• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Diskusi tentang Banten

goesdun

IndoForum Junior A
No. Urut
32661
Sejak
7 Feb 2008
Pesan
3.022
Nilai reaksi
66
Poin
48
Sahananing bebanten pinaka raganta tuwi,
pinaka warna rupaning Ida Bhatara,
pinaka andha buwana.
Sekare pinaka kasucian katulusan kayunta mayadnya,
Reringgitan tatuwasan pinaka kalanggengan kayunta mayadnya.
Raka-raka pinaka widyadhara widyadhari.
(Dipetik dari Lontar Yadnya Prakerti).
Maksudnya:
Semua banten lambang diri kita (manusia), lambang Kemahakuasaan Tuhan, lambang alam semesta. Bunga-bungaan lambang kesucian dan ketulusan melakukan Yadnya. Reringgitan dan tatuwasan (ukir-ukiran pada Banten) lambang kesungguhan pikiran melakukan Yadnya. Raka-raka (buah dan berbagai jajan perlengkapan banten) lambang para ilmuwan-ilmuwan sorga.



SWAMI Satya Narayana menyatakan setiap upacara agama Hindu (Weda) harus ada lima unsur yang bersinergi membangun kesucian upacara agama Hindu tersebut. Lima unsur tersebut adalah Mantra: doa pujaan yang dijadikan pengantar upacara oleh pandita atau pinandita. Tantra: niat dan hasrat suci yang kuat. Yantra: simbol-simbol yang penuh arti. Yadnya: laksana yang didasarkan pada keikhlasan yang tulus untuk berkorban, dan Yoga tercapainya hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, antara manusia dengan sesamanya dan antara manusia dengan alam lingkungan.

Dalam lima unsur tersebut, Yantra merupakan unsur yang ketiga. Banten adalah salah satu bentuk Yantra. Sebagaimana dinyatakan dalam Lontar Yadnya Parakerti yang dikutip di atas bahwa banten itu memiliki arti yang demikian dalam dan universal. Banten dalam upacara agama Hindu adalah wujudnya sangat lokal. Namun di dalamnya terkandung nilai-nilai yang universal.

Jadi, banten itu adalah bahasa untuk menjelaskan ajaran agama Hindu dalam bentuk simbol. Misalnya banten menurut Lontar Yadnya Prakerti adalah simbol ekspresi diri manusia. Misalnya banten peras dinyatakan lambang permohonan hidup untuk sukses dengan menguatkan Tri Guna (Peras Ngarania Prasidha Tri Guna Sakti). Ini artinya hidup sukses itu dengan memproporsikan dan memposisikan dengan tepat dinamika Tri Guna (Sattwam Rajas Tamas) sampai mencapai Sakti. Dalam pandangan umum masyarakat tentang pengertian Sakti sangat negatif.

Dalam bahasa Sansekerta, kata Sakti itu artinya mampu atau memiliki kemampuan, sedangkan dalam kitab Wrehaspati. 14 menyatakan sbb: Sakti ngarania ikang sarwajnya lawan sarwakarta. Artinya Sakti adalah orang yang memiliki banyak ilmu pengetahuan dan orang yang banyak berbuat baik. Artinya kata Peras saja demikian luhur dan mulia artinya. Demikian juga reringgitan dan tatuwasan dinyatakan sebagai lambang kelanggengan melakukan yadnya.

Langgeng artinya ketetapan hati untuk melakukan yadnya. Karena dalam melakukan yadnya itu umumnya akan berhadapan dengan berbagai godaan-godaan seperti kehidupan yang lain pada umumnya. Hanya pengertian yadnya inilah umumnya diartikan upacara agama saja. Padahal yadnya ini adalah dapat dilakukan dalam wujud yang lebih nyata dalam melakukan perbuatan mulia dan luhur. Baik dalam rangka memuja Tuhan, mengabdi dengan sesama umat manusia maupun dengan memelihara kesejahtraan alam (Bhuta Hita).

Penggunaan buah dan jenis-jenis makanan dijadikan rakan banten itu disebutkan dalam Lontar Yadnya Prakerti sebagai lambang Widyadara-Widyadhari. Kata Widya berarti ilmu pengetahuan dan Dhara artinya merangkul. Widyadhara artinya mereka yang mampu menguasai ilmu pengetahuan suci. Ilmu tersebut diwujudkan dalam perbuatan nyata. Ini artinya kalau rakan banten tersebut sebagai lambang Widyadhara-Widyadhari ini artinya buah-buahan dan berbagai jenis jajan itu mengandung makna agar rakan banten itu hasil sendiri dari pengembangan ilmu pengetahuan tersebut. Buah hasil kebun sendiri, jajan hasil kreasi sendiri. Hal itulah yang paling baik untuk dijadikan rakan banten.

Membeli buah dan jajan untuk rakan banten tentunya boleh-boleh saja. Lebih-lebih zaman modern umumnya orang pada sibuk dengan pekerjaannya sendiri-sendiri sesuai dengan profesi masing-masing. Namun, penggunaan rakan banten itu bermaksud untuk menuntun umat manusia agar mengkreasi ilmu yang dikuasainya untuk diabdikan kepada Tuhan melalui wujud pelayanan kepada sesama ciptaan Tuhan.

Banten itu bukanlah suguhan untuk makanan Tuhan. Banten itu adalah bahasa agama dalam bentuk simbol yang mona. Mona artinya diam. Banten itu memang diam sama dengan Aksara. Tetapi kalau kita coba ungkap dengan sabar, maka banten itu akan banyak menuturkan kita berbagai ajaran agama Hindu yang sesuai dengan konsep Weda dan kitab-kitab Sastranya. Lewat banten nilai Hindu dapat ditanamkan ke dalam lubuk hati secara motorik.

* I Ketut Gobyah
 
Banten Sebagai Penguatan Konsep Hidup
Oleh : Ni Made Wiratini, S.Ag
BANTEN merupakan visualisasi dari ajaran tattwa dan susila Hindu yang memiliki tujuan mengarahkan, menuntun manusia guna tumbuhnya sifat-sifat yang mulia dalam diri. Oleh sebab itu apa yang ada dibalik banten itu ternyata sangat kaya akan konsep hidup yang bersifat universal, yang wajib diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: Banten Peras, Banten ini lambang perjuangan hidup dan doa untuk mencapai kesuksesan (Prasiddha) dalam kehidupan ini.

Sebagai manusia normal kesuksesan dalam hidup merupakan dambaan setiap orang. Lalu apa yang harus dilakukan dalam meraih sukses tersebut. Dalam Banten Pras kesuksesan itu digambarkan dengan jelas sekali dinyatakan : " Pras Ngaranika Prasiddha Tri Guna Sakti ", artinya Pras namanya adalah sukses (Prasiddha) dengan kuatnya Tri Guna. Tri Guna itu adalah Sattwam, Rajas dan Tamas. Apabila ketiga Guna ini berada pada struktur dan komposisi yang idial, maka ia akan menjadi kekuatan luar biasa untuk mengantarkan seseorang menuju pada kesuksesan hidup. Struktur dan komposisi idial yang dimaksud adalah apabila guna Sattwam menguasai guna Rajas dan guna Tamas. Dalam Banten Pras ketiga guna ini disimbulkan dengan benang, uang dan beras. Benang sebagai lambang Sattwam, Uang sebagai lambang Rajas, dan Beras sebagai lambang Tamas.

Banten Penyeneng melambangkan konsep hidup yang berkeseimbangan, dinamis dan produktif. Hidup yang seimbang mengandung suatu arti bahwa tujuan hidup ini harus diselaraskan antara kebutuhan jasmani (material) dengan kebutuhan rokhani, dinamis mengandung arti bahwa dalam hidup ini manusia diwajibkan untuk tidak henti-hentinya mengejar kemajuan dan produktif artinya senantiasa berkarya atau mencipta yang patut diciptakan, memelihara yang patut di pelihara dan meniadakan sesuatu yang patut ditiadakan. Visualisasi dari konsep hidup yang tiga ini diwujudkan dengan bentuk sampian yang beruang tiga. Dalam usaha membangun konsep hidup ini maka manusia hendaknya memiliki pandangan yang benar. Benar dalam arti dilandasi oleh kesucian bathin. Kesucian bathin akan muncul manakala telah lenyapnya sifat-sifat negatif dalam diri. Dengan demikian barulah benih kesucian dapat disemaikan. Hal ini divisualisasikan dalam bentuk sarana yang disebut segawu tepung tawar dan beras.

Banten Tulung adalah suatu banten dengan tiga kojong yang berisi nasi dan lauk pauk dan rerasmen. Makna dari banten tulung ini adalah bahwa hidup ini saling memiliki ketergantungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan binatang, manusia dengan tumbuh-tumbuhan. Ini menggambarkan manusia disamping sebagai makhluk individu juga berdimensi sebagai makhluk social. Ciri makhluk sosial adalah memiliki kemampuan untuk bekerja sama dengan semua komponen yang hidup di muka bumi ini.

Banten Sesayut adalah suatu banten yang melambangkan perjuangan hidup manusia untuk meraih kesejahteraan dan kebahagiaan dalam hidup yang disebut ayu. Kesejahteraan dan kebahagiaan hidup ini tidak dapat diwujudkan sekaligus, melainkan diraih dengan cara bertahap sesuai bentuk alas dari sesayut itu yang berbentuk bulat maiseh. Oleh karena itu dalam wujud apa kesejahteraan dan kebahagiaan itu dimohonkan disesuaikan jenis sesayut atau tebasan yang ada. Itu sebabnya banyak ditemui jenis sesayut yang masing-masing mempunyai pengharapan yang mengkhusus.

Banten Dapetan adalah suatu banten yang memiliki makna untuk mencari, pengembangan kebajikan sehingga apa yang kita warisi baik dalam kehidupan ini maupun kehidupan yang akan datang merupakan proses karma kita dimasa lampau maupun karma dimasa kini. Untuk napet (mewarisi) yang baik manusia wajib pengembangan, serta menyemai kebajikan itu kepada semua orang dengan selalu berpegang kepada Satya. Jika hal ini senantiasa dilembagakan niscaya akan dipetik hasil atau buah yang baik.

Hal ini divisualisasikan dengan beras (bija) yang dicampur bunga kamboja atau cempaka (sesarik) sebagai lambang benih yang harus disemaikan, serta benang sebagai lambang kebenaran. Hal ini harus dikembangkan kesegala penjuru yang dilambangkan oleh alas sesarik yang berdimensi ke delapan penjuru mata angin. Dan masih banyak banten-banten lain yang merupakan pengejewantahan dari kebenaran ajaran Weda. **

Source : www.pontianakpost.com
 
Banten Sebagai Bahasa Simbol
Oleh : Ni Made Wiratini, S.Ag>
BANTEN dalam lontar Yajna Prakrti memiliki tiga arti sebagai simbol ritual yang sacral. Dalam lontar tersebut banten disebutkan: Sahananing Bebanten Pinaka Raganta Tuwi, Pinaka Warna Rupaning Ida Bhattara, Pinaka anda Bhuvana. Dalam lontar ini ada tiga hal yang dibahasakan dalam wujud lambang oleh banten yaitu : "Pinaka Raganta Tuwi" artinya banten itu merupakan perwujudan dari kita sebagai manusia. "Pinaka Warna Rupaning Ida Bhatara" artinya banten merupakan perwujudan dari manifestasi (prabhawa) Ida Hyang Widhi. Dan "Pinaka Andha Bhuvana" artinya banten merupakan refleksi dari wujud alam semesta atau Bhuvana Agung.

Memaknai banten sebagai Raganta Tuwi ini dapat dijabarkan berdasarkan pembagian dari tubuh manusia seperti Ulu atau Kepala (Utama Angga), Badan (Madhyama Angga), Kaki atau Suku (Nistama Angga). Jika dihubungkan dengan Tri Angga ini maka banten yang memiliki fungsi sebagai ulu adalah banten yang berada di Sanggar Surya maupun Sanggar Tawang. Banten yang berfungsi sebagai badan adalah banten ayaban. Sedangkan bante yang berfungsi sebagai kaki atau suku adalah Banten yang berada dipanggungan yang letaknya dijaba. Adapun Banten Caru merupakan simbol dari perut.

Kemudian berdasarkan lapisan yang menyusun tubuh manusia yakni: Badan Kasar atau Sthula Sarira yang terdiri dari Panca Maha Bhuta, Badan Astral atau Suksma Sarira yang terdiri dari Alam Pikiran (Citta, Budhi, Manah, Ahamkara, atau Sattwam Rajas Tamas) serta Sang Hyang Atman sebagai sumber kehidupan. Jika lapisan ini dikaitkan dengan keberadan bebanten, maka banten yang mewakili Panca Maha Butha ini adalah banten yang memiliki fungsi sebagai suguhan seperti: banten soda atau ajuman, rayunan perangkatan dan sebagainya. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai penguatan yang dijabarkan dalam berbagai bentuk pengharapan dan cita-cita adalah banten sebagai Suksma Sarira seperti banten Peras, Penyeneng, Pengambyan, Dapetan, Sesayut dan sebagainya. Sedangkan banten yang berfungsi sebagai pengurip atau pemberi jiwa seperti Banten Daksina, Banten Guru, Banten Lingga adalah merupakan simbol atman.

