• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Pengertian riba

moalboros

IndoForum Newbie A
No. Urut
13853
Sejak
8 Apr 2007
Pesan
256
Nilai reaksi
4
Poin
18
Assalam mualaikum wr. wb
Aku punya bahan bacaan dr salah satu makalah temen kuliah ku semoga bermanfaat:

NAMA : BUDI SETIAWAN
NPM : 0606024636
KElAS : EKS-SORE
MATA KULIAH : AYAT & HADIS HUKUM EKONOMI
DOSEN : ALI FIKRI, Lc, MA.

RIBA
A. Tahapan Diharamkannya Riba
Chapra (2000) menyebutkan dari beberapa literatur bahwa larangan riba muncul dalam Al-Quran pada empat kali penurunan wahyu/tahapan yang berbeda-beda.
Yang pertama (Ar-Rum : 39) diturunkan di Mekah, menegaskan bahwa bunga akan menjauhkan keberkahan Allah dalam kekayaan, sedangkan sedekah akan meningkatkannya berlipat ganda. As-Shabuni (2003) menjelaskan menurut zhahirnya tidak isyarat yang menunjukkan diharamkannya riba itu. Tetapi yang ada hanya isyarat akan kemurkaan Allah terhadap riba itu, di mana dinyatakan “Riba itu tidak ada pahalanya disisi Allah” Jadi dengan demikian, ayat ini baru berbentuk “Peringatan untuk supaya berhenti dari perbuatan riba (mau’izhah salbiyah)”.
Kedua (An-Nisa : 161), diturunkan pada masa permulaan periode Madinah, mengutuk dengan keras praktik riba, seirama dengan larangannya pada kitab-kitab terdahulu. Pada tahap kedua ini, Al-Quran menyejajarkan orang yang mengambil riba dengan mereka yang mengambil kekayaan orang lain secara tidak benar dan mengancam kedua pihak dengan siksa Allah yang amat pedih.
Ash-Shabuni (2003) menjelaskan ayat ini merupakan pelajaran yang dikisahkan Allah kepada kita tentang perilaku Yahudi yang dilarang memakan riba, tetapi justru mereka memakannya, bahkan menghalalkannya. Maka sebagai akibat dari itu semua, mereka ini mendapat laknat dan kemurkaan dari Allah.
Jadi larangan riba di sini baru berbentuk isyarat, bukan dengan terang-terangan. Sebab ini adalah kisah Yahudi yang bukan merupakan dalil qath’i, bahwa riba itu diharamkan atas orang-orang Islam. Ini sama dengan larangan arak dalam periode kedua, yaitu : “Mereka bertanya kepadamu tentang arak dan judi, maka jawablah : bahwa pada keduanya itu ada dosa yang besar, di samping juga banyak manfaatnya bagi manusia”. (2:219). Larangan di sini berbentuk isyarat, bukan dengan terang-terangan.
Wahyu yang ketiga (Ali-Imran : 130-132), diturunkan kira-kira tahun kedua atau ketiga hijrah, menyerukan kaum muslimin untuk menjauhi riba jika mereka menghendaki kesejahteraan yang diinginkan (dalam pengertian Islam yang sebenarnya).
Ash-Shabuni (2003) mengatakan lebih lanjut bahwa ini merupakan larangan secara tegas. Tetapi larangan (haramnya) di sini, baru bersifat juz’iy (sebagian), belum kulliy (menyeluruh). Karena haramnya di sini adalah satu macam dari riba yang ada, yang disebut “riba fahisy” (riba yang paling keji), yaitu bentuk suatu bentuk riba yang paling jahat, di mana hutang itu bisa berlipat ganda yang diperbuat oleh orang yang mengutanginya itu, yang justru dia berhutang karena butuh atau terpaksa. Ini sama dengan diharamkannya arak pada periode ke tiga, yang haramnya itu juga baru bersifat juz’iy bukan kulliy. Yakni masih terbatas pada waktu-waktu shalat, seperti yang difirmankan Allah : “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati shalat, padahal kamu sedang mabuk, hingga kamu sadar akan apa yang kamu katakan,” (An-Nisa : 42)
Wahyu keempat (Al-Baqarah : 275-281), diturunkan menjelang selesainya misi Rasulullah SAW, mengutuk keras mereka yang mengambil riba, menegaskan perbedaan yang jelas antara perniagaan dan riba, dan menuntut kaum muslimin agar menghapuskan seluruh utang piutang yang mengandung riba, menyerukan mereka agar mengambil pokoknya saja, dan mengikhlaskan kepada peminjam yang mengalami kesulitan.
Dalam ayat ini Ash-Shabuni (2003) memastikan bahwa riba itu telah diharamkan secara menyeluruh (kulliy), di mana pada periode ini Al-Quran sudah tidak lagi membedakan banyak dan sedikit. Dan ini adalah merupakan ayat yang terakhir turunnya, yang berarti merupakan syariat yang terakhir pula. Yaitu firman Allah yang mengatakan : “Hai orang-orang yang beriman takutlah kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang masih tersisa dari riba…” (Al-Baqarah : 278)
Ayat-ayat ini merupakan tahap terakhir tentang diharamkannya riba, sama dengan tahap terakhir tentang diharamkannya arak, dan merupakan larangan yang tegas : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya arak, judi, berhala dan undian, adalah najis yang berasal dari perbuatan syetan. Oleh karena itu jauhilah dia supaya kamu berutang.” (Al-Maidah : 93)
 
