[JAKARTA] Rencana pertemuan Presiden terpilih Jokowi dengan Presiden SBY menunjukkan tingginya tingkat kompleksitas persoalan yang akan dihadapi pemerintahan baru nantinya di tengah keterbatasan APBN 2015. Pertemuan kedua tokoh ini pertanda dimulainya "kick off" tim transisi pemerintahan.
Hal tersebut diungkapkan periset senior kebijakan energi Network Market Investor (NMI) Franky Riyandi Rivan. Menurutnya, pengurangan subsidi BBM bersubsidi adalah kebijakan yang bersifat ambigu dan tak menyelesaikan persoalan sesungguhnya, yakni jebolnya anggaran subsidi BBM. Akibat kebijakan tersebut, terjadi kelangkaan dan antrean panjang dibanyak tempat.
Seperti diketahui, Pertamina memangkas jatah harian BBM subsidi termasuk bensin premium di 5.000 lebih SPBU di Indonesia karena jatah premium saat ini tinggal 29% dan harus cukup dalam 4 bulan. Jika dihitung secara rata-rata, seharusnya kebutuhan selama 4 bulan tersedia 33% dari kuota 2014. Saat ini premium tinggal 10 juta kilo liter (kl), yang harus cukup sampai 31 Desember 2014. Sedangkan solar hanya tersedia 5,5 juta kl.
Menurut Franky, pemerintahan Jokowi harus bersikap tegas, yakni mencabut seluruh subsidi BMM dan mengalokasikannya untuk pembangunan infrastruktur dan infrastruktur distribusi energi, "Kebijakan subsidi kita sudah benar-benar anomali. Ini harus dihentikan atau anggaran kita akan habis hanya untuk mengurus hal ini," ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (27/8).
Periset senior kebijakan energi Network Market Investor (NMI) ini mencontohkan, saat ini sudah sedikit sekali negara yang memberikan subsidi kepada fossil fuelnya. Kalaupun ada, subsidi tersebut terbukti tidak efektif dalam memberikan kemakmuran. Misalnya Iran, beban subsidi BBM mereka sudah berkisar US$ 80 miliar atau sekitar Rp 880 triliun.
Koefisien gini atau tingkat pemerataan Iran adalah sebesar 44,5 yang artinya sangat tidak merata, hampir mendekati Zimbabwe dengan koefisien gini sebesar 50,1. Lalu Rusia dengan beban subsidi BBM yang berkisar US$ 39,3 miliar atau sekitar Rp 432,3 trilliun. Koefisien gini mereka sebesar 42,0 yang juga artinya sangat tidak merata.
Bagaimana dengan Indonesia? Dengan beban subsidi BBM sebesar Rp 210,735 trilliun, koefisien gini nasional kita di angka 36,8. Disinilah muncul persoalan serius, subsidi yang ditujukan agar ’membantu’ golongan kurang mampu, malah menjadi bumerang yang membuat si kaya bertambah kaya.
"Sudah kepalang basah, lebih baik setelah dilantik Jokowi-JK segera menaikkan harga BBM hingga 75%. Mengapa? Karena dengan besarnya kenaikan ini, disparitas harga akan semakin sempit. Apabila pasar merespon dengan kenaikan harga 100% pun, paling tidak disparitas harga non-logis tersebut hanya sebesar 25%. Buat apa menaikkan secara bertahap, malah akan membuat inflasi meroket berkali-kali. Lebih baik naik sekali, dengan persentase signifikan, dan selesai sudah drama berulang subsidi BBM yang bengkak," tegas Franky Riyandi Rivan.
Periset senior kebijakan energi Network Market Investor (NMI) ini menambahkan, apabila subsidi BBM sukses dihentikan, anggaran subsidi yang mencapai besaran Rp 210,735 triliun ini dapat dialokasikan untuk infrastruktur yang terbukti memberikan pertumbuhan ekonomi signifikan.
"Ambil contohnya begini, pembuatan Jembatan Suramadu itu biayanya kira-kira Rp 4,5 triliun. Dengan uang segitu kasarnya kita bisa buat 50 Jembatan Suramadu tiap tahun. Atau, pembuatan jalan beton yang kira-kira biayanya Rp 1 triliun tiap 10 km. Kalau dialokasikan untuk ini saja, tiap tahun kita ada tambahan jalan beton kira-kira 2.100 km. Ini sudah jarak Jakarta-Manado. Kalau dibangun dengan tepat dan sesuai, bayangkan berapa biaya logistik yang bisa kita pangkas. Apalagi kalau dialokasikan ke infrastruktur, hasilnya lebih tahan lama. Sebuah jalanan bisa tahan hingga 100 tahun, namun kalau BBM baru pakai satu jam saja sudah habis," tutupnya. [PR/N-6]
Sumber:
http://www.suarapembaruan.com/ekonomidanbisnis/subsidi-bbm-indonesia-tak-masuk-akal/63145