Banten sebagai Warna Rupaning Ida Bhatara dapat dimaknai sebagai suatu bentuk pendalaman Sraddha terhadap Hyang Widhi. Mengingat Beliau yang bersifat Nirguna, Suksma, Gaib, dan bersifat Rahasia, tentu sirat yang demikian itu sulit untuk diketahui lebih-lebih untuk dipahami. Oleh karenanya untuk memudahkan komunikasi dalam konteks bhakti maka Beliau yang bersifat Niskala itu dapat dipuja dalam wujud Sakala dengan memakai berbagai sarana, salah satunya adalah Banten. Adapun Banten yang memiliki kedudukan sebagai perwujudan Hyang Widhi adalah banten-banten yang berfungsi sebagai Lingga atau Linggih Bhatara seperti: Daksina Tapakan (Linggih), Banten Catur, Banten Lingga, Peras, Penyeneng, Bebangkit, Pula Gembal, Banten Guru dan sebagainya.

Banten sebagai Anda Bhuvana dapat dimaknai bahwa banten tersebut merupakan replica dari alam semesta ini yang mengandung suatu tuntunan agar umat manusia mencintai alam beserta isinya. Sesuai ajaran Weda, bahwa Tuhan ini tidak hanya berstana pada bhuvana alit, Beliau juga berstana pada bhuvana agung anguriping sarwaning tumuwuh. Sehingga dalam pembuatan banten itu dipergunakanlah seluruh isi alam sebagai perwujudan dari alam ini. Adapun banten sebagai lambang alam semesta ini adalah: Daksina, Suci, Bebangkit, Pula Gembal, Tanam Tuwuh dan sebagainya.**

Source : www.pontianakpost.com
 
Yadnya Sesa
Oleh: I Made Murdiasa, S.Ag
YADNYA sesa/banten saiban merupakan salah satu yadnya atau persembahan yang dilakukan setiap hari yang sering di sebut dengan Nitya Karma. Yadnya sesa ini dilakukan setelah selesai memasak dan sebelum menikmati makanan yang telah dimasak. Melaksanakan persembahan atau yadnya merupakan kewajiban serta tugas bagi umat Hindu untuk menunaikannya. Dalam menunaikan tugas dan kewajiban tersebut hendaknya dilandasi dengan dharma dan etika yang baik serta ketulusan hati. Sebagaimana diketahui bahwa yadnya sebagai sarana untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa untuk memperoleh kesucian jiwa. Tidak saja kita menghubungkan diri dengan Tuhan, juga dengan manifestasi-Nya dan makhluk ciptaan-Nya termasuk alam beserta dengan isinya. Dengan demikian yadnya merupakan persembahan dan pengabdian yang tulus iklas tanpa adanya harapan untuk medapatkan imbalan-imbalan.

Yadnya sesa atau mebanten nasi seusai masak juga merupakan penerapan dari ajaran kesusilaan Hindu, yang menuntut umat untuk selalu bersikap anersangsya yaitu tidak mementingkan diri sendiri dan ambeg para mertha yaitu mendahulukan kepentingan di luar diri. Pelaksanaan yadnya sesa juga bermakna bahwa manusia setelah selesai memasak wajib memberikan persembahan berupa makanan, karena makanan merupakan sumber kehidupan di dunia ini. Dengan tujuan agar memperoleh kehidupan dan penghidupan, dengan mengambil pijakan dari sloka Bhagawad Gita III, 13 yang berbunyi :

Yadjna sistasinah santo, Mucuante sarwa kilbisaih, Bunjate te twagham papa, Ye pacanty atma karanat. Yang artinya " ia yang memakan sisa yadnya akan terlepas dari segala dosa, tetapi ia yang memasak makanan hanya bagi dirinya sendiri, sesungguhnya makan dosanya sendiri ". Penggambaran dari sloka tadi berarti bahwa sebelum menikmati sesuatu persembahkanlah terlebih dahulu sebagai cetusan Angayubagia atas Waranugrahanya. Mempersembahkan makanan yang dimiliki juga termasuk persembahan yang mulia dan dapat menentramkan hidup ini.

Kita yakin bahwa usaha apa pun pasti menghasilkan, demikian juga dalam melaksanakan yadnya sesa memohon anugerah Hyang Widhi Wasa untuk selalu dianugerahi benih kehidupan dan kenikmatan hidup didunia ini. Alangkah nistanya hidup ini yang hanya mengutamakan kepentingan diri sendiri, hidup untuk meyenangkan diri pribadi saja dengan mengorbankan yang lainnya, hidup yang hanya mengejar kepuasan diri pribadi sedangkan yang lainnya penuh dengan kesengsaraan dan kemelaratan, maka manusia yang demikian tidak ada bedanya dengan pribadi seorang pencuri.

Dari penjelasan tadi tentu umat harus menyadari untuk memberikan persembahan dengan beryadnya, seperti halnya mempersembahkan makanan atau yadnya sesa. Makanan merupakan sumber kehidupan dan karena adanya makanan, maka semua makhluk di jagat raya ini dapat hidup. Persembahan makanan dalam bentuk yadnya sesa walaupun wujudnya sangat sederhana dan nampaknya kecil, namun hakikat yadnya sesa itu sangatlah mulia dan luhur, yang mengandung makna spiritual untuk menenteramkan kehidupan makhluk yang lainnya. Makanan yang dinikmati manusia bukan semata-mata merupakan hasil usahanya sendiri saja, tetapi manusia memperolehnya secara bersama-sama antara makhluk yang satu dengan makhluk yang lainnya. Serta diperlukan pula bantuan dari unsur kekuatan alam yang disebut dengan "Panca Maha Butha" yakni adanya kekuatan tanah/pertiwi, air/apah, panas/api/teja, angin/bayu, ether/akasa. Adanya nasi atau makanan ini juga berkat kekuatan atau kemahakuasaan Hyang Widhi melalui maifestasinya yang disebut dengan Tri Murti yakni tiga macam kekuatan Tuhan dalam melindungi dan menganugerahi umatnya. Beras dapat dimasak atau dimatangkan menjadi nasi berkat adanya tiga kekuatan tadi yakni Dewa Brahma dengan kekuatan panasnya, Dewa Wisnu dengan kekuatan airnya, dan Dewa Siwa dengan kekuatan penyupatannya. Dari ketiga kekuatan tersebut menyatu secara bersama-sama sehingga bermula dari beras hingga menjadi matang dan diperolehlah nasi itu.

Proses inilah yang merupakan suatu kerjasama manusia baik secara Sekala maupun Niskala sehingga dapat menikmati makanan. Oleh karena manusia menikmati makanan ini atas dasar kebersamaan dan merupakan pemberian, maka patutlah makanan itu di persembahkan kembali pada kekuatan alam lainnya melalui yadnya sesa/banten saiban itu sendiri.

Dengan demikian dapatlah di artikan bahwa yadnya sesa merupakan persembahan umat Hindu dengan mempersembahkan sebagian kecil dari makananya yang berupa nasi, lauk-pauk, sayur-sayuran dan garam yang dialasi dengan taledan yang terbuat dari daun pisang, yang secara rutin dilaksanakan setiap hari sehabis makanan itu dimasak dan setelah itu baru dinikmatiya. Persembahan yadnya sesa ini di sesuaikan dengan kebutuhan masing-masing terutama pada tempat-tempat yang dianggap penting. Kita sebagai umat Hindu dan sebagai umat manusia yang diciptakan dengan yadnya, maka sudah sepatutnyalah kita melaksanakan yadnya; baik untuk menyucikan diri, mendekatkan diri pada Tuhan maupun sebagai ucapan terima kasih kita pada apa yang telah kita peroleh di dunia ini.*

Source : www.pontianakpost.com
 
Konsep Ketuhanan Dalam Daksina Linggih
Oleh: I Wayan Sudarma, S.Ag

Pendahuluan

Dalam Pandangan Veda, agama Hindu meyakini bahwa Tuhan itu bersifat Monotheisme Transendent, Monotheisme Imanent, dan Monisme. Monotheisme Transendent, yaitu tuhan yang digambarkan dalam wujud yang Impersonal God (Tuhan yang tidak berpribadi).Tidak ada satu kekuatan apapun yang dapat menjangkauNya (Acintya) Monotheisme Imanent, yaitu penggambaran Tuhan sebagai Personal God (Tuhan yang berpribadi), dalam hal ini tuhan telah memiliki sifat, seperti; maha pengasih, maha penyayang, maha tahu dan sebagainya.

Dalam konteks penulisan ini penulis mencoba akan mengkaji Konsep Tuhan yang Imanent (Personal God), dan salah satu wujud dari tuhan itu digambarkan melalui simbol-simbol, seperti Daksina linggih sebagai salah satunya. Dalam Bhagavadgita, ada dijelaskan “ bahwa pemujaan Tuhan dengan menggunakan media jauh lebih mudah dan efektif dibandingkan dengan memujaNya tanpa media”. Karena dapat dilaksanakan oleh semua lapisan masyarakat, sebagai bentuk puja bhaktinya.

Pokok-pokok ajaran agama Hindu didasarkan atas berbagai tradisi. Di dalam bahasa kawi atau bahasa sanskerta pelaksanaan ini disebut drsta atau acara. Kebiasaan atau tradisi ialah tingkah laku manusia baik perorangan maupun kelompok masyarakat yang didasarkan atas suatu kaidah-kaidah hukum yang ajeg. Biasanya kaidah-daidah ini diikuti berdasarkan apa yang telah berlaku atau dilakukan oleh orang-orang tua yang dianggap sebagai sesepuh atau tingkah laku para Maharsi, atau orang-orang terkemuka yang merupakan tokoh-tokoh agama Hindu yang dianut mereka. Berdasarkan bentuknya sumber drsta atau acara ada yang bersumber pada kitab-kitab suci dan kitab-kitab agama Hindu lainnya yang dianggap suci.

Tingkah laku yang berdasarkan kaidah-kaidah tertulis di dalam kitab suci disebut menurut Sastra Drsta. Sebaliknya kaidah-kaidah yang diikuti berdasarkan kebiasaan yang tidak bersumber pada kitab suci melainkan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan tempat setempat disebut loka drsta atau desa drsta. Loka Drsta ini lebih lazim disebut desa-acara (desacara). Desa ini dibeda-bedakan antara kula drsta (kula acara) dan warna acara. Kula acara ialah kebiasaan-kebiasaan yang diikuti oleh sekelompok keluarga dan merupakan tradisi keluarga. Dengan demikian di dalam satu daerah terdapat beberapa tradisi yang mungkin berbeda antara yang satu dari yang lainnya. Varna Acara yaitu tradisi yang diikuti oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Kelompok masyarakat ini secara tradisional disebut kelompok kasta atau di dalam ilmu sosial kelompok ini disebut kelas masyarakat (soscial group) menurut kekaryaannya. Menurut agama Hindu, kedua jenis drsta ini diakui adanya dan merupakan sistem sosial yang mengakibatkan individu dengan kelompoknya sebagai satu masyarakat yang disebut Dharma Santana, yaitu masyarakat yang hidupnya diatur berdasarkan Dharma atau Sanatana Dharma. Sanatana Dharma adalah nama lain untuk agama Hindu. Sanatana Dharma inilah nama asli Hindu. Adapun nama Hindu yang sekarang lazim dikenal di dunia ilmu dan telah dipergunakan sendiri karena nama itu diberikan oleh orang yang bukan Hindu. Nama itu diberikan kepada kelompok masyarakat yang memiliki agama dan tradisi Dharma itu. Karena mula-mula ajaran Dharma itu berasal dari lembah sungai Indrus (Sindhu), salah satu sungai yang besar yang terdapat di Pakistan. Ajaran Dharma itu dikenal dengan nama Indrus Culture atau kebudayaan lembah sungai Sindhu (Indus).

Di dalam pengucapan, perubahan lafal “S” ke “H” mempengaruhi ejaan Shindu menjadi Hindu yang kemudian ditulis Hindu hingga sekarang. Jadi istilah ini berasal dari penamaan orang luar.

Ajaran Dharma atau Sanatana Dharma yang sekarang kita kenal dengan Nama Hindu, berdasarkan pokok-pokok ajaran dan kaidah-kaidah beserta ibadahnya pada Drsta, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Kaidah-kaidah yang tertulis itu merupakan kaidah pokok yang mengatur apa yang harus dilakukan atau dihindari, apa yang baik dilakukan dan yang tidak baik dijalankan, yang dianjurkan dan ada pula yang bersifat umum dengan janji akan memperoleh pahala kalau dilakukan atau tidak dilakukan. Ajaran ini sangat luas dan banyak. Semua kaidah itu diajarkan dengan maksud tertentu yang merupakan tujuan atau hakikat dari hidup beragama. Tujuan ini secara definitip ditegaskan di dalam ajaran dharma (agama Hindu). Karena kepercayaan (Sraddha) inilah maka masyarakat Hindu menganggap bahwa Daksina Linggih dalam suatu sarana upacara ritual keagamaan yang berlangsung di masing-masing tempat suci (Pura) sangat diyakini sebagai perwujudan Tuhan yang akan disembah. Maka konsep ketuhanannya sangat kental pada masyarakat Hindu, khususnya agama Hindu di Indonesia.