B. Tafsir Pertahapan Surat
 Wahyu Pertama (Ar-Rum : 39)

وَمَآءَاتَيْتُم مِّن رِّبًا لِيَرْبُوا فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلاَ يَرْبُوا عِندَ اللهِ وَمَآءَاتَيْتُم مِّن زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللهِ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ {39}
Arti : Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).

Sayyid Qutub dalam Fi Zhilalil Quran mengatakan inilah dasar teori Islam dalam masalah harta. Kepada dasar ini, seluruh perincian dalam teori ekonomi Islam kembali. Selama harta itu adalah harta Allah, maka ia dengan demikian tunduk kepada apa saja yang ditetapkan oleh Allah baginya, sebagai pemilik harta yang pertama, baik dalam masalah cara memilikinya maupun dalam cara mengembangkannya, atau juga dalam cara menggunakannya. Sehingga, orang yang memegang harta tak dapat bebas memperlakukan harta itu semaunya.
Di sini Al-Quran mengarahkan para pemilik harta yang Allah pilih untuk menjadi pemegang amanah harta itu, kepada jalan yang paling baik dalam mengembangkan harta itu. Yaitu, dengan berinfak kepada para kerabat, orang miskin, dan orang-orang yang dalam perjalanan, serta menginfakkan secara umum di jalan Allah.
Tetapi sebagian mereka ada yang berusaha mengembangkan harta dengan memberikan hadiah kepada orang-orang kaya, agar hadiah tersebut di balas berlipat-lipat! Maka, Allah menjelaskan kepada mereka bahwa ini bukan jalan yang benar dalam mengembangkan harta secara hakiki.
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah..”
Inilah yang disebut oleh beberapa riwayat tentang maksud ayat tersebut, meskipun nashnya dengan dimutlakkan akan mencakup seluruh wasilah yang ingin digunakan oleh pemilik harta guna mengembangkan hartanya dengan cara riba dalam bentuk yang bagaimanapun. Juga menjelaskan kepada mereka pada waktu yang sama tentang cara yang hakiki untuk mengembangkan harta.
“Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”
Ini adalah wasilah yang terjamin untuk melipatgandakan harta. Yaitu, dengan tanpa balasan dan tanpa menunggu ganti dari manusia. Ia melakukannya semata untuk mendapat keridhaan Allah. Bukankah Dia yang membukakan rezeki dan menetapkannya? Bukankah Dia yang memberikan rezeki kepada manusia atau tak memberikannya?
Maka, Dialah yang dapat melipatgandakan harta itu bagi orang-orang yang menginfakkannya dengan tujuan mendapatkan keridhaan-Nya. Dia pula yang mengurangi harta orang-orang yang menjalankan riba yang bertujuan mendapatkan perhatian manusia. Itu adalah perhitungan dunia, sementara berinfak adalah perhitungan akhirat, dan padanya terdapat berlipat-lipat ganda keuntungan. Dan, ia adalah perdagangan yang menguntungkan di sini dan di sana.
 
 Wahyu Kedua (An-Nisa : 161)
وَأَخْذِهِمُ الرِّبَاوَقَدْنُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ
عَذَابًا أَلِيمًا {161}
Arti : dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.

