• Saat ini anda mengakses IndoForum sebagai tamu dimana anda tidak mempunyai akses penuh untuk melihat artikel dan diskusi yang hanya diperuntukkan bagi anggota IndoForum. Dengan bergabung maka anda akan memiliki akses penuh untuk melakukan tanya-jawab, mengirim pesan teks, mengikuti polling dan menggunakan feature-feature lainnya. Proses registrasi sangatlah cepat, mudah dan gratis.
    Silahkan daftar dan validasi email anda untuk dapat mengakses forum ini sepenuhnya sebagai anggota. Harap masukkan alamat email yang benar dan cek email anda setelah daftar untuk validasi.

Sriwijaya & Majapahit

babehsexydotcom

IndoForum Newbie E
No. Urut
77818
Sejak
14 Agt 2009
Pesan
47
Nilai reaksi
1
Poin
8
pada masa kerajaan sriwijaya dan majapahit dari filipina malaysia dan indonesia singapura juga brunei itu satu... gara2 belanda dan inggris juga spanyol dan portugese kita terpecah.. bisa kalian bayangkan kekuatan kita pada masa itu?
Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, Pinoy, Pattani Bersatu pada masa sriwijaya..
bisa kalian bayangkan jumbelah penduduk filipina 86 juta dan kita 200 juta lebih ditambah yang lainnya mungkin pada saat itu tidak sekian tapi ini jumbelah yang sangat besar untuk sebuah kerajaan besar..
untuk peninggalan2 sejarah kita hilang karena sudah tidak terawat dan sempat dilupakan oleh rakyatnya sendiri pada masa transisi abad ke 13 waktu penganutan islam mulai merubah kerajaan2 kecil yang merdeka ketika sriwijaya jatuh.. itu pengaruhnya besar terhadap kebudayaan dan merupakan perombakan total sampai saat ini.. contoh kebudayaan bali kenapa masih bertahan karena mereka tidak berubah.. kebudayaan cenderung dilupakan karena agama mempunyai kaitan sangat sangat erat dengan agama..


Sriwijaya
images

300px_srivijaya_empire_map.jpg
Peninggalan tertulis Filipina dimulai sekitar abad ke-8 berdasarkan temuan lempeng tembaga di dekat Manila. Dari tulisan pada lempeng itu diketahui bahwa Filipina berada dalam pengaruh Sriwijaya. Namun demikian bukti tertulis ini sangat sedikit sehingga bahkan ahli-ahli sejarah Filipina masih beranggapan sejarah Filipina dimulai pada era kolonialisme.
Sebelum orang-orang Spanyol datang pada abad ke-16, di Filipina berdiri kerajaan-kerajaan kecil yang bercorak animisme yang terpengaruh sedikit kultur India dan yang bercorak Islam di bagian selatan kepulauan. Kerajaan-kerajaan muslim ini mendapat pengaruh kuat dari Kerajaan Malaka.
Orang-orang Filipina dikenal dengan nama Filipino yang berasal dari orang aborigin Taiwan dan bercampur dengan orang-orang Tiongkok Selatan, Polinesia, dan Spanyol/Amerika

majapahit


Mahapatih Majapahit yaitu Gajah Mada yang konon setelah bebas tugas dan dianugerahi tanah di madakaripura (daerah probolinggo Jatim), beliau memimpin Ekspedisi berlayar menuju barat dan sampai di Pulau Madagaskar. Faktanya sampai sekarang tidak ada yang tahu dimana Gajah Mada disemayamkan. Jadi kemungkinan teori ini ada benarnya, Gajah Mada memimpin ekspedisi sangat jauh sampai de Madagaskar sehingga tidak mungkin untuk kembali lagi ke Majapahit (Indonesia sekarang) dan akhirnya menetap di Madagascar sampai akhir hayatnya..

Madagaskar sebelumnya pulau tidak berpenghuni sampai kira-kira 1500-2000 tahun yang lalu Pelaut-pelaut dari Indonesia berlayar mengarungi Samudera Hindia yang luas dan sampai di Pulau Madagaskar (dekat afrika).

Dari berbagai sumber ini menyebutkan bahwa Orang Indonesia sudah berlayar jauh sebelum masa Majapahit karena berkisar antara 1500-2000 tahun yang lalu. Tapi mungkin saja berita tentang Gajah Mada ada benarnya juga meskipun bukan yang pertama sampai di Madagaskar.

Penduduk Madagascar sekarang ada berbagai kelompok etnik :
Merina (27%), Betsimisaraka (15%), Betsileo (12%), Tsimihety (7%), Sakalava (6%), Antaisaka (5%) and Antandroy (5%)
Merina dan Betsileo mirip dengan penduduk asli jawa (Indonesia).
Bahkan dulu ada kerajaan Merina yang sangat besar dan disegani di kawasan itu sampai Eropa. Kerajaan ini merupakan kerajaan melayu-Indonesia di Madagascar yang jaya sampai datangnya orang-orang perancis menyerang kerajaan ini.

Bahasa yang dipakai di Madagaskar adalah bahasa Malgasy yang mirip dengan bahasa Maanyan (kalimantan) dan bahasa Perancis (karena merupakan koloni Perancis)

- yang pertama datang di Madagaskar orang melayu-Indonesia (mungkin) orang Bugis yang terkenal pelaut ato orang Banjar.
- Gajahmada sbg generasi ke sekian yang bermigrasi ke Madagaskar, tapi ini yang mendirikan kerajaan besar di Madagaskar yaitu : kerajaan Merina yang terkenal dan disegani.
- Bahasa Malagasy perpaduan bahasa melayu (maanyan) dan bahasa jawa, contoh hitungan angka disana sama kaya bahasa jawa : sidji, loro, telu, dll.
Mungkin seperti di Indonesia menjadikan bahasa melayu sebagai bahasa nasional (bukan bahasa jawa) padahal pusat pemerintahan di jawa.
di Madagaskar karena orang jawa datang belakangan tetap menghormati bahasa yang berkembang di sana, meskipun kelompok ini lebih besar dan berkembang (merina).

mungkin yang pertama datang generasi dari kerajaan Sriwijaya, kira2 1500-2000 tahun yang lalu. Knapa bahasanya sama dengan di borneo (ma'anyan)? bisa dilihat sekarang antara palembang dan banjar banyak sekali kesamaan budaya,nama dan bahasa. ato dulu sumatra dan kalimantan satu pulau (belum pisah).
orang jawa kira2 pada jaman majapahit (menurut orang madagaskar 600 tahun yang lalu) datang dengan kapal-kapal besar dan berjumlah banyak.