Karena sifat keimanan di dalam agama bersumber dari sabda apakah itu wahyu atau dikatakan oleh orang terpercaya, karena itu agama adalah mencakup aspek agama pramana. Keimanan ini sangat luas dan dikembangkan terus. Keimanan ini ciri khas dari suatu agama. Agama diwarnai oleh sistem keimanannya. Keimanan disebut Sraddha. Bangunan suatu agama diwarnai oleh sistem keimanannya. Salah satu yang menonjol di dalam agama Hindu adanya ketentuan yang menganjurkan untuk memperkembangkan pokok-pokok keimanan itu. Pengembangan ini mempunyai konskwensi berkembangnya dan meluasnya isi keimanan, disesuaikan menurut adat dan tradisi setempat. Sraddha sebagai kepercayaan dirumuskan sebagaimana terbaca di dalam Atharvaveda XII,1.1;

“satyam brhad rtam ugram diksa, tapa brahma yajna prthivim dharayanti;
“sesungguhnya satya brhad rtam ugram diksa, tapa brahma dan yajna yang menyangga dunia”

Dengan sloka itu maka dijelaskan bahwa dunia ini ditunjang oleh Satya Rta, Diksa, Tapa Brahma dan Yajna. Adapun dharma yang menyangga dunia terdiri dari Satya Rta, Diksa, Tapa Brahma dan Yajna itu sehingga dengan demikian keenam unsur itu merupakan dharma yang memelihara kehidupan ini. Dalam Yayurveda XIX, 30 dan 77 yang mengatakan:

Sraddhaya Sathyam Apyate (dengan Sraddha orang akan mencapai Tuhan). Ssraddham Sathye Prajaptih (Tuhan menetapkan, dengan Sraddha menuju kepada (Sathya).

Dalam uraian lainnya dapat pula kita jumpai ketentuan yang mengatakan:

“Vratena diksam apnoti, Diksayapnoti daksinam, Daksinam sraddham apnoti, Sraddhaya satyam ayate”

Dari uraian itu, jelas bahwa Sraddha mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu di dalam agama Hindu. Dengan berpedoman pada Sraddha itulah berbagai dasar pengertian keagamaan agama Hindu akan dapat dijelaskan. Karena itu Sraddha adalah kerangka dasar yang membentuk berbagai ajaran di dalam agama Hindu yang perlu diyakini dengan penuh pengertian.

Bentuk, Mutu, dan Fungsi Upakara Daksina Linggih

Daksina Linggih mempunyai bentuk yang sangat artistik, yang dibuat dengan menggunakan bahan-bahan pilihan yang terbaik sesuai dengan tujuannya, yaitu untuk persembahan dan sekaligus untuk disembah sebagai simbol Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa. Mutu Daksina Linggih ditentukan oleh cara pembuatannya, bahan-bahan yang dipergunakan diharapkan menggunakan bahan yang bermutu dan cara membuatnya dilandasi dengan pikiran yang suci.

Mutu upacara yajna: Dalam pustaka suci (Bhagavadgita XVII.11-13) disebutkan ada tiga sifat yajna yaitu:

Yajna yang bersifat sattvika ialah yajna yang dilaksanakan menurut petunjuk kitab-kitab suci, yang dilakukan tanpa mengharapkan pahala dan percaya sepenuhnya bahwa upacara ini dilaksanakan adalah sebagai tugas dan kewajiban. Upakara yajna ini dapat dikatakan sattvika jika dalam pelaksanaannya terdapat unsur-unsur yang melengkapi seperti, sraddha yaitu penuh dengan tuntunan sastra, mantra yaitu ada sulinggih yang memuput, ada gita yaitu kidung-kidung suci yang dikumendangkan, ada daksina yaitu pemberian kepada yang memuput upakara, nasmita yaitu tidak ada unsur pamer, lascarya yaitu dilakukan dengan ketulusan hati dan anasewa; ada jamuan makanan kepada pemedek yang hadir. Jika semua ini terpenuhi barulah yajna bisa dikatakan sattwika.

Yajna yang bersifat rajasika: ialah yajna yang dilaksanakan dengan penuh kemegahan, hanya semata-mata menonjolkan kemampuannya atau keakuannya.

Yajna yang bersifat tamasika yaitu yajna yang dilaksanakan tidak melalui aturan, tanpa mantra, tanpa daksina, tanpa menghidangkan makanan dan tanpa keimanan.

Penggunaan Daksina dalam Upacara Deva Yajna.

Dalam Pujawali atau Piodalan di Pura Agung Tirtha Buana selalu menggunakan sarana Daksina Linggih sebagai simbol untuk pemujaan Yang dimaksud dengan penggunaan daksina di sini adalah peran serta fungsi daksina itu sendiri dalam upacara Deva Yajna. Mengingat penggunaan daksina dalam upacara Deva yajna cukup banyak, baik jumlah maupun jenisnya dan hampir setiap upacara Dewa yajna menggunakan daksina, maka penulis akan mencoba untuk memaparkan sesuai dengan keterbatasan kemampuan, kegunaan daksina dalam upacara Deva Yajna saja, yang sesuai dengan penelitian dan kajian yang telah ditetapkan, dengan harapan dan tujuan tidak akan terjadikesalahan pemaknaan. Ada beberapa fungsi Daksina Linggih dalam upacara, yaitu:

Daksina Lingggih/pralingga atau Tapakan yang berarti Sthana Yang artinya tempat duduk. Hal ini dapat kita jumpai pada waktu kita melaksanakan upacara Dewa yajna yaitu disebut upacara nedunang Bhatara. Upacara ini adalah merupakan upacara permohonan kehadapan Ida Bhatara (Deva sebagai manifestasi Hyang Widhi) agar beliau berkenan turun hadir di pura tersebut sedang melaksanakan pujawali/ piodalan, untuk memberikan waranugraha, menerima an menyaksikan pelaksanaan upacara yajna yang berupa persembahan oleh umatnya. Adanya istilah Ida Bhatara Tedun (turun) ke pura adalah karena keyakinan umat Hindu bahwa alam Dewata yang suci itu berada di atas alamnya manusia yakni di alam Svah Loka (sorga).

Upacara Ngenteg Linggih, ialah upacara mensthanakan Ida Bhatara pada Daksina pelimggih yang telah dipersiapkan sebelumnya dan sekaligus memohon perkenan beliau untuk berada atau duduk di Pelinggih (bangunan suci) masing-masing. Melalui upacara Nedunang dan Ngelinggihan ini nejadikan umat Hindu semakin mantap dapat merasakan kehadiran Hyang Widhi dalam rangka menyaksikan dan menerima yajna dari umatnya.

Daksina Linggih tempatnya disebut bedogan yang terbuat dari janur. Kemudian bedogan tersebut dialasi wakul/ bakul dari bambu yang bentuknya menyerupai selinder, di samping wakul dari bambu masih diberi alas bokor, yaitu sebuah tempat yang menyerupai mangkok yang terbuat dari emas, perak atau bahan dari logam lainnya. Selanjutnya diberi serobong yang terbuat dari daun janur atau ental (daun lontar), adapun gegantusan isinya terdiri dari tampak, beras, benang tukelan, kelapa, , pesel-peselan, bija ratus, pisang, telur itik, uang kepeng, khusus untuk daksina linggih/pralingga selain uang kepeng yang ditempatkan di kojong, juga menggunakan uang kepeng yang diikat sedemikian rupa sehingga membentuk lingkaran, jumlahnya 225 buah untuk landasan bawah yang disebut lekeh.

Delengkapi dengan canang payasan yang tempatnya berbentuk segi tiga (ituk-ituk) dilengkapi dengan porosan, merupakan unsur terpenting yang dibuat dari daun sirih, irisan pinang, dan kapur. Ketiga bahan ini digabung menjadi satu diikat denga janur, lalu di atas porosan ini diberi bunga segar dan harum. Bagian luarnya yaitu bedongannya diberi wastra (kain putih kuning seperti layaknya kita memakai kain).

Daksina Linggih ini dilengkapi dengan peperai/ wajah/ muka, bisa terbuat dari janur yang menyerupai cili (berbentuk kipas) atau daun lontar yang dibuat sifatnya permanen dengan maksud bisa disimpan dan dapat dipergunakan pada waktu kesempatan lain. Model atau bentuknya bisa dibuat bermacam-macam sesuai sesuai dengan seni yang membuatnya.

Untuk peperai (bentuk/ wajak/ muka) ini bisa juga dibuat dari bahan kawat, bentuk ini pada kelompok upakara dikenal dengan nama dendeng ai. Bentuk lain dari pererai ini bisa juga dibuat dari lempengan kayu cendana, lempengan logam seperti perak, emas, yang mengembil bentuk lebih riil, yaitu dibuat atau dilukis seperti muka manusia ada mata, alis, mulut dan sebagainya. Kemudian dihias dengan menambahkan bunga-bunga segar yang berwarna putih kuning atau bunga yang dibuat dari emas atau perak. Dengan tambahan kain atau wastra, pererai yang dihias membuat Daksina Linggih berbeda dari daksina alit/ kecil pada umumnya dalam penampilannya. Daksina Tapakan/Linggih pada umumnya dipergunakan pada waktu ada pujawali/ Piodalan di pura-pura. Biasanya daksina ini diletakkan di depan padmasana atau pada bangunan suci di pura yang sedang melangsungkan upacara piodalan.

Daksina sebagai simbol Hyang Tunggal/ Hyang Guru:

Membuat sarana perlengkapan daksina yang begitu lengkapnya sehingga dianggap cukup untuk mewakili isi seluruh alam semesta yang ada. Maka dengan demikian daksina diartikan sebagai satu kesatuan dan sekaligus sebagai simbol Hyang Tunggal atau Hyang Guru sebagai manifestasi dari Deva Siva sebagai penguasa alam semesta ini.

Daksina sebagai sarana persembahan dalam upacara Yajna:

Daksina adalah sarana perlengkapan yang paling penting dari beberapa jenis upacara Yajna. Sebesar dan semegah apapun pelaksanaan upacara Dewa Yajna, tanpa menggunakan sarana daksina, maka upacara itu belum dianggap sempurna karena menggunakan daksina dianggap sebagai media untuk mendekatkan diri dan mewujudkan kuasa Tuhan, agar tercipta hubungan manusia sebagai bakta yang akan menyembah Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa yang akan disembah.

Daksina sebagai cetusan rasa terima kasih:

Daksina dipersembahkan oleh para baktanya, untuk menyampaikan rasa angayubagia kepada Hyang Widhi beserta manifestasiNya, karena apa yang dimohon bakta dalam melaksanakan dharmanya sehari-hari sebagai umat Hindu mendapatkan sesuai yang diinginkan. Fungsi lain dari daksina ini adalah sebagai sarana untuk media menyempaikan terima kasih kepada para sulinggih atau para pinandita yang ditugaskan untuk melaksanakan/ memuput upacara, juga sebagai bukti rasa bhakti para umatnya disatu sisi merupakan bentuk pelayanan para pandita dan pinandita kepada umatnya.

Daksina untuk memohon keselamatan

Sebagai manusia yang sangat menyadari bahwa jauh dari sempurna, sehingga manusia tidak akan luput dari kesalahan/ khilap serta segala kekurangan-kekurangan, kesalahan dan lupa karena keterbatasan pikiran maka perlu melaksanakan permohonan keselamatan. Khususnya bagi para tukang banten (Serati Banten) kehadiran banten daksina sebagai Sthana Hyang Widhi mutlak sangat diperlukan. Hyang Widhi sebagai manifestasiNya Sang Hyang Devi Tapeni/ Bhatari Tapeni (Devanya Serati Banten) untuk memohon bimbigan keselamatan, dalam melaksanakan pembuatan banten untuk upacara Deva Yajna tidak sampai melakukan kesalahan akibat keterbatasan pikiran seperti, kelupaan. Kebingungan dan lain sebagainya. Para Serati Banten biasanya jika akan membuat sarana bebantenan untuk upacara/ upakara maka akan meletakkan daksina disertai perlengkapan banten yang lain diletakkan di mana sudah disiapkan tempat banten/ pelangkiran di mana para Serati Banten akan bekerja untuk membuat banten. Daksina tidak saja diperlukan oleh Serati Banten, tetapi juga bagi tukang-tukang lainnya seperti tukang unagi bangunan, tukang terang, tukang membuat gayah, tukang gamelan, tukang ukir dan lain-lain yang semua tujuannya untuk ngaturang piuning supaya dalam melaksanakan tugasnya mendapat bimbingan dan keselamatan oleh Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa.

Daksina sebagai Upasaksi (Lambang Hyang Guru):

Pengertian upasaksi terdiri dari dua suku kata, yaitu upa dan saksi, upa dapat diartikan sebagai perantara dan saksi dapat berarti mengetahui. Jadi upasaksi dapat mengendung pengertian sebagai sarana untuk diketahui atau mempermaklumkan, dalam hal ini kepada Hyang Widhi dengan manifestasiNya. Tempat untuk menghaturkan banten upasaksi biasanya dibuat khusus yang diberi nama Sanggar Upasaksi, Sanggar Surya atau bisa juga Sanggar Tawang tergantung besar kecilnya upacara yang dilaksanakan. Sanggar Tawang bisa juga disebut Sanggar Agung biasanya dibentuk bangunan temporer dari bambu petung atau batang pinang yang sudah dikupas terlebih dahulu.