Ayat ini sangat berhubungan dengan ayat-ayat sebelumnya mulai dari ayat 153, yang menjelaskan penentangan ahli kitab (Yahudi) kepada Rasululullah saw. Dikatakan sesungguhnya, kaum Yahudi pada masa Nabi saw. mempunyai watak dan tipe yang sama dengan mereka yang sezaman dengan Nabi Musa as dan Nabi Isa as. Mereka saat itu sama dengan mereka yang tempo dulu, yang tebal perasaannya dan tidak mau mengerti kecuali terhadap sesuatu yang dapat dicapai pancaindera. Mereka keras kepala dan sangat bandel, sehingga tidak mau tunduk kecuali di bawah paksaan dan tekanan. Mereka sangat kufur, sangat licik, dan sangat mudah berubah sikapnya, lalu merusak perjanjian meskipun itu perjanjian terhadap Tuhan mereka juga. Mereka adalah kaum suka berdusta dan mengada-ada. Karena itu, mereka tidak menganggap penting untuk berpegang teguh pada perkataannya, dan mereka juga tidak mau berhenti mengucapkan perkataan-perkataan mungkar dengan suara keras. Mereka sangat rakus terhadap kekayaan duniawi dan berusaha memperolehnya meskipun dengan cara memakan harta orang lain secara batil dan berpaling dari perintah-perintah Allah. (Sayyid Qutub, 2004)
 
 Wahyu Ketiga (Ali-Imran : 130-132)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ {130} وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ {131} وَأَطِيعُوا اللهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ {132}
130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda[1] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. 131. Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. 132. Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.

Nanti akan dibahas secara rinci masalah riba dan sistem ribawi pada saat masuk ke wahyu yang keempat (al-baqarah : 275-281). Akan tetapi, kami membatasi pembahasannya pada persoalan “adh-aafan mudhaa’afah” ‘berlipat ganda’, karena ada suatu kaum yang hendak bersembunyi di belakang nash ini dan berputar-putar padanya dengan mengatakan bahwa riba yang diharamkan itu ialah yang berlipat ganda. Sedangkan bunga sebesar empat persen, lima persen, tujuh persen, sembilan persen, tidak termasuk berlipat ganda dan tidak termasuk ke dalam bingkai pengharaman!
 
Kami mulai pembahasan ini dengan menetapkan bahwa “adh-aafan mudhaa’afah” itu adalah untuk menyifati peristiwa, bukan sebagai syarat yang berhubungan dengan suatu hukum. Sedangkan nash yang terdapat dalam surat al-baqarah ayat 278 secara qath’i pasti mengharamkan riba secara mendasar dengan tanpa

[1] Yang dimaksud riba di sini ialah riba nasi'ah. Menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda
menentukan pembatasan dan persyaratan tertentu, “Tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut)”, bagaimanapun modelnya.
Ash-Shabuni (2003) ketika menjelaskan kata ”lipat ganda” mengatakan ”adh’afan mudha’afah” itu tidak dapat dikatakan sebagai syarat atau pengikat. Itu dikatakan hanya sebagai ”waqi’atul ’ain” suatu penjelasan atas peristiwa yang pernah terjadi di zaman jahiliyah. Dan sekedar menunjukkan betapa kejahatan yang mereka lakukan itu, yaitu mereka mengambil riba itu sampai berlipat ganda.
Seluruh kaum muslimin telah sepakat untuk mengharamkan riba, baik sedikit ataupun banyak. Oleh karena itu pendapat yang mengatakan riba sedikit tidak haram itu adalah keluar dari ijma’, yang berarti menunjukkan atas kebodohannya terhadap pokok-pokok syari’ah. Sebab sedikit riba bisa menarik riba ynag banyak. Islam ketika mengharamkan sesuatu, ia harmkan secara keseluruhan, berdasar kaidah ”saddu dzari’ah” (mencegah meluasnya bahaya). Sebab kalau yang sedikit itu dibolehkan, niscaya akan membawa kepada banyak. Riba –dalam masalah ini- sama dengan arak. Apakah ada seorang muslim yang sehat akalnya yang menagatakan, bahwa arak sedikit itu hukumnya halal?
 
Wahyu keempat (al-baqarah : 275-281)

الَّذِينَ يَأْكُلوُنَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَآءَهُ مَوْعِظَةُُ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ {275} يَمْحَقُ اللهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ {276} إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ {277} يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ {278} فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ {279} وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ {280} وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَّاكَسَبَتْ وَهُمْ لاَيُظْلَمُونَ {281}
Arti : 275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba[2] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[3]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[4] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. 276. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah[5]. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa[6]. 277. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. 278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. 279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. 280. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. 281. Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).