Ini merupakan berita besar dan kabar besar yang harus banyak di ketahui masyarakat indonesia agar mereka tahu akan kekayaan bangsa kita,kita juga bisa menginjakkan kaki di negara lain..

nenek moyang bangsa madagaskar (Merina) itu adalah Etnis Dayak Maanyan. kedatangan mereka ke madagaskar kuranglebih 2000 tahun yang lampau. Bangsa Dayak di borneo sebelum kedatangan agama Islam ke nusantara Adalah Bangsa Maritim ( pelaut ) yang tinggal di pesisir Kalsel ( saat itu suku banjar belum terbentuk.nenek moyang suku banjar sendiri di bentuk oleh campuran antara 50 % orang Dayak Maanyan dan 50 % suku melayu, bugis dan jawa).tapi setelah Islam Datang mereka banyak yang masuk ke pedalaman( menghindari islam )hingga bermetamorfosis budaya menjadi berkebudayaan terestrial ( peladang ). karena itu jangan heran jika bahasa madagaskar mirip/ sama dengan bahasa Dayak maanyan

Penyerbuan Bangsa Mongol Ke Jawa : Runtuhnya Kerajaan Singasari dan Munnculnya Kerajaan Majapahit
--------------------------------------------------------------------------------
Setelah meruntuhkan kerajaan Tang, orang-orang Mongol kemudian mendirikan sebuah pemerintahan baru yang diberi nama Yuan Dinasty. Salah satu anak Jenghis Khan, sang penakluk kerajaan Cina, bernama Kublai Khan menjadi raja pertamanya. Keinginan untuk memperluas pengaruh bangsa Mongol setelah menjajah Cina adalah menundukkan kerajaan-kerajaan lain di wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur dengan menggunakan kekuatan militer dan politik.
Caranya dengan meminta para penguasa lokal untuk mengakui kaisar Mongol sebagai penguasa tunggal dan mengharuskan raja-raja lokal tersebut untuk mengirim upeti (tribute) kepada kaisar Cina. Salah satunya adalah ke Jawa yang kala itu diperintah oleh Raja Kartanagara dari kerajaan Singhasari.
Untuk maksud tersebut, Kublai Khan mengirim seorang utusan bernama Meng Chi ke Jawa meminta raja Kartanagara untuk tunduk di bawah kekuasaan Cina. Merasa tersinggung, utusan itu dicederai wajahnya oleh Kartanagara dan meingirimnya pulang ke Cina dengan pesan tegas bahwa ia tidak akan tunduk di bawah kekuasaan raja Mongol. Perlakuan Kartanegara terhadap Meng Chi dianggap sebagai penghinaan kepada Kublai Khan. Sebagai seorang kaisar yang sangat berkuasa di daratan Asia saat itu, ia merasa terhina dan berniat untuk menghancurkan Jawa yang menurutnya telah mempermalukan bangsa Mongol.
Peristiwa penyerbuan ke Jawa ini dituliskan dalam beberapa sumber di Cina dan merupakan sejarah yang sangat menarik tentang kehancuran kerajaan Singhasari dan munculnya kerajaan Majapahit, seperti yang dapat kita baca dalam buku nomor 162 dari masa pemerintahan Dinasti Yuan yang terjemahannya dapat dibaca dalam buku W.P. Groeneveldt berjudul Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources (1963: 20-31).
Disebutkan bahwa utusan yang dikirim ke Jawa terdiri dari tiga orang pejabat tinggi kerajaan, yaitu Shih Pi, Ike Mese, dan Kau Hsing. Hanya Kau Hsing yang berdarah Cina, sedangkan dua lainnya adalah orang Mongol. Mereka diberangkatkan dari Fukien membawa 20.000 pasukan dan seribu kapal. Kublai Khan membekali pasukan ini untuk pelayaran selama satu tahun serta biaya sebesar 40.000 batangan perak. Shih Pi dan Ike Mese mengumpulkan pasukan dari tiga provinsi: Fukien, Kiangsi, dan Hukuang. Sedangkan Kau Hsing bertanggung jawab untuk menyiapkan perbekalan dan kapal. Pasukan besar ini berangkat dari pelabuhan Chuan-chou dan tiba di Pulau Belitung sekitar bulan Januari tahun 1293. Di sini mereka mempersiapkan penyerangan ke Jawa selama lebih kurang satu bulan.