Bentuknya dibikin sederhana ruang atas yang dibagi menjadi tiga ruangan, apabila memakai satu ruangan maka disebut Sanggar Surya. Maka sesuai dengan namanya, maka Sanggar Tawang berarti sthana di angkasa, dan fungsinya adalah untuk mensthanakan Hyang Widhi sebagai aspeknya, sebagai Sang Hyang Catur Lokapala atau Hyang Tri Murti. Oleh umat Hindu sangat diyakini bahwa sthanaNya yang abadi berada di luhuring akasa (di atas angkasa).Setiap aktifitas ritual umat Hindu dari pelaksanaan upacara yang sederhana (nista) sampai ketingkatan upacara yang besar (utama) senantiasa dibuatkan Sanggar Surya atau Sanggar Tawang untuk memohon kehadiran Hyang Surya guna menyaksikan ketulusan hati umatnya yang sedang melaksanakan upacara/ Yajna.

Sebagai upasaksi, banten daksina dijadikan sthana Hyang Widhi, apabila banten daksina tersebut diletakkan pada Sanggar Surya atau Sanggar Tawang sebagai upasaksi, maka sudah jelaslah fungsinya. Biasanya banten daksina di Sanggar Surya atau di Sanggar Tawang tidak berdiri sendiri, tetapi melengkapi atau menyertai banten-banten yang lainnya, seperti banten pejati, banten peras, banten dewa-dewi, catur, suci dan banten lainnya.

Daksina sebagai banten pelengkap.

Mengingat daksina sebagai pelengkap banten-banten lainnya seperti banten pejati, banten pebangkit, banten pulegembal, dan masih banyak lagi banten yang lainnya yang tidak penulis sebutkan satu-persatu. Hal ini disebabkan karena upacara/ upakara atau banten yang digunakan dalam suatu upacara merupakan satu kumpulan ari beberapa jenis banten yang disebut soroh dan setiap soroh hampir selalu menggunakan daksina sebagai runtutannya. Adapun kedudukan daksina yang selalu menyertai banten-banten yang yang lain adalah karena memang unsur yang terdapat dalam daksina sangatlah lengkap, selain itu daksina merupakan kekuatan atau saktinya suatu Yajna. Dengan kata lain suatu upakara Yajna akan menjadi sempurna apabila ada daksinenya. Lebih jelas kita lihat pada upacara Deva Yajna, seperti melaspas, mecaru, Ngenteg Linggih, Upacara Pujawali, Panca Walikrama dan Eka Dasa Rudra. Adapun urut-urutan rangkaian upacara yang umum dilaksanakan adalah sebagai berikut:

Upakara Ngatur Piuning memulai karya (Nuasin Karya), upakara Nuur (Mendak) Tirtha, upakara untuk Serati Banten (ngelinggihang Sang Hyang Tapini) yaitu Devanya Serati Banten, Upakara RsiBijana, Upakara Mapapada (pada Sanggar Pesaksi) yang ditujukan kehadapan Siwa Raditya dan Giripati, dan upakara di bale Pawedan. Adapun banten daksina yang digunakan disesuaikan dengan besar kecilnya upakara (nista, madya, utama). Namun umumnya pada upacara Deva Yajna dapat penulis sebutkan di atas masih kebanyakan menggunakan daksina gede atau daksina pemogpog di samping daksina pelinggih dan daksina alit.

Daksina sebagai sarana penebusan :

Daksina juga berfungsi sebagai penebusan atas kekurangan alam upakara yang dilaksanakan, terletak pada sesari/ uang. Selain itu uang sesari yang mengandung juga makna simbol ketulusan hati/ sarining manah. Ada juga yang menyebut daksina pemogpog yang mengandung makna sebagai menutup bilamana dalam melaksanakan upakara yajna ada kekurangan, maknanya hampir sama yaitu untuk penebusan.

Penggunaan Daksina Linggih sebagai pralingga di dalam memuja Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa dilandasi oleh konsepsi Ketuhanan yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Kalau pada jaman Empu Kuturan di Bali pemujaan pada Hyang Widhi baru hanya sampai tingkat manifestasi beliau yang disebut Dewa atau Bhatara. Maka sejak kedatangan Dangn Hyang Dwijendra ke Bali pemujaan kepada Hyang Widhi bukan saja melalui Deva/ Bhatara yang merupakan prabawa atau sinar suci dari Hyang Widhi dapat diwujudkan dalam imajinasi manusia sehingga diproyeksikan wujud konkrit dalam benda suci yang disebut arca/ pratima sebagai ekspresi imaginasi abstrak manusia tentang wujud beliau. Maka arca/ pratima itu berfungsi sebagai pralingga Deva/ Bhatara.

Daksina Pelinggih adalah sebagai Pralingga Hyang Widhi yang merupakan pengganti dari arca atau pratima. Daksina Pelinggih mempunyai makna religius karena merupakan simbulnya dari Hyang Widhi atau merupakan simbolis miniatur kosmis pralingga Hyang Widhi. Hal ini dilandasi karena Tuhan bersifat Acintya yang sangat sulit dibayangkan oleh manusia, karena itu Daksina Pelinggih sebagai miniatur osmis pralingga Tuhan.

From: "wayan sudarma"
Date: Mon, January 23, 2006 5:39 pm

Source : HDNet
 
Banten Pejati

Cara Membuat Dan Kajian Filosofis

Banten dalam agama Hindu adalah bahasa agama. Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis seperti dalam kitab Veda Samhita disampaikan dengan bahasa Sanskerta, ada disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa tulisnya.

Setelah di Indonesia disampaikan dengan bahasa Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dengan bahasa Bali. Disamping itu Veda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak mengandung informasi tentang kebenaran Veda dan bahasa Mona itu adalah banten. Dalam Lontar Yajña Prakrti disebutkan:

“sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana”

artinya:
semua jenis banten (upakara) adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta).

Banten Pejati Banten pejati adalah nama Banten atau (upakara), sesajen yang sering dipergunakan sebagai sarana untuk mempermaklumkan tentang kesungguhan hati akan melaksanakan suatu upacara, dipersaksikan ke hadapan Hyang Widhi dan prabhavaNya. Dalam Lontar Tegesing Sarwa Banten, dinyatakan:

“Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang”

Artinya:
Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkap dan bersih.

Bila dihayati secara mendalam, banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap yang didasari dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan banten yang akan dapat disaksikan berwujud indah, rapi, meriah dan unik mengandung simbol, diawali dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci. Bentuk banten itu mempunyai makna dan nilai yang tinggi mengandung simbolis filosofis yang mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih.

Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa”. Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Banten pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña. Adapun unsur-unsur banten pejati, yaitu:

1. Daksina Unsur-unsur yang membentuk daksina:
§ Alas bedogan/srembeng/wakul/katung; terbuat dari janur/slepan yang bentuknya bulat dan sedikit panjang serta ada batas pinggirnya . Alas Bedogan ini lambang pertiwi unsur yang dapat dilihat dengan jelas.
§ Bedogan/ srembeng/wakul/katung/ srobong daksina ;terbuat dari janur/slepan yang dibuta melinkar dan tinggi, seukuran dengan alas wakul. Bedogan bagian tengah ini adalah lambang Akasa yang tanpa tepi. Srembeng daksina juga merupakan lambang dari hukum Rta ( Hukum Abadi tuhan )
§ Tampak; dibuat dari dua potongan janur lalu dijahit sehinga membentuk tanda tambah. Tampat adalah lambang keseimbangan baik makrokosmos maupun mikrokosmos.
§ Beras; lambang dari hasil bumi yang menjadi sumber penghidupan manusia di dunia ini. Hyang Tri Murti (Brahma, Visnu, Siva)
§ Porosan; terbuat dari daun sirih, kapur dan pinang diikat sedemikian rupa sehingga menjadi satu, porosan adalah lambang pemujaan
§ Benang Tukelan; adalah simbol dari naga Anantabhoga dan naga Basuki dan naga Taksaka dalam proses pemutaran Mandara Giri di Kserarnava untuk mendapatkan Tirtha Amertha dan juga simbolis dari penghubung antara Jivatman yang tidak akan berakhir sampai terjadinya Pralina. Sebelum Pralina Atman yang berasal dari Paramatman akan terus menerus mengalami penjelmaan yang berulang-ulang sebelum mencapai Moksa. Dan semuanya akan kembali pada Hyang Widhi kalau sudah Pralina.
§ Uang Kepeng; adalah lambang dari Deva Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan.
§ Telor Itik; dibungkus dengan ketupat telor, adalah lambang awal kehidupan/ getar-getar kehidupan , lambang Bhuana Alit yang menghuni bumi ini, karena pada telor terdiri dari tiga lapisan, yaitu Kuning Telor/Sari lambang Antah karana sarira, Putih Telor lambang Suksma Sarira, dan Kulit telor adalah lambang Sthula sarira.
§ Pisang, Tebu dan Kojong; adalah simbol manusia yang menghuni bumi sebagai bagian dari ala mini. Idialnya manusia penghuni bumi ini hidup dengan Tri kaya Parisudhanya.
§ Gegantusan; yang terbuat dari kacan-kacangan dan bumbu-bumbuan, adalah lambang sad rasa dan lambang kemakmuran.
§ Papeselan yang terbuat dari lima jenis dedaunan yang diikat menjadi satu adalah lambang Panca Devata; daun duku lambang Isvara, daun manggis lambang Brahma, daun durian lambang Mahadeva, daun salak lambang Visnu, daun nangka atau timbul lamban Siva. Papeselan juga merupakan lambang kerjasama (Tri Hita Karana).
§ Buah Kemiri; adalah sibol Purusa / Kejiwaan / Laki-laki. § Buah kluwek/Pangi; lambang pradhana / kebendaan / perempuan.
§ Kelapa; simbol Pawitra (air keabadian/amertha) atau lambang alam semesta yang terdiri dari tujuh lapisan (sapta loka dan sapta patala) karena ternyata kelapa memiliki tujuh lapisan ke dalam dan tujuh lapisan ke luar. Air sebagai lambang Mahatala, Isi lembutnya lambang Talatala, isinya lambang tala, lapisan pada isinya lambang Antala, lapisan isi yang keras lambang sutala, lapisan tipis paling dalam lambang Nitala, batoknya lambang Patala. Sedangkan lambang Sapta Loka pada kelapa yaitu: Bulu batok kelapa sebagai lambang Bhur loka, Serat saluran sebagailambang Bhuvah loka, Serat serabut basah lambang svah loka, Serabut basah lambanag Maha loka, serabut kering lambang Jnana loka, kulit serat kering lambang Tapa loka, Kulit kering sebagai lamanag Satya loka Kelapa dikupas dibersihkan hingga kelihatan batoknya dengan maksud karena Bhuana Agung sthana Hyang Widhi tentunya harus bersih dari unsur-unsur gejolak indria yang mengikat dan serabut kelapa adalah lambang pe ngikat indria.
§ Sesari; sebagai labang saripati dari karma atau pekerjaan (Dana Paramitha)
§ Sampyan Payasan; terbuat dari janur dibuat menyerupai segi tiga, lambang dari Tri Kona; Utpeti, Sthiti dan Pralina.
§ Sampyan pusung; terbuat dari janur dibentuk sehingga menyerupai pusungan rambut, sesunggunya tujuan akhir manusia adalah Brahman dan pusungan itu simbol pengerucutan dari indria-indria
2. Banten Peras Yang menjadi unsur-unsur Peras, yaitu:
§ Alasnya Tamas/ taledan/ Ceper; berisi aled/ kulit peras, kemudian disusun di atasnya beras, benang, base tampel/porosan, serta uang kepeng/recehan. Diisi buah-buahan, pisang, kue secukupnya, dua buah tumpeng, rerasmen/lauk pauk yang dialasi kojong rangkat, sampyan peras, canang sari. Pada prinsipnya Banten Peras memiliki fungsi sebagai permohonan agar semua kegiatan tersebut sukses (prasidha)
§ Aled/kulit peras, porosan/base tampel, beras, benang, dan uang kepeng; merupakan lambang bahwa untuk mendapatkan keberhasilan diperlukan persiapan yaitu: pikiran yang benar, ucapan yang benar, pandangan yang benar, pendengaran yang benar, dan tujuan yang benar.
§ Dua buah tumpeng; lambang kristalisasi dari duniawi menuju rohani, mengapa dua tumpeng karena sesungguhnya untuk dapat menghasilkan sebuah ciptaan maka kekuatan Purusa dan Pradhana (kejiwaan/laki-laki dengan kebendaan/perempuan) harus disatuakan baru bisa berhasil (Prasidha), tumpeng adalah lambang keuletan orang dalam meniadakan unsur-unsur materialis, ego dalam hidupnya sehingga dapat sukses menuju kepada Tuhan.
§ Tamas; lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang murni/ananda). § Ceper/ Aledan; lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana, Raja Marga)
§ Kojong Ragkat, tempat lauk pauk; memiliki makna jika ingin mendapatkan keberhasilan harus dapat memadukan semua potensi dalam diri (pikiran, ucapan, tenaga dan hati nurani)
§ Sampyan peras; terbuat dari empat potong janur dibentuk menyerupai parabola di atasnya, merupakan lambang dari kesiapan diri kita dalam menerima intuisi, inisiasi, waranugraha dari Hyang Widhi yang nantinya akan kita pakai untuk melaksanakan Dharma.
3. Banten Ajuman/Soda Yang menjadi unsur-unsur banten Ajuman/Soda:
§ Alasnya tamas/taledan/cepe; berisi buah, pisang dan kue secukupnya, nasi penek dua buah, rerasmen/lauk-pauk yang dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan plaus/petangas, canang sari. Sarana yang dipakai untuk memuliakan Hyang Widhi (ngajum, menghormat, sujud kepada Hyang Widhi)
§ Nasi penek adalah nasi yang dibentuk sedemikian rupa sehingga berbentuk bundar dan sedikit pipih, adalah lambang dari keteguhan atau kekokohan bhatin dalam mengagungkan Tuhan, dalam diri manusia adalah simbol Sumsuma dan Pinggala yang menyangga agar manusia tetap eksis.
§ Sampyan Plaus/Petangas; dibuat dari janur kemudian dirangkai dengan melipatnya sehingga berbentuk seperti kipas, memiliki makna simbol bahwa dalam memuja Hyang Widhi manusia harus menyerahkan diri secara totalitas di pangkuan Hyang Widhi, dan jangan banyak mengeluh, karunia Hyang Widhi akan turun ketika BhaktaNya telah siap.
4. Ketupat Kelanan Unsur-unsur yang membentuk ketupat kelanan:
§ Alasnya tamas/taledan atau ceper, kemudian diisi buah, pisang dan kue secukupnya, enam buah ketupat, rerasmen/lauk pauk + 1 butir telor mateng dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan palus/petangas, canang sari.
§ Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.
5. Penyeneng/Tehenan/Pabuat Yang membentuk Penyeneng:
§ Jenis jejaitan yang di dalamnya beruang tiga masing-masing berisi beras, benang, uang, nasi aon (nasi dicampur abu gosok) dan porosan, adalah jejahitan yang berfungsi sebagai alat ntuk nuntun, menurunkan Prabhawa Hyang Widhi, agar Baliau berkenan hadir dalam upacara yang diselenggarakan. Panyeneng dibuat dengan tujuan untuk membangun hidup yang seimbang sejak dari baru lahir hingga meninggal.
§ Ruang 1, berisi Nasi aon adalah lambang dari dewa Brahma sebagai pencipta alam semesta ini dan merupakan sarana untuk menghilangkan semua kotoran (dasa mala)
§ Ruang 2 berisi beras benang dan uang, lambang dari dewa Visnu yang memelihara alam semesta ini, beras adalah sumber makanan manusia, uang adalah alat transaksi untuk melangsungkan kehidupan, benang sebagai penghubung antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Hyang Widhi.
§ Ruang 3 berisi bunga, daun kayu sakti (dapdap), yang ditumbuk dengan kunir dan beras, melambangkan dewa Siva dalam prabhawaNya sebaga Isvara dan Mahadeva yang senantiasa mengarahkan manusia dari yang tidak baik menuju benar, meniadakan (pralina) Adharma dan kembali ke jalan Dharma.
§ Bagian atas dari Penyeneng ini ada jejahitan yang menyerupai Ardhacandra = Bulan, Windu = Matahari, dan Titik = bintang dan teranggana (planet yang lain).
6. Pesucian Pesucian terdiri dari :
§ Sebuah ceper /taledan yang berisi tujuh bua tangkih kecil yang masing-masing tangkih berisi: Bedak (dari tepung), Bedak warna kuning (dari tepung berwarna kuning), Ambuh (kelapa diparut/ daun kembang sepatu dirajang), Kakosok (rengginang yang dibakar hingga gosong), Pasta (asem/jeruk nipis), Minyak Wangi, Beras. Di atasnya disusun sebuah jejahitan yang disebut payasan (cermin, sisir dan petat) terbuat dari janur.
§ Pada intinya pesucian merupakan alat-alat yang dipakai untuk menyucikan Ida Bhatara dalam suatu upacara keagamaan
§ Secara instrinsik mengandung makana filosofis bahwa sebagai manusia harus senantiasa menjaga kebersihan phisik dan kesucian rohani (cipta , rasa dan karsa), karena Hyang Widhi itu maha suci maka hanya dengan kesucian manusia dapat mendekati dan menerima karunia Beliau.
7. Segehan
§ Secara etimologi Segehan artinya Suguh (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik dari libah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan
§ Jahe, secara imiah memiliki sifat panas. Semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak boleh emosional.
§ Bawang, memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang dingin dalam berbuat tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek)
§ Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah sahananing ngaletehin).
§

Tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman/bakteri yang merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran. Metabuh pada saat masegeh adalah agar semua bakteri, Virus, kuman yang merugikan yang ada di sekitar tempat itu menjadi hilang/mati.
8. Sarana yang Lain
§ Daun/Plawa; lambang kesejukan. § Bunga; lambang cetusan perasaan § Bija; lambang benih-benih kesucian. § Air; lambang pawitra, amertha § Api; lambang saksi dan pendetanya Yajna. 9. Siapa yang menerima Banten pejati ?
Banten Pejati dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu

§ Peras kepada Sanghyang Isvara § Daksina kepada Sanghyang Brahma § Ketupat kelanan kepada Sanghyang Visnu § Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva 10. Jenis-jenis Daksina
§ Daksina kelipatan 1 : daksina alit. § Daksina kelipatan 2: daksina pakala-kalaan (Manusa Yajna). § Daksina kelipatan 3: daksina krepa (Rsi Yajna). § Daksina kelipatan 4: daksina gede/pamogpog (upacara besar). § Daksina kelipatan 5: daksina galahan. 11. Penjelasan Bahan Banten Pejati Menurut Lontar Tegesing Sarwa Banten;

a. Mengenai rerasmen: “ Kacang, nga; ngamedalang pengrasa tunggal, komak, nga; sane kakalih sampun masikian”. Artinya: Kacang-kacangan menyebabkan perasaan itu menjadi menyatu, kacang komak yang berbelah dua itu sudah menyatu. “ Ulam, nga; iwak nga; hebe nga; rawos sane becik rinengo”. Artinya: Ulam atau ikan yang dipakai sarana rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik untuk didengarkan.
b. Mengenai buah-buahan; “ Sarwa wija, nga; sakalwiring gawe, nga; sana tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin ring kahuripan”. Artinya: Segala jenis buah-buahan merupakan hasil segala perbuatan, yaiyu perbuatan yang tiga macam itu (Tri Kaya Parisudha), menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan pada kehidupan.
c. Mengenai Kue/Jajan: “ Gina, nga; wruh, uli abang putih, nga; lyang apadang, nga; patut ning rama rena. Dodol, nga; pangan, pangening citta satya, Wajik, nga; rasaning sastra, Bantal, nga; phalaning hana nora, satuh, nga; tempani, tiru-tiruan”. Artinya; Gina adalah lambang mengetahui, Uli merah dan Uli putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru rupaka/ ayah-ibu, Dodol adalah lambang pikiran menjadi setia, wajik adalah lambang kesenangan mempelajari sastra, Bantal adalah lambang dari hasil yang sungguh-sungguh dan tidak, dan Satuh adalah lambang patut yang ditirukan.
d. Mengenai bahan porosan: “ Sedah who, nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang mitra, kasih kumasih”. Artinya: Sirih dan pinang itu lambang dari yang membuatnya kesejahteraan/kerahayuan, berawal dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaanny, bersaudara dalam keluarga, bertetangga dan berkawan
Demikian kupasan banten Pejati baik (upakara) maupun kajian filosofisnya, sehingga dengan pemahaman ini dapat menumbuhkan kesadaran, keyakinan, dan kemantapan umat Hindu dalam membuat dan menghaturkan Banten Pejati dan melaksanakan ajaran agama Hindu yang penuh dengan simbol-simbol, sehingga dapat mengikis dogma “Anak Mula Keto”, di masa yang akan datang.
OM AVIGHNAM ASTU…!
Source : Balipost
 
Standarisasi Banten
Om Swastyastu,
Saya "pribadi" sangat senang dan setuju bila kelak kemudian hari entah tahun/millennium berapa, tradisi beragama Hindu di Bali (maaf lagi-lagi Bali) dalam bidang ritual sudah menjadi lebih praktis, efektif dan efisien. Namun untuk mencapai itu, menurut pendapat saya perlu tahapan-tahapan, agar umat kita tidak kaget, dan bisa beradaptasi secara baik. Misalnya dari banten yang satu truk, tahap pertama baru menjadi satu pick-up, kemudian tahap berikutnya menjadi satu bakul saja. Ini mengingat bahan-bahan banten sudah sangat sulit didapat misalnya busung, ron, don biu, peji, ancak, biu lalung, don kaikik, carang hee, lalang, dll.

Bayangkan nantinya bila kota Denpasar sudah seperti New York sekarang. Pencakar langit dimana-mana, tanah perumahan/tanah kosong sulit didapat. Mungkin saja Pura/Sanggah di masa depan ada di Tower XXX lantai 30.

Tata berupacara seperti sekarang sulit dipertahankan. Misalnya kalau Ngaben bagaimana ? apa masih mengusung wadah/lembu di tengah kota, di jalanan yang penuh sesak/macet ?

Mungkin saya terlalu jauh berhayal, tetapi itu bisa saja akan terjadi.

Om Santih, santih, santih

Bhagawan Dwija

Source : HDNet
 
Standarisasi Banten
Om Swastyastu,
Kenapa masih berkutat di sekitar bebantenan terus, bukankah dalam kitab suci Weda hanya disebutkan, sekuntum bunga, sebiji buah, setitik air, sehelai daun, dan alunan puja astuti?

Dari dulu masalah ini tak selesai dan para pengurus enggan untuk mengambil solusi atau perubahan, semua takut kalau terjadi hal hal yang tidak diinginkan.

Jeleknya Hindu di Bali sebuah kejadian selalu dihubung hubungkan dengan upacara yang salah menurut versi orang yang kerahuan. Sampai kapankah umat Hindu berjalan di tempat, sedangkan masih banyak pos pos yang lain harus kita kejar, terutama masalah pendidikan.

Saya baca ketika Jepang dilanda gelombang tsunami, pertanyaan pertama dari pemimpinnya adalah berapa orang guru yang masih hidup? Dari sini betapa pentingnya pendidikan untuk kemajuan suatu bangsa.

Coba kita bandingkan di Bali, mengapa harus mengeluarkan dana miliaran rupiah untuk keperluan upacara sedangkan anak-anak paling banter lulus S-1.

SETUJU, SETUJU, SETUJU, untuk menyederhanakan banten sampai sekecil kecilnya, semoga berhasil.

Koordinasi dengan pnitia SC dan OC PA diLAmpung agar dimasukan dalam agenda pembahasan, saya akan hadir di sana.

Namaste

Source : HDNet
 
Standarisasi Banten
Pak Ketut Sardiana,
Jika bebantenan diidentikkan dg komputer mungkin tidaklah selalu benar, sebab hakekat banten dan komputer sangatlah berbeda, walaupun keduanya sama-sama merupakan sarana.

Banten bagi saya adalah sebuah sarana pikiran manusia untuk mewujudkan ekspresi kecintaan, keagungan dan rasa angayubagya terhadap Hyang Widhi. Banten merupakan pengganti MANTRA sebagai sarana pikiran sekaligus sebagai simbolisasi ajaran Weda.

Jika banten sebagai sarana manusia untuk melaksanakan pemujaan untuk menggantikan mantra, seharusnya banten yang dibuat itu dimengerti makna dan tujuannya, bukan hanya sekedar tampilan dan hiasan yg sama sekali tidak dimengerti dan dipahami oleh yang melaksanakan pemujaan.

Coba kita perhatikan ibu-ibu dan nenek kita dimasa lalu, setiap akan ada rerainan, mereka telah menyibukkan diri dg segala akitifitas untuk pemujaan dan ini merupakan suatu bentuk pengkonsetrasian diri. Semua pikirannya tercurah dlm bentuk alat dan sarana sembahyang dan tatkala dihaturkan, maka pikiran-pikiran yang telah tertuang dalam bentuk banten tersebut akan sampai pd yang dipuja.

Coba dibandingkan dengan sekarang, dimana sebagian besar umat membeli banten mulai yang paling sederhana sampai yang sangat rumit, lalu adakah proses pengkonsetrasian diri dan pikiran kita untuk memuja Hyang Widhi akan tersertakan dalam banten itu? Apalagi kita tdk tahu siapa dan bagaimana sraddha dan prilaku orang yang membuat banten itu.

Dan ini sebuah kenyataan, para penjual banten dipasar telah mulai diambil alih oleh orang yg tidak beragama Hindu, krn mereka lebih mengerti pasar yang menggiurkan dari pd makna sebuat banten.

Inggih suksma

OSSSO

Putu Waliana Yasa

Source : HDNet
 
Standarisasi Banten
Om Swastyastu,

Betul demikian, dan untuk menegaskan, mengapa upakara yang bernama "Banten" itu sepertinya khas ada di Bali. Jika membaca riwayat Maha Rsi Markandeya, jenis upakara yang bernama mula-mula : "Bali" diajarkan oleh beliau (dan kemudian dilengkapi oleh Maha Rsi lainnya : Mpu Jiwaya, Manik Angkeran/Sangkul Putih, Mpu Kuturan/Panca Tirtha, Danghyang Nirartha, dll) sebagai salah satu methode mengajarkan Agama Hindu, sambil menanamkan arti symbol-symbol manifestsi Hyang Widhi dalam bentuk "Bali".