[2]. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni (2003) tentang surat al-baqarah ayat 275-281

1) Maksud ”makan”pada ayat di atas, ialah : mengambil dan membelanjakannya. Tetapi di sini dipakai dengan kata ”makan”, karena maksud utama harta adalah untuk dimakan. Selain itu, adalah sekedar sekunder. Kata ”makan” ini sering pula dipakai dengan arti mempergunakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar.
2) Dipersamakannya pemakan-pemakan riba dengan orang-orang yang kesurupan, adalah sutau ungkapan yang halus sekali, yaitu : Allah memasukkan riba ke perut mereka itu lalu barang itu memberatkan mereka. Hingga mereka itu sempoyongan, bangun jatuh. Itu akan menjadi tanda mereka nanti di hari kiamat, sehingga semua orang akan mengenalnya. Begitulah seperti yang dikatakan oleh Sa’id bin Jubair. Sayyid Qutub di dalam Fi Zhilal menyebutkan sebagian kitab-kitab tafsir menjelaskan apa yang dimaksud dengan ”berdiri”dalam gambaran yang menakutkan ini adalah berdiri pada hari kiamat ketika dibangkitkan dari kubur.
3) Perkataan ”Sesungguhnya jual beli sama dengan riba” itu disebt ”tasybih maqlub” (persamaan terbalik), sebab ”musyabbah bih”-nya nilainya lebih tinggi. Sedang yang dimaksud di sini ialah : Riba itu sama dengan jual beli. Sama-sama halalnya. Tetapi mereka berlebihan dalam keyakinannya, bahwa riba itu dijadikannya sebagai pokok dan hukumnya halal, sehingga dipersamakan dengan jual beli. Disinilah letak kehalusannya. Sayyid Qutub di dalam Fi Zhilal menyebutkan kesamaran (riba dan jual beli) yang menjadi kecenderungan mereka ialah bahwa jual-beli itu menghasilkan faedah dan keuntungan sebagaimana riba juga menghasilkan faedah dan keuntungan. Ini adalah kesamaran yang lemah. Karena aktivitas perdagangan itu bisa jadi mendapatkan keuntungan dan bisa jadi merugi.

[3]. Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
[4]. Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
[5]. Yang dimaksud dengan memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan berkahnya. Dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan berkahnya.
[6]. Maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan riba dan tetap melakukannya.
 