Perjalanan menuju Pulau Belitung yang memakan waktu beberapa minggu melemahkan bala tentara Mongol karena harus melewati laut dengan ombak yang cukup besar. Banyak prajurit yang sakit karena tidak terbiasa melakukan pelayaran. Di Belitung mereka menebang pohon dan membuat perahu (boats) berukuran lebih kecil untuk masuk ke sungai-sungai di Jawa yang sempit sambil memperbaiki kapal-kapal mereka yang telah berlayar mengarungi laut cukup jauh.
Pada bulan kedua tahun itu Ike Mese bersama pejabat yang menangani wilayah Jawa dan 500 orang menggunakan 10 kapal berangkat menuju ke Jawa untuk membuka jalan bagi bala tentara Mongol yang dipimpin oleh Shih Pi. Ketika berada di Tuban mereka mendengar bahwa raja Kartanagara telah tewas dibunuh oleh Jayakatwang yang kemudian mengangkat dirinya sebagai raja Singhasari.
Oleh karena perintah Kublai Khan adalah menundukkan Jawa dan memaksa raja Singhasari, siapa pun orangnya, untuk mengakui kekuasaan bangsa Mongol, maka rencana menjatuhkan Jawa tetap dilaksanakan. Sebelum menyusul ke Tuban orang-orang Mongol kembali berhenti di Pulau Karimunjawa untuk bersiap-siap memasuki wilayah Singhasari. Setelah berkumpul kembali di Tuban dengan bala tentara Mongol.
Diputuskan bahwa Ike Mese akan membawa setengah dari pasukan kira-kira sebanyak 10.000 orang berjalan kaki menuju Singhasari, selebihnya tetap di kapal dan melakukan perjalanan menggunakan sungai sebagai jalan masuk ke tempat yang sama. Sebagai seorang pelaut yang berpengalaman, Ike Mese, yang sebenarnya adalah suku Uigur dari pedalaman Cina bukannya bangsa Mongol, mendahului untuk membina kerja sama dengan penguasa-penguasa lokal yang tidak setia kepada Jayakatwang.
Menurut cerita Pararaton, kedatangan bala tentara Mongol (disebut Tartar) adalah merupakan upaya Bupati Madura, Aria Wiraraja, yang mengundangnya ke Jawa untuk menjatuhkan Daha. Aria Wiraraja berjanji kepada raja Mongol bahwa ia akan mempersembahkan seorang puteri cantik sebagai tanda persahabatan apabila Daha dapat ditundukkan. Surat kepada raja Mongol disampaikan melalui jasa pedagang Cina yang kapalnya tengah merapat di Jawa (Pitono, 1965: 44).
Armada kapal kerajaan Mongol selebihnya dipimpin langsung oleh Shih Pi memasuki Jawa dari arah sungai Sedayu dan Kali Mas. Setelah mendarat di Jawa, ia menugaskan Ike Mese dan Kau Hsing untuk memimpin pasukan darat. Beberapa panglima “pasukan 10.000-an” turut mendampingi mereka. Sebelumnya, tiga orang pejabat tinggi diberangkatkan menggunakan ‘kapal cepat’ menuju ke Majapahit setelah mendengar bahwa pasukan Raden Wijaya ingin bergabung tetapi tidak bisa meninggalkan pasukannya. Melihat keuntungan memperoleh bantuan dari dalam, pasukan Majapahit ini kemudian dijadikan bagian dari bala tentara kerajaan bangsa Mongol.
Untuk mempermudah gerakan bala tentara asing ini, Raden Wijaya memberi kebebasan untuk menggunakan pelabuhan-pelabuhan yang ada di bawah kekuasaannya dan bahkan memberikan panduan untuk mencapai Daha, ibukota Singhasari. Ia juga memberikan peta wilayah Singhsari kepada Shih Pi yang sangat bermanfaat dalam menyusun strategi perang menghancurkan Jayakatwang.
Selain Majapahit, beberapa kerajaan kecil (mungkin setingkat provinsi di masa sekarang) turut bergabung dengan orang-orang Mongol sehingga menambah besar kekuatan militer sudah sangat kuat ketika berangkat dari Cina. Persengkongkolan ini terwujud sebagai ungkapan rasa tidak suka mereka terhadap raja Jayakatwang yang telah membunuh Kartanegara melalui sebuah kudeta yang keji.
Pada bulan ketiga tahun 1293, setelah seluruh pasukan berkumpul di mulut sungai Kali Mas, penyerbuan ke kerajaan Singhasari mulai dilancarkan. Kekuatan kerajaan Singhasari di sungai tersebut dapat dilumpuhkan, lebih dari 100 kapal berdekorasi kepala raksasa dapat disita karena seluruh prajurit dan pejabat yang mempertahankannya melarikan diri untuk bergabung dengan pasukan induknya.
Peperangan besar baru terjadi pada hari ke-15, bila dihitung semenjak pasukan Mongol mendarat dan membangun kekuatan di muara Kali Mas, di mana bala tentara gabungan Mongol dengan Raden wijaya berhasil mengalahkan pasukan Singhasari. Kekalahan ini menyebabkan sisa pasukan kembali melarikan diri untuk berkumpul di Daha, ibukota Singhasari. Pasukan Ike Mese, Kau Hsing, dan Raden wijaya melakukan pengejaran dan berhasil memasuki Daha beberapa hari kemudian. Pada hari ke-19 terjadi peperangan yang sangat menentukan bagi kerajaan Singhasari.
Dilindungi oleh lebih dari 10.000 pasukan raja Jayakatwang berusaha memenangkan pertempuran mulai dari pagi hingga siang hari. Dalam peperangan ini dikatakan bahwa pasukan Mongol menggunakan meriam yang pada zaman itu masih tergolong langka di dunia.
Terjadi tiga kali pertempuran besar antara kedua kekuatan yang berseteru ini di keempat arah kota dan dimenangkan oleh pihak para penyerbu. Pasukan Singhasri terpecah dua, sebagian menuju sungai dan tenggelam di sana karena dihadang oleh orang-orang Mongol, sedang sebagian lagi sebanyak lebih kurang 5.000 dalam keadaan panik akhirnya terbunuh (slain = bantai) setelah bertempur dengan tentara gabungan Mongol-Majapahit. Salah seorang anak Jayakatwang yang melarikan diri ke perbukitan di sekitar ibukota dapat ditangkap dan ditawan oleh pasukan Kau Hsing berkekuatan seribu orang.
Jayakatwang menyadari kekalahannya, ia mundur dan bertahan di dalam kota yang dikelilingi benteng. Pada sore harinya ia memutuskan keluar dan menyerah karena tidak melihat kemungkinan untuk mampu bertahan.
Kemenangan pasukan gabungan ini menyenangkan bangsa Mongol. Seluruh anggota keluarga raja dan pejabat tinggi Singhasari berikut anak-anak mereka ditahan oleh bangsa Mongol. Sejarah Cina mencatat bahwa sebulan kemudian setelah penaklukan itu, Raden Wijaya memberontak dan membunuh 200 orang prajurit Mongol yang mengawalnya ke Majapahit untuk menyiapkan persembahakn kepada raja Kublai Khan. Adalah Sora dan Ranggalawe, dua panglima perang Majapahit yang sempat membantu orang-orang Mongol menjatuhkan Jayakatwang, melakukan penumpasan itu (Pitono, 1965 46).
Setelah itu, dengan membawa pasukan yang lebih besar, Raden Wijaya menyerang balik orang-orang Mongol dan memaksa mereka keluar dari Pulau Jawa. Shih Pi dan Kau Hsing yang terpisah dari pasukannya itu harus melarikan diri sampai sejauh 300 li (± 130 kilometer), sebelum akhirnya dapat bergabung kembali dengan sisa pasukan yang menunggunya di pesisir utara. Dari sini ia berlayar selama 68 hari kembali ke Cina dan mendarat di Chuan-chou.
Kekekalahan bala tentara Mongol oleh orang-orang Jawa hingga kini tetap dikenang dalam sejarah Cina. Sebelumnya mereka nyaris tidak pernah kalah di dalam peperangan melawan bangsa mana pun di dunia. Selain di Jawa, pasukan Kublai Khan juga pernah hancur saat akan menyerbu daratan Jepang. Akan tetapi kehancuran ini bukan disebabkan oleh kekuatan militer bangsa Jepang melainkan oleh terpaan badai sangat kencang yang memporakporandakan armada kapal kerajaan dan membunuh hampir seluruh prajurit di atasnya.
Menjelang akhir bulan Maret, yaitu di hari ke-24, seluruh pasukan Mongol kembali ke negara asalnya dengan membawa tawanan para bangsawan Singhasari ke Cina beserta ribuan hadiah bagi kaisar. Sebelum berangkat mereka menghukum mati Jayakatwang dan anaknya sebagai ungkapan rasa kesal atas ‘pemberontakan’ Raden Wijaya. Kitab Pararaton memberikan keterangan yang kontradiktif, disebutkan bahwa Jayakatwang bukan mati dibunuh orang-orang Mongol melainkan oleh Raden Wijaya sendiri, tidak lama setelah ibukota kerajaan Singhasari berhasil dihancurkan.
Ternyata kegagalan Shih Pi menundukkan Jawa harus dibayar mahal olehnya. Ia menerima 17 kali cambukan atas perintah Kublai Khan, seluruh harta bendanya dirampas oleh kerajaan sebagai kompensasi atas peristiwa yang meredupkan kebesaran nama bangsa Mongol tersebut. Ia dipersalahkan atas tewasnya 3.000 lebih prajurit dalam ekspedisi menghukum Jawa tersebut.
Selain itu, peristiwa ini mencoreng wajah Kublai Khan karena untuk kedua kalinya dipermalukan orang-orang Jawa setelah raja Kartanegara melukai wajah Meng Chi. Namun sebagai raja yang tahu menghargai kesatriaan, tiga tahun kemudian nama baik Shih Pi direhabilitasi dan harta bendanya dikembalikan. Ia diberi hadiah jabatan tinggi dalam hirarkhi kerajaan Dinasti Yuan yang dinikmatinya sampai meninggal dalam usia 86 tahun.
Berbeda dengan Sora dan Ranggalawe, setelah berdirinya kerajaan Majapahit mereka justru dihukum mati karena dituduh melakukan makar (memberontak) terhadap Raden Wijaya atas hasutan Mahapati. Termasuk Nambi dan tokoh-tokoh berjasa lainnya yang mempunyai andil besar mendirikan kerajaan baru menggantikan hegemoni Singhasari di Nusantara.