Oleh karena itu maka "orang-orang" yang melaksanakan ajaran Agama Hindu dengan menggunakan sarana "Bali" disebut "orang Bali" seterusnya pulau inipun dinamakan "Pulau Bali", yang berbahasa "Bali". Agamanya-pun mula-mula bernama Agama Tirtha (Gama Tirtha), kemudian berubah menjadi Agama Hindu Bali (masa orde lama), terakhir berubah lagi menjadi Agama Hindu Dharma/Hindu Dharma (masa orde baru). Perubahan nama dari "Bali" menjadi "Banten" kapan dan kenapa, belum saya temukan sumber sastranya.

Konon di Baduj (Banten) jenis upakara yang digunakan masih tetap bernama "Bali". Lucu juga kalau dibilang :

1. Di Bali, upakara dinamakan Banten
2. Di Banten, upakara dinamakan Bali

Om Santih, santih, santih

Bhagawan Dwija

Source : HDNet
 
Standarisasi Banten
Om Swastyastu,
Penekanan pesan seperti itu yang perlu ditegaskan pada umat agar tidak ada kesan selalu salah sangka (misunderstanding) dengan Hindu di Bali. Seperti misalnya bicara soal bebantenan ya bicara soal tradisi banten di Bali, krn umat Hindu diluar Bali tidak banyak mengenal serana upacara sekompleks bebantenan di Bali. Pernah terlintas dalam pikiran kompleksitas rangkaian bebantenan itu sama kompleksnya dengan rangakian komputer. Seperti contoh misalnya bebantenan Karya Agung Ekadasa Rudra. Kalau dibayangkan rangkaian komponennya sepertinya sama dengan kerumitan rangkaian sebuah komputer yang paling canggih - yang membutuhkan ketrampilan khusus.

Ketika kita membutuhkan komputer, apakah harus bisa bikin baru memiliki? Sepertinya tidak demikian seharusnya. Kembali kesoal banten umat hanya sebagai pengguna saja. Sebagai pengguna tidak harus lah ahli soal itu. Pada komputer cukup sebagai operator saja. Pada banten cukup sebagai pengguna dengan harapan mendapatkan manfaat keheningan rohani atas persembahan itu agar hidup menjadi bermakna. Soal ingin menjadi ahli banten itu lain persoalannya.

Kalau tidak paham atau tidak mengerti tentang bebantenan secara detail itu wajar saja, itu bukan karena tidak ada keinginan utk mengetahuinya tapi disebabkan tingkat kerumitannya. Utk memahami bahasa banten bisa saja diterjemahkan ke lain bahasa. Tapi betapa sulitnya menterjemahkan rangkaian banten pada bahasa yang tidak memiliki budaya banten. Katakan lah apa terjemanahannya porosan, canang buan wah pusing tujuh keliling utk mencari padanan katanya. Demikian halnya dengan komputer utk menterjemahkan komponen komputer pada bahasa yang tidak memiliki budaya teknologi tinggi.

Utk itu tidak perlu dipaksakan utk diterjemahkan atau dimengerti. Sama halnya dengan Computer. Apa terjemahannya dalam Bhs Bali atau Indo? Komputer? apa itu terjemahan? Demikian juga dengan porosan, canang buan. Mau diterjemahkan kedalam Bhs Indo menjadi porosan dan canang buan? Apa itu terjemahan?

Kalau dicermati hidup ini sepertinya yang membutuhkan lah sebaiknya menyesuaikan diri bukan lah memaksakan yang dibutuhkan utk menyesuaikan diri.

Suksma,

sd.

Source : HDNet
 
Standarisasi Banten
Om Swastyastu,

1. Sejak lama umat kita menginginkan adanya keseragaman jenis banten untuk upacara Panca Yadnya, sebagai suatu pegangan yang standard untuk digunakan acuan, baik bagi para Sulinggih, Tukang Banten maupun Sang Yajamana (Tri Manggalaning Yadnya). Dengan adanya acuan, maka biaya banten juga nantinya tidak banyak berbeda, dan Sang Yajamana mempunyai bayangan atau Anggaran Biaya yang pasti.

2. Masalah ini belum pernah dibicarakan dalam forum yang resmi, semisal Pesamuan Agung PHDI.

3. Baru dalam tahap pembicaraan secara case by case. Dalam pembicaraan seperti itu, ternyata setiap Sulinggih dan Tukang Banten yang saya temui mempunyai pertimbangan tertentu dan tradisi yang berbeda, sehingga sulit mencari kesepakatan. Sebelum melangkah ke jenis/banyaknya banten, untuk urutan upacara saja masih ada perbedaan-perbedaan. Urutan upacara juga salah satu faktor yang menentukan jumlah dan jenis banten.

4. Bila ada usaha meng-agendakan masalah ini di Pesamuan Agung PHDI yad, tentu sangat bagus. Jika nantinya PHDI bisa menerbitkan keputusan/bisama, pelaksanaannya di lapangan mungkin saja masih ada perbedaan atau masih menuruti "dresta" (mule keto), tetapi sedikit banyaknya sudah ada langkah kemajuan dan Sang Yajamana bisa merujuk keputusan PHDI itu sebagai acuan dalam "bernegosiasi" dengan Sulinggih dan Tukang Banten.

Demikian sumbangan pendapat saya

Om Santih, santih, santih

Bhagawan Dwija

Source : HDNet
 
Makna ‘’Banten’ bagi Umat Hindu
Upakara yang dikatakan di Bali sebagai banten, pada banten disebut sebagai Bali. Dalam Bhuwana Tattwa Maha Rsi Markandeya disebutkan bahwa Maha Rsi bersama pengikutnya membuka daerah baru pada Tahun Saka 858 di Puakan (Taro, Tegallalang, Gianyar). Kemudian mengajarkan cara membuat berbagai bentuk upakara sebagai sarana upacara.

Mula-mula terbatas kepada para pengikutnya. Lama-kelamaan berkembang ke penduduk lain di sekitar Desa Taro. Apakah filosofi banten bagi umat Hindu? Apa itu banten jika ditinjau dari sudut sastra agama?

===============================
Menurut Ketua Umum PHDI Kabupaten Buleleng Ida Pandita Sri Bhagawam Dwija Warsa Nawa Sandhi, jenis upakara yang menggunakan bahan baku daun, bunga, buah, air, dan api disebut Bali, sehingga penduduk yang melaksanakan pemujaan dengan menggunakan sarana upakara itu disebut sebagai orang-orang Bali. Jadi yang dinamakan orang Bali mula-mula adalah penduduk Taro.

Lama-kelamaan ajaran Maha Rsi Markandeya ini berkembang ke seluruh pulau, sehingga pulau ini dinamakan Pulau Bali (pulau yang dihuni oleh orang-orang Bali-red). Lebih tegas lagi, pulau di mana penduduknya melaksanakan pemujaan dengan menggunakan sarana upakara (Bali). Tradisi beragama dengan menggunakan banten. Selanjutnya dikembangkan oleh Maha Rsi lain seperti Mpu Sangkulputih, Mpu Kuturan, Mpu Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, dan Mpu Nirartha. Sejak kapan sarana upakara itu berubah nama dari Bali menjadi Banten dan mengapa demikian, sulit mencari sumber sastranya? Menurutnya, beberapa sulinggih dihubungi ada yang menyatakan bahwa banten asal kata dari wanten, mengalami perubahan dari kata wantu atau bantu. Jadi banten adalah alat bantu dalam pemujaan, sehingga timbul pengertian bahwa Bali atau banten adalah niyasa atau simbol keagamaan.

Menurut Ketua III Paruman Pandita PHDI Propinsi Bali ini, umat Hindu melaksanakan ajaran agamanya antara lain melalui empat jalan atau cara (marga). Keempat cara itu yakni Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga dan Raja Marga. Bhakti Marga dan Karma Marga dilaksanakan sebagai tahap pertama yang lazim disebut sebagai Apara Bhakti. Tahap berikutnya sesuai dengan kemampuan nalar diri masing-masing dilaksanakan Jnana Marga dan Raja Marga yang disebut sebagai Para Bhakti.

Dikatakan, pada tahap apara bhakti pemujaan dilaksanakan dengan banyak menggunakan alat-alat bantu seperti banten, simbol-simbol dan jenis upakara lainnya. Seterusnya pada tahap para bhakti penggunaan banten dan simbol-simbol lainnya berkurang. Umumnya di Bali, keempat marga itu dilaksanakan sekaligus dalam bentuk upacara agama dengan menggunakan sarana banten yang terdiri atas bahan pokok daun, bunga, buah, air dan api. Sarana-sarana mempunyai fungsi persembahan atau tanda terima kasih kepada Hyang Widhi. Sebagai alat konsentrasi memuja Hyang Widhi. Sebagai simbol Hyang Widhi atau manifestasi-Nya. Sebagai alat penyucian.

Oleh karena demikian sakralnya makna banten maka dalam Yadnya Prakerti disebutkan bahwa mereka yang membuat banten hendaknya dapat berkonsentrasi kepada siapa banten itu akan dihaturkan atau dipersembahkan. Dalam buku Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu sebagai hasil Paruman Sulinggih yang disahkan PHDI disebutkan, seorang tukang banten hendaknya sudah menyucikan diri dengan upacara pawintenan (sekurang-kurangnya ayaban bebangkit).

Lebih lanjut Ketua PHDI Bulelang ini mengatakan, tujuan penyucian agar tukang banten sudah mengetahui tata cara dan aturan-aturan dalam membuat banten.

Misalnya dengan konsentrasi penuh melaksanakan amanat pemesan banten yang akan mempersembahkannya kepada Hyang Widhi. Di kala membuat banten, kesucian dan kedamaian hati tetap terjaga. Misalnya, tidak mengeluarkan kata-kata kasar. Tidak dalam keadaan kesal atau sedih. Tidak sedang cuntaka, tidak sedang berpakaian yang tidak pantas. Menggaruk-garuk anggota badan, atau membuat banten di sembarang tempat.

Disimpulkan bahwa ketika membuat banten, dikondisikan situasi yang suci, sakral, konsentrasi penuh, rasa bakti dan kasih sayang kepada Hyang Widhi. Lihatlah ketika banten disiapkan untuk upacara besar di Besakih. Tempat membuat banten disebut Pensucian yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang atau orang yang tidak berkepentingan. Bahkan, dewasa atau hari baik untuk memulai membuat banten ditetapkan dengan teliti oleh para sulinggih. Dalam puja-stuti pereresik banten juga diucapkan doa agar banten tidak dilangkahi anjing, ayam atau dipegang oleh anak kecil, atau orang yang sedang cuntaka.

Dikatakan, beberapa jenis banten utama bahkan hanya boleh dibuat oleh sang Dwijati, misalnya Catur, dan Pangenteg gumi. Untuk menegaskan penting dan sakralnya banten, Mpu Jiwaya — salah seorang tokoh pemimpin agama pada abad ke-10 — mengajarkan membuat reringgitan dengan bahan daun kelapa, anau atau lontar. Reringgitan itu kadang demikian sulit sehingga konsentrasi kita harus penuh. ‘’Jika tidak, bisa reringgitan-nya rusak atau tangannya yang teriris pisau,’ katanya. Ditambahkan, makna membuat banten seperti yang dikemukakan di atas tiada lain agar kita dapat mewujudkan rasa bakti dan kasih sayang kepada Hyang Widhi.

Sesuaikan dengan Kondisi Zaman

Bagaimana dengan di zaman Kali ini? Menurut Ida Pedanda Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi, zaman beredar dan kini kita hidup di era milenium. Kemampuan kita menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi zaman ini diuji dengan berbagai masalah. Misalnya, kelangkaan bahan-bahan baku banten. Waktu yang terbatas untuk membuat banten. Tidak semua umat Hindu di Bali bisa membuat banten sendiri.

Tentang kelangkaan bahan-bahan baku banten, katanya, sudah dimaklumi, karena busung, pisang, kelapa, telur, bebek dan ayam, tidak sedikit yang sudah didatangkan dari luar Bali (Sulawesi, Lombok dan Jawa). Waktu yang terbatas bagi umat Hindu di Bali dalam menyiapkan sarana-sarana upakara menyebabkan sebagian besar umat Hindu membeli banten dari tukang-tukang banten, istilahnya nunas puput.

Dikatakan, generasi muda mulai bertanya-tanya, mengapa kok melaksanakan ajaran agama Hindu (di Bali) dalam bentuk ritual atau upacara menjadi sangat sulit dan mahal. ‘’Model’ umat Hindu-Bali di perkotaan melaksanakan upacara yadnya kini terlihat sudah lumrah seperti sewa tenda, sewa korsi, pesan katering, dan nunas ayaban di geria lengkap dengan sulinggih yang muput. Serba praktis dan ekonomis walaupun segi-segi adat-dresta kegotong-royongan hilang, dan segi sakral membuat banten hilang.

Jika dikaitkan dengan ajaran Maha Rsi Markandeya dan Mpu Jiwaya, agaknya hal yang paling patut dipikirkan adalah segi sakralnya suatu banten. Apalah artinya banten jika sang yajamana tidak mengerti makna banten yang dipersembahkan kepada Hyang Widhi. Ibaratnya kita memberikan sesuatu kepada orangtua kita, tetapi ketika ditanya orang lain, apa yang kamu berikan kepada orangtuamu? Jawabannya, ya… enggak tahu tuh. Aneh kan?