Kepandaian dan kesungguhan seseorang serta keadaan-keadaan alamiah yang berlangsung dalam kehidupan itulah yang menentukan untung ruginya.Sedangkan bisnis ribawi keuntungannya sudah dipastikan dalam semua keadaan. Inilah perbedaan pokok dan alasan pengharaman dan kehalalan. Sesungguhnya setiap bisnis yang menjamin keuntungan dalam kondisi apa pun adalah bisnis riba yang diharamkan karena jaminan dan kepastian keuntungan itu.
4) Yang menjadi titik tinjauan dalam ayat ”Allah memusnahkan riba dan menumbuhkan sedekah” itu ialah : Bahwa periba mencari keuntungan harta dengan cara riba, dan pembangkang sedekah mencari keuntungan harta dengan jalan tidak mengeluarkan sedekah. Untuk itulah, maka Allah menjelaskan, bahwa riba menyebabkan kurangnya harta dan penyebab tidak berkembangnya harta tersebut. Sedang sedekah adalah penyebab tumbuhnya harta dan bukan penyebab berkurangnya harta itu. Keduanya ditinjau dari akibatnya di dunia dan di akhirat kelak.
5) Kata ”perang” (harbun) dengan bentuk nakirah adalah untuk menunjukkan besarnya persoalan ini, lebih-lebih dengan dinisbatkannya kepada Allah dan Rasul. Seolah-olah Allah mengatakan : Percayalah akan ada suatu peperangan dahsyat dari Allah dan Rasul-Nya yang tidak dapat dikalahkan. Ini memberi isyarat, bahwa akibat yang paling burukakan dialami oleh orang-orang yang biasa makan harta riba. Ibnu Abbas berkata : Kelak kepada pemakan harta riba itu akan dipanggil : Coba ambillah senjatamu untuk berperang.
6) Perkataan ”kaffar” dan ”atsiem” dalam ayat ini edua-duanya termasuk shighat mubalaghah, yang artinya : banyak kekufuran dan banyak berbuat dosa. Ini menunjukkan bahwa haramnya riba itu sangat keras sekali dan termasuk perbuatan orang-orang kafir, bukan perbuatan orang-orang Islam.
7) Perkataan ”Dan jika orang yang berhutang itu dalam keadaan kesukaran, maka berilah kesempatan sampai ia berkelonggaran” itu untuk memberi semangat kepada pihak yang menghutanginya supaya benar-benar memberi tempo kepada pihak yang berhutan itu sampai ia benar-benar mampu. Anjuran ini juga terdapat dalam sunnah : ”dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda : Orang yang menghutangi orang lain, lalu ia berkata kepada anaknya; Kalau engkau datang ke tempat orang yang masih dalam kesempitan, maka lewatilah dia, kiranya Allah akan melewatkan (siksa-Nya) dari kita, maka kelak ia akan bertemu Allah (di hari kiamat) dan Allah pun akan melewatkan dia.” (HR Bukhari)
Al-Muhayimi berkata : Apabila orang yang berhutang itu telah memenuhi kewajibannya (untuk membayar hutang) padahal dia dalam keadaan berat, kepada orang yang dihutanginya itu, maka Allah pun akan penuhkan hak-haknya dari orang yang dihutanginya itu sekalipun dalam keadaan payah; tetapi jika pihak yang dihutanginya itu memberikan ampun (membebaskan), maka Allah lebih berhak untuk memberikan pengampunan kepadanya.
8) Sebagian ulama berkata : Barangsiapa yang merenungi ayat-ayat di atas dengan segala kandungannya, seperti tentang siksaan pemakan riba, orang yang menghalalkan riba serta besarnya dosanya, maka dia pun akan tahu betapa keadaan-keadaan mereka itu kelak di akhirat, mereka akan dikumpulkan dalam keadaan gila, kekal di neraka, dipersamakan dengan orang kafir, akan mendapat perlawanan dari Allah dan Rasul serta kekal dalam laknat. Dia pun akan tahu betapa akibat yang ditimbulkan, seperti : kehidupan yang tercela, penuh kemarahan, hilangnya rasa keadilan dan amat kasar, kaku dan selalu menadapat doa laknat dari orang-orang yang merasa dizalimi. Itu semua sebab hilangnya kebaikan dan barakah. Oleh karena itu, betapakah buruknya maksiat riba ini, betapakah besar dosa riba ini dan betapakah kejinya akibat riba ini.
9) Ayat-ayat riba ini ditutup dengan ”Dan takutlah kepada suatu hari di mana kamu sekalian akan dikembalikan kepada Allah di hari itu, kemudian tiap-tiap jiwa akan dibalas dengan penuh sesuai apa yang dikerjakan dan mereka tidak akan dianiaya.” Dan ayat ini adalah ayat yang terakhir turun. Sesudah itu Rasulullah saw hidup sembilam malam, dan meninggal dunia pada hari berikutnya. Ayat ini memberikan suatu peringatan betapa besarnya pertemuan di hadapan Allah zat yang maha bijaksana hukumnya itu, yaitu suatu hari ”Dimana harta benda dan anak-anak tidak lagi berguna, kecuali orang yang datang ke hadapan Allah dengan hati yang penuh kedamaian.”