--------------------------------------------------------------------------
 
Tata Letak Kota, Istana, dan Desa di Majapahit
Tim Wacana Nusantara
20 March 2009

Kota Majapahit di Trowulan

Kakawin Nagarakretagama, pupuh VIII-XII, merupakan sumber tertulis yang penting untuk mengetahui gambaran Kota Majapahit sekitar tahun 1350 M. Kota pada masa itu bukanlah kota dalam arti modern, demikian pernyataan Pigeaud (1962), ahli sejarah kebangsaan Belanda, dalam kajiannya terhadap Nagarakretagama karya Prapanca. Ia menyimpulkan, Majapahit bukan kota yang dikelilingi tembok, melainkan sebuah komplek permukiman besar yang meliputi sejumlah komplek yang lebih kecil, di mana satu sama lain dipisahkan oleh lapangan terbuka. Tanah-tanah lapang digunakan untuk kepentingan publik, seperti pasar dan tempat-tempat pertemuan.

Tembok batu merah tebal lagi tinggi mengitari keraton. Itulah benteng Keraton Majapahit. Pintu besar di sebelah barat yang disebut "Purawuktra" menghadap ke lapangan luas. Di tengah lapangan itu mengalir parit yang mengelilingi lapangan. Di tepi benteng "Brahmastana”, berderet-deret memanjang dan berbagai-bagai bentuknya. Di situlah tempat tunggu para perwira yang sedang meronda menjaga Paseban.


Itulah salah satu cuplikan dari Nagarakretagama yang menggambarkan salah satu bagian dari ibu kota Majapahit seperti yang digambarkan oleh Prapanca. Di mana reruntuhannya? Sebagian besar para pakar arkeologi memercayai dan menempatkannya di Trowulan. Mengapa Trowulan? Hal ini bermula dari penelitian yang dilakukan oleh Wardenaar atas perintah Raffles pada 1815 untuk mengamati tinggalan arkeologi di daerah Mojokerto. Dalam laporannya ia selalu menyebutkan, “in het bosch van Majapahit” untuk tinggalan budaya yang ditemukan di Mojokerto, khususnya Trowulan.