Fenomena seperti itu, katanya, akan terus berkembang. Lebih-lebih bilamana dalam suatu rumah tangga sang ayah dan sang ibu masing-masing sibuk dengan profesinya mencari nafkah karena tuntutan kebutuhan hidup yang makin banyak. Konsep-konsep Manawa Dharmasastra yang mengatur pembagian tugas pekerjaan rumah tangga antara suami dan istri banyak tidak berlaku lagi.

Suami mestinya menghidupi keluarga, dan istri mestinya mengurus rumah, terutama masalah panca yadnya dan dengan sendirinya membuat banten. Adakah jalan keluar menghadapi fenomena seperti itu? Untuk ini ada beberapa hal yang perlu dikemukakan. Dalam banyak kitab suci antara lain Manawa Dharmasastra, Parasara Dharmasastra disebutkan bahwa cara kita beragam, di setiap zaman tidaklah sama.

* Suentra

Source : Balipost
 
Banten adl ciri khas agama Hindu yg ada di Indonesia terutama di Bali...jgn sampai kita pemeluk agama Hindu Bali meninggalkan banten..kalo di Indonesia agama Hindunya gak pake banten itu namanya agama Hindu India...itulah yg membedakan agama Hindu Bali dengan Hindu India..banten di setiap daerah di Bali berbeda-beda..jgn sampai kita memaksakan unifikasi banten...gmn yach caranya supaya banten ini tetap lestari?
 
Saya setuju kalau banten disederhanakan, bahkan dihilangkan.
Ini merupakan salah satu penghambat berkembangnya Hindu di Indonesia. Hindu adalah agama dunia, bukan cuma agamanya org Bali saya (saya juga org Bali).
Orang Non Bali akan susah mempelajari hindu apabila masih berkiblat di Bali saja, ingat ini jaman moderen, segala permasalahan harus diselesaikan dengan sebuah intelektua, yakni berdasar Weda (kitab agama Hindu)
jangan menyelesaikan suatu permasalahan hanya dengan "ditebus-dan ditebus Banten"
Seharusnya sejak dini generasi Hindu Muda kita harus mempelajari Sansekerta, bukan Adat bali aja yg diajarkan.. ingat ketika mereka besar nanti, permasalahan harus bisa diselesaikan berdasarkan ajaran weda. bukan banten, banten saja.
well, dijaman dahulu karena nenek moyang kita banyak yg buta huruf&buta filosofi, dan tidak bisa mempelajari Weda, maka bantenlah yg bisa menyimbolkan Baktinya kepada Brahman.
Sekarang jaman sudah berubah, ketika org non Hindu bertanya Kenapa begini, kenapa begitu, tidak bisa dijawab hanya dengan 3 kata saja; "Nak Mulo Keto" (memang demikian dari nenek moyang. Ingan bukan dari Weda.
Weda merupakan kitab yang maha komplitnya mengatur segala aspek kehidupan manusia.
Tukah anda, mengapa umat Hindu mudah berpindah ke agama lain?
yakni karena sebagian hindu (terudama di desa2 di Bali) kurang memahami Weda. mereka hanya memahami Tradisi/adat saja, dan cuman ikut2 aja.
nah ketika org hindu Bali itu bergaul dengan Agama lainmaka akan sangat mudah di rekrut oleh agama lain, karena dianggap simpel.
Padahal Hindu kan juga Simpel, tetapi Tradisi-lah yg membuatnya ribet..

Saya sangat setuju kalau Banten dihilangkan, ganti dengan pengetahuan Mantra/doa2 berdasarkan ajjaran Weda. Bukan Tradisi/adat Bali.Sehingga Umat akan Cerdas menghadapi kehidupan yg sangat Prural, bukan dikaitkan sdengan mitos2 tertentu.>

Mari Memajukan Hindu..

Ohm namasivaya...
 
Saya setuju kalau banten disederhanakan, bahkan dihilangkan.
Ini merupakan salah satu penghambat berkembangnya Hindu di Indonesia. Hindu adalah agama dunia, bukan cuma agamanya org Bali saya (saya juga org Bali).
Orang Non Bali akan susah mempelajari hindu apabila masih berkiblat di Bali saja, ingat ini jaman moderen, segala permasalahan harus diselesaikan dengan sebuah intelektua, yakni berdasar Weda (kitab agama Hindu)
jangan menyelesaikan suatu permasalahan hanya dengan "ditebus-dan ditebus Banten"
Seharusnya sejak dini generasi Hindu Muda kita harus mempelajari Sansekerta, bukan Adat bali aja yg diajarkan.. ingat ketika mereka besar nanti, permasalahan harus bisa diselesaikan berdasarkan ajaran weda. bukan banten, banten saja.
well, dijaman dahulu karena nenek moyang kita banyak yg buta huruf&buta filosofi, dan tidak bisa mempelajari Weda, maka bantenlah yg bisa menyimbolkan Baktinya kepada Brahman.
Sekarang jaman sudah berubah, ketika org non Hindu bertanya Kenapa begini, kenapa begitu, tidak bisa dijawab hanya dengan 3 kata saja; "Nak Mulo Keto" (memang demikian dari nenek moyang. Ingan bukan dari Weda.
Weda merupakan kitab yang maha komplitnya mengatur segala aspek kehidupan manusia.
Tukah anda, mengapa umat Hindu mudah berpindah ke agama lain?
yakni karena sebagian hindu (terudama di desa2 di Bali) kurang memahami Weda. mereka hanya memahami Tradisi/adat saja, dan cuman ikut2 aja.
nah ketika org hindu Bali itu bergaul dengan Agama lainmaka akan sangat mudah di rekrut oleh agama lain, karena dianggap simpel.
Padahal Hindu kan juga Simpel, tetapi Tradisi-lah yg membuatnya ribet..

Saya sangat setuju kalau Banten dihilangkan, ganti dengan pengetahuan Mantra/doa2 berdasarkan ajjaran Weda. Bukan Tradisi/adat Bali.Sehingga Umat akan Cerdas menghadapi kehidupan yg sangat Prural, bukan dikaitkan sdengan mitos2 tertentu.>

Mari Memajukan Hindu..

Ohm namasivaya...

Ehm...saya gak ingin memaksakan kepercayaan saya kepada anda...
akan saya sampaikan sesuatu :
"saya adalah salah seorang yang NGIRING SESUHUNAN RING LUHURIN DALEM...
Sesuhunan bersabda sesungguhnya agama Hindu ada 2 yaitu Hindu India dan Hindu Bali...tetapi kedua agama ini berbadan satu (Hindu)....
perbedaan yg paling mencolok antara kedua agama ini adalah pd banten..
Hindu India tidak menggunakan sarana banten sedangkan Hindu Bali menggunakan banten...asalkan anda menggunakan banten maka anda adalah pemeluk Hindu Bali...
banten sendiri merupakan pengejewantahan dari Weda...
anda salah besar kalo anda mengatakan bahwa banten adalah tradisi akan tetapi banten adalah bagian dari agama...
berdasarkan sabda Sesuhunan, dasar2 Hindu Bali pertama kali diturunkan oleh Beliau di kerajaan Kutai (Kalimantan Timur)...
jadi kalo anda gak maw make banten ya gapapa...hanya saja anda tidak dapat dikategorikan sebagai pemeluk Hindu Bali tetapi anda adl pemeluk Hindu India...
 
Benar seperti apa yang disampikan saudara @Jaka.

BANTEN = Yantra = simbol-simbol yang penuh arti

Sahananing bebanten pinaka raganta tuwi,
pinaka warna rupaning Ida Bhatara,
pinaka andha buwana.
Sekare pinaka kasucian katulusan kayunta mayadnya,
Reringgitan tatuwasan pinaka kalanggengan kayunta mayadnya.
Raka-raka pinaka widyadhara widyadhari.
(Dipetik dari Lontar Yadnya Prakerti).

Maksudnya:Semua banten lambang diri kita (manusia), lambang Kemahakuasaan Tuhan, lambang alam semesta. Bunga-bungaan lambang kesucian dan ketulusan melakukan Yadnya. Reringgitan dan tatuwasan (ukir-ukiran pada Banten) lambang kesungguhan pikiran melakukan Yadnya. Raka-raka (buah dan berbagai jajan perlengkapan banten) lambang para ilmuwan-ilmuwan sorga.

SWAMI Satya Narayana menyatakan setiap upacara agama Hindu (Weda) harus ada lima unsur yang bersinergi membangun kesucian upacara agama Hindu tersebut. Lima unsur tersebut adalah
  1. Mantra = doa pujaan yang dijadikan pengantar upacara oleh pandita atau pinandita.
  2. Tantra = niat dan hasrat suci yang kuat.
  3. Yantra = simbol-simbol yang penuh arti.
  4. Yadnya = laksana yang didasarkan pada keikhlasan yang tulus untuk berkorban, dan
  5. Yoga = tercapainya hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, antara manusia dengan sesamanya dan antara manusia dengan alam lingkungan.
Dalam lima unsur tersebut, Yantra merupakan unsur yang ketiga.
Banten adalah salah satu bentuk Yantra.
Sebagaimana dinyatakan dalam Lontar Yadnya Parakerti yang dikutip di atas bahwa :
Banten itu memiliki arti yang demikian dalam dan universal.
Banten dalam upacara agama Hindu adalah wujudnya sangat lokal.
Namun di dalamnya terkandung nilai-nilai yang universal.
 
Ehm...saya gak ingin memaksakan kepercayaan saya kepada anda...
akan saya sampaikan sesuatu :
"saya adalah salah seorang yang NGIRING SESUHUNAN RING LUHURIN DALEM...
Sesuhunan bersabda sesungguhnya agama Hindu ada 2 yaitu Hindu India dan Hindu Bali...tetapi kedua agama ini berbadan satu (Hindu)....


Saya paham tentang bagaimana hindu di Bali, akan tetapi bagi saya hanya ingin mengajak gunakanlah Weda. Jika memang anda merasa sebagai seorang Hindu.
Nah jika seperti ini apakah anda bisa dikatakan sbg Hindu? ataukah sebuah agama Nusantara.? Lontar memang salah satu patokan yg dipakai di Bali untuk beragama, bukan Weda secara utuh.
Jika memang kita Hindu kan kitab anda adalah WEDA. lalu weda yang mana mengatakan harus menggnakan ber truk-truk banten dalam upacara??
prinsip saya adalah Weda, weda tidak ada mengatakan Hindu Bali/India, dsbg. sebenarnya siapapun boleh mempelajari weda (derajat manusia adalah sama dimata Tuhan) dak pandang dari Bali/India.
Menurut saya (seperti pembahasan sebelumnya) Dahulunya karena nenek moyang kita tidak bisa membaca maka Bhakti dengan banten(sesaji)lah yg digunakan mengungkapkan rasa cintanya kepada Tuhan. Sekarang kan kita sudah bebas ber sekolah,belajar agama, tekhnologi,dsb lalu bukannya lebih bagus jika kita berbakti kepada Tuhan itu dengan mempelajari& mengamalkan Weda??
Perlu diingat, Kini telah banyak tukang banten sekalipun bukan Hindu. sedangkan org Hindunya yg Beli biar lebih praktis. Coba deh jika anda / mgkin punya teman yg merantau ke daerah yg banyak Non-Hindunya, di situ baru kita bisa rasakan betapa pentingnya pengetahuan Hindu/Weda. karena pertanyaan tidak bisa hanya dijawab dengan kata "Banten ini/itu"
Jika seorang Hindu itu tidak mampu menjawab sesuai ajaran Weda, maka makin di cap negatif lah Hindu. Maaf saya dak bermaksud meremehkan Hindu di Bali, saya hanya ingin membuka pikiran kita, karena Hindu semakin Minim.

perbedaan yg paling mencolok antara kedua agama ini adalah pd banten..
Hindu India tidak menggunakan sarana banten sedangkan Hindu Bali menggunakan banten...asalkan anda menggunakan banten maka anda adalah pemeluk Hindu Bali...
banten sendiri merupakan pengejewantahan dari Weda...
anda salah besar kalo anda mengatakan bahwa banten adalah tradisi akan tetapi banten adalah bagian dari agama...
berdasarkan sabda Sesuhunan, dasar2 Hindu Bali pertama kali diturunkan oleh Beliau di kerajaan Kutai (Kalimantan Timur)...
jadi kalo anda gak maw make banten ya gapapa...hanya saja anda tidak dapat dikategorikan sebagai pemeluk Hindu Bali tetapi anda adl pemeluk Hindu India...


Ingat Hindu sudah Minim, pernahkah kita berfikir kenapa??
Karena memang umat kita memiliki pemahaman yg masih sangat kurang tentang bagaimana WEDA yg sesungguhnya. Hindu di India dapat menjadi mayoritas karena mereka benar-benar berprinsip pada kebenaran WEDA.
Lalu mengapa kita harus membentuk "Hindu Bali" lagi??
Saya tidak bermaksud mengajak anda untuk beragama Hindu India, selama saya merantau dan memahami Hindu, tidak ada mengatakan menurut di India, tetapi menurut WEDA.
Lalu mengapa anda menggunakan sabda "Sesuhunan" dalam beragama, ini kan dah keluar dari WEDA?
Anda salah besar jika menafsirkan Banten menjadikan perbedaan di dalam Hindu.
Lalu, jika kita Hindu mengapa harus memnyemblih binatang seperti Ayam, Itik, dsbg sebagai sebuah "persembahan" kepada Dewata, bukankah Hindu mengajarkan kita untuk tidak menyakiti sesama makhluk Hidup?? Apalagi menyemblihnya??
kan menurut anda perbedaan mendasar Hindu Bali vs India adalah di Banten aja, berarti yg lainnya sama aja donk??
Sekali lagi saya tidak setuju kalau anda Polemikkan Hindu Bali dngn Hindu India.
Bagi saya Hindu memang Universal, tetapi tetap satu.
Namun jika kita melenceng jauh dari kitab kita ya di luruskan lagi donk...