C. Jenis Riba
Sayyid Qutub dalam fi Zhilal mengatakan sesungguhnya, riba yang populer di kalangan jahiliyah dan ayat-ayat yang turun untuk membatalkannya, memiliki dua bentuk pokok yaitu : riba nasiah dan riba fadl.
1) Mengenai Riba Nasiah, ada beberapa ulama yang menerangkannya. Qatadah berkata, sesungguhnya riba yang dipraktekkan kaum jahiliyah ialah, seseorang menjual sesuatu secara bertempo .Apabila sudah jatuh tempo dan yang bersangkutan belum bisa membayarnya, maka penjual menambah harganya dan menunda waktu pembayarannya.”
Mujahid berkata, “Pada zaman jahiliyah, apabila seseorang mempunyai utang kepada orang lain, si pengutang berkata, ‘aku tambahi engkau sekian dan sekian asalkan engkau tunda pembayarannya.’maka, pemberi utang menunda pembayarannya.”
Abu Bakar Al Jashshash berkata.”Sudah dimengerti bahwa riba jahiliyah itu hanyalah hutang hingga waktu tertentu dengan tambahan yang disyaratkan. Bagi tambahan ini sebagai imbalan penundaan (tempo) tadi, kemudian Allah ta’ala membatalkannya.’
Dan, Imam Ar-Razi berkata di dalam tafsirnya : “Sesungguhnya, riba nasiah itu sudah terkenal pada zaman jahiliyah karena seseorang dari mereka biasa meminjamkan uangnya kepada orang lain hingga waktu tertentu. Dengan ketentuan bahwa pada setiap bulannya dia dapat mengambil dalam jumlah tertentu, sedang uang pokoknya masih tetap seperti keadaan semula. Apabila telah jatuh temponya, maka dia meminta kembali uangnya. Jika si pengutang tidak dapat mengembalikan pada waktunya maka ia menambah bunga dan temponya.”
Nabi SAW bersabda : “Tidak ada riba kecuali dalam nasiah” (HR Bukhari dan Muslim).
2) Adapun riba fadl bentuknya ialah seseorang menjual sesuatu dengan sesuatu yang sejenis dengan suatu tambahan, seperti menjual emas dengan emas, dirham dengan dirham, gandum dengan gandum. Perbuatan ini disamakan dengan riba karena ada kemiripannya dan karena terdapat perasaan-perasaan yang menyerupai perasaan-perasaan yang menyertai perbuatan riba. Abu Sa’id al Khudri berkata Rasulullah saw bersabda : ‘Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir kurma dengan kurma garam dengan garam, (harus) sama jenis dan jumlahnya, kontan dengan kontan. Barangsiapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah makan riba, yang menerima maupun yang memberi sama saja.” (HR Bukhari dan Muslim).
Abu Said bercerita : “Bilal datang kepada Nabi saw dengan membawa kurma yang baik. Lalu Nabi saw bertanya kepadanya,’Dari mana engkau mendapatkan ini?’ Dia menjawab.’Kami mempunyai kurma yang kualitasnya jelek, lalu saya jual dua gantang dengan satu gantang.’Lalu Beliau bersabda ’Celaka, barang riba, barang riba. Jangan lakukan itu. Apabila engkau hendak membeli, maka juallah kurmamu dengan penjualan lain, kemudian belilah dengan uangnya.” (HR Muttafaq’alaih)
Sayid Qutub menjelaskan hadist diatas : Pada jenis kedua (riba fadl) tidak diragukan bahwa didalamnya terdapat perbedaan-perbedaan prinsipil antara kedua barang sejenis yang menghendaki tambahan. Hal itu jelas dalam peristiwa ketika Bilal memberikan dua sha’ ‘gantang’ kurma yang jelek dan mengambil satu sha’ kurma yang baik. Akan tetapi, karena kesamaan dua jenis barang itu menimbulkan kemiripan adanya perbuatan riba ketika kurma itu beranak kurma, maka Nabi saw. menyifatinya sebagai riba dan melarangnya. Beliau memerintahkan agar menjual kurma yang hendak ditukar dengan uang, lalu uangnya dibelikan kurma yang diinginkan. Hal ini dimaksudkan untuk menjauhkan bayang-bayang riba dan perbuatan itu secara total.
Demikian pula mengenai syarat “kontan dengan kontan”, supaya tidak terjadi tenggang waktu dalam jual beli barang dengan barang sejenis, walaupun tidak memakai tambahan. Karena, pada yang demikian itu terdapat bayang-bayang riba dan unsur-unsurnya.

D. Pengharaman Bunga Bank
Bunga Bank termasuk riba nasiah. Baik nasabah maupun peminjamnya. Qardhawi (2002) menjelaskan orang yang menetapkan sejak awal, bahwa pihaknya tidak akan memberi pinjaman, kecuali dengan pakai riba (bunga), berarti lebih bejat dan lebih haram lagi, ketimbang praktek yang terjadi di zaman jahiliyah. Inilah praktek-praktek yang berlaku pada bank-bank sekarang ini. Karena bunga bank dihitung sejak hari pertama seseorang mengambil uang dari bank. Namun, bentuk selain itu juga terdapat dalam praktek-praktek bank konvensional. Dalam arti, jika batas waktu yang ditentukan telah berakhir dan peminjam belum melunasi utangnya, kepadanya diberikan dua pilihan, ”Lunasi atau utang bertambah.” Sekiranya ia terlambat membayar satu hari saja, dia telah wajib membayar bunganya. Begitulah, jumlah riba semakin lama semakin membengkak, hari demi hari.
Chapra (2000) mengatakan alasan mendasar mengapa Al-Quran menetapkan ancaman yang begitu keras terhadap bunga adalah bahwa Islam hendak menegakkan suatu sistem ekonomi di mana semua bentuk eksploitasi dihapuskan, terutama ketidakadilan dalam bentuk bahwa penyedia dana dijamin dengan suatu keuntungan positif tanpa bekerja apa pun atau menanggung resiko, sedangkan pelaku bisnis, meskipun sudah mengelola dan bekerja keras, tidak dijamin dengan keuntungan positif demikian. Islam hendak menegakkan keadilan antara penyedia dana dan pelaku bisnis.