Raffles sendiri dalam bukunya History of Java menyebutkan “remains of gateway at Majapahit called Gapura Jati Pasar” ketika menyebut Candi Waringin Lawang, dan menyebut “one of the gateway of Majapahit” ketika menyebut Candi Brahu. Anggapan-anggapan tersebut kemudian diyakinkan lagi oleh Maclains Pont, seorang arsitek Belanda, yang menggali hampir seluruh penjuru Trowulan. Hasilnya berupa sejumlah besar pondasi bangunan, saluran air yang tertutup dan terbuka, serta waduk-waduk.

Uraian Nagarakretagama tentang Kota Majapahit telah dicari lokasinya di lapangan oleh Maclains Pont dari tahun 1924-1926. Ia berhasil membuat sketsa “kota” Majapahit di Situs Trowulan. Benteng kota Majapahit digambarkan dalam bentuk jaringan jalan dan tembok keliling yang membentuk blok-blok empat persegi. Secara makro, bentuk Kota Majapahit menyerupai bentuk mandala candi berdenah segi empat dan terdapat gapura masuk di keempat sisinya, sedangkan keraton terletak di tengah-tengah. Selain itu terdapat kediaman para prajurit dan punggawa, pejabat pemerintah pusat, para menteri, pemimpin keagamaan, para kesatria, paseban, lapangan Bubat, kolam segaran, tempat pemandian, dan lain-lain.

Situs Trowulan sendiri berada dalam wilayah Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, sekitar 70 km ke arah barat daya dari Surabaya. Dalam areal seluas 9 x 11 km itu dapat dilihat bangunan-bangunan bata berupa candi, gapura, kolam, dan salurah-saluran air di muka tanah maupun di bawah tanah, yang seluruhnya mengindikasikan sebuah kota yang sudah cukup maju untuk masa itu.

Mengenai seberapa luas kota Majapahit dan dimana batas-batasnya, menurut penelitian terakhir berdasarkan temuan yoni, adalah di sebelah barat daya Trowulan, di Labak Jabung, sebelah tenggara Trowulan, dan Klinterejo di sebelah timur laut Trowulan. Sedangkan titik ke empat mestinya di Dusun Tugu dan Bodas di Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang. Dengan ditemukannya situs arkeologi pada titik keempat, dapat dihitung luas bidang dari keempat titik, sehingga diperkirakan luas bidang Kota Majapahit sekitar 11 x 9 km, yang memanjang utara-selatan.

Pada tahun 1981 keberadaan kanal-kanal dan waduk-waduk di Situs Trowulan semakin pasti diketahui melalui studi foto udara yang ditunjang oleh pengamatan di lapangan dengan pendugaan geoelektrik dan geomagnetik. Dari hasil penelitian kerja sama Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) dengan Ditlinbinjarah, UGM, ITB, dan Lapan, diketahui bahwa Situs Trowulan berada di ujung kipas aluvial vulkanik yang sangat luas, memiliki permukaan tanah yang landai dan baik sekali bagi tata guna tanah (Karina Arifin, 1983). Waduk-waduk Baureno, Kumitir, Domas, Kraton, Kedungwulan, Temon, dan kolam-kolam buatan seperti Segaran, Balong Dowo, dan Balong Bunder, yang semuanya terdapat di Situs Trowulan, letaknya dekat dengan pangkal kipas aluvial Jatirejo.

Melalui pengamatan foto udara inframerah, ternyata di Situs Trowulan dan sekitarnya terlihat adanya jalur-jalur yang berpotongan tegak lurus dengan orientasi utara-selatan dan timur-barat. Jalur-jalur yang membujur timur-barat terdiri atas 8 jalur, sedangkan jalur-jalur yang melintang utara-selatan terdiri atas 6 jalur. Selain jalur-jalur yang bersilangan tegak lurus, ditemukan pula dua jalur yang agak menyerong. "Berdasarkan uji lapangan pada jalur-jalur dari foto udara, ternyata jalur-jalur tersebut adalah kanal-kanal, sebagian masih ditemukan tembok penguat tepi kanal dari susunan bata," ujar Karina Arifin.

Lebar kanal-kanal berkisar 35-45 meter. Kanal yang terpendek panjangnya 146 meter, yaitu jalur yang melintang utara-selatan yang terletak di daerah Pesantren, sedangkan kanal yang terpanjang adalah kanal yang berhulu di sebelah timur di daerah Candi Tikus dan berakhir di Kali Gunting (di Dukuh Pandean) di daerah baratnya. Kanal ini panjangnya sekitar 5 kilometer. Hal yang menarik, sebagian besar situs-situs di Trowulan dikelilingi oleh kanal-kanal yang saling berpotongan, membentuk sebuah denah segi empat yang luas, dibagi lagi oleh beberapa bidang segi empat yang lebih kecil.


Istana dan Raja
Berita Cina yang ditulis oleh Ma Huan sewaktu mengikuti perjalanan Laksamana Zheng He (Cheng Ho) ke Jawa memberikan penjelasan mengenai keadaan masyarakat Majapahit pada abad XV. Antara lain, bahwa kota Majapahit terletak di pedalaman Jawa. Istana raja dikelilingi tembok tinggi lebih dari 3 zhang, pada salah satu sisinya terdapat “pintu gerbang yang berat” (mungkin terbuat dari logam). Tinggi atap bangunan antara 4-5 zhang, gentengnya terbuat dari papan kayu yang bercelah-celah (sirap).

Raja Majapahit tinggal di istana, kadang-kadang tanpa mahkota, tetapi sering kali memakai mahkota yang terbuat dari emas dan berhias kembang emas. Raja memakai kain dan selendang tanpa alas kaki, dan ke mana pun pergi selalu memakai satu atau dua bilah keris. Apabila raja keluar istana, biasanya menaiki gajah atau kereta yang ditarik lembu. Penduduk Majapahit berpenduduk sekitar 200-300 keluarga. Penduduk memakai kain dan baju, kaum lelaki berambut panjang dan terurai, sedangkan perempuannya bersanggul. Setiap anak laki-laki selalu membawa keris yang terbuat dari emas, cula badak, atau gading

Tata Kota
Kerajaan Majapahit, selain mempunyai ibu kota sebagai pusat pemerintahan dan tempat kedudukan raja serta para pejabat kerajaan, juga merupakan pusat magis bagi seluruh kerajaan. Ditinjau dari konsep kosmologi, wujud ibu kota Majapahit dianggap sebagai perwujudan jagad raya, sedangkan raja identik dengan dewa tertinggi yang bersemayam di puncak Gunung Mahameru (Semeru).

