadaan itulah yang menyebabkan manusia melakukan Subha atau Asubha Karma. Artinya, mereka akan berada pada lingkaran berbuat baik dan buruk silih berganti.

Keadaan itu yang akan menyebabkan manusia akan berputar-putra pada penjelmaan berulang-ulang. Menjelma secara berulang-ulang dalam ajaran Hindu disebut samsara. Itu artinya perjuangan hidup di dunia ini belum berhasil. Hidup yang berhasil atau prasidha adalah hidup dengan menguatkan dominasi Guna Sattwam dan Guna Rajah pada alam pikiran (Citta). Karena dua Guna tersebut akan menyebabkan manusia itu sangat aktif untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya dan juga mewujudkannya dalam kerja segala ilmu yang mampu diraihnya. Aktif mengembangkan ilmu pengetahuan dan aktif pula mewujudkan ilmu pengetahuan tersebut dalam praktik kehidupan. Itulah konsep hidup sukses, itulah nilai universal yang dikandung dalam banten peras yang wujudnya sangat lokal Bali.

Meskipun kita setiap hari atau setiap ada upacara sangat rajin natab banten peras, kalau berhenti pada membuat dan natab saja maka tidak ada hidup sukses yang kita jumpai. Natab banten peras adalah suatu proses ritual yang sakral. Prosesi itu harus dibarengi dengan keyakinan bahwa hal itu memiliki makna magis religius yang bersifat niskala. Selanjutnya kekuatan magis religius itu harus dilanjutkan dengan upaya sekala dengan menggunakan daya nalar yang serius. Jadi hidup sukses itu haruslah menyatukan proses magis religius yang bersifat niskala dengan daya nalar yang bersifat sekala dengan menonjolkan akal budhi.

Upaya selanjutnya untuk membangun hidup sukses adalah dengan cara membangun kekuatan Guna Sattwam dan Guna Rajah dalam diri agar mampu menguasai dan mengendalikan alam pikiran. Dalam Susastra Hindu banyak sekali kegiatan yang dapat dilakukan untuk menguatkan dominasi Guna Sattwam dan Rajah tersebut. Misalnya memilih makanan yang Satvika yaitu makanan yang berkualitas untuk menguatkan rohani. Mencari makanan dengan cara Guna Dharma. Artinya, bekerja sesuai dengan profesi. Mendapatkan makanan dengan cara yang jahat akan melemahkan kekuatan Sattwam dan Rajah. Melakukan pemujaan pada Tuhan setiap Raditya Dina untuk menguatkan Sattwam.

Madya Dina untuk mengarahkan Guna Rajah dan Sandhya Dina untuk meredam Guna Tamah. Menambatkan pikiran untuk mengingat mantram-mantram suci dan nama-nama Tuhan secara teratur dan konsisten. Melatih lidah untuk tidak mengucapkan ujar ahala, mithhya, pisuna dan aperggas. Artinya, hendaknya dari lidah kita jangan ada keluar kata-kata jahat, bohong, fitnah dan kasar. Jadinya dari natab banten peras itu kita sudah dapatkan konsep untuk membangun hidup sukses.
 
Boleh kah saya bertanya tentang Banten Pebersihan bangunan rumah
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.