E. Daftar Pustaka
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 2003. Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni. Jilid satu. Cetakan keempat. PT Bina Ilmu. Surabaya.
Chapra, M. Umer. 2000. Sistem Moneter Islam. Cetakan Pertama. Gema Insani Press. Jakarta.
Qutub, Sayid. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an : Di bawah Naungan Al-Quran. Gema Insani Press. Jakarta.
Yusuf, Al-Qardhawi. 2002. Bunga Bank Haram. Penerbit Akbar Media Eka Sarana. Jakarta.
 
waduh banyak bener >.<
nice post

kalo nabung kan pasti dapet riba, kudu di kemanain tuh duit riba???
 
karena sekarang keadaan belum sepenuhnya mendukung untuk kita untuk menabung di Bank Syariah, tidak apa-apa kita menabung di bank konvensional tapi niatnya bukan untuk mencari bunga untuk cari keuntungan. dan bunga itu jgn di gunakan, nilai pokok tabungan kita aja (sori baru reply aku tanya dulu ke dosen ku seh :)) )
 
dibuang gt ya?

wa jg nanya ke yg lebih tau. katanya duit riba ntu boleh bwt nyumbang bangun jalan (pokonya bwt umum)
 
memang hukum riba atau memakan dari suatu bunga uang adalah haram

tapi dalam perekonomian hari sekarang susah juga karena hampir sistem ekonomi yg kita anut nadalah kapitalis perbangkan global yg sangat kompleks

tapi gue rasa semua hukum hallal/harram yg dibuat dalam islam selalu berpegangan pada ada tidaknya pihak yg dirugikan

klo masalah bunga bank tidak ada yg merasa dirugikan (itu klo kita nasabah) karena semua bank terkait pada sistem kapitalis yg komplek yg saling mementingkan keterikatan untung dan rugi

jadi kayak na sah2 aja untuk saat ini bunga bank tapi alangkah lebih bagusnya klo kita membangun sendiri sistem ekonomi syariah
 
wah anda salah besar bung kalo smua hal di dasarkan pada ada tidaknya pihak yang dirugikan. dasar itu adalah dasar sekuler yang dapat menghancurklan islam
kehancuran islam terdahulu juga akibat dari pemikiran sekuler itu, karna termasuk mengingkari perintah Allah SWT



sekuler = yang penting tidak merugikan orang lain
 
sekuler yang seperti apa ?
 
gini banyak tuh pemikiran" sekuler
contoh
membuka aurat bagi laki (alasan senam dll.) kan aurat laki" udah jelas d Al Quran
"dari pusar ampe lutut" sudah menyalahi hukum tuh meskipun tidak merugikan orang laen


trus riba kan udah jelas" gk bole kecuali riba dagang (laba)
 
oh, yang seperti itu,thanks ya kk atas penjelasannya :)
 
@atas
sekuler tuh klo menurut gue membedakan antara kehidupan beragama dan kehidupan berbangsa

emang pola pikir gue rada dianggap sekuler? tapi gue bukan islam sekuler
soalnya gue berpikir ngelihat dari banyak aspek sekarang gue mau tanya juga apakah mungkin kita mengubah sistem ekonomi global yg uda di pake hampir diseluruh dunia dengan pondasi kapitalis yg sangat kuat dengan sistem sariah kita yg masih berkembang

sekarang gue juga mau nanya klo kita jadi nasabah suatu bang terus kita terima bunga yg dirugiin siapa?
klo menurut gue riba tuh knp jadi haram karena tuh sangat ngerugiin pihak yg dikenakan bunga


klo dalam bunga bank bagi nasabah mungkin tolak ukurnya diliat dari sisi ada tidaknya faktor yg merugikan diantara pihak nasabah dan pihak perbangkan

tapi klo masalah yg lain beda lagi tolak ukur kita dong jadi gue gak menggeneral semua tolak ukurnya adalah ada tidaknya pihak yg dirugiin

tapi dalam masalah ekonomi rada2 susah soalnya berbenturan dengan sariah dan dengan sistem ekonomi yg reall didunia