Keberadaan Kota Majapahit menurut konsep tersebut memiliki tiga unsur, yaitu:
1. unsur gunung (replikanya dibentuk candi),
2. unsur sungai (replikannya dibentuk kanal),
3. unsur laut (replikanya dibentuk waduk).

Nagarakretagama menyebutkan bahwa susunan bangunan di istana meliputi tempat tinggal raja dan keluarganya, lapangan manguntur, pemukiman para pendeta, dan rumah-rumah jaga pegawai kerajaan. Rumah di dalam istana indah, bagus, dan kuat. Ibu kota Majapahit dikelilingi oleh raja-raja daerah dan kota-kota lain. Di sekitar istana tempat kedudukan raja terdapat tempat-tempat kedudukan raja-raja daerah (paduka bhatara) serta para pajabat/pembesar kerajaan.

Pupuh VIII
1. Tersebut keajaiban kota: tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari pura. Pintu barat
bernama Pura Waktra, menghadap ke lapangan luas, bersabuk parit. Pohon
brahmastana berkaki bodi, berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam. Di situlah
tempat tunggu para tanda, terus menerus meronda menjaga paseban.

2. Di sebelah utara bertegak gapura permai dengan pintu besi penuh berukir. Di sebelah timur: panggung luhur, lantainya berlapis batu, putih-putih mengkilat. Di bagian utara, di selatan pecan, rumah berjejal jauh memanjang, sangat indah. Di Selatan jalan perempat: balai prajurit tempat pertemuan tiap Caitra.

3. Balai agung Manguntur dengan balai Witana di tengah, menghadap padang
watangan. Yang meluas ke empat arah; bagian utara paseban pujangga dan menteri.
Bagian timur paseban pendeta Siwa-Buddha, yang bertugas membahas upacara.
Pada masa gerhana bulan Palguna, demi keselamatan seluruh dunia.

4. Di sebelah timur, pahoman berkelompok tiga-tiga mengitari kuil Siwa. Di selatan
tempat tinggal wipra utama, tinggi bertingkat, menghadap panggung korban. Bertegak
di halaman sebelah barat; di utara tempat Buddha bersusun tiga. Puncaknya penuh
berukir; berhamburan bunga waktu raja turun berkorban.

5. Di dalam, sebelah selatan Manguntur tersekat dengan pintu, itulah paseban. Rumah
bagus berjajar mengapit jalan ke barat, disela tanjung berbunga lebat. Agak jauh di
sebelah barat daya: panggung tempat berkeliaran para perwira. Tepat di tengah-
tengah halaman bertegak mandapa penuh burung ramai berkicau.

6. Di dalam, di selatan, ada lagi paseban memanjang ke pintu keluar pura yang kedua.
Dibuat bertingkat-tangga, tersekat-sekat, masing-masing berpintu sendiri. Semua
balai bertulang kuat bertiang kokoh, papan rusuknya tiada tercela. Para prajurit silih
berganti, bergilir menjaga pintu, sambil bertukar tutur.

Pupuh XII
1. Teratur rapi semua perumahan sepanjang tepi benteng. Timur tempat tinggal
pemuka pendeta Siwa Hyang Brahmaraja. Selatan Buddha-sangga dengan
Rangkanadi sebagai pemuka. Barat tempat para arya, menteri, dan sanak-kadang
adiraja.

2. Di timur tersekat lapangan, menjulang istana ajaib. Raja Wengker dan rani Daha
penaka Indra dan Dewi Saci. Berdekatan dengan istana raja Matahun dan rani
Lasem. Tak jauh di sebelah selatan raja Wilwatikta.

3. Di sebelah utara pasar: rumah besar bagus lagi tinggi. Di situ menetap patih Daha,
adinda Sri Paduka di Wengker. Batara Narpati, termashur sebagai tulang punggung
praja. Cinta-taat kepada raja, perwira, sangat tangkas dan bijak.

4. Di timur laut, rumah patih Wilwatikta, bernama Gajah Mada. Menteri wira, bijaksana,
setia bakti kepada negara. Fasih bicara, teguh tangkas, tenang, tegas, cerdik, lagi
jujur. Tangan kanan maharaja sebagai penggerak roda negara.

5. Sebelah selatan puri, gedung kejaksaan tinggi bagus. Sebelah timur perumahan
Siwa, sebelah barat Buddha. Terlangkahi rumah para menteri, para arya, dan satria.
Perbedaan ragam pelbagai rumah menambah indahnya pura.

6. Semua rumah memancarkan sinar warnanya gilang-cemerlang. Menandingi bulan
dan matahari, indah tanpa upama. Negara-negara di Nusantara dengan Daha bagai
pemuka. Tunduk menengadah, berlindung di bawah kuasa Wilwatikta

Sistem Perairan Masa Majapahit
Bangunan air yang ditemukan di masa Majapahit adalah waduk, kanal, kolam, dan saluran air, yang sampai sekarang masih ditemukan sisa-sisanya. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa pemerintah Majapahit membuat bangunan air tersebut untuk kepentingan irigasi pertanian dan sarana mengalirkan air sungai ke waduk: penampungan dan penyimpanan air, serta pengendali banjir.

Hasil penelitian membuktikan terdapat sekitar 20 waduk kuno yang tersebar di dataran sebelah utara daerah Gunung Anjasmoro, Welirang, dan Arjuno. Waduk Baureno, Kumitir, Domas, Temon, Kraton, dan Kedung Wulan adalah waduk-waduk yang berhubungan dengan Kota Majapahit yang letaknya di antara Kali Gunting di sebelah barat dengan Kali Brangkal di sebelah timur. Hanya waduk Kedung Wulan yang tidak ditemukan lagi sisa-sisa bangunannya, baik dari foto udara maupun di lapangan.

