singthung
IndoForum Junior E
- No. Urut
- 7164
- Sejak
- 21 Sep 2006
- Pesan
- 1.634
- Nilai reaksi
- 27
- Poin
- 48
Ikut Berduka-cita?
Dalam surat-surat kabar sering tercantum berita kematian
berbunyi seperti: “Ikut Berduka-cita atas meninggalnya ...”
Itu hanyalah sebagian kecil ungkapan perasaan yang tersalurkan
melalui media cetak. Di rumah almarhum/ah, dapat
dijumpai pemandangan yang jauh lebih mengenaskan.
Sanak keluarga yang ditinggalkan tampak bersedih-hati dengan menangis
dan bahkan ada yang sampai menggerung-gerung.
Kejadian semacam itu tidak hanya dapat dijumpai dalam keluarga
non-Buddhis, melainkan juga sering terjadi di kalangan umat Buddha.
Bagaimana sesungguhnya kejadian tersebut jika ditinjau berdasarkan
Dhamma? Dapatkah perbuatan itu dibenarkan? Sesuaikah dengan semangat
ajaran murni Sang Buddha?
Dalam Mahâparinibbâna Sutta, kejadian semacam itu dapatlah
dijumpai. Dikisahkan bahwa ketika Buddha Gotama akan mengakhiri
kehidupan-Nya, Ânanda Thera sangat berduka-cita. Sambil bersandar di
tiang pintu, beliau menangis. Mengetahui hal ini, Sang Buddha segera
memanggilnya dan menasihati: “Cukup, Ânanda, janganlah Engkau bersedih
hati, dan janganlah meratap! Bukankah sejak semula telah Saya wejangkan
bahwa peralihan, perpisahan, dan perubahan dari segala sesuatu
yang kita sayangi serta cintai pastilah terjadi. Bagaimana mungkin apa
yang terlahirkan, terjadi, terpadu, dan wajar mengalami kehancuran, tidak
akan hancur kembali? Tidaklah mungkin berharap demikian.”
Dari kisah tersebut, jelaslah bahwa umat Buddha tidaklah selayaknya
bersedih hati atas meninggalnya makhluk-lain, betapa pun besar
jasanya dan betapa pun besar cinta kasihnya. Namun, ini juga
bukanlah berarti seseorang harus bersuka-ria atas kematian sanak keluarga.
Apabila ditelaah berdasarkan Abhidhamma, duka (domanassa
vedanâ) adalah suatu jenis perasaan yang timbul berpadu dengan kesadaran
yang bersumber pada kebencian (dosamula-citta). Kesadaran ini,
yang bersifat menolak objek yang sedang dihadapi, termasuk sebagai kesadaran buruk (akusala-citta). Perasaan duka sama sekali tidak pernah
berpadu dengan kesadaran baik (kusala-citta). Dengan perkataan lain,
berduka-cita bukanlah suatu kebajikan; bukan suatu perwujudan dari
rasa bakti, tulus, setia. Umat Buddha yang sejati selayaknya berusaha sedapat mungkin untuk menghindari perasaan duka. Kalau ada sanak keluarga
yang meninggal dunia, tidaklah perlu memuat berita dengan
pernyataan seperti: “Ikut Berduka-cita . . .” karena ini tidak sesuai dengan
hakikat Dhamma. Sikap serta pola berpikir yang lebih arif perlu dijalankan.
Untuk menyatakan serta membuktikan betapa besar rasa bakti
dan cinta kasih terhadap almarhum/ah, seseorang tidaklah harus
berduka-cita, menangis atau bahkan menyewa orang-orang miskin untuk
berpura-pura menangis atas nama dirinya –sebagaimana yang dilakukan
oleh orang-orang dari kalangan atas. Dengan mengembangkan perasaan
duka-cita, orang yang telah meninggal dunia tidaklah mungkin dapat dihidupkan kembali, dan ini bukanlah suatu pertolongan apa pun baginya
di alam sana. Bukan tangisan dari sanak keluarga yang dapat menghantarkan
seseorang ke Surga. Dalam Agama Buddha, tidak ada dewa yang
mengadili seseorang dari banyaknya keluarga atau teman yang
menangisinya, dan lamanya mereka menangis. Setiap makhluk terlahirkan
kembali sesuai dengan akibat kamma perbuatan masing-masing.