Reply With Quote
 
Melakukan upacara-upacara / Nyadnya yang aneka ragam dan banyak dapat mengantarkan kearah kebahagiaan dan kekuatan.
Kini sudah waktunya tokoh-tokoh yang terlibat secara langsung dalam melaksanakan suatu upacara yadnya memperhatikan dan memikirkan jalan keluarnya agar warga Hindu di Bali tetap dapat melaksanakan upacara yadnya dengan baik.

Tokoh-tokoh itu disebut sebagai "Tri Manggalaning Yadnya" yaitu : Sang adruwe karya, Sang Widia atau yang pandai membuat banten, dan Sang Sadaka atau Sulinggih yang muput karya.

Ketiga tokoh ini mempunyai peranan yang menentukan atas sukses tidak suatu upacara, dan mahal atau murahnya biaya upacara yadnya.

Secara umum dapat dipedomani beberapa faktor sebagai berikut :
1. Yadnya adalah pengorbanan suci yang tulus ikhlas maka hendaknya diselenggarakan menurut kemampuan riil yang ada, baik menyangkut Desa, Kala, maupun Patra. Yang dimaksud dengan Desa adalah penggunaan bahan-bahan upakara yang ada atau dimiliki; Kala adalah waktu yang tersedia bagi penyelenggaraan upacara, dan Patra adalah kemampuan dana yang riil.

2. Berdasar pemahaman Yadnya maka volume upakara (banten) dibedakan ke dalam tiga golongan yaitu : alit, madya, dan ageng. Penggolongan ini semata-mata berdasarkan desa-kala-patra dan tidak berarti bahwa banten yang alit nilainya lebih rendah daripada yang madya atau ageng, demikian pula sebaliknya, banten yang ageng tidak berarti lebih tinggi nilainya dari yang alit atau madya. Tujuanya orang yang tidak punya dana riil dapat melakukan yadnya sesuai dengan kondisinya. Demikian juga orang yang mempunyai kekayaan yang besar tidak pelit untuk beryadnya sehingga mengambil tingkatan ageng. Sehingga beryadnya menjadi pengorbanan suci yang tulus ikhlas.

3. Besar-kecilnya tingkat upacara tergantung pula dari banyak tidaknya warga yang mendukung, karena setiap upacara yadnya akan melibatkan warga dalam kelompok tertentu. Dalam hubungan ini dapat digambarkan sebagai bentuk piramida yang terbalik dengan pengertian bahwa makin sedikit pendukungnya, makin kecil tingkat upacaranya. Makin banyak pendukungnya makin besar tingkat upacaranya. Contoh upacara maha agung Eka Dasa Rudra di Besakih di mana pendukungnya adalah Pemerintah dan warga seluruh Bali bahkan Nusantara. Sementara pecaruan di rumah tangga cukup dengan bentuk yang kecil misalnya panca sata atau eka sata.

4. Yadnya diselenggarakan berdasarkan hasil musyawarah Tri Manggalaning Yadnya, setelah mempertimbangkan hal-hal di atas. Kesepakatan ini diwujudkan dengan upacara "Mejauman" di mana Hyang Widhi-lah sebagai saksinya. Artinya setelah upacara mejauman, Tri Manggalaning Yadnya terikat untuk memenuhi kewajiban atau swadharmanya.

Setelah memahami keempat faktor itu maka masing-masing Tri Manggalaning Yadnya seyogyanya mempunyai paradigma sebagai berikut :

1. Sang Adruwe Karya janganlah menonjolkan segi-segi "demonstration effect" misalnya memaksakan diri berupacara yang besar karena merasa dirinya berasal dari keluarga keturunan "Triwangsa" atau "Soroh" tertentu, atau mempunyai status sosial tinggi. Selanjutnya ia hendaknya pandai memilih partner yang cocok baik dari Sang Widia maupun dari Sang Sadaka. Ia juga sebaiknya memahami tattwa-tattwa tentang upacara yang akan diselenggarakan, agar dapat berkomunikasi dengan baik kepada Sang Widia dan Sang Sadaka.
Seandainyapun ia mempunyai kekayaan yang besar alangkah baiknya kekayaan itu tidak digunakan untuk kepentingannya sendiri antara lain dengan membangun upacara agung; alangkah mulianya bila kekayaannya itu didana-puniakan kepada fakir miskin, orang tua jompo, anak-anak cacat, dll. sehingga ia dapat melaksanakan "Drwya yadnya"


2. Sang Widia diharapkan tidak "menjual" banten dengan harga tinggi di mana di dalamnya ada unsur-unsur mendapat keuntungan yang banyak. Tugas sebagai Sang Widia adalah sangat mulia karena melaksanakan kedharmaan; janganlah kemuliaan ini dicemari dengan sifat-sifat sad-ripu yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Ia diharapkan memberikan pertimbangan tentang jenis-jenis banten yang perlu-perlu saja sesuai dengan tujuan upacara, jangan menambah-nambah volume banten. Ia juga berkewajiban mengajar cara membuat banten kepada sesama warga Hindu.

3. Sang Sadaka sebagai seorang Adhi Guru Loka hendaknya dapat memberikan petunjuk baik kepada Sang Widia maupun
kepada Sang adruwe karya tentang cara-cara berupacara yang murah, namun tetap dalam jalur tattwa Agama. Jauhkanlah warga dari kebiasaan "Gugon Tuwon", apalagi dengan memberi penjelasan "Anak mula keto". Sudah saatnya generasi muda diberikan penjelasan-penjelasan menurut sastra-sastra Agama yang pasti, sehingga tidak menimbulkan keraguan di kalangan warga. Hakekat tugas seorang Sadaka adalah menjalankan perintah Hyang Widhi, mengabdi kepada warga, memberikan kedamaian, keteduhan, dan kebahagian lahir batin.

Beberapa kiat berupacara yang murah dan baik sudah mulai nampak di beberapa daerah, misalnya dengan melaksanakan upacara kolektif baik untuk upacara pitra yadnya, mepandes, nyapuh legger, dll.
Cara berupacara seperti ini meringankan biaya karena biaya banten ditanggung bersama. Makin banyak pesertanya, makin rendah biayanya perorang. Lingkup kolektifitasnya bisa Dadia, Banjar, dan Desa.


LOKASAMGRAHA
(Kesejahteraan Umat Hindu)​
"Adalah kewajiban bagi setiap orang untuk mendedikasikan (membaktikan) hidupnya, intelejensi (kepandaiannya), kekayaannya, kata-katanya, dan pekerjaannya bagi kesejahteraan mahluk lain"
(Bhagawata Purana : 10.22.35)​

[FONT=&quot]Kini adalah saatnya bagi kita semua untuk memperluas makna yadnya, tidak saja pengorbanan dalam hubungannya dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama umat, berdasarkan ‘daya" (compassion atau cinta kasih) dan ‘dana’ (pemberian bantuan)[/FONT]

Agama yang tidak peka terhadap penyakit masyarakat dan tidak ikut ambil bagian dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, tidak mendapat tempat dalam masyarakat modern, tidak menarik bagi manusia modern. ( Sarvepalli Radhakrisnan)

Lokasamgraha adalah ideal masyarakat Hindu. Lokasamgraha mengisyaratkan, adanya kesadaran sosial dari masing-masing pemeluk Hindu, bahwa pencapaian masyarakat yang sejahtera, masyarakat yang bebas dari kemiskinan material maupun spiritual, memerlukan adanya kesetiakawanan, solidaritas, saling tolong menolong, (bahasa Bali "salunglung sabayantaka"), atau kesalingterhubungan dari seluruh pemeluk Hindu.

Kesadaran, solidaritas sosial dan kesalingterhubungan ini melintasi klan, soroh, marga, dadia, padarman, suku bangsa.

Dengan kata lain, setiap pemeluk Hindu, dimanapun dia berada, apapun klan, marga atau suku bangsanya adalah saudara bagi pemeluk Hindu lainnya.

Penderitaan seorang pemeluk Hindu, adalah juga penderitaan bagi pemeluk Hindu lainnya.

Kebahagiaan bagi seorang pemeluk Hindu adalah juga kebahagiaan bagi pemeluk Hindu lainnya.

Solidaritas keumatan ini, dalam masyarakat Hindu di Bali disebut "suka duka".

Konsep, norma, dan nilai-nilai suka-duka, perlu diperluas, tidak hanya menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan ritual atau upakara, tetapi juga meliputi bidang lain, seperti misalnya bidang ekonomi dan pendidikan.

Dan tidak hanya bagi pemeluk Hindu yang berasal dari suku Bali, tapi mencakup seluruh pemeluk Hindu di Indonesia, apapun sukunya.
 
Banten / sesaji Dalam hindu


LOKASAMGRAHA
(Kesejahteraan Umat Hindu)
"Adalah kewajiban bagi setiap orang untuk mendedikasikan (membaktikan) hidupnya, intelejensi (kepandaiannya), kekayaannya, kata-katanya, dan pekerjaannya bagi kesejahteraan mahluk lain"
(Bhagawata Purana : 10.22.35)


Ini membuktikan kita sebagai manusia apabila kita membagikan sebagian dari "milikkita" kepada "makhluk lain" (yg berati; bukan hanya Agama Hindu saja) dan semua ciptaan-Nya kan. apapun bentuknya kan?
berati Bakit bukan Harus dengan banten kalo gitu.
Mengabdi kepada Brahman tidak harus dengan mengeluarkan Bajet beratus2 juta atau membuat banten yg maha ribet, dan maha banyaknya-nya untuk mengabdi kepada-Nya kan?

Beramal, membantu org yg kesusahan, org miskin juga merupakan suatu bentuk Bhakti kepada Tuhan. Namun juga haruus diinringi dengan yoga/semedi kepadaNya.

Saya sangat setuju!!


Namun kenyataannya di masyarakat kita (terutama Hindu Dibali/suku Bali yg masih minim pendidikan atau pun pergaulan dengan masyarakat secara nasional) praktek keagamaan cinderung lebih banyak mengeluarkan Dana untuk membuat Banten. Ratusan ribu, Ratusan Juta, atau mungin Miliyaran. Apakah ini tidak dikategorikan menyimpang dari seloka (Bhagawata Purana : 10.22.35) diatas??
kalau jaman dahulu waktu masih buta huruf seh ok2 aja menurut saya. sekarang kan jamannya mengutamakan "pentingnya pendidikan" dalam hal ini pendidikan WEDA.

Bukankah menurut sloka itu kita akan lebih baik jika menggunakan dana yg kita miliki untuk disumbangkan ke yg membutuhkan ketimbang untuk membuat Banten yg mahal dengan alasan "Bakti kepada tuhan?"

Jika Banten dibuat dengan dana Ratusan juta rupiah, dimana letak kita Bakti kepada "makhluk Lain?",
Ini yg perlu kita sadari dan perlu kita terapkan kepada pemeluk hindu yg masih aja percaya dgn mitos kerauhan, Ini dan itu, minta banten ini itu, yg tidak jelas..
Kita Harus menjadi Hindu yg Maju.. bukan Primitif.
So, "Gunakanlah Mantram menurut Weda sebagai pengganti Banten"


Kini adalah saatnya bagi kita semua untuk memperluas makna yadnya, tidak saja pengorbanan dalam hubungannya dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama umat, berdasarkan ‘daya" (compassion atau cinta kasih) dan ‘dana’ (pemberian bantuan)


Ya betul yg anda katakan, sudah saatnya kita lebih meningkatkan "bakti" kita kepada sesama, baik itu hindu maupun non hindu, yg memang membutuhkan, dengan jalan
memahami kitab kita (WEDA) serta mengamalkan ajaran-ajarannya untuk Bakti kepada-Nya.

Dengan bakti yg seperti ini bagi saya mungkin akan jauh lebih baik di mata Tuhan, daripada dana ratusan juta kita peruntukkan untuk banten2 yg besar&ribet dengan alasan untuk "ritual Tuhan". Menurut saya Tuhan tidak perlu didanai sebesar itu.

Makin banyak kita membantu/sedekah kepd sesama ciptaan-Nya, makin banyaklah kita menjalankan sabda2-Nya.
Mari buka fikiran kita, dan sadarlah bahwa kita selama ini telah melenceng, mari kita sama2 meluruskan jalan kita, agar kita bisa sampai kepadaNya (moksa).

Saya yakin ini tdk semudah membalikkan telapak tangan, mengingat banyanya umat kita yg masih berfikiran sempit, namun jika niat kita memahami hindu lebih dalam, mari kita dalami ajaran Kitab-Nya, yakni Weda.
dan saya yakin dengan kesederhanaan kita berbakti kepada-Nya, Umat pun akan merasa lebih ringan /tidak terbebani oleh agama serta "Adat"

.......Mari memajukan Hindu.......

OSSSO..
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.