Waduk Baureo adalah waduk terbesar yang terletak 0,5 km dari pertemuan Kali Boro dengan Kali Landean. Bendungannya dikenal dengan sebutan Candi Lima. Tidak jauh dari Candi Lima, gabungan sungai tersebut bersatu dengan Kali Pikatan, membentuk Kali Brangkal. Bekas waduk ini sekarang merupakan cekungan alamiah yang ukurannya besar dan dialiri oleh beberapa sungai. Seperti halnya Waduk Baureno, waduk-waduk lainnya sekarang telah rusak dan yang terlihat hanya berupa cekungan alamiah, misalnya Waduk Domas yang terletak di utara Waduk Baureno; Waduk Kumitir (Rawa Kumitir) yang terletak di sebelah barat Waduk Baureno; Waduk Kraton yang terletak di utara Gapura Bajangratu; dan Waduk Temon yang terletak di selatan Waduk Kraton dan di barat daya Waduk Kumitir.

Di samping waduk-waduk tersebut, di Trowulan terdapat tiga kolam buatan yang letaknya berdekatan, yaitu Segaran, Balong Bunder, dan Balong Dowo. Kolam Segaran memperoleh air dari saluran yang berasal dari Waduk Kraton. Balong Bunder sekarang merupakan rawa yang terletak 250 meter di sebelah selatan Kolam Segaran. Balong Dowo juga merupakan rawa yang terletak 125 meter di sebelah barat daya Kolam Segaran. Hanya Kolam Segaran yang diperkuat dengan dinding-dinding tebal di keempat sisinya, sehingga terlihat merupakan bangunan air paling monumental di Kota Majapahit.

Kolam Segaran pertama kali ditemukan oleh Maclaine Pont pada 1926. Kolam ini berukuran panjang 375 meter dan lebar 175 meter dan dalamnya sekitar 3 meter, membujur arah timurlaut–baratdaya. Dindingnya dibuat dari bata yang direkatkan tanpa bahan perekat. Ketebalan dinding 1,60 meter. Di sisi tenggara terdapat saluran masuk, sedangkan di sisi barat laut terdapat saluran keluar menuju ke Balong Dowo dan Balong Bunder.

Foto udara yang dibuat pada tahun 1970-an di wilayah Trowulan dan sekitarnya memperlihatkan dengan jelas adanya kanal-kanal berupa jalur-jalur yang bersilangan saling tegak lurus dengan orientasi utara-selatan dan barat-timur. Juga terdapat jalur-jalur yang agak menyerong dengan lebar bervariasi, antara 35-45 m atau hanya 12 m, dan bahkan 94 m yang kemungkinan disebabkan oleh aktivitas penduduk masa kini.

Kanal-kanal di daerah pemukiman, berdasarkan pengeboran yang pernah dilakukan, memperlihatkan adanya lapisan sedimentasi sedalam 4 m; dan pernah ditemukan susunan bata setinggi 2,5 meter yang memberi kesan bahwa dahulu kanal-kanal tersebut diberi tanggul, seperti di tepi kanal yang terletak di daerah Kedaton yang lebarnya 26 meter diberi tanggul. Kanal-kanal itu ada yang ujungnya, berakhir di Waduk Temon dan Kali Gunting; dan sekurang-kurangnya tiga kanal berakhir di Kali Kepiting, di selatan Kota Majapahit. Kanal-kanal yang cukup lebar menimbulkan dugaan bahwa fungsinya bukan sekadar untuk mengairi sawah (irigasi), tetapi mungkin juga untuk sarana transportasi yang dapat dilalui oleh perahu kecil.

Kanal, waduk, dan kolam buatan ini didukung pula oleh saluran-saluran air yang lebih kecil, yang merupakan bagian dari sistem jaringan air di Majapahit. Di wilayah Trowulan, gorong-gorong yang dibangun dari bata sering ditemukan dengan ukurannya cukup besar, yang memungkinkan orang dewasa untuk masuk ke dalamnya. Candi Tikus yang merupakan pemandian (petirtaan) misalnya, mempunyai gorong-gorong yang besar untuk menyalurkan airnya ke dalam dan ke luar candi. Selain gorong-gorong atau saluran bawah tanah, banyak pula ditemukan saluran terbuka untuk mengairi sawah-sawah, serta temuan pipa-pipa terakota yang kemungkinan besar digunakan untuk menyalurkan air ke rumah-rumah, serta selokan-selokan dari susunan bata di antara sisa-sisa rumah-rumah kuno. Hal ini menunjukkan bagaimana masyarakat Majapahit telah mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap sanitasi dan pengendalian air.

Melihat banyak dan besarnya bangunan-bangunan air, dapat diperkirakan bahwa pembangunan dan pemeliharaannya membutuhkan suatu sistem organisasi yang teratur. Hal ini terbukti dari pengetahuan dana teknologi yang mereka miliki, yang memungkinkan mereka mampu mengendalikan banjir dan menjadikan pusat kota terlindungi serta aman dihuni.

Sampai sekarang, baik dari prasasti maupun naskah kuno, tidak diperoleh keterangan mengenai kapan waduk dan kanal-kanal tersebut dibangun serta berapa lama berfungsinya. Rusaknya bangunan-bangunan air tersebut mungkin diawali oleh letusan Gunung Anjasmoro tahun 1451, yang membawa lapisan lahar tebal yang membobol Waduk Baureno dan merusak sistem jaringan air yang ada. Candi Tikus yang letaknya di antara Waduk Kumitir dan Waduk Kraton bahkan seluruhnya pernah tertutup oleh lahar.