Seseorang mungkin akan bertanya, “Kalau berita berbunyi ‘Ikut
Berduka-cita…’ tidak tepat untuk dipakai di kalangan Buddhis, lalu pernyataan
yang bagaimanakah yang cocok?” Ungkapan-ungkapan yang
mengandung makna Dhamma seperti “Segala perpaduan bersifat tidak
kekal” atau “Kehidupan itu tidaklah pasti, namun kematianlah yang pasti
menimpa semua makhluk hidup” jauh lebih baik dan cocok bagi umat
Buddha.
Dalam pada itu, bagi mereka yang mengetahui bahwa ada sahabat
atau kerabat karib yang sedang bersedih hati ditinggal mati sanak keluarganya, mereka tidaklah harus turut berduka-cita atau bersedih hati.
Itu bukanlah suatu cara yang benar untuk menyatakan rasa kesetiakawanan
dan keprihatinan kepadanya. Seseorang yang sedang dirundung
malang kiranya dapat diumpamakan seperti orang yang sedang
terjatuh ke dalam jurang. Untuk membebaskan atau menolongnya, seseorang
tidaklah harus ikut menceburkan diri bersama dengannya. Tindakan
yang bijaksana ialah berusaha mengangkat sahabat atau kerabat itu
keluar dari jurang tersebut. Dengan perkataan lain, pertolongan yang
perlu diberikan kepadanya ialah dengan memberikan bimbingan
Dhamma agar dia sadar bahwa di dunia ini memang tidak ada sesuatu
yang bersifat kekal (langgeng). Ini bukanlah suatu kebenaran yang baru,
dan mungkin telah diketahui olehnya. Akan tetapi, apabila sedang dihadapkan
pada keadaan sesungguhnya, kebanyakan orang sering tidak
sampai berpikir demikian. Karena itu, merupakan tugas seorang sahabat
sejati untuk mengingatkannya. Inilah sikap yang benar terhadap orangorang
yang sedang berduka-cita karena kehilangan sanak keluarga yang
sangat dikasihinya.
Ada yang mengatakan bahwa seseorang menyatakan ikut
berduka-cita bukanlah berarti bahwa ia sungguh-sungguh merasa
berduka atau bersedih hati. Itu hanyalah sekadar ‘basa-basi’ dengan
maksud untuk menyatakan keprihatinan sekaligus menghibur orang yang
berpisah dengan almarhum/ah. Ada orang-orang tertentu yang merasa
seolah-olah mendapatkan kekuatan batin dengan menyadari bahwa
bukan hanya dirinya sendiri yang berduka-cita tetapi banyak orang lain
yang juga ikut berduka-cita. Sikap hidup semacam ini sesungguhnya
sangat tidak bersesuaian dengan Dhamma. Karena itu, tidak semestinya
dituruti. Ada banyak cara lain yang lebih arif untuk membebaskan
seseorang dari penderitaan, tanpa harus membuat orang-orang lainnya
ikut menderita. Selain itu, sebagai umat beragama seseorang tidak
seharusnya menyatakan sesuatu hanya sekadar untuk berbasa-basi. Hal
yang lazim dilakukan oleh orang-orang umum tidaklah selamanya dapat
dianggap baik. Perlu bersikap arif dalam memilih kebiasaan mana yang
baik dan mana yang takbaik. Kalau memang tidak berduka-cita, mengapa
seseorang harus berdusta menyatakan demikian kepada yang lain?
Ketulusan dan kejujuran adalah faktor utama persahabatan. Dalam
berbuat atau berucap apa pun, seseorang tidak selayaknya
mengesampingkan dua macam kebajikan ini.