NB:
gue gak menghimbau dan membenarkan pernyataan gue it just my opinion dan buat ngelihat dari sisi lain aja
 
tapi kan negara middle east juga make' tuh sistem sariah

lagian bank konvensional membuat orang pingin nabung terusss dari pada mengamalkannya, alasannya kalo nabung tuh isa dapet duit lagi asal jumlahnya banyak. Padahal dengan beramal duit gk akan berkurang dan bahkan lebih berlipat" dari yang dibayangkan.

nah "bank sariah sebenarnya" kan hanya berfungsi sebagai mana fungsi lembaga baitul mal yang hanya mengurusi zakat, infaq, shodaqoh, dan penitipan uang/ harta.

kalo nabung menurut wa sih ya cuman niatin nitip duit doank, yang penting gk ilank ato habis d blanjakan dengan barang yg kurang bermanpaat



^^ lama pikirnya (masi SMA) gk mahir bikin kalimat >.<
 
gini banyak tuh pemikiran" sekuler
contoh
membuka aurat bagi laki (alasan senam dll.) kan aurat laki" udah jelas d Al Quran
"dari pusar ampe lutut" sudah menyalahi hukum tuh meskipun tidak merugikan orang laen


trus riba kan udah jelas" gk bole kecuali riba dagang (laba)

maaf cuma koreksi riba dagang itu juga ga boleh. Jadi dalam jual beli itu (dagang jangan sampai ada unsur magrib---> Maisyir, gharar, riba)

ini cuma masukan aja sebetulnya Islam cuma membolehkan pertambahan harta itu dari 3 sumber:
1. Jual beli
2. Bagi hasil
3. Sewa menyewa

gungbaster berkata:
memang hukum riba atau memakan dari suatu bunga uang adalah haram

tapi dalam perekonomian hari sekarang susah juga karena hampir sistem ekonomi yg kita anut nadalah kapitalis perbangkan global yg sangat kompleks

tapi gue rasa semua hukum hallal/harram yg dibuat dalam islam selalu berpegangan pada ada tidaknya pihak yg dirugikan

klo masalah bunga bank tidak ada yg merasa dirugikan (itu klo kita nasabah) karena semua bank terkait pada sistem kapitalis yg komplek yg saling mementingkan keterikatan untung dan rugi

jadi kayak na sah2 aja untuk saat ini bunga bank tapi alangkah lebih bagusnya klo kita membangun sendiri sistem ekonomi syariah
yg aku bold itu benar sekali

yg aku merahin sebetulnya rasa tidak dirugikan itu ada karena itu sudah menjadi kebiasan kita... sebetulnya efek bunga itu kalau kita teliti lebih jauh pasti ada pihak yang dirugikan. yg paling mudah suku bunga BI, nilai suku bunga BI yang sekarang berkisar 5%(cmiiw) itu kan wajib di bayarkan BI kepada para investor (bank2 yang menyetorkan modal di BI) sedangkan dari sektor real aja kemajuannya belum signifikan jadi terpaksa pemerintah dalam rangka membayarkan suku bunga itu ke para investor di ambil dari APBN yang akhirnya, beban itu dikembalikan ke rakyat dengan cara meningkat harga seperti TDL (tarif dasar listrik), harga BBM dan sebagainya sedangkan kemampuan beli masyarakat belum kuat. hasilnya sekarang tingkat kemiskinan di Indonesia makin meningkat

yang aku hijauin, sbetulnya dibilang sah ga juga tp di bilang ga sah ga juga karena seperti yg kk gung tulisan sebelum. memang benar lebih baik kita coba bangun sendiri dan sekarang dalam tahap perkembangan dan pertumbuhan yang optimis. apalagi sekarang para invesotr arab (petro dolar yang nilainya milyaran dolar) sedang mencari tempat untuk menginvestasikan dana tersebut semenjak mereka sudah hilang kepercayaan kepada Amerika dan kroninya. dan sayang samapi sekarang pemerintah kita kurang tanggap melihat kesmepatan tersebut :(
 
tq" ralatnya

tapi kl jual beli gk dapet laba gmn?
 
hmmmmm bagus lah ... mungkin?? btw apa itu sebenarnya benda" haram plizz ada yang TSny /swt/sry
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.