Keadaan kerajaan yang kacau karena perebutan kekuasaan ditambah dengana munculnya kekuasaan baru di daerah pesisir, mengakibatkan kerusakan bangunan air tidak dapat diperbaiki seperti sediakala. Erosi dan banjir yang terus menerus mengakibatkan daerah ini tidak layak huni dan perlahan-lahan ditinggalkan oleh penghuninya.

Kota-kota Besar Kerajaan


Perkampungan dan Dusun
Tidak diketahui secara pasti bagaimana bentuk rumah tradisional peninggalan Kerajaan Majapahit yang sesungguhnya. Dari sejumlah artefak yang ditemukan yang berkaitan dengan okupasi kerajaan, sulit rasanya untuk memberikan contoh baku prototipe rumah zaman Majapahit. Namun, ada segopok artefak dari tanah liat bakar berupa miniatur rumah dan temuan struktur bangunan yang diduga sebagai tipikal rumah Majapahit.

Ekskavasi di Trowulan tahun 1995 menunjukkan adanya struktur bangunan berupa kaki dari tanah yang diperkuat dengan susunan batu yang berspesi tanah setebal 1 cm, membentuk sebuah batur rumah. Denah batur berbentuk empat persegi panjang, dengan ukuran 5,20 x 2,15 meter dan tinggi sekitar 60 cm. Di sisi utara terdapat sebuah struktur tangga bata yang terdiri dari 3 anak tangga. Dari keberadaan dan tata letak tangga, dapat disimpulkan bahwa rumah ini menghadap ke utara dengan deviasi sekitar 90 55 derajat ke timur, seperti juga orientasi hampir dari semua arah struktur bangunan yang ada di Situs Trowulan.

Pada kedua sisi kaki bangunan terdapat selokan terbuka selebar 8 cm dan dalam 10 cm. Depan kaki bangunan selokan itu mengikuti bentuk denah bangunan tangga. Selokan tersebut dibangun dari satuan-satuan bata sehingga struktur selokan lebih kuat, dan airnya bisa mengalir lebih cepat. Di sekitar kaki bangunan ditemukan lebih dari 200 pecahan genteng dan 70 pecahan bubungan dan kemuncak, serta ukel (hiasan dari terakota yang ditempatkan di bawah jurai atap bangunan).

Struktur halaman bangunannya amat menarik dan unik. Tanah halaman ditutup dengan struktur yang berkotak-kotak, dan masing-masing kotak dibatasi dengan bata yang dipasang rebah di keempat sisinya, dan di dalam kotak berbingkai bata tersebut dipasang batu-batu bulat memenuhi seluruh bidang. Tutupan semacam ini berfungsi untuk menghindari bila halaman menjadi becek ketika hujan turun. Belum pernah ditemukan penutup halaman yang semacam ini, kecuali yang agak serupa ditemukan di selatan situs Segaran II.

Dari temuan itu dapat diasumsikan bahwa tubuh bangunan didirikan di atas batur setinggi 60 cm. Kemungkinan bangunan dibuat dari kayu (papan) dan bukan dari bata karena di sekitar areal bangunan tidak ditemukan bata dalam jumlah yang besar sesuai dengan volume bangunannya. Mungkin tubuh bangunan dibuat dari kayu (papan) atau anyaman bambu jenis gedek atau bilik. Tiang-tiang kayu penyangga atap tentunya sudah hancur, agaknya tidak dilandasi oleh umpak-umpak batu yang justru banyak ditemukan di Situs Trowulan, karena tak ada satu pun umpak yang ditemukan di sekitar bangunan.

Tiang-tiang rumah mungkin diletakkan langsung pada lantai yang melapisi permukaan batur. Atap bangunan diperkirakan memunyai sudut kemiringan antara 35-60 derajat, ditutup dengan susunan genteng berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran 24 x 13 x 0,9 cm dengan jumlah sekitar 800 -1.000 keping genteng yang menutupinya. Bagian atas atap dilengkapi dengan bubungan dan kemuncak, serta pada ujung-ujung jurainya dipasang hiasan ukel.

Rekonstruksi bangunan rumah yang didasarkan atas bukti yang ditemukan di situs tersebut, dapat dilengkapi melalui perbandingan dengan bentuk-bentuk rumah beserta unsur-unsurnya yang dapat kita lihat wujudnya dalam: (1) artefak sezaman seperti pada relief candi, model-model bangunan yang dibuat dari terakota, jenis-jenis penutup atap berbentuk genteng, sirap, bambu, ijuk; (2) rumah-rumah sederhana milik penduduk sekarang di Trowulan; dan (3) rumah-rumah di Bali.

Lepas dari status sosial penghuni rumah ini, ada hal lain yang menarik, yaitu penduduk Majapahit di Trowulan, atau setidak-tidaknya penghuni rumah ini, telah menggabungkan antara segi fungsi dengan estetika. Halaman rumah ditata sedemikian rupa untuk menghindari genangan air dengan cara diperkeras dengan krakal bulat dalam bingkai bata. Di sekeliling bangunan terdapat selokan terbuka yang bagian dasarnya berlapis bata untuk mengalirkan air dari halaman. Dilengkapi pula dengan sebuah jambangan air dari terakota yang besar dan kendi berhias, yang memberikan kesan sebuah halaman rumah yang tertata apik. Di sebelah timur terdapat beberapa struktur bata yang belum berhasil diidentifikasi. Mungkin rumah yang ukurannya relatif kecil ini hanya merupakan salah satu komplek. Bangunan yang berada dalam satu halaman seluas 200-an meter persegi tersebut dikelilingi oleh pagar seperti yang dapat kita saksikan di Bali sekarang.
 
Kebesaran masa lalu tidak terlepas dari adanya harmoni dan toleransi.
 
Tapi sayang, Majapahit malah hancur karena perang saudara :(
 
bukannya gara2 masuk nya islam ke indo yah ???
jd kerajaan islam yg mendominasi
 
lumayan panjang juga ya penjelasannya ternyata....
 
 URL Pendek:

| JAKARTA | BANDUNG | PEKANBARU | SURABAYA | SEMARANG |

Back
Atas.